Oleh: Dharma Setiawan
Ketua Komunitas Hijau
Ribuan ‘kata’
berhamburan saat kampanye. ‘Kata’ menjadi jajanan strategis dalam
membantu proses
berlangsungnya gesekan politik yang kita rasakan. Anasir-anasir
yang muncul dalam
ruang ‘kata’ memiliki dampak negatif yang panjang.
Lebih-lebih di kota
dimana ‘kata’ memberikan janji-janji kesejahteraan
bersamaan dengan
jenuhnya kemiskinan, trotoar, kemacetan, sampah, baliho para caleg,
anak jalanan, dan
kota yang telah lama sesak nafas. Produksi ‘kata’ di tubuh
kota juga semakin
tak terbendung. Mereka-mereka yang memiliki kemampuan
‘berkata’ laku untuk
diperjualbelikan bersama dengan meriahnya ruang kampanye.
Ternyata ‘kata’
tidak mengenal bulan puasa, menahan diri atau menikmati
kekhusukan bulan
Ramadhan. ‘Kata’ terlalu liar untuk diatur. Setidaknya dipemilu
ini elit kita
mengambil jalan terjal dengan lalu-lintas kata yang keruh dan
becek seperti,
‘akurapopo, aku ora iso opo-opo, presiden boneka, sinting,
rakyat bodoh, potong
kemaluan, dan kata-kata liar lainnya’.
Filsuf Jerman Johann
Gottfried Herder melihat
kata-kata bermula sebagai imitasi dari teriakan hewan-hewan liar atau
burung. Ahli sejarah
linguis Max Muller (1861) menerbitkan daftar spekulatif
teori tentang asal
muasal kata/bahasa. Seperti teori bow-bow meniru suara hewan, pooh-pooh akibat interjeksi
emosional, ding-dong akibat getaran resonansi
alami, yo-he-ho
kata yang muncul
dari kegiatan kerjasama, dan ta-ta yaitu kata yang muncul secara manual.
Dari beberapa teori yang diungkapkan
Muller kata yo-he-ho
yang paling menarik, ‘yo-he-ho’ ibarat perpaduan
sehingga memunculkan tatanan bahasa yang indah. Hal ini bisa kita dapati pada
perpaduan bunyi benda-benda alam atau dalam masyarakat primitive isyarat untuk
bergotong royong. Dalam wajah modernis berkembang ke dalam alunan alat musik. Dalam
mitologi, ditemukan bahwa kata diajarkan Tuhan kepada Adam. “Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama benda seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada mara
malaikat” (Al-baqoroh: 31). Kemudian Adam mengejawantahkan sendiri sampai kepada
keturunannya yang memproduksi kata begitu banyak.
Kata dalam Kota
Di dalam ‘kota’
terjadi produksi kata yang masif. Komunitas urban membuat produksi
kata semakin
bergairah. ‘Kota’ terlalu serius merudapaksa kata menjadi jajanan
bak angkringan
dipinggir jalan, sedangkan desa terlelap nyaris tanpa diksi. Di Pemilu 2014 ini kota
bertaburan kata, semua orang berebut berkata, televisi, radio, facebook,
twitter, penyair dan yang tidak mungkin ketinggalan bahkan terdepan adalah
politisi yang memproduksi kata. Emha Ainun Najib (baca : Cak Nun) mengungkapkan
dengan puisi atas fenomena pemilu. Para politisi menabur kata dalam
baliho-baliho di ujung jalan. Cak Nun bersyair;
<p>aku melihat
wajahmu/menghiasi kota-kota dan desa-desa/terpampang sangat</p><p>besar/Diratusan
titik di jalan-jalan</p><p>besar/maupun di pelosok-pelosok/engkau
meminta agar aku mencontrengmu/dan aku</p><p>siap untuk itu, aku
siap mencontrengmu/tapi siapakah engkau ini? Kita belum</p>berkenalan/
Hanya sedikit kata
yang mampu memberi kewarasan kota saat musim-musim kampanye. Dan sastra memberi ruang
tersendiri dalam antithesis produksi kata para politisi.
Polusi kata dalam
kota adalah sampah yang berceceran dan hanya penyair yang
selalu membenahi
dalam sepi. Bahkan kota banyak para ulama, cendekiawan,
intelektual
menaburkan kecerdasannya untuk melegitimasi sarunya ‘kata’ musim
kampanye.
Ditengah berdesaknya ‘politik kata’, para penyair
berjasa dalam memberi kesadaran dengan kata sebagai bentuk alat perlawanan.
