Oleh:
Helmi Mustofa, Staf pada Progress Jogja, Sekretariat dan Manajemen Emha Ainun Nadjib serta Kiai Kanjeng
Sungguh
menyedihkan bila melihat koleksi buku atau dokumentasi fisik akhirnya rusak
termakan rayap atau terbuang akibat minimnya kepedulian orang-orang sekitar
atau generasi sesudah. Padahal buku-buku itu boleh jadi sangat bernilai.
Buku-buku itu mungkin adalah karya para pemikir terkemuka yang turut mewarnai
semesta peradaban umat manusia. Pun dokumentasi itu sebenarnya menyimpan
catatan atas pelbagai peristiwa yang dapat menyelamatkan kita dari lupa. Masih
beruntung jika buku atau dokumentasi itu jatuh di tangan orang yang peduli akan
aset intelektual dan budaya. Tetapi jika tidak?
Itulah
salah satu alasan di balik lontaran ide Kelik M. Nugroho (Selanjutnya disebut
Kelik) tentang perlunya taman bacaan koleksi tokoh (Koran Tempo, Minggu dalam
rubrik Ide, 24 Maret 2013). Dalam tulisan bertajuk “Taman Bacaan Koleksi Tokoh”
itu, Kelik M. Nugroho juga menyinggung tentang nasib koleksi
sastrawan-dokumentator Ragil Swarna Pragolapati (selanjutnya disebut Ragil),
seangakatan dengan budayawan Emha Ainun Nadjib (Selanjutnya disebut Emha, atau
EAN), yang hilang misterius di pantai selatan Parangtritis Bantul. Sejak
“hilang”, koleksi Ragil berupa buku, majalah, jurnal, lampiran, kliping atau
bundel dokumentasi lainya tidak jelas nasibnya.
Kesadaran
mendokumentasi dan menyelamatkan buku atau dokumentasi memang harus terus
digemakan. Di komunitas Emha Ainun Nadjib pun hal serupa telah lama disadari,
terlebih dengan kini telah dibuka Perpustakaan EAN di Jalan Barokah 287
Kadipiro Yogyakarta. Isi pertama dan utamanya adalah koleksi buku milik Emha.
Misalnya, buku yang dibawa sepulang dari menjadi tamu negara saat mengikuti
International Writing Program di Iowa City pada 1981, serta sepulang mengembara
di Eropa. Dari koleksi itu, kebanyakan bertema sastra dan kebudayaan, terdapat
buku berkualitas seperti The Rebel-nya Albert Camus, An Autobiography: The
Story of My Experiments with Truth-nya Mohandas K. Gandhi, Beyond Welfare
State-nya Gunnar Myrdal, dan The Nature of Mass Society-nya John Kenneth
Galbraith.
Biasanya,
setiap kali mendapatkan buku dari panitia acara, kolega, atau penulisnya
sendiri, Emha segera menyerahkannya ke Perpustakaan EAN untuk disimpan dan
dirawat. Dan manakala diperlukan, baru dipinjamnya. Cara ini membuat buku
tersebut yang sebenarnya merupakan koleksi pribadi langsung “disosialkan”,
sebab buku ini kemudian akan dibaca oleh siapa saja yang berkunjung ke sekretariat
atau ke Perpustakaan EAN.
Selain
buku, baik yang merupakan koleksi lawas maupun baru yang datang kemudian, di
Perpustakaan EAN ini juga tersimpan lebih dari 1300-an judul kliping media
massa yang berisikan berita terkait kegiatan Emha, resensi buku atas karya
Emha, wawancara media dengan Emha, dan lain-lain. Belum termasuk dokumentasi
tulisan Emha sendiri di pelbagai media massa. Sementara itu, dokumentasi audio
visual jumlahnya terus bertambah. Kaset pita yang merekam ceramah Emha berkisar
1400-an. Sementara jumlah kaset video acara Emha-KiaiKanjeng dalam maupun luar
negeri mencapai 1261 kaset. Belum lagi foto digital yang sudah mencapai 74.667
file.
