Oleh: Ronny Agustinus
Pemimpin Redaksi Marjin Kiri
Bahan
diskusi untuk peluncuran "Seri Katalog IVAA#3 KOLEKTIF KREATIF: Dinamika Seni Rupa dalam Perkembangan Kerja
Bersama Gagasan dan Ekonomi (Kreatif) 1938-2011, Galeri FSR-IKJ, 24 Januari 2012
Tampaknya benar sinyalemen Aminuddin Th. Siregar bahwa konstruksi wacana
seni rupa Indonesia selalu bertumpu pada dua kutub: perbincangan tentang
identitas di satu sisi, dan polemik tentang pasar di sisi yang lain.[1] Dua
kutub ini punya banyak varian nama: idealisme vs. komersial, paradigma vs.
pasar, kerakyatan vs. pasar, kreativitas vs. bisnis dll. Namun, yang menarik
dari Seri Katalog Data IVAA #3 ini adalah bahwa keduanya (di sini disebut
“Gagasan” dan “Ekonomi”) tidak dipertentangkan secara diametral, namun saling
“bekerja bersama” dalam melihat perkembangan seni rupa Indonesia melalui
kolektif-kolektif kreatif yang pernah mewarnai perjalanannya dalam kurun
1938-2011.
Bab-bab buku ini bisa dibilang sebagai pembabakan/periodisasi dalam melihat
pergulatan ekonomi dan gagasan dalam medan sosial seni rupa di Indonesia. Pertama adalah
masa pra Revolusi Fisik sampai Demokrasi Terpimpin di mana negara bertindak
sebagai patron utama seni rupa. Kedua adalah masa kemunculan
pendidikan formal seni dan berkembangnya pasar (galeri-galeri seni
profesional, balai-balai lelang dll). Ketiga adalah kemunculan
kelompok-kelompok dan ruang-ruang alternatif sebagai penangkal dominasi pasar.
Dan keempat adalah masa belakangan ini, ketika –mengutip Budi
Irawanto—“dunia seni rupa Indonesia agaknya tidak bisa mengelak dari dinamika
industri kreatif yang kini terus mengalami perkembangan”;[2] masa-masa ketika
“gagasan” dan “ekonomi” seharusnya sudah tidak dipertentangkan lagi dalam apa
yang disebut “industri kreatif”. Saya ingin melengkapi dan menggarisbawahi
beberapa hal.
Karya cukil kayu Abdoelsalam mencemooh
komersialisme Basuki AbdullahKritik terhadap komodifikasi dan komersialisasi seni
rupa modern sesungguhnya sudah setua seni rupa modern itu sendiri. Namun, bila
ditilik lebih jauh, kritik terhadap pasar bukan ditujukan pada pasar (atau
nilai uang) itu sendiri, tetapi pada distorsi-distorsi yang bisa timbul akibat
komodifikasi tersebut, yakni: (1) distorsi insentif untuk berkarya; dan (2)
distorsi pemahaman mana yang bermutu dan mana yang tidak, ketika mutu dipandang
senantiasa berbanding lurus dengan harga.
Kita bisa lihat, misalnya, kritik Soedjojono/PERSAGI terhadap
naturalisme-romantis Basuki Abdullah dan sejenisnya (“Sebab pelukis-pelukis
di sini hanya hendak melayani si turis saja [jadi hanya mencari uang belaka]
… Mereka barangkali cerdas dari segi tekniknya, akan tetapi … berdiri di luar
lingkungan hidup kita.”)[3] Di balik kecaman terhadap larisnya lukisan-lukisan
Basuki Abdullah tersirat gugatan yang lebih mendalam tentang keberpihakan dan
jiwa nasionalismenya.
