Lalu Bintang Wahyu Putra
"Barang
siapa memiliki rambut hendaklah ia memuliakannya. " Muhammad SAW
Pandangan negatif terhadap pemilik rambut
gondrong sudah kadung jadi di benak masyarakat. Stigma seperti suka mabukan,
nakal, jorok dan segenap perilaku menyimpang lainnya kerap bertengger. Namun
mereka bingung- jika tidak mau dikatakan bungkam- ketika ditanya perihal alasan
mengapa berpandangan demikian. Mulai dari tukang becak, mahasiswa, ibu-ibu
rumah tangga bahkan akademisi intelektual pun beramai-ramai mengamini streotipe
negatif tersebut. Yang hingga kini membekas di ingatan saya adalah apa yang
dikatakan dosen saya. "Mas orang gondrong suka minum (baca:mabok), kamu
begitu ya?". Saya menganga heran bin kaget mendengar ujaran dosen senior
di fakultas saya tersebut. Ternyata sudah begitu dalam endapan di benak
kolektif masyarakat bahwa pemilik rambut gondrong berprilaku menyimpang dan
kerap melanggar norma sosial. Dan sekaliber dosen tersebut pun mengamininya.
Keheranan bin kaget tersebut segera sirna
setelah saya sadar bahwa beliau adalah didikan orde baru dan hingga ia
menamatkan S2- nya pun tiang Orde Baru masih runcing dan berdiri kokoh.
Sebenarnya sebelum pemerintahan orde baru,
tepatnya di masa-masa terakhir rezim Soekarno pelarangan rambut gondrong telah
terjadi, bahkan sempat booming di kota-kota besar kala itu. Di bawah kekuasaan
Orde Lama negara kita pernah melakukan razia paling konyol dalam sejarah: Razia
Rambut Gondrong. Melalui Badan Koordinasi Pencegahan Rambut Gondrong (Bakoperago)
yang bekerja sama dengan TNI Soekarno melancarkan razia tersebut.
Razia rambut gondrong ini bermula dari
merebaknya budaya Hippies di Amerika ke seluruh penjuru dunia, termasuk
Indonesia. Kaum Hippies yang berpandangan liberal dan menolak adanya negara
jelas merupakan ancaman bagi Indonesia yang masih seumur jagung. Terlebih paham
kapitalisme yang identik dengan Amerika menambah kebencian Bung Karno yang
menganut paham Marhaenisme dan pancasila sebagai dasar negara.
Berpindahnya kekuasaan ke tangan Orde Baru
tidak serta-merta menghilangkan pelarangan rambut gondrong, justru semakin
dimassifkan. Jika dulu Soekarno melarang dengan cara repsesif, maka di bawah
Soeharto dimasukkan ke dalam sistem pendidikan. Rezim Soeharto menanamkan ke
dalam pikiran semua masyarakat (murid dan wali murid) bahwa berambut gondrong
adalah perilaku preman, bajingan bahkan teroris. Melalui program pembinaan
keluarga Soeharto mewajibkan setiap orang tua untuk melarang anaknya berambut
gondrong. Diwajibkan memiliki rambut cepak layaknya ABRI.
Melalui pandangan yang dibangun oleh kedua
rezim tersebut dalam puluhan tahun telah berhasil menguasai pikiran masyarakat
dewasa ini tanpa harus dikritisi dan deretan peristiwa tersebut terus
berkembang hingga kini menjadi sebuah kebenaran mutlak yang tanpa celah secuil
pun untuk merubahnya.
Dekonstruksi
Pandangan
Dampak dari berjalannya peraturan tersebut
bisa menjadi jawaban bagi pemilik rambut gondrong yang cenderung dianggap
melanggar norma. Saya dan juga mungkin teman-teman gondrong lainya
bertanya-tanya heran ada apa sebenarnya dengan gondrong? Sehingga yang menjadi
korban adalah gondrongers yang tidak memiliki dosa masa lalu. Saya pribadi
kerap mendapat represi mental dari kampus, seperti ditegur dosen, jadi buah
bibir dekan hingga jadi bahan celaan.
Setelah enam puluh tahun lepas dari Orde
Lama dan tujuh belas tahun bebas dari Orde Baru sebenarnya merupakan waktu yang
sangat cukup untuk melunturkan stigma tersebut. Namun kenyataanya masih
bertahan hingga kini.
Masyarakat sudah sepatutnya sadar bahwa
tidak ada hubungan sama sekali antara model rambut dan prilaku seseorang-
sejauh ini belum ada saya mendengar penelitian mengatakan seperti itu- karena
kedua entitas tersebut merupakan dua hal yang berbeda.
Jika menengok pada masa abad dua puluh ke
bawah rambut gondrong banyak dimiliki oleh para filsuf, penyair, politikus dan
tokoh-tokoh sain lainya. Yang paling terkenal adalah paman Einstein dengan
model rambut kruelnya, Opa Marx dengan gondrong bergelombangnya hingga Plato, Aristoteles
dan Socrates semuanya memiliki rambut gondrong. Sir ST. Raffles dalam bukunya
The History of Java menggambarkan bahwa dulu para raja di Jawa memiliki rambut
panjang sampai pundak bahkan konon Nabi besar kita, Muhammad SAW, panjang
rambutnya sampai sebahu.
Di masa kini pun
kita punya sosok Hilmar Farid seorang sejarawan dan budayawan, ada juga tokoh
masyarakat Emha Ainun Najib alias Cak Nun dan juga Sekjen PPMI nasional, yang
mana mereka semua gemar memanjangkan rambutnya.
Artinya, jauh sebelum sekarang rambut
gondrong identik dengan tokoh berpengaruh dunia malah menjadi protoipe para
cendekia.
No comments:
Post a Comment