Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK
“Wahai, manusia
mengapakah kamu katakan
sesuatu yang kamu tidak lakukan?” (HR Bandaharo, 1975)
mengapakah kamu katakan
sesuatu yang kamu tidak lakukan?” (HR Bandaharo, 1975)
“Setan
takkan pernah membawa surga dengan berkendaraan kata-kata”, petikan itu saya
dapatkan ketika membaca tulisan Martin Aleida yang berjudul Ada Racun dalam
Lirik Puisi Mutakhir Taufik. Martin Aleida, tentu saja merujuk kepada
seorang sastrawan besar Indonesia, Taufik Ismail. Kutipan yang saya letakkan
pada awal tulisan itu berasal dari Hamsad Rangkuti, seorang sastrawan, pernah
bekerja di Horison. Sekitar tahun 2008 saya pernah bertemu dengan Hamsad
Rangkuti di gedung Balai Bahasa di kampung halaman saya, Sulawesi Utara. Waktu
itu, sekolah saya, SMA Muhammadiyah Manado diundang untuk turut serta ikut
workshop sastra sekolah, dan Hamsad Rangkuti datang dari Jakarta untuk
memotivasi para siswa menulis.
Saat
itu, di sela-sela waktu istirahat, saya bertanya kepada Hamsad Rangkuti tentang
hal suatu hal yang anehnya baru saya ingat ketika membaca kutipan kata-katanya
yang ditulis Martin Aleida. Saya perhatikan raut wajahnya yang terlihat letih tetapi
dengan nanar mata seorang empatik. “Mengapa kita harus menulis sastra?”, tanya
saya. “Bangsa Indonesia akan maju dengan siswa yang rajin membaca dan menulis”,
jawab Hamsad Rangkuti, dia sebenarnya menjawab dengan panjang lebar, tetapi
sayangnya hanya kalimat pendek itu yang cukup kuat menempel.
Nampaknya,
dari kutipan tersebut, meskipun sudah mencoba untuk menggunakan pendekatan
tafsir being ala Heidegger, terasa sulit. Akhirnya saya hanya bisa
memperlakukan kutipan tersebut dengan bermain hermeneutika di batas antara
Husserl dan Heidegger, atau mungkin sedikit cita rasa Ponty. Bagi saya,
perkataan Hamsad Rangkuti (kutipannya) merangkul sebuah totalitas dari sastra.
Perlu saya jelaskan konteksnya. Martin Aleida, dalam Ada Racun... tersebut
sedang menceritakan “pertemuan”, kalau bukan asal muasal konfliknya dengan
Taufik Ismail. Saya tidak akan masuk ke dalam hal-hal subtil tentang siapa
sebenarnya yang memulai, itu sebuah analisis yang kalau tidak kita ikhtiarkan
kepada sejarah hanya akan menghabiskan energi saja.
Taufik
Ismail menolak acara bedah buku Asep Sambodja yang pada akhirnya tetap dapat
dilakukan di PDS HB Jassin, oleh mejabudaya. Penolakan tersebut sebelumnya
disampaikan oleh Taufik melalui sebuah pesan kepada Ajib Rosidi, Husseyn Umar,
Rini dan Edo, ketua dan staf Yayasan PDS HB Jassin. “...Hendaknya jangan ex
Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di
tempat lain yang pantas” tulis Taufik Ismail. Teguran Taufik Ismail melalui
sebuah pesan itu membuat Ajib Rosidi, yang pada saat itu Ketua Dewan Pembina
PDS HB Jassin, mendatangi rumah Martin Aleida dan menganjurkan dengan keras
untuk menghentikan rencana diskusi dan bedah buku tersebut. Tetapi seperti kita
ketahui dari cerita Martin Aleida, diskusi dan bedah buku berjalan sampai
selesai. Rupa-rupanya, kekhawatiran tetap ada pada penyelenggara, karena Taufik
Ismail juga menjanjikan akan membawa ‘pasukan’ pembubaran diskusi dan bedah
buku tersebut.
Martin
Aleida tentu saja kecewa dan marah. Mengapa karya sastra disangkut-pautkan
secara tidak adil dengan pecah-pecah sejarah Indonesia?. Kenyataan pahit
Indonesia pada 1950-1965, dan kekerasan budaya setelah 1965 tidak dapat
didudukkan dengan semestinya. Tuduhan-tuduhan miring terhadap sastra dengan
aliran realisme-sosialis__untuk merangkum secara general mahzab sastra masih
dapat kita rasakan hingga sekarang. Menjamurnya sastra-selangkangan (istilah
Taufik Ismail) sebenarnya tidak distigmakan sama dengan realisme-sosialis.
