Oleh : Fauzan Anwar Sandiah
*Pada intinya catatan ini dibuat hanya untuk mengatakan bahwa apa yang disebut kemerdekaan adalah merasa tidak perlu untuk berkuasa.
Setiap minggu, saya akan
menghabiskan sore hari bersama anak-anak. Kami menamakan kegiatan ini dengan
sebutan “RBK For Kidz”. Paling sedikit, atau rata-rata ada sekitar 7 anak yang
akan hadir. Oleh karena varian umur mereka berbeda secara ekstrim, maka saya
putuskan untuk mengajak mereka menemukan sendiri kebahagiaan apa yang
dikehendaki mereka setiap minggunya. Pertama-pertama biasanya akan kami habiskan
dengan menyantap makanan kecil, seperti buah-buahan. Sesi ini akan menghabiskan
paling tidak sepertiga dari pertemuan saya.
Kembali ke menemukan
kebahagiaan. Saya merasa upaya advokasi literasi yang menjadi misi utama
komunitas kami adalah sebuah proses untuk sama-sama belajar menemukan kebajikan-kebajikan.
Mencari optimisme dalam tumpukan jerami kehidupan yang kadang dipandang keras
akan kita hancurkan dengan pandangan yang menghasilkan kekuatan positif. Maka,
anak-anak yang mengikuti sesi saya pada awalnya tidak mendapatkan apa-apa.
Pertemuan pertama saya habiskan untuk bercerita saja. Pertemuan kedua saya
habiskan untuk pelajaran sekolah. Saya nampaknya belum menemukan sesuatu yang
bisa menginspirasi diri saya dan kami semua pada saat itu.
Pada suatu ketika, saya
merasa bingung ketika ada sedikit pertentangan di antara anak-anak. Saat sedang
mengajar matematika, sebagian anak minta diajari puisi. Saya sudah sepakat
untuk mengikuti kemauan anak-anak, tapi seperti biasa, itu tidak dapat lurus
dengan cepat. Saya melihat seorang anak
yang sedang antusias mengerjakan pecahan desimal mengkerutkan dahi karena tidak
setuju pada permintaan pelajaran puisi. Nah, saya berusaha untuk tidak
mengambil tindakan apa-apa. Saya meminta kepada masing-masing anak untuk
mendiskusikan masalah tersebut. Saya katakan kepada mereka, mari kita buat
komitmen kecil hari ini—harus ada yang mengalah. Ternyata diskusi tersebut
malah berubah menjadi beku. Masing-masing anak kemudian mulai mengkritik saya,
kata mereka, saya saja yang memilih. Akhirnya saya minta kubu matematik untuk
menyelesaikan pecahan desimal, sembari saya menuliskan puisi di papan tulis. Anak-anak
tiba-tiba fokus kembali.
Menurut saya, itu bukan
keputusan yang tepat, meskipun dapat meredakan keributan (keramaian) sebentar.
Tapi saya cukup senang, mereka ingin aktif mengemukakan pendapat. Apapun itu,
saya benar-benar ingin mereka menjadi begitu orisinal. Ya, dengan mengemukakan
pendapat biasanya kita akan menemukan makna baru. Saya masih belum memutuskan
apakah harus menyela di antara debat anak-anak yang menjurus pada pelecehan
verbal atau tidak. Jadi saya menunggu hingga selesai sesi baru kemudian saya
menutupnya dengan doa yang isinya kurang lebih tentang penerimaan diri,
penghargaan terhadap sesama manusia.
Saya sadar sepenuhnya
anak-anak mengajari kita hal-hal yang sederhana tentang betapa pentingnya
menjadi diri sendiri. Betapa pentingnya berkutat dengan “ego-halus” dan
kemudian mencari sendiri kebaikan. Setelah selesai berdoa, anak-anak menjadi
ramai lagi dan mulai mengucapkan salam. Nampaknya pertentangan tadi tidak
berbekas sedikit pun. Benar, mereka pulang tanpa membawa kebencian. Ah, saya
jadi iri dengan mereka, pasti pulang kembali dalam pelukan alam, dalam pelukan
angin, seperti kata seorang pujangga yang saya lupa—Anak Angin.
No comments:
Post a Comment