Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK
Perkembangan mengenai proyeksi dan visi gerakan
intelektual tidak berada dalam ruang vakum. Perkembangannya selalu mengalami
benturan yang khas dengan berbagai macam varian. Menganalisa perkembangan
proyeksi dan visi gerakan intelektual akan menyeret banyak hal dasariah. Tulisan
ini akan mempersoalkan salah-satu kecenderungan utama dari visi semu pendekatan
romantisme di dalam pengembangan formulasi gerakan intelektual. Tentu saja,
gerakan intelektual yang penulis maksudkan di sini adalah gelombang mobilisasi
massa pasca-strukturalisme. Ada ciri yang menarik dari gerakan
pasca-strukturalisme. Pertama adalah proses mistifikasi subjek radikal. Proses
mistifikasi ini berjalan sesuai dengan kecenderungan untuk menghapuskan subjektivitas
dengan kebenaran. Penghapusan otoritas subjek berakibat pada keberhasilan
membunuh ide metafisika—daya spiritual—sebagaimana Derrida mentenggarai
penyebab dukungan Heidegger terhadap Nazi. Kedua adalah berkembangnya
kecenderungan untuk mereduksi konflik sosial sebagai persoalan simbolis belaka.
Konflik diskriminasi dan kekerasan akhirnya berakhir pada konsolidasi elit dan
membuahkan kebijakan serta strategi dalam paradigma emansipasi hanya berhenti
pada model deklaratif. Kecenderungan terakhir ini membuat paradigma emansipasi
menjadi ladang baru bagi proyek-proyek intelektual di dunia ketiga. Ketiga
terjadi proses ketercerabutan basis-basis materialisme di dalam ilmu
pengetahuan yang selama ini digunakan oleh gerakan intelektual. Setelah
perlawanan sengit dengan dikotomi dari empirisme, gagasan berhenti pada model
Derridean. Tentu saja, gerakan
intelektual ini kemudian memproklamirkan distingsi naif antara yang realistis
dan yang otentik. Dalam konteks ini, ontologi gerakan ini bersandar pada
postulat kekeliruan besar mengenai kesucian ilmu pengetahuan dan keterbatasan manusia.
bagi mereka, kesadaran adalah tema utama dari gerakan intelektual, yakni
memberikan semacam kesadaran kepada masyarakat yang diasumsikan tidak
tercerahkan. Pada kenyataannya, kondisi demikian memang memberikan kesempatan
bagus untuk membangun formasi gerakan intelektual yang ril bagi proyek-proyek
emansipasi, tetapi menyimpan permasalahan laten.
Tetapi seperti yang sudah nampak dari beberapa
perkembangan gerakan intelektual yang sedang dirintis oleh kalangan universitas
terjebak pada romantisme. Gerakan intelektual ini mencoba merumuskan dunia dan
perjuangan emansipasinya bukan untuk manusia melainkan untuk proyeksi adiluhung
seperti memperjuangkan ilmu sebagai bagian yang harus dimasuki oleh manusia
bukan sebaliknya. Perjuangan gerakan intelektual ini menempatkan ilmu sebagai
sumber pemecahan masalah manusia. tetapi kalau merunut menggunakan sejarah
material, sudah ada tanda-tanda bahwa perjuangan mendekati satu abad itu tidak
berbuah sebagaimana yang dirasakan pada awal kebangkitannya.
Gerakan Intelektual
dan Kapitalisme
Gerakan intelektual bukan agen utama untuk
mengkondisikan kapitalisme hidup dan menyesuaikan diri pada lingkungan yang
baru. Tetapi dalam banyak hal, gerakan intelektual menjadi ladang
penyesuaian-penyesuaian kapitalisme. Proses demikian terjadi bukan karena
kapitalisme masuk ke dalam agenda-agenda gerakan intelektual tetapi masuk
melalui keyakinan gerakan intelektual pasca-strukturalisme yang mengaburkan
antara basis epistemologi dan ontologi. Kritik keras terhadap hal ini dapat dimulai
dengan memperhatikan kritik marxian terhadap marxian yang lain, atau lebih
tepatnya kritik terhadap marxian kontemporer terhadap Marxian-Hegelian yang
kental dengan Doktrin Relasi Internal seperti Bertell Ollman. Di Indonesia,
perspektif marxian kontemporer dibangun oleh Martin Suryajaya melalui buku
berjudul Materialisme Dialektis (2012).
