Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK
Judul Buku : Ekonomi Insani “Kritik Karl Polanyi
terhadap Sistem Pasar Bebas”
Penulis : Justinus Prastowo
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : 2014
Dimensi Buku : xx + 183 hlm, 14 x 20,3 cm
Pasca-modernisme di dalam filsafat dan konteksnya terhadap pemahaman global
bagi perkembangan diskursus mendapat tantangan serius. Kecurigaan terhadap
filsafat pasca-modernisme dan corak filsafat liberalisme di dalam ekonomi
ditenggarai bertanggungjawab atas kondisi kapitalisme yang tidak
mengartikulasikan secara maksimal model pembangunan ekonomi di negara-negara
dunia ketiga. Konteksnya dengan kebijakan pasar bebas terhadap negara-negara
berkembang justru menimbulkan kebijakan-kebijakan paradoksal. Antara lain
dengan proporsi tidak berimbang yang harus ditanggung oleh warga negara melalui
industri ekonomi kreatif melalui PDB. Sedangkan industri manufaktur menjadi
proyek yang terbengkalai dan mengalami privatisasi. Justinus, mengawali
penulisan mengenai Karl Polanyi dengan pertanyaan utama, apakah kapitalisme dan
seluruh turunannya dapat dikritik?.
Karl Polanyi adalah ekonom
sekaligus filsuf politik (political
philosopher) yang menulis karya penting; The Great Transformation (GT)
dengan apresiasi Hans Kohn ketika memberikan resensi atas karya tesebut
yang dimuat di harian New York Times; “will
learn much for a better understanding of the elements of 19th‐century society
and thought”. Hans Kohn menyandarkan komentarnya karena Polanyi dalam GT mengungkap empat prinsip yang menjadi
“tiang peyangga tatanan sosial abad ke-19”. Sama halnya dengan Hans Kohn,
Justinus Prastowo dalam Ekonomi Insani (EI)
pun mendasarkan penjabaran ini sebagai pintu prinsipil untuk bangunan kritik
Polanyi atas sistem pasar bebas. Keempat prinsip tersebut ialah, pertama,
sistem keseimbangan kekuatan; kedua, tata keuangan berdasarkan standar emas
internasional; ketiga, tata Negara liberal; keempat, sistem pasar swatata (hlm.21).
Bagaimana sebenarnya Justinus
akan mengeksplorasi Polanyi?. Sebagaimana Karl Marx di dalam Capital Jilid I yang mengambil tema penggunaan dan pertukaran sebagai pembahasan awal,
posisi Polanyi pun secara ideal tidak berbeda jauh keberadaannya pada titik
demikian. Justinus dalam EI melakukan
hal ini dengan menggembirakan. Selain berbicara persoalan mengenai ide-ide
Polanyi pada bagian awal EI, posisi individu dan kepemilikan pribadi juga
diletakkan dengan cermat pada setiap pembahasan tiap Bab dengan simpul penutup
secara spesifik di bagian akhir.
Sebelum memasuki pemikiran Polanyi melalui EI, hal menarik yang perlu
diperhatikan adalah pembabakan sejarah pemikiran Polanyi sendiri dalam
konteksnya dengan bidang kajian yang menjadi sasaran utama kritik-kritik
Polanyi. Pembabakan sejarah intelektual Polanyi berdasarkan acuan pada
karyanya; GT, masuk ke dalam tahap ke-III (hlm.18). sebelum skematisasi
pemikiran Polanyi berdasarkan GT, hembusan dari pandangan Polanyi dalam
artikelnya yakni; Essence of Fascism
(EF) memberikan kesimpulan prediktif atas resiko berbahaya dari sistem pasar
bebas. Dalam EF, Polanyi mengatakan bahwa benturan antara sistem pasar
bebas dan masyarakat dapat mengarah pada kemungkinan fasisme. Hal ini
disinggung kembali di dalam Mystery of
Capital oleh Hernando de Soto. Pembabakan sejarah intelektual Polanyi ini
akan turut kita lihat juga terkait dengan posisi Polanyi sebagai ekonom
substantif secara diametral dengan ekonom formalis yang dekat dengan ide-ide
ekonomi neo-klasik pada karya Anumertanya, The
Livelihood Man.
Untuk melihat bagaimana Justinus sampai kepada apa yang disebutnya sebagai
Ekonomi Insani kita akan mencoba turun dari beberapa dasar premis pembentukan
istilah ini—yang masih terkait erat dengan pembabakan intelektual Polanyi.
Turunan umum dari gagasan penting Polanyi seperti dissembedded economy berasal dari Aristoteles (hlm.47). Aristoteles
membagi dua jenis sistem pertukaran yakni, pertukaran alamiah (natural exchange) dan pertukaran
tidak-alamiah (unnutural exchange).
Dua jenis pembagian Aristoteles ini sebagaimana yang akan kita lihat,
ditelusuri oleh Justinus di dalam kerangka pembentukan istilah Ekonomi Insani.
Gagasan tentang jenis pertukaran memperlihatkan kepada Polanyi mengenai
bagaimana sebenarnya sistem pra-kapitalis bekerja.
Menurut Justinus, terdapat dua indikator dari metode yang digunakan oleh
Polanyi. Dua indikator tersebut yang kemudian meletakkan Polanyi sebagai ekonom
substantif. Pertama, Polanyi mengajukan ekonomi substantif sebagai senjata
untuk melawan ekonomi arus utama dengan mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang
dibangun oleh ekonomi arus utama. Asumsi itu adalah masalah asumsi kelangkaan
dan asumsi pengejaran keuntungan. Polanyi mempertanyakan secara tegas mengenai
bagaimana sebuah kondisi dinyatakan sebagai “langka”, ketidakcukupan”?. Menurut
Polanyi asumsi-asumsi ini diturunkan dari postulat yang dibangun oleh ekonomi
formalis. Kedua, ekonomi substantif membuka celah untuk mengkritik ideologi
Hobbesian di dalam ekonomi arus utama.
Indikator metode tersebut digunakan oleh Justinus untuk mendefinisikan
Ekonomi Insani sebagai “...tidak meletak pada ketidakterbatasan keinginan dan
kebutuhan atau fakta kelangkaan, tetapi berakar pada proses sosial atau konteks
kultural” (hlm.47). Postulat mengenai kelangkaan dan keinginan yang tak terbatas
menurut Justinus adalah “menggambarkan distorsi kultural ketimbang fakta
alamiah”. Ketercerabutan ekonomi di dalam masyarakat berawal dari distorsi
kultural. Melalui distorsi kultural tersebut, ketercerabutan ekonomi dari
masyarakat berakhir dengan proses identik antara ekonomi dan pasar. Logika
pasar secara dominan menguasai alur kerja ekonomi. Sistem-sistem logika,
budaya, tradisi, politik—antropologi tidak masuk di dalam logika pasar. Dalam
hal ini Polanyi membantu diskursus kritik terhadap ekonomi arus utama dengan
mengintegrasikan antropologi ke dalam analisis perbandingan sistem ekonomi
(hlm.49).
Bagaimana jalan yang sedang diupayakan oleh Justinus untuk mengkritik
kapitalisme melalui metode ala Polanyi di dalam EI?. Jawabannya, pertama,
mengkritik kapitalisme yang selalu bersandar pada asumsi mengenai keterbatasan,
kelangkaan, dan keinginan manusia yang tidak terbatas. Sedangkan pada
kenyataannya, sarana, yang menjadi media untuk mencapai tujuan sebenarnya
adalah aras soal penentuan dan pilihan. Polanyi menyatakan bahwa soal
kelangkaan bukan pada ketidakcukupan sarana, sebagaimana yang diyakini oleh
ekonomi formalis, melainkan pada soal pengalihan sarana kepada alternatif yang
tersedia dengan mendasarkan asumsi pada Aristoteles mengenai manusia sebagai
makhluk yang secara kodrati cukup-diri (self-sufficient).
Cara ekonomi formalis mendefinisikan komoditas sama artinya dengan sebuah
proses dehumanisasi. Komodifikasi mencerabut manusia dari alam dan masyarakat
yang secara serius membangkitkan dua model di dalam gerak ganda; ekstensi dan
proteksi. Komodifikasi merampas materi yang tak terbatas, yang disediakan oleh
alam tanpa diproduksi, dan mengubahnya ke dalam logika sarana-tujuan. Dalam
aras tersebut, problematika mendasar kembali kepada daya beli masyarakat
terhadap komoditas.
Kedua, bangunan kritik Polanyi terhadap kapitalisme, menurut Justinus
adalah mengembalikan persoalan moral di dalam ekonomi tanpa terjebak—yang
disebut oleh Justinus sendiri yakni; Eisegesse. Pada titik ini, level institusi
ekonomi memerlukan landasan ideologi yang tepat bagi pembangunan negara yang
memperhatikan seluruh lapisan masyarakat.
Ketiga, Justinus melalui kritik Polanyi atas kapitalisme berupaya untuk
menunjukkan jalan awal proses rekonstruksi asumsi antropologis dalam ilmu
ekonomi. Ketercerabutan ekonomi dari tujuan asalinya adalah salah-satu penyebab
ekonomi formalis memainkan logika pasar sebagai domain utama pelandasan ekonomi.
Maka proses integrasi antropologi di dalam ekonomi adalah perihal penting untuk
membangun kritik dan pemecahan bagi kapitalisme.
Secara menarik, Marjin Kiri, sebagai penerbit buku Ekonomi Insani berkontribusi terhadap minat yang tinggi dari
khalayak atas pemikiran Polanyi. Penerbitan buku ini menurut Ronny Agustinus,
Redaksi Marjin Kiri, menjadi momentum gerbang awal bagi pembaca di Indonesia
untuk menunggu penerbitan kumpulan karangan Polanyi di dunia Internasional yang
akan dirilis dalam satu tahun ke depan di AS dan London. Selain itu, buku dapat
menjadi langkah awal untuk memahami perdebatan tanpa akhir antara Polanyi dan
Raymond Firth.
No comments:
Post a Comment