David Efendi
Judul buku : Cendekiawan dan Politik
Penerbit : LP3ES, Jakarta
Tahun
terbit : 1983,
Hal : xxvi+340
Sangat penting untuk memperlihatkan
kekuatan buku ini dari sisi penulis. Dapat saya sebutkan kontirbutor buku yang
diterbitkan tahun 1983 ini antara lain: Muhamamd Hatta, Taufiq Abdullah, selo
Soemardjan, Soejatmoko, Nurcholis Madjid, Wiratmo Soekito, Harsja W. Bachtiar,
Y.B Mangunwijaya, Alfian, Arief Budiman, Dorodjatun-Kuntjoro Jakti, dan juga
dua indonesianis Herry J Benda dan
Edward Shils. Jika dilihat kapasitas penulis, karya ini pastilah buah pikiran
terbaik anak bangsa.
Dari sekian penulis hebat dalam buku ini di awali membincang
konsep intelektual yang selalu beririsan jika tidak dibilang sama dengan
definisi intelegensia, cendekiawan, kaum terdidik, kaum cerdik pandai.
Kelebihan dari para penulis di sini adalah daya kritis yang luar biasa ikhwal
memahami apa dan siapa itu intelektual.
Dari beberapa karakteristik kelompok
intelektual atau cendekiawan ini antara lain; (1) Kebebasan berfikir; (2)
idealisme dan penghargaan terhadap proses;dan terakhir adalah (3)keberpihakan.
Inilah peran-peran yang menjadikan kelompok ini punya potensi untuk andil dalam
upaya melakukan transformasi sosial secara damai. Sebaliknya, apabila
peran-peran ini tidak dilakukan maka yang terjadi adalah apa yang disebut
dengan pelacuran intelektual, penkhianatan intelektual (Benda, hal.),
intelektual salon (hlm.), intelektual aksesoris, tukang sulap intelektual
(intelectueel jongleur), intelektual pengasong dan julukan lainnya.
Dari tiga karakter itu dapat
dijelaskan lebih jauh. Pertama, kemampuan menalar secara bebas dan mampu
berfikir diluar meanstream merupakan keunggulan kaum intelektual sebagaimana
yang disimpulkan oleh Soemardjan di salah satu bab buku ini. Mengacu pada
difinisi Oxford advanced English learners’ dictionary, bahwa intelektual
artinya orang-orang yang mempunyai daya nalar yang baik (reasoning power) dan
tertarik pada hal-hal yang ruhani (thing of mind) atau keindahan kesenian.
Salah satu pembeda intelektual dengan non intelektual adalah kemampuan berfikir
bebas yang bertolak belakang dengan jenis manusia yang hanya mengikuti arus
kelaziman, arus besar. Nalar kebebasan ini menjadi habitus, dijaga dan dipelihara
sebagai nilai-nilai.
Kedua, mengenai idealisme dan proses
tranformasi sebagai bagian penting kaum cendekiawan dapat kita kutip dari
pandangan Soedjatmoko dibawah ini:
“…dalam
pekerjaan kaum intelektual bukan sukses yang terpenting…Seorang yang menghargai
nilai-nilai kebebasannya, menentukan dirinya sendiri oleh dirinya sendiri.
Suatu perjuangan mungkin akan gagal, karena, tujuan perjuangan yang
bersangkutan tersebut tidak tercapai. Akan tetapi kegagalan itu tidak dengan
sendirinya menghapuskan cita-cita yang diperjuangkannya, yang telah ditentukan
dirinya sendiri. Belum tentu seorang yang sukses dalam hidupnya dapat
menghayati nilai-nilai kebebasan.” (hal.xv)
karena titik tolaknya kebebasan maka
kaum intelektual ini lebih dapat dan cocok dikatakan sebagai generalist dari
pada specialist.
definisi yang sangat menarik
menjawab siapa cendekiawan dapat dikutip dari
Lewis Coser (1976) bahwa cendekiawan adalah manusia ‘yang kelihatannya
tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya….mereka mempertanyakan
kebenaran yang berlaku pada saat tertentu, dalam hubungannya dengan kebenaran
yang lebih tinggi dan lebih luas.” Artinya, sebenarnya golongan ini taka da
hubungannya dengan capaian gelar akademik. Siapa saja dapat menjadi intelektual
jika terus menerus melakukan pencarian atas suatu persoalan dan solusinya
(kebenarannya).
Kaum intelektual seperti ini dapat
terdiri dari sastrawan, seniman, dan tokoh informal, atau lainnya.
Perjuangannya bukan tanpa haling rintang. Potensi bahayanya golongan ini telah
menjadi perhatian tersendiri bagi para penjajah di era colonial, termasuk, di
Indonesia. Pembungkaman sistemik, penghilangan panggung para kritikus dapat
dilakukan bahkan oleh rezim demokratis sekalipun. Karenanya, menurut Sumiskum
(hal.321-322), seorang cendekiawan harus mengerti seni berpolitik, seni
bernegosiasi.
Kaum intelektual tak punya kekuasan
efektif karena di kutup lain kaum teknokrat dengan dalih modernisasi memegang
kekuatan politik efektif. Munculnya
fenomena, meminjam Bahasa Jean-Marie Domenach, ‘ dunia teknologi modern’ telah
menegasikan dan menggusur kaum intelektual dalam ruang publik. Bentuk
perlawanan baliknya hari ini bisa dilihat dari munculnya gerakan ‘intelektual
public.’ Kita bisa saksikan, di hampir semua Negara sedang berkembang
menuhankan ‘teknokratisisme’ sebagai ideology pembangunan. Padahal faktanya, di
Negara-negara ini masih subur nilai-nilai ruhaniah, nilai-nilai kemanusiaan
yang berbeda dengan mesin.
Dalam kehidupan politik juga
mengalami teknikalisasi sebagaimana yang disinggung Nurcholis Madjid, orang
lebih fokus pada demokrasi dan penerapannya sebagai system dan bukan
konsentrasi pada upaya pemenuhan keadilan sebagai subtansi. Demokrasi sibuk
dihitung indexsnya, sibuk dikomparasikan dan disyukuri-dipestakan tetapi lupa
bahwa ada ratusan juta manusia sedang tak dibela oleh demokrasi dalam kehidupan
sehari-hari.
No comments:
Post a Comment