Monday, June 13, 2016

Tinju

Oleh Lutfi Zanwar Kurniawan

Lama rasanya tak membaca esai-esai renyah Emha Ainun Nadjib. Esai yang kerap menyajikan peristiwa harian yang luput dari tangkapan. Dan Emha berhasil memotretnya, menuliskannya dengan gaya yang terkadang jenaka, di lain waktu liris kontemplatif. Bacalah kumpulan esainya dalam buku Markesot Bertutur, di sana akan kita temukan campuran gaya itu.

Satu hal yang kerap saya temukan ketika membaca esai-esainya, selain gaya yang saya sebut di atas. Emha adalah esais yang mampu menangkap kemudian menampilkan realitas dalam tulisannya di luar kerangka rutinitas. Realitas yang ia tampilkan hampir selalu realitas dengan multi wajah, sehingga melahirkan beragam pemahaman dan pemaknaan. Realitas olahraga tinju misalnya. Melalui baku pukul dua manusia di atas ring Emha mampu memberi makna dan mengaitkannya dengan penindasan dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang diterima rakyat kecil.

Dunia tinju adalah dunia yang penuh kontroversi. Jika ada petinju sakaratul maut atau bahkan meninggal di atas ring akibat terkena hantaman lawan. Segera saja muncul di berbagai media analisis pakar dan pengamat dunia pertinjuan. Mereka berdebat, berpolemik, yang tak setuju tinju mengatakan bahwa olahraga ini tak manusiawi, menganggap manusia layaknya hewan yang diadu dijadikan tontonan. Yang setuju mengatakan tak ada yang salah dengan tinju, toh para petinju sudah mengerti konsekuensi yang mereka hadapi apa. Mereka jiga dibayar untuk itu, dan ada peraturan ya g ketat di dalam olahraga ini. Sakaratul maut atau kematian petinju adalah insiden bagi mereka yang setuju.

Lalu sebaiknya bagaimana sikap kita terhadap tinju? Kita semua terseret ke dalam perdebatan abadi itu tanpa pernah tahu kapan pernah selesai. Keterseretan kita, kesulitan kita menemukan ketepatan-ketepatan dalam mengambil sikap dikarenakan kita memandangnya sebagai pengamat dari jarak yang terlampau jauh. Itupun hanya dari media, dari koran, dari tivi tidak ikut bertungkus lumus, menceburkan diri, mengalami sendiri realitasnya.

Emha menceritakan suatu kali pernah menjadi ofisial darurat seorang petinju kelas ayam sayur. Petinju partai tambahan empat ronde yang setiap ronde petinju akan dihonori sebesar sepuluh ribu rupiah. Kalau petinju ndlosor di ronde pertama, ya sepuluh ribu saja perolehannya. Petinju kelas ayam sayur itu menang. Tetapi kemenangan itu membuat Emha menangis. Sebab, lawannya juga seorang suami miskin dengan istri dan dua anaknya yang menunggu di rumah. Tentunya tindakan yang ideal adalah memberinya pekerjaan di luar tinju. Akan goblok dan sadis kalau kita mengatakan kepadanya bahwa tinju itu biadab, memukul orang itu haram.

Karena kita selama ini mengetahui realitas itu dari koran, tivi yang pasti telah melalui proses pembingkaian. Sehingga kita tak pernah benar-benar tahu realitas yang lebih utuh seperti apa. Kita tidak akan pernah mengetahui mayoritas petinju yang nasibnya sekedar untuk pancikan (batu pijakan) para petinju top. Demi menghidupi keluarga mereka, anak dan istri yang menunggu di rumah.

Bertinju di ring masih lumayan moralnya. Mereka saling pukul dan dipukul karena suatu akad yang telah disepakati bersama. Ada yang "bertinju" lebih kejam dari itu, yakni mekanisme orang ditinju, dipukul, dan disakiti dalam berbagai bidang tanpa orang itu rela disakiti dan tak memiliki "kewajiban" apapun disakiti. Mereka yang disakiti juga tidak dilengkapi oleh "peralatan" atau instrumen dan "jurus-jurus" untuk melawan balik. Kecuali dengan protes.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK