Minat
baca kita menurun. Begitu sebagian orang mengungkapkan opini. Khususnya di
media massa. Benarkah? Saa akan menyangsikan hal itu bila pergi ke toko buku
atau pameran buku.
Di
toko buku satu lapak saja dikeremuni orang yang tengah memilih-milih buku. Buku
yang digelar pun begitu beragam; satu lapak saja berisi ratusan buku baru dari
pelbagai penerbit. Itu bisa jadi indikator: dunia penerbitan buku masih sangat
eksis.
Pada
suatu pameran buku, orang datang dan pergi. Tak ada stan yang tak pernah
disambangi pengunjung. Tempat parkir pun selalu penuh. Hal itu bisa dijadikan
tenggara antusiasme orang datang ke pameran buku. Entah membeli atau tidak,
juga sebagai indikator minat baca. Kalau mereka hanya membeli untuk menumpuk,
mengoleksi atau hanya gengsi-gengsian, itu perkara lain. Namanya juga
indikator, kevaliditannya baru bisa dibuktikan lewat penelitian terpercaya.
Namun
indikator yang saya paparkan pun bisa dibantah. Lebih-lebih bila bantahan itu
disertai premis bahwa buku mahal, maka hanya yang berdaya beli yang mampu
membeli. Dan berdaya beli bisa jadi tak sebanyak yang tak berdaya beli.
Pengusung
opini kemenurunan minat baca barangkali menyodorkan kenyataan bahwa kita, juga
anak-anak kita, lebih suka memelototi televisi atau bermain-main gadget
ketimbang membaca huruf-huruf di atas lembaran kitab. Oke, kita bisa berdalih;
ini zaman internet, dan bacaan tak selalu berasal dari buku. Kita bisa mencari
informasi, pengetahuan atau bahan bacaan kajian secara daring. Saya tak
membantah itu sebab lewat internet, hampir selalu bisa kita temukan versi
digital dari buku yang tercetak.
Namun
apa yang kita lakukan saat berinternet?, facebook-an, twitter-an, atau
blog-walking. Meski memiliki manfaat, saya tetap menyangsikan aktifitas itu
secara langsung berkait dengan minat baca.
Ya,
bisa jadi internet dan televisi memiliki andil terhadap kemenurunan minat baca
kita. Itu pula yang menjadi dasar gerakan literasi atau kemelekhurufan selama
beberapa tahun ini. Nama Gola Gong pantas disebut sebab bersama beberapa orang
dia melahirkan gerakan “Gempa Literasi” yang intinya berkeinginan meningkatkan
minat baca masyarakat.
Selanjutnya
muncul taman bacaan masyarakat (TBM) di banyak tempat. Yang menarik, penggagas
atau pendiri TBM adalah perseorangan atau kelompok. Ada upaya mandiri
merangsang (kembali) minat baca masyarakat.
Tapi
ada dua hal yang patut dicermati: TBM umumnya bukan di tengah perkotaan, melainkan
di pinggiran. Sebut beberapa contoh: TBM warung pasinaon di Bergas Lor (Kabupaten
Semarang), Pondok Maos Guyub di Boja (Kabupaten Kendal), atau Pondok Baca Uplik
yang nylempit di tempat tinggi di Dusun Resowinangun, Desa pledokan, Kecamatan
Sumowono (Kabupaten Semarang).
Bisa
jadi itu menegaskan fakta, di perkotaan orang sudah berdaya beli buku sehingga
tidak membutuhkan TBM. Tapi sebuah gerakan betapapun awalnya hanya
berpusar-pusar di pinggiran, bila dilakukan terus-menerus, akan bergerak ke “Episentrum”
agar “Gempa Literasi” meledak dahsyat.
_____________________________________
Sumber : Suara Merdeka, 14 April 2013
No comments:
Post a Comment