Namun Soedjojono tak berpandangan negatif mengenai pengaruh ekonomi terhadap
kemajuan seni. Sebaliknya, ia sangat menyetujuinya:
Bakat seni lukis di antara pemuda-pemuda kita rupanya tidak kalah banyak dengan
sumber-sumber minyak kita di lepas pantai. Mudah-mudahan keadaan iklim ekonomi
di kemudian hari mengizinkan untuk bisa mengebornya sebanyak mungkin […] Orang
macam Nashar, meskipun saya tidak berapa suka, tapi dengan lukisan-lukisannya
yang penghabisan, saya berbalik terhadap diri saya sendiri. Betul, dia mungkin
orang besar. Begitu juga Zaini. Tetapi kesempatan tidak ada. Dan itu saya
katakan mudah-mudahan iklim ekonomi lebih bagus. Tidak bisa orang meskipun
berbakat Van Gogh, berbakat Picasso, di Kalimantan akan menjadi Picasso, tidak
bisa! Saudara jangan mengkhayal. Jangan impian. Ini realita. Bagaimana orang
bisa melukis kalau dia mati.[4]
Pada era pra-Revolusi Fisik hingga Demokrasi Terpimpin, pertanyaan
“bagaimana orang bisa melukis kalau dia mati” itu dijawab sebagian besarnya
oleh negara, yang bertindak sebagai patron dengan memberikan subsidi pada
sanggar-sanggar dan kelompok-kelompok kesenian seperti didokumentasikan oleh
buku IVAA ini. Pemerintah kolonial Jepang menggelontorkan dana yang terbilang
banyak untuk proyek konsolidasi seniman demi maksud-maksud propagandanya
(meskipun kemudian dimanfaatkan oleh kelompok nasionalis sebagai media
propaganda kemerdekaan). Jumlah pelukis Indonesia pada era Jepang ini, catat
Claire Holt, “melipat dua, atau mungkin melipat tiga dibanding masa sebelum
perang.”[5] Soekarno sendiri konon selalu menyisihkan 100 guilder dari upah
800 guilder yang diterimanya dari pihak Jepang untuk membeli lukisan.
Seni rupa era Jepang ini menarik untuk diteliti lebih jauh, karena masih
banyak ketidaksinkronan dalam narasi sejarahnya. Pertama, Jepang
sebenarnya lebih menitikberatkan pada medium-medium audio-visual seperti
film, teater, wayang, dan musik untuk media propagandanya ketimbang seni rupa
dan media cetak.[6] Kedua, sekalipun Keimin Bunka Shidosho
mempunyai program seni rupa, sesungguhnya program seni rupa itu difokuskan
untuk mempromosikan seni tradisional Indonesia dan memperkenalkan
serta menyebarkan kebudayaan Jepang. Tak disinggung-singgung sama sekali
tentang pengembangan atau bahkan ketertarikan Jepang pada seni rupa modern.
Penelitian sejarawan Louis Zweers tentang koleksi lukisan milik industrialis
Belanda Pierre Alexander Regnault yang tertinggal di Jawa dan tak bisa dikirim
balik ke Belanda akibat masuknya Jepang ke Indonesia menegaskan hal ini.
Koleksi berharga yang antara lain berisi karya Van Gogh, Chagall, Kandinsky dll
tersebut disembunyikan di peti-peti dalam gedung Javanische Bank, Batavia.
Ketika Jepang datang, tulis Zweers, “mereka menemukan peti berisi
lukisan-lukisan itu dan membukanya. Namun kanvas-kanvas itu dibiarkan saja.
Enam lukisan Van Gogh dengan perkiraan nilainya yang pada masa sebelum perang
mencapai 30.000 guilder juga dibiarkan tak terjamah.”[7] Jepang bahkan tidak
melihat tingginya nilai moneter yang bisa didapat dengan menyita
lukisan-lukisan itu untuk dijual kembali. “Pendudukan Jepang lebih tertarik pada
benda-benda seni Timur Jauh seperti patung dan keris serta lukisan tradisional
Bali ketimbang lukisan dan gambar-gambar modern,” lanjut Zweers. Melihat dua
fakta ketidakhirauan Jepang pada seni rupa ini, maka masih menjadi pertanyaan
mengapa seni rupa modern justru berkembang pada masa-masa itu dan jumlah perupa
meningkat pesat seperti ditulis Holt?
