Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK
Judul: Nun Tafsir Gerakan al-Qalam
Penulis: Azaki Khoirudin
Tahun Terbit: 2014
Dimensi:xi+277 hlm; 14x20.5 cm
Penerbit: Nun Pustaka
Dentuman Fukuyama bahwa ideologi
menemui ajalnya, tampaknya belum sepenuhnya dapat diyakini kecuali kita
benar-benar berkiblat dengan paradigma ilmu pengetahuan Amerika yang melihat
bahwa masa pasca PD II adalah masa meleburnya berbagai sekat-sekat ideologis.
Buku Nun Tafsir Gerakan al-Qalam (selanjutnya
saya singkat Nun) karya Azaki Khoirudin memang tidak memuat konten ideologi
sebagaimana Marx menyebut ideologi. Tetapi buku ini adalah produk reflektif.
Tentu pergulatan organisasi kepemudaan di Indonesia yang menurut sebagai
kalangan memasuki tahap transformasi dari social movement (SM) yang
sarat perlawanan klas, menjadi new social movement (NSM) yang tidak lagi
bergerak dengan manifestasi perlawanan klas. Ciri gerakan sosial yang
belakangan disebut ini, adalah komposisi klas yang beragam. Mahasiswa, pelajar,
pegawai negeri, pengusaha, peminat film, peminat budaya, peminat grub
band,--semuanya tanpa bisa lagi dilihat sebagai klas.
Apa titik penting buku ini?. Menyusul
kondisi gerakan kepemudaan yang mulai kehilangan orientasi utamanya, yang tentu
saja terbawa arus NSM dengan variabel yang beragam. Kita sekarang jarang
menjumpai lagi buku-buku semisal Pikiran dan Perjuangan seperti karya
Sjahrir. Atau kita jadi tidak lagi bisa melihat bagaimana gerakan-gerakan
kepemudaan yang me-martir-kan diri sebagai wadah bagi perubahan sosial.
Soal bagaimana perubahan sosial tersebut dilakukan tentu pembicaraan lain dapat
dibuka khusus ke arah tersebut. Titik letak penting buku ini akan mulai
kelihatan kalau kita sedikit reflektif terhadap dunia global dan bagaimana
menghadapi kenyataan bahwa lembaga-lembaga swadaya tidak lagi memainkan peranan
sentral kecuali bermental kapitalis. Organisasi kepemudaan akan bermental
kapitalis jika tataran supra-struktur-nya seperti ideologi atau semacam panduan
gerakan dinihilkan peranannya. Kritik keras terhadap niatan ekploitatif
organisasi dan lembaga-lembaga akibat menihilkan peran ideologi berujung pada
ketidakberdayaan mereka membawa perubahan sosial kecuali jargon-jargon
perlawanan yang sebenarnya berselimut pikiran eksploitatif. hal tersebut memang gejala pragmatisme gerakan.
Cerita-cerita yang kita dapatkan
terkait dengan hal itu, dapat kita lihat di gerakan-gerakan buruh tambang
minyak, yang justru memperkeruh upaya lobi antara buruh dan pemilik tambang
dengan mengekslusifkan diri, atau gerakan-gerakan dengan kedok pemberdayaan
tetapi sesungguhnya memuat misi eksploitatif.
Buku Nun tentu tidak hadir untuk
upaya yang masih membutuh aksi panjang tersebut. Buku Nun hadir dengan aspek
berbeda yang sesuai dengan konteksnya sendiri. Buku Nun ditulis secara khusus
bagi pegiat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yakni organisasi otonom yang
berada di bawah payung persyarikatan Muhammadiyah. IPM bergerak dengan basis
massa pelajar, atau aktivis pelajar atau mahasiswa dengan usia hingga 25 tahun.
Basis massa pelajar sebenarnya adalah basis strategis yang sudah banyak dibahas
sejak kelahiran “angkatan baru”, dan bahkan jauh sebelumnya. Akan tetapi dengan
memberikan catatan khusus ketika kebijakan orde baru menihilkan keberadaan
mereka dari panggung wacana kritis. Orde Baru menundukkan mereka dengan jargon
“siswa dilarang berpolitik”. Tidak ada dokumen khusus untuk tuduhan terakhir
ini, akan tetapi melalui OSIS, kita melihat bagaimana filterisasi gerakan di ruang-ruang
sekolah saat itu begitu gencar. IPM termasuk salah-satu organisasi yang ikut
merasakan dampaknya.
Tapi zaman sudah berubah, dan banyak
masalah-masalah kekinian menjelma menembus batas-batas yang pada Orde Baru
dapat dilihat secara sekilas. Sekarang, tantangan IPM adalah tantangan dengan
kenyataan basis pelajar yang kalau dianalisis merupakan generasi yang tidak
mewarisi pengalaman-pengalaman Orde Baru. Basis Pelajar dengan demikian punya
kecenderungan ahistoris terhadap fakta-fakta sejarah yang dapat dilihat pada
kontestasi pemilu 2014. Selain pada tantangan IPM yang berhadapan dengan
generasi ahistoris, IPM juga harus menentukan langkah strategis. Jargon gerakan
keilmuan, atau istilah Azaki Khoirudin; gerakan al-Qalam, adalah juga
mempertahankan ideologi Muhammadiyah ditengah kondisi yang dikatakan oleh
Zygmunt Bauman sebagai zaman liquid politic. IPM sebagai ortom
Muhammadiyah berada pada kondisi yang dikatakn oleh Anthony Giddens sudah
bergerak dari perjuangan sosial menuju zaman perbaikan komunikasi atas
masalah-masalah yang bersifat simbolis dan permukaan.
Jika demikian bagaimana buku Nun
menjawab kenyataan tersebut?. Tampaknya tidak perlu dikhawatirkan karena toh,
walaupun kecenderungan sosiologis demikian, kita masih memerlukan
gerakan-gerakan dengan landasan ideologi, tidak terkecuali ideologi
Muhammadiyah yang dalam hal ini diturunkan oleh Azaki Khoirudin dengan konteks
tafsir Nun. Nada motivasi dapat kita ambil dari Slavoj Zizek yang masih melihat
bahwa perjuangan ideologi dapat berjalan di zaman ketiadaan alternatif terhadap
kapitalisme. Bagaimana buku akan melakukan hal tersebut? Silahkan dinikmati.
Selamat membaca!!
No comments:
Post a Comment