Pertarungan kata menjadi media sendiri bagi para politisi dan penyair. Di satu
sisi politisi dengan kata memberi harapan, impian dan masa depan yang
gilang-gemilang. Di sisi yang lain penyair dengan kata memberi kesadaran, realitas
dan bertahan dengan kenyataan. Sebagaimana WS Rendra
berucap;
<p>Allah!
Betapa Indahnya sepiring</p>nasi panas/semangkuk sup dan segelas kopi
hitam/.
Kuasa Sastra
Ironinya tidak
banyak rakyat kita yang mengobati diri dengan bertradisi sastra. Selalu
saja mereka menjadi
korban 5 tahunan, alat kesadaran tersebut bahkan semakin
hilang saat
mimbar-mimbar keagamaan dikotori oleh munculnya politisi. Di masjid, pesantren
bahkan lembaga pendidikan para politisi berhasil menyelonong memenangkan
pertarungan kata. Dalam sejarah Islam masyarakat memberi tempat tersendiri kepada
para penyair. Dengan itu pertarungan kata menjadi titik kesadaran bagi
masyarakat Mekkah saat Islam hadir. Tidak tanggung-tanggung para penyair mengagumi
bahasa Al-Quran yang mengandung sastra luar biasa. Kota Mekkah sebagai kota
penyair meninggalkan jejak-jejak kewarasan bagi umat Islam dan peradaban
manusia.
Sejarah juga
mencatat negara-negara yang menghargai sastra juga menjadi bangsa
pemenang. Jerman
contohnya setiap tahun 95.000 buku di cetak per tahun, terdapat sekitar 300
teater tetap, 130 orkes professional antara Flensburg di utara dan Garmich di
selatan, 630 museum seni rupa, 350 judul surat kabar. Mungkin juga tidak
banyak yang tahu seorang sastrawan yang menemani perjuangan Nelson Mandela
memperjuangkan hak asasi manusia melalui jalur politik African National Congress
(ANC) yaitu Nadine Gordimer.
Seorang Nelson Mandela membutuhkan narasi sastra Nadine dalam upaya memberi
legitimasi perjuangan dengan syair-syair yang menggugah. Dia Menulis cerpen,
novel dan esai. Berbagai penghargaan dunia dia raih dalam kerja besarnya
memperjuangkan keadilan bagi rakyat Afrika Selatan dan dunia. Nadine mengatakan tugas seorang
penulis adalah menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang tertindas di bagian
dunia manapun.
Kita juga mengenang
Pramoedya Ananta Toer yang tergabung dalam Lekra (lembaga
kebudayaan rakyat),
teriakan yang kita ingat dari Pram adalah “sastra untuk rakyat”. Sastrawan
besar abad ini yang tidak diakui di Indonesia tapi dipuja oleh berbagai negara
di dunia. Sebagai seorang penulis Pram mendukung ide-ide politik Soekarno dan
menempatkan sastra sebagai kerja-kerja sastra untuk membangun optimisme
revolusi. Dengan ‘kata’ ide-ide Tan Malaka menggerakkan semangat pemuda tahun
1925. Tercatat kualitas kata para pendiri bangsa ini memiliki kemampuan
sastra yang tinggi. Dengan ‘kata’ Soekarno membangun imajinasi yang
hampir mustahil saat itu. M. Hatta dan M Natsir pun tak mau kalah dengan
rajin menuliskan pengetahuannya di surat
kabar. Hadji Agus Salim, Sutan Sjahrir, DN Aidit, Sunjoto, Hamka,
Wahid Hasym mereka adalah orang-orang yang cerdas memainkan pena.
Ketika ‘kata’ mampu
menggugah ‘kota’—wadah bergumulnya kekuasaan—menjadi tempat
beradab dan memberi
tempat bagi kewarasan, di situlah kita semua mampu
membangun keadilan
yang sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Kata, kota dan
kekuasaan adalah
imajinasi panjang, pergumulan yang serius dan narasi yang
harus dimenangkan
oleh rakyat seutuhnya. Jika sastra dipenuhi oleh emosional
kekuasaan elit,
produksi kata bukan hanya mencemari kota, tapi dampaknya sampai
ke pelosok-pelosok
desa. Sebagai penutup kita mengingat kembali apa yang
diucapkan Rendra
dalam sajak orang orang miskin 1978.
<p>Orang-orang
miskin di jalan/yang tinggal di dalam selokan/yang kalah
di</p><p>dalam pergulatan/yang diledek oleh impian/janganlah mereka
ditinggalkan! Pada</p>akhirnya kemiskinan adalah perebutan symbol atas
kata, kota dan kuasa.
*( tulisan pernah dimuat di Lampung Post, 20 Agustus 2014. Tulisan ini sudah mendapat izin penulis untuk dimuat ulang di website ini.
No comments:
Post a Comment