Oleh : Dian
Dalam
sejumlah fiksi, antara lain novel Libri di Luca, dikisahkan bahwa buku
merupakan sumber kekuatan. Para lector, dalam cerita Mikkel Birkegaard
tersebut, adalah orang-orang yang mampu membangkitkan kekuatan dari pembacaan
buku untuk memengaruhi dan bahkan menghancurkan orang lain. Pertarungan terjadi
di antara orang-orang yang memperoleh kekuatan dari pembacaan buku untuk
tujuan-tujuan jahat melawan orang-orang yang menentang mereka.
Lain
lagi dengan fiksi yang dikisahkan oleh Allisson Hoover Bartlett. Dalam The
Man Who Loved Books Too Much, ia menceritakan kisah seorang pencuri yang
obsesif terhadap buku–konon, ini merupakan kisah nyata. Karakter utama buku ini
selalu berpikir bagaimana cara mendapatkan buku tertentu sekalipun harus dengan
menipu dan mencuri.
Namun,
dalam fiksi-fiksi lain, buku dikisahkan sebagai karya yang harus dihancurkan
karena pikiran di dalamnya dianggap mengancam ketenteraman, mengganggu
kekuasaan, dan mengusik hegemoni kebenaran oleh segelintir orang. Ray Bradbury,
dalam novel Fahrenheit 451 (terbit tahun 1953), umpamanya,
mengisahkan sebuah masa depan ketika buku dilarang. Penguasa membentuk pasukan
khusus yang siap menghancurkan buku apa saja sebelum pikiran yang dicetak dalam
buku itu mengusik benak masyarakatnya.
Bradbury
mengaku memperoleh inspirasi untuk menulis Fahrenheit 451 dari
pembakaran buku oleh Nazi—salah satu peristiwa bersejarah paling terkenal. Ia
juga prihatin dengan sensor dan ancaman terhadap buku di AS waktu itu, ketika
berlangsung era McCarthy yang sangat antikomunis dan mencurigai warga Amerika masa
itu. Judul novel ini merujuk kepada anggapan bahwa pada temperatur itu kertas
mulai terbakar (saya tak tahu, apakah memang pada temperatur 451 F kertas sudah
terbakar).
Buku,
ingatan, dan pikiran juga menempati posisi sentral dalam novel Nineteen
Eighty-Four karya George Orwell. Bung Besar (big brother, saudara tua)
mengawasi seluruh penduduk Inggris ketika negeri ini, dalam cerita Orwell,
menjadi negara sosialis yang fasistis pada tahun 1984. Di bawah pengawasan yang
sangat ketat, seorang warga memberanikan diri menuliskan pikirannya dalam
jurnal harian—tindakan yang sangat terlarang.
Orwell
menggambarkan bagaimana kekuatan Bung Besar sanggup menaklukkan warga
pembangkang ini dengan cara mencuci otaknya. Bung Besar tidak membiarkan ada
satu lubang memori pun yang tidak terisi oleh kata kesetiaan kepada dirinya.
Seluruh buku dan teks tertulis lainnya harus dihancurkan.
Dalam The
Case of Charles Dexter Ward, H.P. Lovercraft menggambarkan sekelompok orang
yang bertekad menghapus ingatan keturunan penyihir dengan cara membakar
perpustakaan miliknya. Terbakar sudah segala kitab penyihir. Dengan cara itu,
mereka berharap keturunan penyihir tak lagi mampu menguasai mantra-mantra yang
sanggup membangkitkan kekuatan yang mengerikan.
Ketakutan
terhadap buku juga menjadi alasan penguasa negara untuk menghancurkan buah
pikir manusia ini dalam kisah Voices (Annals of the Western Shores). Novel
karya Ursula K. Le Guin ini mengisahkan seorang gadis bernama Memer yang
berusaha membaca buku di perpustakaan rahasia yang luput dari penghancuran oleh
penguasa pendudukan. Memer berjumpa dengan pendongeng yang bersama-sama
kemudian melakukan perlawanan.
Banyak
orang yang menganggap pandangannya sebagai satu-satunya kebenaran menjadikan
buku sebagai ancaman. Banyak despot yang tak mau terungkap kecurangan dan
kekejiannya menyita dan membakar buku. Mereka lebih suka memilih jalan pintas
ketimbang menghabiskan waktu untuk berdebat meladeni para penulis yang
mengancam kuasa mereka. Kisah-kisah itu dituangkan dalam novel dengan begitu
menakutkan, namun kisah nyatanya seringkali lebih mengerikan.
No comments:
Post a Comment