Oleh: Muhbib Abdul Wahab
al-Insan ibn bi’atihi (Manusia itu anak
lingkungannya). Pepatah Arab ini mengandung arti kita memiliki hubungan
simbiosis-mutualisme dengan lingkungan hidup kita.
Di satu pihak kita dibesarkan dan
dipengaruhi oleh lingkungan kita, dan di sisi lain kita juga berperan besar
dalam merawat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan demikian, kita harus bersikap
harmoni terhadap lingkungan kita, dengan tidak mengeksploitasi dan merusaknya.
Dalam banyak hal, manusia cenderung lebih
gampang memanfaatkan dan merusak lingkungan hidup, daripada menanam dan menjaga
kelestariannya.
Karena membendung nafsu serakah untuk
mengeksploitasi alam itu jauh lebih sulit daripada menumbuhkan kesadaran dan
kesalehan ekologis.
Kecerdasan lingkungan (environmental
quotion) bangsa kita idealnya terus meningkat, karena hampir setiap saat kita
dihadapkan kepada aneka bencana alam.
Kita akan semakin cerdas lingkungan jika
selalu mengambil pelajaran dan hikmah dari banjir bandang, banjir rob, tanah
longsor, tsunami, kekeringan berkepanjangan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, kesadaran untuk merawat
dan tidak menebang pohon sembarangan juga perlu dikampanyekan dan
disosialisasikan.
Sebaliknya, gerakan menanam pohon dan
menghijaukan lingkungan (reboisasi) harus mendapat respon positif dari semua
pihak.
Dalam hal ini, Nabi SAW pernah melarang
umatnya melakukan penebangan pohon, lebih-lebih pohon itu berfungsi sebagai
tempat berteduh manusia atau hewan.
Rasulullah SAW pernah melarang menebang
pohon di tanah gurun yang menjadi tempat berteduh manusia atau hewan, dan
menganggapnya sebagai arogansi dan aniaya.” (HR. Abu Dawud).
Sejalan dengan itu, pemanfaatan lahan
produktif untuk bercocok tanam, bertani, dan peningkatan produksi bahan pangan
merupakan perintah agama.
Artinya, dalam rangka pemeliharaan
lingkungan, kita dilarang untuk menelantarkan lahan produktif agar memberi nilai
manfaat bagi umat manusia.
Jabir ibn Abdullah ra. berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu ada beberapa orang memiliki tanah lebih, lalu
mereka berkata: “Lebih baik kami sewakan dengan hasilnya sepertiga, seperempat
atau separuh. Tiba-tiba Nabi Saw bersabda: Siapa yang memiliki tanah, maka
hendaknya ditanami atau diberikan kepada saudaranya, jika tidak diberikan, maka
hendaklah ditahan saja.” (HR. al-Bukhari
dan Muslim)
Oleh karena itu, menanam pohon, tanaman,
atau tumbuhan yang memberi nilai manfaat sangatlah penting bagi kelangsungan hidup manusia dan
makhluk lain.
Bahkan, jika tanaman itu dimakan
burung, binatang, atau manusia, maka
yang dimakan itu dinilai sebagai sedekah; dan sang pemilik tanaman itu
mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Hadis berikut juga menunjukkan pentingnya
gerakan pemanfaatan lahan tidur (yang tidak ditanami) menjadi lahan produktif.
Dengan memanfaatkan lahan menjadi
produktif, kelestarian lingkungan menjadi terjaga dan memberi nilai tambah bagi
semua.
Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang
Muslim yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau
binatang, melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah. (HR. al-Bukhari Muslim)
Dengan demikian, penelantaran lahan atau
tanah yang produktif sama artinya tidak memedulikan kelestarian lingkungan.
Dalam pelestarian lingkungan, prinsip
utama yang harus dipedomani Muslim adalah prinsip kemanfaatan, sesuai dengan
hadits Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat
bagi orang lain.” (HR al-Thabarani).
Selain itu, prinsip keberkahan, kasih
sayang, dan ampunan dari Allah SWT juga merupakan prinsip sosial yang perlu
diyakini dan diaplikasikan dalam pemeliharaan lingkungan.
Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: “Ada
golongan hamba yang pahalanya terus mengalir, sementara ia telah berada dalam
kubur setelah kematiannya, yaitu: orang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai,
menggali sumur, menanam pohon, membangun masjid, mewariskan mushhaf, dan
meninggalkan anak yang selalu memintakan ampun orang tuanya setelah
kematiannya.” (HR. al-Baihaqi, Ibn Abi Dawud, al-Bazzar, dan ad-Dailami).
Dalam hadits lain, Nabi SAW pernah
berpesan kepada para pasukannya ketika hendak pergi menuju medan perang untuk
tidak: pertama, membuang kotoran (sampah) di tempat aliran sungai, kedua,
menebang pohon tanpa alasan, dan ketiga buang air kecil atau air besar (BAB) di
bawah pohon yang biasa dilewati atau digunakan manusia berteduh.
Jadi, pelesatarian lingkungan itu sangat
tergantung pada faktor manusianya. Reboisasi tidak akan berhasil jika hutan
atau tanaman selalu digunduli secara ilegal.
Optimalisasi fungsi lingkungan alam,
lingkungan hidup menjadi sangat penting karena ekosistem ini dapat menentukan
kualitas hidup kita.
Jika lingkungan kita rusak (tidak sehat,
tidak bersih, tidak indah, tidak nyaman), maka kualitas hidup menjadi terganggu dan tidak nyaman.
Dengan demikian, pendidikan lingkungan
merupakan bagian dari pendidikan Islam yang perlu mendapat perhatian serius
dari semua pihak, mulai dari diri sendiri hingga para petinggi negeri ini agar
berbagai bencana dan musibah dapat dicegah dan dihindari.
Esensi kesalehan ekologis adalah menjaga,
melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan mendayagunakan lingkungan demi
kesejahteraan hidup manusia sekaligus memberikan kenyamanan untuk beribadah dan
mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Dengan memiliki kesalehan ekologis, kita hendaknya semakin ramah dan harmoni
terhadap lingkungan sekitar kita, karena kita juga yang akan merasakan
akibatnya jika kita tidak bersikap saleh terhadapnya.
sumber:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/03/07/n211zv-kesalehan-ekologi