Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Banyak
pengamat politik yang mengatakan bahwa pilpres 2014 menimbulkan antusiasme yang
luar biasa tinggi dari masyarakat. pendapat ini harus dilihat dengan tiga
pertanyaan kritis. Pertama, kelompok masyarakat mana yang terlihat antusias
tersebut. kedua, bagaimana peran media sosial terhadap peningkatan rasa
antusias masyarakat terhadap isu-isu politik menjelang pilpres 2014 (penulis
juga memperhatikan kaitan peningkatan antusiasme tersebut berdasarkan pada
tayangan debat capres di TV). Ketiga, bagaimana peningkatan ini jika dilihat
dari masa/periode tertentu, misalnya dari Januari hingga April dan Mei hingga
Juni.
Penulis
mengikuti sekitar 1.000 akun aktif dari 3.000 akun pertemanan penulis di
facebook. Rata-rata jumlah postingan jika dihitung dari tiap akun minimal
berjumlah 2 postingan sebanyak 60%, 3-5 postingan sejumlah 10%, 6-7 postingan
sebanyak 25%, sisanya hanya melakukan kegiatan menjalankan akun seperti memberi
apresiasi terhadap postingan, hingga komentar pro-kontra terhadap postingan.
Prosentase ini tidak mewakili fluktuasi angka akun aktif tiap hari, akan tetapi
mengambil jumlah rata-rata pada bulan Juni. Variabel usia akun pertemanan
tersebut, yakni usia 15-20 tahun sebanyak 17%, usia 21-25 tahun sebanyak 45%,
25-30 tahun sebanyak 30%, 30 tahun ke atas sebanyak 5%, sisanya akun yang tidak
mencantumkan variabel usia.
Penulis
akan fokus pada postingan yang membicarakan tentang isu-isu politik terkait
dengan dua kandidat presiden. Kandidat pertama, Prabowo Subianto dan Hatta
Rajasa. Kandidat kedua adalah Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Penting untuk
diingat bahwa isu-isu politik apa saja yang muncul menyangkut dua kandidat ini
dalam postingan FB, tidak dapat dipisahkan dari klasifikasi kelompok masyarakat
yang memiliki hubungan pertemanan FB dengan penulis. Maka analisis tersebut
akan mengikuti pada prinsip dasar ini tentang level supra-struktur dari
kelompok masyarkakat yang secara representasi diwakili oleh akun-akun FB
tersebut. meskipun tentu saja sangat sulit untuk memberikan klasifikasi
tersebut sesuai dengan indikator yang cermat, namun memperhatikan dan
mempertimbangkannya sebagai kelompok masyarakat yang mewakili “kesadaran”
tertentu yang direkonstruksi secara sosial dan budaya akan meminimalisir
kemungkinan bias dalam analisis ini.
Partisipan Politik
Penulis
mendefinisikan “partisipan politik” dengan merujuk pada individu yang memiliki
preferensi terhadap salah-satu kandidat pilpres dan juga yang tidak memiliki
preferensi tetapi ikut serta dalam membicarakan isu-isu politik yang beredari
di media sosial. Partisipan politik juga tidak akan penulis batasi secara ketat
dengan mengelompokkan mereka ke dalam kategori “partisipan politik aktif”
(mengikuti partai atau tim sukses) atau sebagai “massa mengambang” (belum
menentukan pilihan terhadap kandidat), atau sebagai “pengamat amatir” yakni
yang mengamati isu-isu politik dengan memanfaatkan perspektif berdasarkan pada
latar belakang akademis, profesi, dan lain sebagainya. Namun akan diperhatikan
sebagai klasifikasi sementara terhadap apa yang dimaksud sebagai partisipan
politik.
