Lutfi "Lupet" Zahwar, pegiat literasi di Podjok Batja
“…… kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange ……. “
(sungai kehilangan lubuknya, pasar kehilangan gemanya, wanita kehilangan rasa malunya …..)
Teks di atas merupakan kutipan dalam salah satu karya R.Ng.
Ranggawarsita yang berjudul “Jangka Jayabaya”. Pasar ilang kumandange,
hilang atau tergerusnya interaksi sosial yang terjadi di pasar
barangkali lebih pas menggmbarkan suasana yang terjadi di "pasar modern"
daripada "pasar tradisional". Membandingkan keduanya akan segera
terlihat adanya ekses dari perbenturan "ide modernisasi" yang percaya
pada angka-angka, mantra, dan mukzizat dari hal-hal yang disebut
"profesional, efektif dan efisien". Berhadapan dengan "kebijakan hidup
lama" yang tak mengenal rumus-rumus seperti itu namun telah terbukti
menghidupi masyarakat dan membuat mereka sejahtera.
Dalam
mantra-mantra profesional, efektif, dan efisien terkadang hubungan
kemanusiaan dan interaksi sosial dikesampingkan, jarak personal makin
lebar. Meminjam ungkapan F Budi Hardiman, orang-orang menjadi ahli dalam
teknik separasi antara utilitas dan personalitas. Utilitas ingin
dinikmati habis tanpa menyentuh personalitas. Mantra profesional,
efektif, dan efisien memungkinkan itu. Begitu barang atau jasa dibayar,
kontak personal, interaksi sosial, dan hubungan kemanusiaan diminimalkan
sampai nol.
Bagi sebagian orang pasar tradisional bukan sekedar
tempat mengumpulkan materi dengan kegiatan jual beli. Lebih dari itu
pasar tradisional dipercaya sebagai pusaran hidup dengan nilai yang
begitu kompleks. Ada semangat, nafas hidup, serta kebijakan-kebijakan
kuno masih langgeng terdapat dalam praktek keseharian. Terjalin suasana
guyub ketika seorang pedagang tak sungkan saling mengerok atau menggosok
minyak angin ketika salah satu temannya sakit atau masuk angin. Dalam
keadaan pasar yang tak begitu ramai dikunjungi pembeli tidak jarang pula
terlihat mereka saling memijat sambil menceritakan masalah hidup yang
mendera sehari-hari.
Gambaran itu bukan saya dapatkan dari cerita
orang lain melainkan saya saksikan sendiri ketika mengantarkan ibuk
belanja di pasar tradisional ketika saya di Kediri. Sudah menjadi
kebiasaannya sejak lama, daripada belanja di supermarket atau swalayan
ibuk lebih senang belanja di pasar tradisional. Menurut cerita yang saya
dapatkan dari ibuk walaupun pasar tradisional tak sebersih, serapi, dan
seharum kondisi pasar modern. Di pasar tradisional lah ibuk bisa
mempraktekkan nalurinya sebagai perempuan dalam urusan tawar menawar
yang alot. Katanya, itulah seni berbelanja, sebagai pengelola keuangan
rumah tangga ibuk harus memastikan dengan anggaran belanja yang
sederhana namun bisa menyediakan hidangan yang istimewa.
Semenjak
sering membaca teks-teks sosial, kebiasaan mengantarkan ibuk ke pasar
menjadi sesuatu yang tak lagi membosankan. Saya menjadi tertarik melihat
pola perilaku manusia di dalam pasar. Bagaimana mereka berinteraksi
sesama penjual maupun dengan pembeli. Seperti diceritakan Unggul Sujati
Prakoso, salah satu pegiat Rumah Baca Komunitas dalam catatannya yang
berjudul, Interaksi di Dalam Pasar. Interaksi yang tidak hanya terbatas
pada jual beli.
Menurut Bhre Redana, pasar tradisional sebenarnya
memang ekspresi kehidupan tradisonal. Pendapat seperti itu barangkali
bukanlah sesuatu yang asing bagi yang menggeluti sosiologi. Tak ada
persaingan antar pedagang dalam alam pasar tradisional. Persaingan di
situ adalah persaingan antara penjual dan pembeli, di mana yang terjadi
bukan sekedar transaksi ekonomi tetapi transaksi kejiwaan. Harga
hanyalah sebuah simbolisme di mana pedagang dan pembeli memperebutkan
hari masing-masing, yang kemudian akan menentukan sebuah dagangan
menjadi murah atau mahal.
Gejala itu akan segera digantikan
berbagai gejala baru dari pasar modern sepertibyang dirumuskan oleh
Cyril S. Belshaw. Kalau dalam pasar tradisional begitu banyak
faktor-faktor ekonomis yang mencuat dalam transaksi sedangkan dalam
pasar modern yang semata-mata berlaku adalah faktor ekonomi. Persaingan
dalam pasar modern adalah persaingan antar pedagang. Harga yang berlaku
adalah harga pas, tak perlu lagi tawar-menawar karena itu hanya
menghabiskan waktu. Tak efektif, tak efisien, tak sesuai dengan mantra
modernisasi.
Dalam perbenturan antara yang "modern" dan yang
"tradisional" mungkin kita bisa melihat yang surut bukan hanya relasi
sosial dan personal yang terjadi antara penjual dan pembeli tetapi juga
komitmen terhadap orang-orang kecil itu yang semakin terjepit oleh
pemodal besar.
Kediri 4 Agustus 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tulisan Terbaru
Populer
-
”Gerakan Membaca” merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari itu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka ...
-
Oleh : David Efendi Direktur Rumah Baca Komunitas Anak-anak adalah manusia masa depan, Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-...
-
Oleh : Iqra Garda Nusantara Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan b...
No comments:
Post a Comment