Oleh: Fahri Salam
SETELAH sepuluh
tahun tak merilis novel,
sesudah novel perdananya Cantik
Itu Luka lantas dilanjutkan Lelaki Harimau, Eka Kurniawan
kembali dengan novel terbaru, dan boleh jadi terkejut bahwa isi novel ini bisa
Anda baca sekali duduk, bisa Anda bawa dalam perjalanan, dan kenyataan yang
lain: novel ini lebih menertawakan diri kita di hadapan karakter-karakter yang
berlagak jagoan.
Dengan melangkahi
pengaruh yang dominan dari Gabriel García Márquez (Cantik Itu Luka seperti Seratus Tahun Kesunyian; Lelaki Harimau mengingatkan pada Kronik Kematian yang Telah
Diramalkan), Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah
(setidaknya dibaca oleh saya) prosesi transisi (cara bercerita) Eka dari dua
novel sebelumnya. Seperti
Dendam lebih ketat dalam
plot, bahkan seakan-akan ia membayangkan tengah membangun sebuah pagar pembatas
untuk sekumpulan hewan ternak, dan untuk setiap hewan itu ia bangun lagi sebuah
pagar kecil. Jadi, ada cerita di dalam cerita, ada plot di dalam plot, ada
struktur di dalam struktur.
Eka memahami pola
García Márquez dalam teknik pembocoran cerita, dan itu muncul dari setiap bab
(tiap bab itu pendek saja), dan pada tiap bab ada dua atau kadang tiga jalur
cerita. Setiap bab juga dicacah ke dalam adegan-adegan terpisah. Itu tampak
Anda tengah memasuki sebuah rumah dengan sejumlah kamar dan setiap kamar ada
sejumlah bilik, dan di dalam bilik itu ada potongan rahasia yang akan Anda
temukan pada bilik lain di kamar yang lain. Pendeknya, struktur Seperti Dendam lahir dari pengaruh bacaan si
pengarang, dan hanya orang dengan bacaan yang luas dan beragam yang mungkin
berpikir semacam itu, dan kita tahu Eka tak sungkan menceritakannya lewat
jurnal pribadinya.
Sebagaimana kedua
novelnya, dan sering muncul juga dari cerita-cerita pendeknya, karakter yang
ditampilkan dalam Seperti
Dendam mengambil dari
orang-orang biasa, lahir di lingkungan pinggiran kota, yang dalam kamus politik
disebut "rakyat". Namun "rakyat" dalam kamus-cerita-Eka
adalah sejenis antitesa, yang terjebak dalam keadaan ganjil, dan dari sanalah
ia berusaha mengatasinya, atau seakan-akan ia telah memenangkannya. Kita bertemu
dengan Ajo Kawir, yang dalam tangga dramatis pada usia belasan akan mendapati
kemaluannya tak pernah bisa berdiri ("seperti beruang kutub yang harus
tidur lama di musim dingin yang menggigilkan"). Hal itulah yang menjadi
penggerak novel, persis sesederhana kita membayangkan bagaimana seandainya Anda
bangun di pagi hari mendapati tubuh Anda telah berubah menjadi serigala.
Ajo Kawir, dengan
berbagai cara biar burungnya kembali berdiri, gelombang humor yang selalu jadi
kemahiran Eka, menemukan dirinya bisa pula jatuh cinta pada Iteung (nama yang
mengingatkan pada pasangan si Kabayan dalam cerita rakyat Sunda), yang
malangnya pula si Iteung pun menyukainya. Ajo Kawir tahu persoalan dengan
burungnya bakal jadi perkara pelik, tapi Iteung setelah tahu hal itu malah
mengajaknya menikah. Mereka adalah pasangan yang bahagia, minus si burung Ajo
Kawir yang setia terlelap. Fase berikutnya, yang menjadi peralihan kisah novel
ini berkembang ke tahap di mana Ajo Kawir menemukan proses pendewasaan, saat
kemudian Iteung hamil, dan ia tahu tentu saja bahw ia bukanlah bapak dari janin
yang dikandung istrinya. Ajo Kawir minggat, sesudah ia membunuh seorang mantan
jagoan yang sudah tua dari satu perhitungan lama untuk melampiaskan amarahnya,
dan karena itu ia pun dipenjara, melanjutkan hidup dengan mengarungi jalan raya
sebagai supir truk pengangkut barang, melintasi jalur Pulau Sumatra dan Jawa.