Kecenderungan psikologisme dalam gerakan intelektual
yang mengembalikan kenyataan “sekedar” sebagai problema realitas berakibat pada
kesimpulan yang disederhanakan dalam tataran ontologi-epistemologi. Akibat
paling nampak dari kekaburan basis ontologi dan epistemologi ini dalam agenda
gerakan intelektual dapat terlihat dari tindakan sarkastik terhadap konsep
kapitalisme. Perjuangan emansipasi akhirnya dilihat sebagai bagian dari agenda
intelektual muda yang belum mengenal realitas. Kajian-kajian mengenai
kapitalisme direduksi sekedar pengejaran hasrat intelektual muda. Padahal,
konteks kontemporer terhadap beragam tesa kemunculan fenomena sepeti korupsi,
ketimpangan sosial dan kekerasan serta diskriminasi banyak berputar dan
terjebak pada analisa simbolisme yang bukannya menyatakan bagaimana cara
terbaik untuk menghasilkan solusi tetapi menjadi “tesis penangguhan”. Bagi
penulis, ini adalah salah-satu penyebab mengapa ada tuduhan terhadap kelompok
intelektual sebagai tangan pembenar represi kapitalisme (bukan negara
sebagaimana yang dituduhkan selama ini) bagi rakyat. Kapitalisme berkembang
justru ditopang oleh ketersediaan intelektual menara gading yang jumlahnya dibatasi
sehingga menjaga ketersediaan rakyat dengan kemampuan-kesadaran praxis yang
pada awal kemunculannya berfungsi sebagai buruh sedangkan pada masa ini
berfungsi sebagai produsen kecil sekaligus konsumen. Kelompok rakyat ini
dipaksa untuk mengeluarkan kemampuan berwirausaha dengan bantuan negara
sekaligus dimanfaatkan untuk membantu PDB. Dari agenda ini, ekonomi kreatif
yang didukung oleh gerakan intelektual melalui representasi komunitas
epistemiknya masing-masing atau melalui akademisi universitas memberikan
dukungan utuh atas nama kreatifitas. Tetapi sebagaimana kritik dari lapangan
seni realisme, hasil akhir dari babak ini adalah kecenderungan seni kreatif
pragmatik karena rakyat didorong untuk ikut bertanggungjawab atas kegagalan
pemerintah dan swasta yang menghancurkan bidang manufaktur dalam pertanian dan
perkebunan serta sumberdaya kelautan—dan tentu saja—migas dan non-migas.
Materialisme
sebagai Basis
Posisi intelektual sebenarnya adalah melawan
kecenderungan kehadiran Doktrin Relasi Internal menggunakan materialisme di
dalam agenda-agenda keilmuan yang dirintis. Terdengar janggal bagi sebagaian
intelektual dari lapangan pasca-strukturalisme mengenai kehadiran materialisme
sebagai basis di dalam agenda gerakan intelektual untuk melawan Doktrin Relasi
Internal. Alasan yang paling memungkinkan adalah kesadaran mengenai
ketidaksesuaian materialisme dengan kondisi temporer paradigma keilmuan. Alasan
ini sebenarnya terdengar seperti dongeng dan mitos ditengah kepentingan kita
bersama untuk mempelajari dengan cermat penyebab dehumanisasi di dalam aras
yang sekarang dinarasikan secara cantik melalui agenda-agenda buntu gerakan
intelektual transendensi. Gerakan ini tentu saja hanya memikirkan tentang
kerangka pembentukan ilmu yang lepas dari konteksnya dengan masyarakat. Hal
yang sama terjadi ketika aras ekonomi tercerabut dari integrasinya dengan
lapangan antropologi. Akhirnya kita melihat agenda-agenda yang dijalankan
terkesan berputar kepada kepentingan ilmu sebagai dirinya sendiri. Eksistensi
manusia sebagai pegulat dan aktor dialektis tercerabut dengan alasan yang tidak
dapat diterima. Manusia dan dialektika yang dikembangkannya dianggap melawan
narasi progresif. Berlawanan dengan fenomena empirisme di dalam ilmu yang
banyak mendasarkan diri pada keadaan yang terinderawi, gerakan intelektual yang
menggaungkan ilmu sebagai kesucian sekarang sampai pada tahap yang lebih
mengerikan karena melangkahi kesakralan lainnya. Gerakan ilmu seperti ini tidak
menempatkan manusia sebagai aktor yang menyentuh ilmu karena dianggap akan
memberikan kejumudan. Manusia, ilmu dan alam adalah garis dialektika yang utuh.
Memposisikan salah-satu sebagai yang dominan atas yang lainnya adalah
kekeliruan fatal. Ilmu adalah bagian integral yang akan menyatu dengan manusia
dan alam, bukan sebaliknya.
No comments:
Post a Comment