Sastra yang mewakilkan dirinya sebagai media bagi kepentingan klas tertindas
harusnya ramai membanjiri pasar-pasar perbukuan. Bagaimana sudah kita lihat,
tema-tema karya sastra(?) pasca-Pramoedya menumpuk pada tema-tema tentang
kedalaman ontologis individualis. Teks-teks setiap sastrawan adalah anak
rohani, istilah Pramoedya. Teks-teks mungkin terikat dengan ideologi penulis,
tetapi itu tidak penting. Martin Aleida, menemukan ketidakadilan Taufik Ismail
pada tataran itu.
Pasca-Pasca
Tema-tema
sastra yang bergerak dari individualisme ke sikap egoisme terhadap realitas
tanpa maksud yang jelas. Dalam hal ini, kita mempertanyakan apakah hal tersebut
dapat dinamakan sastra?. Bukankah sastra adalah bentuk ekspresi yang menjadi
jembatan bagi manusia?. Tetapi sastra akhirnya menjadi produk kekerasan karena
memuat tentang surga-surga klas kapitalis. Sastra kita juga tampak membudak
kembali karena penulisnya tidak percaya diri menggunakan nama berbau Indonesia.
Bukan soal yang besar, cuma harus saya ungkapkan. Apalagi kemudian
memposisiskan klas bawah sebagai orang-orang yang juga memimpi mimpi surga klas
kapitalis. Dan kita dibuat untuk prestisius atas apa yang tidak kita butuhkan.
Sastra
relijius pasca-Hamka juga tidak menunjukkan perbaikan yang mencerahkan. Hanya
menampilkan kisah cinta kronik yang terlalu kaya dengan eksploitasi nilai-nilai
profetik. Sedangkan tema-tema nir-kekerasan hanya sekedar pemuas nafsu
individualisme yang sama dengan anti-realisme-sosial. Karya sastra, khususnya
novel pasca-Hamka jarang yang memiliki kekuatan nilai budaya, sama seperti yang
terjadi pada novel dengan aliran lain pasca-Pramoedya. Karya-karya sastra
pasca-Pramoedya dan pasca-Hamka memuat kecenderungan pembentukan nilai-nilai
borjuis. Konsumerisme pun juga semakin dikekalkan oleh dalih-dalih sastra
liberal yang menjadi cerita lain dalam dunia kesusastraan kita.
Saya
ingat kritik seorang teman terhadap peminat sastra. Dia berkata bahwa membaca
karya sastra tidak membawa pencerahan apapun. Saya jelaskan duduk perkara
dengan bertanya, “karya sastra seperti apa yang kamu maksud?”. Dia menyebut
deretan sejumlah novel, pasca-Pramoedya (saya setuju bahwa deretan novel
tersebut tidak banyak berguna). Saya katakan kepada dia bahwa sastra adalah
bagian dari khasanah manusia. Seorang Bung Hatta saja pernah mengarang Soneta
yang berjudul Beranta Indera, yang dimuat di Jong Sumatra. Bung Hatta
selalu menyempatkan membaca karya-karya sastra, salah-satunya syair Heine yang
dipinjamnya dari keluarga sahabat Siegfried Le Febvre, dan mengaku bahwa sastra
mempengaruhi dirinya. Saya jelaskan kepadanya tentang jenis-jenis sastra.
Tampaknya,
sastra kian hari, menyusul pasca-Pramoedya dan pasca-Hamka tidak dianggap lebih daripada permainan
kata-kata. Kalaupun sastra dibaca, tentu saja, karya-karya yang sebenarnya
hanya cukup mengenyangkan hiburan semata. Kita tidak berharap semua orang akan
membaca karya Goethe atau Gorky, tapi sastra yang baik harusnya digunakan untuk
kepentingan kolektif-sosial. Sastra harus membawa inspirasi bagi kenyataan
hidup yang timpang, kesenjangan sosial yang kian jadi kelaziman. Apakah kita
sudah terlanjur jadi Syshipus?, yang bersabar, dan terus bersabar dengan
ketimpangan hidup?. Sudah saatnya sastra jadi media perlawanan terhadap
kekerasan, konsumerisme dan individualisme.
No comments:
Post a Comment