Oleh
: Abdurrahman Wahid
Selama ini apa yang
dinamakan perubahan struktural seolah-olah sudah menjadi monopoli kaum marxis.
Maka menjadi ramailah suasana sebuah seminar, yang notabene diselenggarakan
oleh sebuah lembaga pemerintah di tingkat Nasional, ketika ada paper yang
menuntut keharusan perubahan struktural dalam kehidupan bangsa kita. Apa kuping
tidak salah dengar dan mata tidak salah baca?
Ternyata tidak, memang kata
structural itu sendiri berulang kali muncul. Apakah seminar sudah kesusupan
eks-PKI? Juga tidak, karena yang membawakan paper adalah agamawan yang jelas
tidak komunistis dalam pandangan hidup. Terlebih-lebih, mereka tidak pernah
mengakui kebenaran ajaran Marx.
Ternyata di balik pernyataan
itu ada sebuah proses penalaran. Masalahnya begini: Marx harus diikuti
analisanya terhadap keadaan, tetapi jangan begitu saja diikuti dalam
kesimpulan. Dengan kata lain, Marxisme haruslah dipahami sebagai kenyataan
sejarah, tetapi belum tentu memiliki kebenaran transcendental. Kita sendiri
harus berani melakukan kritik atas Marxisme, jika tidak ingin dijajah olehnya.
Dalam prose situ, kita semua
akan dewasa. Betapa tidak, kalau dengan pemahaman analisa Marx kita akan mampu
memahami hakikat keadaan yang berkembang? Lalu, dengan keberanian melakukan
kritik atas cara metode Marx diterapkan (sebuah masalah metodologis), bukankah
kita lalu akan mampu mencari pemecahan bagi masalah kita dengan ‘penemuan-penemuan’
yang sesuai dengan kondisi kita sendiri?
Taruhlah kita terima
kebenaran asumsi Marx, bahwa perilaku warga masyarakat sangat ditentukan oleh
struktrur masyarakat mereka sendiri. Dikenal dengan paham determinisme
ekonomis, pendapat Marx ini akhirnya berujung pada perlunya penggulingan sebuah
struktur kekuasaan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat secara
mendasar. Cara lain tidak akan membawa pemecahan.
Dirumuskan dengan kata lain,
yang dituju adalah transformasi struktur kehidupan masyarakat. Sedangkan
struktur hanya dapat ditransformasikan, kalau kekuasaan telah direbut dari
tangan pemegang kekuasaan. Ini adalah inti ideology Marxisme-Leninisme, yang
dikenal dengan istilah Komunisme.
Pertanyaannya, haruskan
selalu demikian caranya? Ternyata tidak. Menurut kaum Sosial Demokrat :
perubahan dapat dilakukan melalui cara damai, kekuasaan dapat diraih melalui
demokrasi parlementer. Artinya, setiap struktur memiliki kelengkapan untuk
melakukan perubahan.
Dalam transformasi model
Marx, atau lebih tepat model Marxisme-Leninisme, transformasi dimulai ketika
kekuasaan telah direbut. Apa yang terjadi sebelum itu hanyalah persiapan kea
rah transformasi, bukan transformasinya sendiri. Dan sesudah kekuasaan terebut,
masih diperlukan semacam ‘pengawal revolusi’ untuk menjaga kemurnian
transformasi yang dihasilkan agar tidak diselewengkan.
Bagi yang menolak ajaran
Marxisme-Leninisme, walaupun menerima analisa sosial-ekonominya, perubahan
terjadi justru sebelum kekuasaan
‘berubah kelamin’. Transformasi terjadi dalam sikap dan perilaku masyarakat
secara keseluruhan, melalui proses pendidikan berjangka panjang.
Misalnya melalui perjuangan
menegakkan keadilan melalui bantuan hukum struktural. Atau melalui kesadaran
berperilaku politik yang menjunjung asas kebebasan dan persamaan hak, atau
melalui penubuhan dan pengembangan organisasi ekonomi yang benar-benar
demokratis di tingkat bawah.
Hanya mengkhayal? Lihat saja
kiprah Lembaga Bantuan Hukum. Atau Yayasan Lembaga Konsumen. Juga
organisasi-organisasi yang bergerak di pedesaan untuk menyadarkan warganya akan
kemampuan penuh mereka sebagai manusia guna perbaikan kualitas hidup mereka.
Termasuk juga media massa kita yang berfungsi edukatif. Apalagi kalau diingat
adanya pejabat yang jujur dan tulus, yang mencoba menegakkan birokrasi yang
memang benar-benar diperlukan bangsa kita, di tengah-tengah kebalauan hidup di
kalangan pemerintahan secara keseluruhan.
Semuanya itu structural, karena akan mematangkan pandangan kita tentang apa yang harus dilakukan di tempat masing-masing. Juga akan mengubah keseluruhan watak kehidupan dalam jangka panjang, tanpa memakai Marxisme dalam pemecahan pokok masalah yang dihadapi.
Semuanya itu structural, karena akan mematangkan pandangan kita tentang apa yang harus dilakukan di tempat masing-masing. Juga akan mengubah keseluruhan watak kehidupan dalam jangka panjang, tanpa memakai Marxisme dalam pemecahan pokok masalah yang dihadapi.
****
Tempo 13 Februari 1982
(ditulis kembali oleh : Fauzan Anwar Sandiah, 10/29/2013)
No comments:
Post a Comment