Monday, June 13, 2016

Refleksi URAT, Universitas Rakyat RBK

[Lutfi Z Sandiah]

Seorang terpelajar yang ditumbuhkan dari dunia pendidikan formal tanpa terlibat di komunitas dengan yang terlibat di komunitas tentu sangat berbeda hasilnya. Sarjana yang tak terlibat cenderung menganut, menyalin, menyerap kaidah-kaidah ilmu yang diberikan. Sebaliknya mereka yang terlibat di komunitas akan mencari jati diri dan mengembara di tengah belantara keilmuan. Mereka relatif lebih merdeka menerobos, slulup (menyelam) ke dalam berbagai ragam aliran sungai ilmu. Jurusan yang diambil tak akan menjadi pembatas ruang geraknya untuk berkelana menerabas batas disiplin keilmuan yang terkotak-kotak.Hal ini cenderung berkebalikan dengan mereka yang hanya berdiam diri di kampus.

Tidak adanya kewajiban seseorang untuk terlibat di komunitas, mereka relatif lebih berkesempatan menjadi murid. Murid itu kata subjek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya, seseorang yang berkehendak. Seseorang menjadi subjek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup. Ia mempelajari apa-apa yang menurutnya penting. Dengan kata lain seseorang itu menyusun sendiri kurikulumnya. Berbeda dengan sekolah, kuliah, belum tentu seseorang itu menghendakinya. Terkadang karena adanya sistem sosial yang menekan, memberikan cap buruk pada mereka yang tak sekolah, tak kuliah. Apalagi jika jurusan kuliah itu dipilihkan dan diharuskan orang tua walaupun tak dikehendakinya. Jurusan diambil hanya atas dasar pertimbangan lulusannya laku di pasaran. Sudah sekolah, sudaj kuliah lantas datang ke kelas dalam kondisi pasrah bongkokan dan mulutnya menganga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang telah disediakan. Orang-orsng itu lebih pantas disebut murad, seseorang yang dikehendaki.

Proses pematangan seseorang pada dasarnya merupakan urusan soliter. Pematangan itu merupakan proses terus menerus yang tak akan pernah selesai. Oleh sebab itu dibutuhkan suasana dan lingkungan yang memerdekan seseorang untuk mengembara mencari jati dirinya. Lingkungan tak bisa mendikte, seharusnya cukup menyediakan anasir-anasir yang menumbuhkan suasana yang kondusif bagi seseorang untuk berproses mematangkan dirinya. Lingkungan menyediakan Lawang Sewu (seribu pintu), seorang boleh dan keluar melalui pintu manapun. Konsep Lawang Sewu memberikan kesempatan untuk memasuki banyak pintu. Menjajal berbagai ragam disiplin ilmu. Konsep ini tidak mengurung dan memerangkap seseorang dalam situasi yang mengasingkan dirinya dari realitas.

Sehingga kelak yang lahir bukan seseorang dengan cara pandang dan cakrawala fakultatif. Memahami sesuatu secara sektoral, parsial, dan sempit. Umpanya jika seseorang disodori makanan, lalu ditanya, "apa ini?" Paling-paling jawaban seseorang dengan cakrawala dan pandangan fakultatif sektoral hanya menjawab sejauh yang dilihatnya. "Itu pizza. Ini burger. Itu gudeg. Itu ayam goreng." Mereka tidak mampu menjawab itu mula-mula hasil kerja petani yang diproses lebih lanjut  melalui mekanisme-mekanisme  pengolahan pangan. Ada peristiwa sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tak sanggup mereka jangkau.

Dibanding kampus, komunitas relatif lebih bisa menyediakan Lawang Sewu. Sebab ruang geraknya lebih fleksibel karena tak dituntut oleh berbagai macam aturan birokrasi dan administratif. Memang komunitas tetap punya aturan, punya nilai yang dijunjung tinggi, kekhasan-kekhasan dalam bergerak. Namun semua hal itu sekedar bahan dan masukan yang memperkaya. Seseorang yang terlibat di dalam komunitas sendirilah yang mengatur dan menguasai nilai, aturan, dan kekhasan bergerak itu dalam dirinya sendiri.


No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK