Oleh : David Efendi
Manusia mungkin lahir membawa kecenderungan untuk
berkeluh-kesah dengan derajat persoalan atau keadaan yang menimpahnya. Sifat
gampang keluh kesah itu dalam keseharian kita disebut ‘komplain’ (keluhan) atau
bahasa lainnya protes (kasar dan halus, laten dan manifes). Banyak orang
“complain” dengan sebab yang tidak jelas dan tidak dia mengerti, banyak pula
“complain” yang seharusnya menjadi koreksi bagi pemangku kekuasaan/jabatan
terkait.
Dalam kamus bahasa inggris, complain diartikan
“express dissatisfaction or annoyance about a state of affairs or an event”.
Perasaan tidak puas itu juga menimbulkan perasaan tidak senang terhadap situasi
tertentu karena publik mempunyai imajinasi keadaan yang lebih baik di masa lalu
atau kemungkinan berubah menjadi lebih baik apabila ada kemauan pemangku
kebijakan setempat. Walau demikian, dalam situasi demokratis sekalipun tidak
serta merta saluran politik itu dimanfaatkan secara maksimal untuk menampung
rasa tidak senang dan usulan yang ingin disampaikan. Hal ini bisa saja akibat
psimisme akan ditindaklanjuti laporan dan masukan atau bahkan saluran itu tidak
dianggap nyata adanya dan boleh dikata lebih artificial—call center, sms
center, sms jika ada keluhan dan sebagainya.
Artinya, secara umum complain merupakan ekpresi
ketidakpuasan atau pengabaian tentang situasi atau kondisi tertentu. Walau
demikian, sekali lagi, complain keseharian tidak selalu ditujukan secara pasti
kepada siapa dia complain, tidak selalu diikuti keinginan ingin mengubah
keadaan atau menindaklajuti dengan langka nyata mengubah situasi. Keberadaan
jejaring sosial dalam media online membantu complain mereka lebih massif. Jika
dulu, keadaan cukup menjadi gossip sekelompok orang terbatas atau hanya jadi
cerita sehari-hari antar teman dekat atau anggota keluarga.
Komplain sehari-hari penghuni kota Yogyakarta dan
sekitarnya sempat penulis amati dan catat. Setidaknya ada beberapa sites
(lokasi) dimana orang kebanyakan memaki-maki sesame pengendara dan terkadang
tidak tahu kemana nalar dan ekpresi protes mereka tujukan. Beberapa tempat itu
antara lain:
Pertama, pada saat di traffic light orang sering
mengumpat karena disenggol kanan dan kiri, lampu merah yang byar-pet, petugas
yang gak mengurus jalanan, mobil/motor yang main selonong. Faktor lain adalah
karena cuaca panas orang semakin kekeringan sabar.
Kedua, di Trotoar; orang ‘nesu’ karena trotoar/bahu
jalan dipakek bisnis banyak pedagang, parkiran yang sembrono, galian kabel yang
tak beres, toko bangunan yang menggelar dagangannya sampai trotoar, orang jalan
tersandung bendungan dari toko padahal ini jelas trotoar untuk pejalan kaki.
Suatu ketika, saya saksikan sendiri di jalan parang tritis dari arah
pojok benteng seberang jalan menuju arah selatan sepasang tuna netra
harus naik turun trotoar karena terlalu banyak haling rintang berupa mobil
parkir yang memangkas 90 derajat posisi pedestrian side (trotoar) setiap berapa
puluh meter harus turun ke aspal naik lagi dan turun lagi. Betapa susahnya
pengguna jalan itu sekedar untuk bernafas datar. Apakah mereka peranh complain
ke pemerintah langsung atau melalui ke surat kabar? Saya tidak pernah
membacanya dan saya pun hanya memasang status dalam FB perihal dua warga
penyandang tuna netra lewat sabung nyawa di sisi untuk pejalan kaki.
Ketiga, di kantor pemerintahan. Ada bermacam-macam
sebabnya orang komplain mulai dari yang secara diam-diam sampai mengamuk dapat
disebabkan oleh pungli, mall-administration, ketidakjelasan prosedur, menunggu
terlalu lama, merasa diabaiakan, antrian yang dipangkas orang, parkiran yang
tidak nyaman karena kejauhan jarak dengan kantor pelayanan, dan sebagainya.
Keempat, di kampus. Pelayanan administrasi dan tugas
dari dosen menjadi masalah tersendiri bagi sebagian mahasiswa. Mahasiswa dan
dosen punya keluhanannya masing-masing, kadang saling berhadapan kadang mereka
memaki salah orang karena memang tidak mengerti saluran kemana harus complain,
dan sebagainya. Dosen dan mahasiswa baru kerap menjadi korban dari
ketidakpahamana situasi dan peta pemangku kebijakan. Sebagaia contoh, mahasiswa
kerap complain akibat pengurusan KRS yan ribet, pembimbing sulit ditemui, nilai
yang trelambat keluar, nilai yang tidak sesuai, dosen yang tidak masung (kuliah
kosong atau ditunda). Sementara dosen terutama dosen baru, kerap dibuat sebel
dengan ketidakjelasan jadwal, kesulitan mencari ruang untuk kuliah pengganti,
mahasiswa yang tidak serius mengerjakan tugas, dan sebagainya.