Trisno Sumardjo (1952) melukis adegan
proklamasi. Kemungkinan besar pesanan negara.Apapun itu, yang jelas “tradisi”
patronase negara ini berlanjut pada masa pemerintahan republik melalui
berbagai pesanan Kementrian Penerangan maupun subsidi negara pada
sanggar-sanggar. Ada kalanya, dana subsidi ini menjadi sumber percekcokan
antar seniman. Hendra Gunawan misalnya, keluar dari Seniman Indonesia Muda
(SIM) bukan karena perbedaan prinsip berkesenian, melainkan karena
perselisihan teknis pembagian subsidi bulanan dari pemerintah.[8]
Komersialisme kembali jadi sorotan di era Demokrasi Terpimpin. Pelukis
Misbach Tamrin dari Sanggar Bumi Tarung Yogyakarta –satu-satunya sanggar yang
secara terbuka menyatakan berafiliasi dengan LEKRA—dalam tulisannya di Harian Rakjat 16
Maret 1963, memaparkan kecemasannya tentang merasuknya komersialisasi seni
lukis Indonesia (setidaknya di Yogyakarta). Ia bicara tentang “mobil-mobil
sedan” dan “kolektor di dalamnya dengan beberapa lukisan hasil perbelanjaannya
dari sanggar-sanggar”. Tapi bila kita amati lebih lanjut, sasaran kritik Tamrin
ternyata juga bukan si kolektor atau pasar senirupa, tapi seperti Soedjojono
dulu, yang disasar adalah gaya seni lukis yang “sangat laris seperti pisang
goreng.” Namun gaya itu bukan lagi naturalisme-romantis, melainkan formalisme
dan abstrak.
Bagi Tamrin isunya bukan pasar atau antipasar,[9] melainkan “apakah lukisan
yang laris itu memang seperti pisang goreng yang sehat untuk konsumsi
masyarakat.” Sebagai seseorang yang meyakini bahwa seni harus berideologi,
tentu saja Tamrin meyakini bahwa kondisi seni lukis saat itu tidak sehat
bahkan berbahaya, karena gaya formalisme dan abstrak adalah “bentuk tanpa isi,”
“kecanduan terhadap artistik melulu secara berlebih-lebihan.”
Apa itu formalisme? Menurut salah satu eksponen utamanya, A.D. Pirous:
Dalam formalisme, karya seni dipandang sebagai susunan bentuk (form) yang
murni, yang unsur-unsurnya terdiri dari garis, warna raut bentuk dan tekstur.
Meskipun dalam karya seniman Bandung, objek-objek representasional seperti
sosok manusia, pemandangan atau alam benda masih dapat diidentifikasikan,
objek-objek tersebut tunduk pada perpotongan garis geometris yang seolah
menenggelamkan objek-objek itu dalam susunan tersendiri. Pada tingkatan lanjut,
seniman Bandung itu tidak lagi memerlukan objek. Mereka berkreasi hanya dengan
unsur rupa yang murni.[10]
Bagi kubu Thamrin dan LEKRA, dengan “tidak memerlukan objek,” dengan menjauhkan
seni dari cerita kehidupan, “kemerdekaan diartikan sebagai keleluasaan
beriseng sendiri dalam lingkaran kesenian thok, tanpa menyadari seni
sebagai alat revolusi.” Dengan ini semangat revolusioner dilemahkan dan
“neokolonialisme” pun merayap masuk.
Penyokong formalisme sering disebut sebagai “mazhab Bandung” (karena sebagian
besarnya bernaung di Seni Rupa ITB), namun ini simplifikasi yang kurang tepat,
karena sebagian pelukis Yogya sendiri bisa dikategorikan ke dalamnya, misalnya
Widayat dan Fadjar Sidik. Widayat bahkan sama sekali menafikan fungsi-fungsi
sosial-politik seni rupa sebagaimana yang diyakini LEKRA, dan menyatakan dengan
tegas bahwa melukis adalah kerja menghias: “Lukisan itu berfungsi sebagai
benda hias, untuk digantung di dinding rumah, di kantor, di art
gallery, di museum, dan lainnya.”[11]
Kita tahu, pameran pelukis-pelukis formalis dari Bandung ini di Balai Budaya,
Jakarta, pada 1954 menuai banyak kecaman. Istilah terkenal “Bandung laboratorium
Barat” dicetuskan Trisno Sumardjo pertama kali sebagai kritik atas pameran tersebut.[12]
Namun demikian, pergolakan politik 1960-an akhirnya memenangkan kubu formalisme
ini di lapangan seni rupa. Ada satu catatan saya: lembaran timeline di
buku ini justru melewatkan tanggal krusial yang menandai babakan baru dari
keterkaitan “gagasan” dan “ekonomi” di seni rupa,[13] yakni 13-22 Desember
1966. Pada tanggal itu, sekali lagi di Balai Budaya, Jakarta, diadakan pameran
besar “Sebelas Seniman Bandung”. Inilah tanda keberhasilan pengukuhan lahirnya
rezim estetik/politik baru yang didominasi oleh formalisme dan penyingkiran
ide-ide progresif di segala bidang. Tak terdengar lagi kecaman-kecaman dari
“kubu nasionalis kiri” yang telah dibungkam secara politik. Kenneth M. George
mencatat bahwa pameran tersebut “berfungsi untuk menetapkan Bandung dan para
senimannya sebagai kekuatan yang sedang menanjak dalam ruang pentas pada era
Orde Baru. Pengaruh, patronasi, dan kesempatan untuk menilai dan diakui mulai
menjadi milik mereka—dan akan tetap menjadi milik mereka selama tiga
dekade.”[14] Katalog pameran tersebut ditulis dalam bahasa Inggris –sesuatu
yang belum lazim pada zamannya—karena sengajaditujukan pada
kolektor asing. Apa yang terjadi di seni lukis berlaku paralel dengan keterbukaan
rezim baru ini pada modal asing, sebagaimana tertuang sekian bulan sesudahnya
dalam undang-undang pertama yang dihasilkan oleh Orde Baru: UU No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dan dari penyataan Widayat di atas kita
bisa melihat gambaran bagaimana kedudukan “gagasan” vis-a-vis “ekonomi”
dalam kerja seni pasca 1965.
Berikut kesejajaran-kesejajaran yang bisa kita lihat dalam konsepsi dan
praktik politik dan seni-budaya semasa Orde Baru:
Dengan demikian, “perhatian” yang diberikan Orde Baru pada kesenian
semata-mata dilakukan hanya untuk mengendalikannya demi mengamankan
kepentingan-kepentingannya sendiri. Di satu sisi praktik-praktik kesenian
dipantau ketat, namun di sisi lain tidak ada langkah institusional yang diambil
untuk menjamin akses pada kesenian sebagai hak publik. Ini dialami oleh seni
modern maupun tradisi. Budaya Toraja misalnya. Sejak Tana Toraja ditetapkan
sebagai “objek wisata” oleh pemerintah Orde Baru pada 1984, seni budaya Toraja
diperah habis-habisan sebagai peraup devisa sampai-sampai menimbulkan protes
dari pemuka-pemuka adat setempat. Kesakralan situs dan ritual pemakaman serta
seni-seni terkait ditundukkan pada logika ekonomi.[16] Pada 1987 ketegangan meninggi
saat desa-desa tersebut memutuskan menutup diri dari wisatawan.
Dampak negatif kebijakan ekonomi Orde Baru macam itu kita rasakan sampai
sekarang, misalnya dengan menguatnya kembali sentimen-sentimen adat dan
sektarian akibat suatu perasaan keterampasan kultural selama berpuluh-puluh
tahun. Oleh karena itu, ketika beberapa tahun terakhir digembar-gemborkan soal
pengembangan “industri kreatif,” “ekonomi kreatif,” kita perlu berhati-hati
menyikapinya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kita perlu mencari tahu
apa konsepsi “ekonomi kreatif” ini serta persamaan dan perbedaannya dengan
subordinasi seni pada ekonomi seperti era Orde Baru. Saya sendiri tak terlalu
antusias dengan prospek “ekonomi kreatif” ini, untuk alasan-alasan yang akan
saya uraikan lebih lanjut.
Entah bagaimana, dalam pandangan teknokratis-birokratis negeri ini,
kesenian dan kebudayaan selalu “dijual sepaket” dengan pariwisata,[17] kendati
namanya terus berubah-ubah: Kementerian Pariwisata, Seni, dan Budaya (1998),
Kementerian Negara Pariwisata dan Kesenian (1999), Kementerian Negara
Kebudayaan dan Pariwisata (2001), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(2011). Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada Oktober 2011 adalah yang pertama kalinya mengukuhkan
“ekonomi kreatif” sebagai suatu kementerian. Untuk Menterinya ditunjuk Mari
Elka Pangestu yang sebelumnya menjabat Menteri Perdagangan. Tentu bukan kebetulan.
Departemen Perdagangan di bawah Mari sejak 2007 telah melakukan pelbagai kajian
atas sektor ini, bahkan telah menyusun visi “Bangsa Indonesia yang berkualitas
hidup dan bercitra kreatif di mata dunia” yang dituangkan sebagai
cetak biru dalam dua terbitan:Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 serta Rencana
Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif 2009-2015.
Di sinilah konsepsi resmi “ekonomi kreatif” yang hendak dibangun pemerintah
bisa didapati, dan tampaknya konsepsi tersebut berseberangan dengan yang
dibayangkan secara “agak romantis” oleh para pegiat seni. Buku IVAA ini,
misalnya, mencontohkan ekonomi kreatif itu adalah: majalah alternatif, seni
tato, artist merchandise, t-shirt, sebagai “bentuk-bentuk seni
visual dalam konteks gerak kekuatan informalitas dan kreativitas ekonomi
sosial-nya yang berbasis pada produksi dan distribusi karya.” Sementara Agung
Hujatnikajenong saat membahas ekonomi kreatif Bandung dalam artikelnya di Pikiran
Rakyat 25 Februari 2006 berbicara tentang “menjamur dan suksesnya
bisnis independen” (distro, artist initiative art space, perusahaan
rekaman independen dll). Padahal, tak ada warna “independen” sama sekali dalam
konsepsi ekonomi kreatif menurut cetak biru Departemen Perdagangan, yang
sepenuhnya mengukurnya berdasarkan: 1) kontribusinya pada Produk Domestik
Bruto; 2) peningkatan ekspor nasional; 3) peningkatan penyerapan tenaga kerja;
4) peningkatan jumlah perusahaan berdaya saing tinggi; 5) penciptaan nilai
ekonomis dari inovasi kreatif.[18] Sama sekali tidak ada kriteria-kriteria kebudayaan
(pencerdasan kehidupan bangsa, penyebaran informasi dan pengetahuan secara
cuma-cuma, penyediaan alternatif kultural dll) yang dipakai sebagai kriteria
untuk mengukur dampak ekonomi kreatif ini, melulu kriteria ekonomi yang sangat mainstream.
PDB industri kreatif
Persentase PDB industri kreatif terhadap PDB nasional
PDBC = PDB yang didapat dari industri kreatif.
NTBKC = nilai tambah yang didapat masing-masing subsektor industri kreatif.
i = 1 – 14 lapangan usaha industri kreatif: periklanan; arsitektur; pasar
seni dan barang antik; kerajinan; desain; fesyen; film, video dan fotografi;
permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan;
layanan komputer dan piranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan
pengembangan.
PDB = PDB nasional Indonesia.
Dalam konsepsi seperti ini, maka pelaku industri kreatif yang
sebenar-benarnya menurut Depdag bukanlah IVAA, bukan Ruangrupa, atau MES56,
atau Forum Lenteng, tapi Raam Punjabi. Peduli setan bahwa Forum Lenteng
menawarkan edukasi film dan media pada masyarakat luas, sementara sinetron
menawarkan pembodohan. Inti soalnya adalah: Raam Punjabi menghasilkan rupiah
jauh lebih besar daripada Forum Lenteng, titik. (Riset AGB Nielsen Media
Research Januari 2008 di empat kota besar di Jawa menunjukkan hampir 50% waktu
pemirsa di teve dihabiskan untuk menonton sinetron). Yang bukan perusahaan
berdaya saing tinggi, yang tidak menciptakan nilai ekonomis dari ciptaannya,
yang tidak memberi kontribusi pada PDB, tidak masuk hitungan ekonomi kreatif.
Dengan ini, bahkan yang dilakukan Butet Manurung di Suku Anak Dalam tidak
bisa dibilang sebagai kerja kreatif, karena ia mengajar dan membagi
pengetahuan secara gratis. Untuk bisa disebut kerja kreatif mungkin ia harus
seperti Mario Teguh, menggerakkan rupiah lewat iklan teve, pelatihan motivasi,
penjualan buku, CD dll secara masif.
Perupa F.X. Harsono dalam paparannya tentang topik yang sama di Departemen
Perdagangan bulan lalu, juga menyampaikan skeptisismenya atas hal ini, terutama
di bidang seni rupa:
Jelas bahwa seluruh tatanan dan sistem dalam pelaksanaan ekonomi kreatif
berjalan di atas logika pasar, yaitu supply and demand. Hanya seni
yang bisa diserap oleh pasar dan bersifat industri yang dikategorikan dalam
industri kreatif. Sedangkan seni yang dianggap kurang mampu mendongkrak
pemasukan devisa negara tidak akan mendapat perhatian. Hal ini bisa dilihat
dalam “Instruksi Presiden RI No 6 Th 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi
Kreatif”, karya seni yang tidak memenuhi logika pasar tidak termasuk dalam pengkategorian
apa itu ekonomi kreatif […] Seni rupa tidak terdapat dalam kategori ekonomi
kreatif secara independen, kemungkinan seni rupa dimasukkan dalam kategori
“Pasar Seni dan Antik”, maka hanya seni rupa yang bisa terserap oleh pasar saja
yang mendapat perhatian. Sedangkan seni rupa yang memakai media-media baru dan
media alternatif yang sangat eksperimentatif yang sulit diserap oleh pasar
tidak akan mendapat perhatian.[19]
Maka, seproduktif apapun, Alit Ambara tidak bisa dibilang sebagai pelaku
industri kreatif karena poster-poster politik yang rutin dihasilkannya lewat
Nobodycorp Internationale Unlimited sama sekali tidak menghasilkan devisa.
