Warna hijau
telah menjadi identitas dan simbol gerakan pro-lingkungan di dunia. Pada tahun
2010, Ibrahim Abdul-Matin, seorang
penulis asal Amerika mempublikasikan buku yang sangat penting dengan judul Green Deen: What Islam teach about
protecting the planet. Karya ini lahir di tengah stigma buruk dunia Barat
terhadap ummat islam pasca tragedi 9/11 yang menyudutkan dan menteror komunitas
muslim khususnya di Amerika. Green Deen
(agama hijau) yang dipromosikan penulis buku ini ingin menunjukkan fakta sisi
lain Islam di Amerika yang telah berhasil mempraktikkan gaya hidup
pro-lingkungan dan pengetahuan yang lengkap bagaimana menjaga keseimbangan alam
dengan mendayagunakan pengetahuan yang ada. Bagaimana dengan perhatian ummat
islam, atau umat beragama di Indonesia pada umumnya dan wabilkhusus gerakan Islam Modern Muhammadiyah terhadap persoalan
lingkungan kontemporer? Artikel ini berusaha mengundang pembaca untuk memulai
mendiskusikan bagaimana urusan ekologi seharusnya menjadi bagian pekerjaan
rumah organisasi keagamaan. Kurangnya agamawan-aktifis ekologi menjadi
persoalan yang butuh perhatian serius dari kalangan organisasi islam.
Pasca milineum
baru, dunia dihentakkan dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global. Hal ini
juga membangunkan kesadaran ekologis di berbagai kawasan baik dari unsur NGO
(non-governmental organization) maupun pemerintahan. Kelompok agama Islam dapat
dibilang kurang santer merespon problem ekologis yang melanda. Beberapa
agamawan katolik dan budha merespon dengan beragam upaya penyelamatan seperti
Tissa Balasuriya di Sri Langka,Mahatma Gandhi,
dan teolog ekologi asal Amerika Robert McAfee Brown dan Albert J
Fritsch. Peran pembebasan dan keberpihakan terhadap alam semesta yang mereka
lakukan ditambatkan pada kesadaran ideologis agamanya. Hal ini menjadikan
gerakan ini jauh lebih kuat secara filosofis dibandingkan dengan kelompok “kiri
hijau”—kelompok anti-kapitalis dan pro-komunitas Basis yang memperjuangkan bentuk
pengelolaan sumber daya alam lewat moda-moda produksi sosialistis dan ekologis
(Aditjondro, 2003).
Jihad
konstitusi yang didengungkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan babak
baru bagaimana organisasi islam merespon bencana ekologis yang meluas yang
diakibatkan oleh salah urus sumber daya alam. Jihad yang dimaknai usaha
sungguh-sungguh dengan mendayagunakan kemampuan yang ada untuk menegakkan apa
yang diyakini. Dua Undang-Undang yang digugat oleh Muhammadiyah yaitu UU No.22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No.6 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan manifestasi jihad
ekologis yang sangat penting di abad kedua Muhammadiyah. Upaya ini beberapa
tahun silam, tepatnya tahun 2005, di Muhammadiyah sudah melaunching buku fiqh
air yang kemudian diterbitkan lagi di tahun 2015 sebagai bagian dari upaya
pengarusutamaan masalah ekologis di kalangan ummat islam.
Selama ini
persoalan ‘external’ politik elektoral lebih dominan menjadi pekerjaan
diskursus elit Muhammadiyah terutama pasca reformasi. Sementara secara
internal, pada umumnya organisasi islam sendiri telah disibukkan dengan
pengelolaan “amal usaha” pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Jihad
konstitusi adalah pembaharuan kesadaran baru akan peran-peran kebangsaan dan
keberpihakan organisasi Islam modern terhadap masalah-masalah kontemporer
lingkungan hidup dengan menjadi ‘pengontrol’/penggugat beragam regulasi yang
diciptakan oleh negara. Negara yang dalam banyak hal seringkali menjadi
‘korban’ dari kepentingan kapitalis global dan mafia lingkungan. Ini adalah
bagian dari penyegaran gerakan islam yang sangat dibutuhkan oleh dunia sebagia globalisasi
‘gerakan islam berkemajuan’ dengan visi pencerahan.
Peran ekologis
organisasi islam ini dapat dianalisa
dari nalar etika utama yang digunakan oleh para teolog pembebasan dan teolog
ekologi yaitu sebuah gerakan yang dipusatkan pada tiga argumentasi kunci yang
meliputi (1) keadilan distribusi; (2)keadilan-lingkungan; dan (3)
pertanggungjawaban kolektif (Aditjondro, 2003).