Isu-Isu Politik
Penulis
menyadari bahwa isu-isu politik yang berkembang di media massa harus
didefinisikan secara cermat dan hati-hati. Tetapi tujuan utama tulisan ini
adalah untuk menunjukkan bagaimana antusiasme pengguna FB terhadap perkembangan
politik di Indonesia melalui pilpres ini terjadi. Alasan utama adalah bahwa
isu-isu politik ini tidak dikemas dalam bentuk yang kaku, tetapi juga
memanfaatkan joke-joke politik yang cenderung sarkastik. Isu-isu politik yang
dibahas secara serius melalui akun FB jumlahnya tidak menyentuh angka 25%, yang
hanya terdiri dari 7% dari keseluruhan jumlah pengguna akun FB. Namun angka-angka
tersebut tidak menunjukkan kualitas yang rendah. Isu-isu politik itu dibuat
oleh aktifis dan akademisi-akademisi yang memiliki latar belakang sebagai
pengamat politik nasional, penulis buku, aktifis nasional dan internasional,
hingga timses masing-masing kandidat lingkar 1 dan lingkar 2. Dengan
kompleksitas tersebut, penulis tentu harus membuat keputusan bahwa isu-isu
politik yang diposting oleh semua akun FB tersebut dapat disentuh menggunakan
polarisasi terhadap tema-tema dan kemudian mengklasifikasikannya ke dalam jenis
pengemasan isu.
1. Kapasitas
Kepemimpinan
Kapasitas
kepemimpinan menyangkut hal-hal yang dipersepsikan oleh publik sebagai
kemampuan bertanggungjawab, sikap simpatik-empatik, kemampuan diplomasi,
kecakapan adminstratif. Dalam beragam kosakata yang umum tersebut, kedua
kandidat pilpres dianalisis, diklasifikasikan dan diinterpretasi menjadi
nasionalis, relijius, komunis, demokrat, visioner, berwibawa, hingga persoalan
etika kepemimpinan. Kapasitas kepemimpinan ini juga turut serta diukur melalui
kemampuan kandidat capres mengelola koalisis dengan partai-partai lain.
2. Suku-Agama-Ras
(SARA)
Isu-isu
politik tentu saja menyangkut dengan upaya melekatkan masing-masing kandidat
dengan latar belakang personal, yang menyangkut suku, agama dan ras.
Sentimentil terhadap latar belakang suku-ras terlihat dengan munculnya
kata-kata “chino”, “wong chino”. Atau “wong solo”. Persoalan agama juga menjadi
hal yang ramai, misalnya dengan
perbincangan mengenai kemampuan membaca al-Qur’an, kemampuan melakukan ibadah
sholat, dan sensitivitas keberagamaan.
3. Visi-Misi
Persoalan
visi-misi dibahas terkait dengan program-program yang ditawarkan kedua kandidat
pilpres. Meskipun demikian, dari banyak isu-isu politik yang muncul, visi-misi
merupakan tema pembicaraan yang paling rendah prosentasenya dari segi analisis
ekonomi-politik, ekologi-politik, . Prosentase tinggi untuk visi-misi
dibicarakan antara lain melalui terma-terma umum seperti “pendidikan gratis”,
“jaminan kesehatan”, “gaji”, “perbaikan infrastruktur”.
4. Persepsi
Publik & Retorika Politik
Tema
isu-isu politik yang dibahas di dalam bagian ini berkisar antara kekuatan
dukungan massa terhadap dua kandidat capres. Termasuk juga seberapa banyak
jumlah alat peraga kampanye yang digunakan di ruang-ruang publik. Sedangkan
retorika politik masing menyangkut pembicaraan terhadap kemampuan retoris dua
kandidat dalam menggunakan bahasa yang tepat di media. Joke-joke isu-isu
politik juga menjadi demikian massif terkait dengan kemampuan retorika politik
di ruang public oleh masing-masing kandidat.
5. Nostalgia
Figur
Nostalgia
figur sangat erat kaitannya dengan pendekatan analisis behaviorisme terhadap
elit yang sampai pada hari ini masih menjadi pilihan utama. penilaian ini
berkaitan dengan pelekatan ciri-ciri tertentu seperti gesture, atribut-atribut
personal yang secara sengaja dihubungkan dengan tokoh-tokoh politik yang
memiliki massa fanatik seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jendral Soedirman.