Pembuka novel ini,
boleh jadi salah satu yang terbaik, dan akan diingat, meramalkan keseluruhan
kisah yang berpusat pada Ajo Kawir: "Hanya orang yang enggak bisa ngaceng,
bisa berkelahi tanpa takut mati."
Novel terbaru Eka
ini telah keluar dari bayang-bayang (pola cerita) García Márquez yang
terlalu kentara pada dua novel terakhirnya, kendati pula ia tak menghilangkan
pendekatan sebelumnya: kita bisa menemukan nama tokoh Jelita padahal mukanya
buruk seperti Cantik dalam novel pertama Eka. Cerita horor jadi selipan saat si
hantu menemani Ajo Kawir, sesuatu yang bisa Anda rujuk dari kecenderungan Eka
menyukai pengarang horor populer era 70-80an Abdullah Harahap. Kisah
jotos-jotosan telah mengangkat lagi pengaruh Asmaraman Sukowati Kho Ping
Hoo terhadap novel ini. Dan latar pinggiran, mengingatkan pula pada novel
kedua Eka, sekaligus memberinya konteks yang lebih urban: pinggiran Jakarta dan
sepanjang jalan Pantura. Psikologisme tokoh-tokohnya mengandung sisi Freudian:
seorang yang trauma pada masa kecil dan untuk mengakhirnya ia pun mesti
membalasnya. Bahkan bila dendam itu diperlukan lewat membunuh.
Bab kelima dalam
novel ini, dari delapan bab dan memugar plot yang tampaknya akan berantakan
bila Anda hilangkan salah satunya saja, adalah cerita pengungkapan yang brutal
sekaligus epik; sisi romantis dari humor gelap, bahwa burung Ajo Kawir yang tak
bisa tegang itu diparodikan dalam gambar burung di badan truk miliknya, dan
untuk lebih memberi kesan si sufi yang menanti Iteung keluar dari penjara,
meninggalkan anaknya di kampung, di atas gambar si burung mati itu ditulis,
"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas". Itulah juga bab yang
mengantarkan pembaca mengenal seorang bocah bernama Mono Ompong, si don
Kihote-nya Cervantes dalam novel ini, yang menjadi jagoan dalam pikirannya
sendiri. Ini juga bab yang ditutup perjumpaan Ajo Kawir dengan Jelita, sosok
yang kelak dikenalnya sebagai trauma masa lalunya yang mengembalikan si burung
berdiri lagi.
Novel pertama selama
sepuluh tahun terakhir Eka ini, dalam sisi yang lain, juga terlalu ringkas
untuk waktu yang sedemikian panjang itu. Dan, dalam banyak adegan juga lebih
berkesan serupa film, agak filmis, lebih sederhana dari Cantik Itu Luka,
psikologismenya kalah pelik dari Lelaki Harimau. Namun perbedaan
dari sanalah ada yang menjanjikan: strukturnya lebih kompleks, psikologisnya
muncul berupa tindakan-tindakan. Seperti
Dendam, rasa-rasanya, telah membungkam banyak novel yang beredar setahun
terakhir: novel yang terlalu menonjolkan sisi motivasi, novel yang kecanduan
pada tema seksulitas, novel yang menanggung misi advokasi, novel yang berpusat
pada tragedi sejarah. Ia menertawakan beragam jenis novel macam itu. Ini burung
(per)mainan si pengarang, yang kebetulan, berlagak Freudian.*
Sumber: https://www.facebook.com/notes/fahri-salam/seperti-dendam-burung-permainan-freudian/10152496542610087
No comments:
Post a Comment