Pertama,
keadilan distributif melarang keras tindakan yang melanggengkan praktik mendapatkan
keuntungan di atas penderitaan orang lain (Nelkin, 1984) sehingga juga tidak
dibenarkan negara mengambil keuntungan eksploitatif dari kekayaan alam dengan
menyakiti masyarakat setempat secara berkepanjangan. Sebagaiman Erich Fromm
(1968) dalam buku Revolution of Hope:
Toward Humanized technology, logika pembangunan yang tidak manusiawi
merupakan kejahatan besar yang harus dilawan. Di dalam nilai-nilai islam di
Indonesia juga mendapatkan pembenaran, bahwa mudharat dari pembangunan itu
harus lebih utama dihindarkan. Kesadaran etik yang dibalut dengan keyakinan
agama merupakan kekuatan penting bagi kubu ‘kanan-hijau’—kelompok agamawan yang
mempunyai concern serius membela
‘keseimbangan’ alam karena kayakinan alam semesta adalah titipan tuhan yang
harus dijaga.
Kedua,
keadilan lingkungan yang merupakan dua sisi mata uang yang sama dari keadilan
sosial (distributif) adalah sebuah keniscayaan. Islam madzab Indonesia adalah
madzab ekologis yang tercermin dalam teologi islam rahmatan lil alamien—islam yang tidak mengancam bagi keberadaan
benda dan makhluk ciptaan tuhan. Dengan demikian, aliran antroposentrisme yang cenderung eksploitatif tidak mendapatkan
pembenaran teologis dalam islam sebab fungsi manusia sebagai ‘khalifah’
bukanlah tanpa tanggungjawab etik, profetik, dan kolektif. Semua perbuatan yang
merusak akan diminta pertanggungjawaban kelak di hadapan mahkamah tuhan.
Karenanya, manusia harus berusaha menerapkan laku adil sejak dalam pikiran
karena adil dalam ajaran islam paling dekat dengan taqwa.
Terakhir,
pertanggungjawaban kolektif. Ajaran etis universal adalah bahwa setiap
kejahatan, penindasan dan praktik ketidakadilan harus dilawan (Frantz
Fanon,1986). Nilai-nilai utama organisasi islam memperlihatkan kesesuaian
dengan ajaran etika tersebut yaitu amr ma’ruf nahi munkar—menganjurkan
perbuatan baik dan mencegak kejahatan dengan titik tekan pada upaya memerangi
praktik kejahatan. Dalam jihad melawan korupsi Muhammadiyah ataupun NU sudah
tidak diragukan lagi seruan moral-politiknya, sedangkan untuk urusan pencegahan
terhadap bencana krisis ekologis: kekeringan, kerusakan hutan akibat illegal logging, kejahatan tambang,
pencemaran, penyebaran penyakit, dan sebagainya organisasi berbasis keagamaan
perlu memperkuat posisinya dengan lebih banyak menggalang sekutu dan
pengorganisasian basis. Infrastruktur organisasi Muhamamdiyah sudah
memungkinkan untuk pembangunan berperspektif ekologis mulai dari ranting,
cabang, daerah, propinsi sampai pusat secara proporsional. Posisi Muhammadiyah
yang sudah dikenal track record di berbagai forum internasional
menjadi kekuatan besar untuk turut menyerukan kesadaran ekologi di hadapan masyarakat
dunia.
Level
organisasi keagamaan pusat dan wilayah akan berperan aktif terhadap advokasi
kebijakan/regulasi yang membahayakan keseimbangan ekologis dan manusia (baca:
jihad konstitusi), sementara level daerah sampai ranting akan menjadi ujung
tombak dari praktik kehidupan yang ramah lingkungan sebagaimana komunitas Islam
yang dituliskan oleh Abdul-Matin dalam buku Green
Deen di Amerika. Pola hidup bersih, penghematan air, penciptaan tekhnologi
tepat guna dan ramah lingkungan bisa dijadikan praktik yang seiring dan sejalan
dengan nilai-nilai ajaran Islam. Praktik demikian, secara tidak langsung adalah
bagian dari praktik tanggung jawab kolektif keummatan yang kemanfaatannya tidak
dapat disepelekan. Agama islam yang dianut 1 miliar manusia harusnya menjadi
pelopor penyelamatan bumi dan makhluk yang ada di dalamnya. Agama hijau inilah yang
sedang dicari kiprahnya oleh ummat manusia.
Sebagai
penutup, terwujudnya bentuk tanggungjawab kolektif-keummatan ini telah
disinggung oleh Jaspers (1986) bahwa: “di kalangan manusia muncul solidaritas,
karena mereka manusia, yang dengan solidaritas itu masing-masing dapat berbagi
tanggungjawab atas setiap ketidakadilan dan kesalahan yang dilakukan di dunia.”
Karena bumi kita sama, kesadaran bahwa persoalan satu berkaitan dengan
persoalan lainnya menjadikan kita merasa penting untuk merawat jagad raya dan
menjadikan ummat beragama toleran bagi eksistensi ciptaanNya. Hal ini merupakan
kunci untuk menghindarkan kehidupan ummat dari apa yang disebut Garrett Hardin
(1968) sebagai “tragedy of the common.”
No comments:
Post a Comment