Pemahaman tentang ekonomi kreatif dan industri kreatif sesungguhnya
dicetuskan pertama kali pada 1997 sebagai salah satu gagasan Partai Buruh
Inggris dari golongan pembaharu(New Labour) untuk menentang
konsepsi-konsepsi lama dari kubu Old Labour di Partai Buruh.
Tentunya, ini sejalan dengan konsepsi ekonomi Jalan Ketiga yang diusung Tony
Blair saat itu yang mengedepankan kewirausahaan, pengetahuan, kreativitas dalam
era masyarakat informasi. Inggrislah yang pertama kali mengeksplorasi gagasan
ini, maka tak heran bila penjajakannya ke seluruh dunia banyak dilakukan oleh
British Council, yang di Indonesia penjelasan tentang pentingnya industri
kreatif ini banyak dilakukan antara lain oleh rekan pembicara saya ini, Yudhi
Soerjoatmodjo (saat itu bekerja di British Council).
Di Inggris dan negara-negara Eropa serta AS, transformasi dari masyarakat
dan perekonomian industrial menuju masyarakat dan perekonomian berbasis
pengetahuan/ informasi –tempat berpijak “industri kreatif”—berlangsung alamiah
(dicanangkan sejak 1973 oleh sosiolog Daniel Bell melalui The Coming of
Post-Industrial Society). Sementara di Indonesia sangat bisa
dipertanyakan apakah industrialisasi pun pernah berlangsung sungguh-sungguh.
Karena itulah saya khawatir bahwa “ekonomi kreatif” adalah upaya pemerintah
untuk menutupi kegagalannya mengembangkan sektor pertanian dan industri manufaktur
yang sesungguhnya di Indonesia (dua sektor penyerap tenaga kerja terbesar namun
terus mengalami penurunan). Bagaimana mungkin industri kreatif (yang kontribusinya
pada PDB masih berkisar 4%) hendak digenjot sebagai diversifikasi dari sektor
pertanian dan industri manufaktur yang kontribusinya pada PDB masing-masing
20,83% dan 15,63% (2011). Saya tak menyangkal bahwa masyarakat Indonesia ini
luar biasa kreatif dan potensi pengembangannya sebagai usaha yang mandiri
sangat besar. Tapi yang terjadi sekarang: industri kreatif tiba-tiba diperah
habis-habisan (diminta kontribusinya pada PDB bahkan penyerapan tenaga kerja)
padahal sekian lama ini sama sekali tak diberi perhatian baik dalam
pengembangan, pendidikan, maupun pembangunan infrastrukturnya. Contoh kecil
saja: JIFFest yang dibiarkan mati kekurangan dana dan industri tas
Tanggulangin yang dibiarkan mati oleh lumpur Lapindo. Kita tak bisa menggenjot
secara mendadak sebuah industri yang selama ini tak diurus, sebagaimana Habibie
tak bisa memaksa negara agraris ini berubah menjadi produsen pesawat hi-tech dalam
waktu singkat.
Pemerintah tampaknya terpukau oleh “ekonomi kreatif” karena badan-badan
dunia seperti PBB (terutama melalui konferesi dagangnya, UNCTAD) ikut
menyokongnya sebagai usaha diversifikasi ekonomi negara berkembang,
begitu pula organisasi-organisasi kerjasama ekonomi seperti OECD. Contoh-contoh
sukses yang dikemukakan dalam laporan PBBCreative Economy Report 2010,
misalnya, memang bisa sangat mengesankan. Contohnya keberhasilan pemerintah
Senegal menyelenggarakan Bienale Seni Afrika Kontemporer Dak’Art, untuk
memposisikan Dakar sebagai pusat pertukaran budaya di Afrika. Tapi kita lupa
bahwa Senegal punya tradisi panjang seniman dan sastrawan besar seperti
Léopold Senghor, Ousmane Sèmbene, Mariama Ba, dan Festival Kesenian Negro
Sedunia telah mereka gelar sejak 1966. Prestasi seperti ini tidak dibangun
dalam semalam.