6. Masa
depan politik Indonesia
Perbincangan
mengenai masa depan politik Indonesia juga termasuk tema populer di kalangan
aktifis, peneliti, dan pengamat sosial. Perbincangan ini mengenai masa depan
hegemoni politik di Indonesia, termasuk siapa aktor-aktor yang akan memegang
dominasi pada sektor-sektor penting dari hulu hingga hilir di Indonesia. Perbincangan
demikian berasal dari banyak hal, seperti koalisi partai yang lekat dengan
kepentingan kelompok tertentu yang berpotensi merugikan masyarakat.
Partisipan Politik Radikal
Partisipan
politik radikal adalah objek utama mengapa tulisan ini dibuat. Penulis sudah
memaparkan secara singkat mengenai definisi partisipan politik pada bagian awal
tulisan ini dengan tujuan untuk membagi definisi tersebut sambil menunggu
ketepatan definisi yang cukup baik bagi analisis ini. Akan tetapi tujuan
utamanya adalah untuk membawa definisi tersebut ke dalam konteks peningkatan
antusiasme yang cenderung radikal hingga yang menggambarkan bentuk-bentuk anarkisme
verbal. Persoalan apakah antusiasme itu berkaitan dengan institusinalisasi
ideologi partai yang telah mencapai tahap sosialisasi kepada masyarakat atau
pendidikan politik yang sudah demikian massif terkait dengan pembangunan
kesadaran terhadap demokrasi tidak akan banyak disinggung.
Partisipan
politik radikal adalah individu yang terlibat aktif atau tidak di dalam
struktur kelompok politik salah-satu dari dua kandidat pilpres yang menggunakan
FB untuk memperbincangkan isu-isu politik. Bentuk-bentuk pengemasan isu-isu
politik tersebut dapat berupa postingan status, postingan note, postingan komentar, dan postingan berbentuk video, gambar
atau foto.
Apakah
terdapat pertentangan ideologi dan kepentingan antara kelas menengah dan kelas
intelektual kiri di dalam isu-isu dan perbincangan yang beredar di
masyakarakat?. Sepertinya cukup sulit untuk mengatakan ada kebangkitan
perebutan opini publik antara kelas menengah (sebagai pemilik hegemoni opini
publik) dan intelektual kiri yang melihat momen pasca reformasi yang kian
membuka ruang-ruang publik meluas. Isu-isu politik yang diperbincangkan dapat
dilihat sebagai bagian dari perbicangan global tentang bagaimana peran
kapitalis dalam negara dan bagaimana negara menciptakan kesejahteraan sosial. Maksud-maksud
tertentu juga dikandung di dalam isu-isu tersebut, seperti anti-feodalisme dan
anti-oligarki politik. Antusiasme partisipan politik radikal ini memang
menyisakan ruang paradoks dengan keberadaan kelompok muda yang apatis terhadap isu-isu politik. Analisis terhadap apatisme
kelompok muda yang mencapai angka 60% yang tidak terlibat di dalam organisasi
sosial-politik pada tahun 1991 oleh majalah Editor
tentu sudah mengalami dinamisasi terkait dengan perkembangan teknologi yang
membuat frasa “partisipasi politik”
berubah. Ruang publik yang tidak lagi terbatas pada pertemuan-pertemuan fisik,
tetapi juga bertemu secara imajiner melalui sistem simbol yang ada di media
sosial harus diperhatikan semakin memperkecil signifikansi ruang pertemuan
fisik menurut efektifitas sosialisasi-sosialisasi. Dengan demikian, pertemuan
ruang fisik mengambil peran yang lain, yakni sebagai penguat dan tindakan
afirmasi dari sosialisasi gagasan melalui media massa. Khusus untuk kasus ini,
FB berperan tiga kali lebih cepat dalam hal penyebaran gagasan dan informasi
daripada media massa konvensional seperti koran cetak atau TV. FB memperbesar
kemungkinan gagasan-gagasan atau isu-isu politik jadi demikian variatif tanpa
terhalang oleh ketersediaan akses seperti halnya media massa konvensional.
Ketersediaan akses FB yang demikian mudah membuka ruang pendapat terhadap
isu-isu politik dalam konteks individu tapi berkekuatan terhadap publik. Tentu
saja, resistensi dan apresiasi terhadap postingan-postingan di FB membuat
partisipan politik semakin menjadi semakin massif, walaupun ekses dan tantangan
utamanya adalah soal anarkisme verbal yang tidak pernah selesai.
Salah-satu
hal yang membuat penulis melekatkan term “radikal” terhadap frasa “partisipan
politik” adalah justru bersumber dari kecenderungan anarkisme verbal. Partisipan
politik radikal dengan demikian justru menjadi istimewa disebabkan oleh
anarkisme verbal. Partisipan politik radikal itu juga muncul dengan postingan
yang secara afirmatif berisi kecenderungan persuasif terhadap salah-satu calon
presiden. Partisipan politik radikal membuat isu-isu politik menjadi sangat
sederhana melalui gambar-gambar joke, dan membuatnya menjadi jenis gambar
propaganda yang populer. Partisipan politik radikal juga memiliki kemampuan
asosiatif terhadap berbagai macam perbincangan media menjadi berkaitan secara
langsung dengan perkembangan pilpres. Bahan-bahan konsumsi publik juga dengan
otomatis dapat diasosikan dengan perkembangan pilpres.
Kata
“kemunculan” yang digunakan penulis sebagai proses membendakan kata dari
“muncul”, menunjukkan sebuah proses dari “ketiadaan” menjadi “ada”. Apakah
dengan demikian, partisipan politik radikal mendapatkan eksistensi dari pilpres
2014?. Nampaknya, dari jumlah, peningkatan partisipan politik radikal mengikuti
peningkatan jumlah pemilih sejak tahun 1999. Setiap pilpres dari tahun 1999,
2004 dan 2009 mengalami peningkatan kuantitatif. Pada tahun 2009, daftar
pemilih berada pada angka 170.022.239. selain karena konstetasi politik tahun
2009 yang membuka ruang lebih luas bagi partisipan dari berbagai elemen
masyarakat (misalnya individu dengan stigmatisasi PKI). Maka kata “kemunculan”
tidak berarti spontanitas proses, tetapi lebih kepada keterbukaan kesempatan
politik yang kian membaik dari penyelenggaran pemilu di Indonesia. Dengan
demikian, keterbukaan kesempatan politik ini juga dapat diinterpretasikan
sebagai keterbukaan kesempatan berpendapat politik bagi masyarakat.
keberhasilan reformasi yang membuka kebebasan berpendapat di ruang publik
akhirnya menunjukkan akumulasi keberhasilannya yang tidak hanya dinikmati oleh
beberapa pihak seperti pengamat-akademisi atau jurnalis, tetapi juga masyarakat
dari elemen apapun untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan demokrasi di
Indonesia.
REFERENSI
Afan
Gaffar, Javanese Voters; a Case Study of
Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta: UGM Press, 1992.
Chris
Verdiansyah, Politik Kota dan Hak Warga Kota, Jakarta:
Kompas, 2006
Edward Aspinall, Indonesia
on the Knife’s Edge, http://inside.org.au/indonesia-on-the-knifes-edge/
(akses 1 Juli 2014)
Ibnu
Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam
Media Massa, Jakarta: Granit, 2004
Marcus
Mietzner, Money, Power and Ideology; Political
Parties in Post-Authoritarian Indonesia, Singapore: NUS Press, 2013
Muhammad
AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta:
Pustaka LP3ES, 1996
Sigit
Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta:
JIP UGM, 2009
No comments:
Post a Comment