Kelima, sepanjang jalanan di kota. Diantaranya
adalah akibat jalan berlubang, tersandung polisi
tidur/tergencet; pejalan kaki,
penarik becak, diserempet mobil/motor. Kemarahan di jalanan ini kerap
mengundang kemarahan penggunan jalan lainnya sehingga adu mulut sering menjadi
peristiwa sehari-hari. Ulah tukang parkir yang sakenaknya wudel-nya menggunakan
bahu jalan untuk sirkulasi mobil ber-parkir. Tukang parkir juga dibuat geram
oleh ulah pengguna jalan yang tidak mau melihat kesulitan tukang parkir
mengomando mobil-mobil berlalu lalang, in dan out.
Terakhir, komplain yang terjadi di pasar lebih
komplek lagi karena pasar emmpremukan banyak orang dengan latar belakang
beragam. Persoalan naik harga menjadi komplian yang kerap kali terjadi di pasar
tradisional karena sifatnya tiba-tiba (unpredictable). Di pasar banyak sebab
dan musabab yang menjadikan penghuninya komplein baik karena pelayanan
kebersihan, petugas parkir yang tidak ramah, pemalakan, premanisme, dan juga
bentuk pungli-lainnya. Sementara pelanggan pasar bisa masuk angina gara-gara
kebutuhan pokok (sembako) naik sekonyong-konyong. Bawang merah dan putih
hilang dari pasar ditambah daging sapi yang melangit (khusus daging sapi,
mungkin kelas menengah yang agak nggrundel. Namun, bisa jadi
komplain mereka bukan karena jumlah uang belanja yang naik tetapi karena ulah
spekulan dan politisi yang ‘kurang ajar’. Buktinya, satu persatu sudah dijerat
KPK baik karena korupsi, penyuapan, dan dagang pengaruh.
Dari keenam sites (lokasi complain) itu sebenarnya
dapat menjadi referensi pengambil kebijakan untuk memperbaiki sebelum
terlambat. Sebelum complain-komplain itu digerakkan oleh kesadaran bersama
untuk perbuatan anarkis. Politisasi situasi dan keadaan juga dengan gampangnya
dilakukan pada era ‘tahun politik’ sehingga policy maker perlu
waspada dan jelih melihat geliat ‘kemarahan massa’ yang masih belum
teoranisir—dan potensial mentransformasikan menjadi kerumusnan massa yang
anarkis. Sesuatu terpolitisir artinya keadaan dimana kondisi tertentu dapat
dijadikan alat untuk merebut, mempertahankan, dan memperbesar pengaruh atau
kekuasaan (simbolik dan nyata)
Ekpresi di jalanan memperlihatkan bahwa “ke-KITA-an”
yang diusung dalam slogan pemerintah kota dan propinsi DIY (dahulukan “kita”
dari pada ke-AKU-an) belum stabil dan masih ‘bay’. Buktinya? Banyak pengendara
motor. Mobil, angkuatan umum itu tidak pernah peduli bahwa pengendara
sekitarnya juga manusia, juga warga Yogyakarta. Perilaku egositis yang nyaris
melupakan siapa kita dan siapa di sekeliling kita menjadi bahaya
tersendiri untuk ekosistem sosial dan budaya di kota. Akibatnya, orang tidak
pedeli keselamatan orang lain. Wajar saja angka kecelakaan terus meningkat
karena ke-AKU-an itu mengancam ke-KITA-an dengan ekpresi saling selonong,
balap, dahului, tanpa melihat pentingnya keselamatan. Hal ini penting sehingga
complain di jalan terkurangi secara signifikan dan akhirnya pula berkurangnya
prosentasi kecelakaan.
Catatan lain adalah tentang bagaimana proses
transformasi keluhan sehari-hari menjadi lebih expresif dalam visualisasi seni
jalanan—sindiran politik dan sarkastik lainnya. Mislanya di Yogyakarta ada
banyak keluhan mulai replica stiker “piye kabare le, isih penak jamanku to?”,
“Piye kabare Har?, Sibuk Opo Har?”, save PSIM dan sebagainya sebagai keluhan
sekaligus ekpektasi masyarakat. Aksi-aksi simbolik seperti ini akan lebih
kentara lagi jika bertemu dengan sites-sites politik yang lebih agresif dan
bahkan anarkis. Perkembangan terakhir di Yogyakarta ada isu politik mosi tidak
percaya oleh anggota DPRD Kota Yogyakarta yang menganggap wali kota kinerjanya
buruk.
*Penulis adalah Pecinta Antropologi Politik, ditulis di Perpustakaan Kota Yogyakarta, 17 September 2013,
No comments:
Post a Comment