Apakah kita tidak punya penulis-penulis dan seniman-seniman besar seperti
Senegal? Tentu saja ada, bahkan bisa dipastikan lebih banyak, tapi sekali lagi,
infrastruktur untuk memposisikan mereka dalam pentas dunia tak pernah
dibangun. Datangilah kedubes RI di manapun di dunia ini dan mintalah buku-buku
Pramoedya Ananta Toer dalam terjemahan Inggris atau bahasa negara bersangkutan,
bisa dipastikan tidak ada, sekalipun Pram telah diterjemahkan ke hampir semua
bahasa besar dunia. Bandingkan ini dengan dukungan pemerintah Jerman pada sastra
dan industri penerbitannya. Setiap tahun, biasanya menjelang Frankfurt Book
Fair, sebagai pemimpin redaksi sebuah penerbitan saya selalu mendapat kiriman
tabloid 28 halaman berjudul Ãœber: Blick—German Book Industry Insight,
yang mengulas kondisi penerbitan di Jerman dalam setahun berselang: buku-buku
terbaru dan terbaik menurut para kritikus independen, potensi-potensinya untuk
diterjemahkan dsb. Mereka bahkan punya semacam “kedutaan besar khusus masalah
perbukuan” di lima negara: AS, India, Cina, Rusia, dan Rumania. Sentra-sentra
informasi buku Jerman ini bisa membantu pengurusan copyrights,
kontak penulis dan penerbit dsb. Sementara Indonesia tak mencapai bahkan apa
yang dilakukan oleh India: membebaskan pajak buku dan membantu pembelian copyrights serta
pembentukan bank data copyrights buku-buku terkenal dunia agar
bisa dibaca masyarakat dengan harga terjangkau. Sebaliknya, industri buku
Indonesia justru ditimpa tiga jenis pajak sekaligus: pajak pembelian kertas,
hak cipta penulisan, dan pajak penjualan.
Dari sini bisa kita lihat, definisi industri kreatif di negara-negara ini
ternyata mencakup juga aspek “Gagasan” (penyebaran pengetahuan), bahkan dalam
kadar yang besar. Suatu bidang didukung bukan hanya untuk diminta kontribusinya
pada PDB, namun juga untuk mencapai kualitasnya yang mencerdaskan. Namun
justru aspek inilah yang absen dari cetak biru Departemen Perdagangan. Padahal
definisi UNCTAD tentang ekonomi kreatif juga mencakup capaian-capaian
non-ekonomi seperti “inklusi sosial, keragaman budaya, dan pembangunan
manusia.”[20] Sementara definisi UNESCO tentang industri budaya mencakup “peran
sentral dalam mendorong dan mempertahankan keragaman budaya dan menjamin akses
demokratis pada kebudayaan.”[21]
Karena itulah, tidak tercakupnya seni rupa secara khusus dalam cetak biru
Departemen Perdagangan –hanya sebagai bagian dari Pasar Seni dan Barang
Antik—tidak terlalu mengkhawatirkan saya. Dengan ini kita sebagai
kolektif-kolektif kreatif justru bisa terus bebas bereksperimen dan berkarya.
Kondisi seni rupa kontemporer kita sangat sehat tanpa itu semua, seperti
dibilang dengan tegas oleh F.X. Harsono: “Tanpa ekonomi kreatif seni rupa juga
bisa berkembang dengan baik dan mampu mengangkat citra Indonesia di mata
internasional.”
---------
1. Aminuddin Th. Siregar,
“Kita Tidak Punya Romantic Agony,” katalog pameran “Seni: Pesanan”, koleksi
Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2006.
2. Budi Irawanto, makalah
pada senimar “Menimbang Ulang Mediasi dan Jejaring Seni Rupa di Era Industri
Kreatif,” FSR ISI Yogyakarta, 27 Desember 2008. Dikutip dari buku IVAA ini,
hlm. 131.
3. S. Soedjojono, “Seni
Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang,” Seni Lukis, Kesenian dan
Seniman (Yogyakarta: Penerbit Indonesia Sekarang, 1946). Ejaan telah diubah.
4. Transkripsi ceramah
Soedjojono dalam acara Dewan Kesenian Jakarta di TIM, tak bertanggal, sekitar
1980-an. Diunduh dari arsip IVAA.
5. Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Changes (Ithaca: Cornell
University Press, 1967), hlm. 200.
6. Baca riset Aiko
Kurasawa, “Propaganda Media on Java Under The Japanese 1942-1945,”Indonesia vol. 44, Oktober 1987.
7. Louis Zweers, “Art
Collections in Wartime in the Netherlands East Indies 1942-1945,” newsletter
International Institute for Asian Studies no. 54, musim panas 2010.
8. Holt, op. cit.
9. Hal ini juga
ditegaskan mantan penulis LEKRA, Hersri Setiawan, bahwa LEKRA sesungguhnya
mendorong para senimannya untuk berpameran di galeri-galeri dan menjual karya mereka.
Lihat misalnya pendapat Hersri dalam tesis Heidi Leanne Arbuckle, “Taring Padi
and the Politics of Radical Cultural Practice in Contemporary Indonesia”
(Perth: Curtin University of Technology, 2000), hlm. 58.
10. A.D. Pirous, “Seni
Rupa ITB dalam Perkembangan Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Masa ke Masa,”
pidato pada semiloka pendidikan Seni Rupa ITB, 12 September 2001.
11. Dikutip dari Sanento
Yuliman, “Dari Hiasan ke Perlambangan”, Dua Seni Rupa (Jakarta: Yayasan
Kalam, 2001), hlm. 292.
12. Mingguan Siasat, 5 Desember 1954.
13. Padahal IVAA memiliki
arsip yang terbilang lengkap mengenai kelompok “Sebelas Seniman Bandung.”
14. Kenneth M. George, Politik Kebudayaan di Dunia Seni Rupa Kontemporer: A.D. Pirous dan
Medan Seni Indonesia, terjmh. Fadjar I. Thufail dan Atka Savitri (Yogyakarta: Yayasan Seni
Cemeti, 2004), hlm. 37.
15. Centre for Strategic
and International Studies, Ali Moertopo: 1924-1984 (Jakarta: CSIS, 2004),
hlm. 32.
16. Antropolog Toby Alice
Volkman bahkan menengarai bahwa upacara pemakaman megah Toraja yang kita kenal
sekarang adalah dampak dari pembangunan ekonomi yang membuat sebagian orang
kaya baru Toraja ingin memamerkan status sosial mereka. Rebutan status itu pun
jadi semakin “jor-joran” ketika ritual pemakaman dieksploitir sebagai program
wisata oleh pemerintah. Ritual pemakaman asli Toraja tidak semegah yang
dipertontonkan buat turis. Volkman menyebutnya “inflasi ritual.” Kita bisa
melihat kesamaan analisa Volkman dengan analisa Clifford Geertz tentang Bali.
Baca Toby Alice Volkman, Feasts of Honor: Ritual and
Change in the Toraja Highlands (Chicago: University of Illinois Press,
1985).
17. Bandingkan dengan
negara-negara lain, misalnya: Singapura memperlakukan seni sebagai bagian dari
informasi dan komunikasi (Kementrian Informasi, Komunikasi, dan Kesenian).
Irlandia menganggap seni, warisan bangsa, dan bahasa sebagai satu kesatuan
(Departemen Seni, Warisan Budaya, dan Gaeltacht [Bahasa Gaelic]).
Sementara Amerika Serikat tak merasa kesenian sebagai sesuatu yang harus
dikontrol di tingkat departemen/kementrian. Dua badan nasional di AS terkait
seni hanyalah National Endowment for the Arts (sebagai komitmen pemerintah
untuk mendukung perkembangan seni) serta Commission of Fine Arts. Kepengurusan
keduanya pun independen tanpa campur tangan pemerintahan federal.
18. Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Program Kerja Pengembangan
Industri Kreatif Nasional 2009-2015 (Jakarta: Departemen
Perdagangan, 2008), hlm. 5.
19. F.X. Harsono, “Nilai
Kreatif vs. Nilai Ekonomi,” makalah dalam seminar sehari “Menuju Perekonomian
(yang) Kreatif”, Rabu, 14 Desember 2011, Balairung Soesilo Soedarman, Gedung
Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jakarta.
20. UNCTAD & UNDP, Creative Economy Report 2010, hlm. 10.
sumber: https://www.facebook.com/notes/ronny-agustinus/seni-rupa-dan-ekonomi-kreatif-di-indonesia/10150543017178400