Dalam
konteks komunitas, perpustakaan EAN ini merupakan salah satu unit di antara
unit-unit yang ada di Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib. Rumah Budaya EAN sendiri
dikonsep untuk menampung dan merealisasi gagasan-gagasan di bidang kesenian,
kesusastraan, dan kebudayaan. Selain itu, ia juga diniatkan untuk memperkaya
titik-titik kreatif di lingkungan Yogyakarta khususnya. Pertengahan bulan lalu,
di Rumah Budaya EAN digelar reuni dan ulang tahun Persada Studi Klub yang
diasuh Umbu Landu Paranggi di Malioboro pada 1970-an.
Sebelum
dibuka untuk umum, Perpustakaan EAN telah melayani para peneliti yang sedang
meneliti karya, pemikiran, dan kiprah Emha Ainun Nadjib. Karenanya, salah satu
koleksi Perpustakaan EAN adalah karya-karya ilmiah seputar Emha dari para
peneliti tersebut.
Koleksi Ragil
Seperti dikatakan Kelik ihwal nasib koleksi buku dan dokumentasi Ragil, tampaknya perlu disyukuri tak semua koleksi tersebut lenyap. Di Perpustakaan EAN sebagian (besar) koleksi itu tersimpan dengan baik, meskipun beberapa telah tergerus rayap, robek, atau lepas sampulnya. Ceritanya, kira-kira pada 2009 lalu, Bu Menik, istri Ragil, menyerahkan dan mempercayakan dokumentasi sang suami kepada Emha Ainun Nadjib untuk dirawat dan dimanfaatkan. Kini, koleksi tersebut telah menempati salah satu sisi di ruangan perpustakaan EAN.
Koleksi Ragil
Seperti dikatakan Kelik ihwal nasib koleksi buku dan dokumentasi Ragil, tampaknya perlu disyukuri tak semua koleksi tersebut lenyap. Di Perpustakaan EAN sebagian (besar) koleksi itu tersimpan dengan baik, meskipun beberapa telah tergerus rayap, robek, atau lepas sampulnya. Ceritanya, kira-kira pada 2009 lalu, Bu Menik, istri Ragil, menyerahkan dan mempercayakan dokumentasi sang suami kepada Emha Ainun Nadjib untuk dirawat dan dimanfaatkan. Kini, koleksi tersebut telah menempati salah satu sisi di ruangan perpustakaan EAN.
Ratusan
jilid tebal dokumentasi kegiatan sastra pada tahun 70-80-an tertata rapi. Di
dalamnya ada surat-menyurat Ragil kepada para kolega, surat kepada redaktur
media massa, dokumentasi suatu acara semisal temu sastra, dokumentasi
perdebatan, lembaran publikasi acara kesenian, lembar keputusan dewan juri
lomba menulis puisi, undangan dari pelbagai pihak, puisi atau karya sastra yang
dikirimkan oleh penulisnya kepada Ragil. Menariknya, undangan resepsi
pernikahan hingga amplop surat bertempel perangko juga masih tersimpan. Dan yang
pasti koleksi karya-karya Ragil sendiri dalam bentuk ketikan manual meliputi
cerpen, puisi, dan artikel beragam tema, maupun karyanya yang telah
diterbitkan, misal oleh penerbit Pustaka Jaya, berjudul Melawan Hantu dan
Hikayat Sidharta Gautama. Karyanya yang lain adalah Serial Joko Thole berjudul
Kuda Garang di Bumi Gersang terbitan Puspa Rinonce pada 1976. Di samping itu,
terdapat pula jilidan majalah, jurnal, bulletin, dan koran pada masa itu.
Barangkali
sulit diketahui persis jumlah koleksi dan dokumentasi Ragil, tetapi setidaknya
yang masih ada dapat diselamatkan, dan selanjutnya bisa dimanfaatkan untuk
berbagai tujuan. Dokumentasi Ragil tersebut sesungguhnya berbicara banyak
tentang episode sejarah dan tradisi intelektual yang selayaknya diketahui generasi
saat ini. Betapapun generasi sekarang memiliki zamannya sendiri, tetapi
kesadaran akan kesinambungan sejarah tetap perlu dijaga, dan perpustakaan dapat
menjadi salah satu sarananya.
*Dimuat di Kolom IDE, Koran Tempo Minggu 7 April 2013
sumber : http://www.facebook.com/notes/buletin-mocopat-syafaat/perpustakaan-dan-sadar-dokumentasi/10151313453571739
No comments:
Post a Comment