Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas, dan Mantan Ketua Bidang PIP Pimpinan Pusat IPM
“Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masysrakat dan
dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadaian.” –Pramoedya Ananta Toer”
Tidak bisa dipungkiri bahwa visi kebangsaan IPM sudah termanifestasikan dalam
berbagai ranah aktifisme sejarahnya semenjak kelahiran di tahun 1961. Bulan ini
genap setengah abad berdiri dengan segala kelebihan dan pekerjaan yang masih
menumpuk di depan mata kita. Ke depan visi kebangsaan ini juga diperkuat dengan
visualisasi gerakan untuk menopang terwujudnya peradaban yang tercerahkan
sebagaimana visi-misi Muhammadiyah. Ini adalah PR bersama kita tentu saja kita
secara individual bisa menyamai sendiri-sendiri dan dengan berbagai inovasi dan
keterlibatan alumni IPM di berbagai lembaga dan komunitas diharapkan
mempercepat (akselerasi) pertumbuhan anak bangsa yang berdaulat dan
transformatif. Bagi kita, refleksi 50 tahun IPM-IRM bergerak adalah satu
momentum untuk kembali memperkuat barisan IPM, alumni IPM dalam memperkokoh
visi kebangsaan, keummatan, dan pengamban misi peradaban.
Sering muncul kebangaan korp ketika usia 50 tahun IPM bergerak, telah
memberikan kosntribusi besar pada perjuangan mengawal reformasi dan pembentukan
pemeirntahn bersaih yang digambarkan oleh kader-kader IPM yang bergerak di
ranah politik dan pemerintahan taruhlah contoh ada Busro Muqodas (Ketua KPK),
Hajriyanto T (Wakil Ketua MPR), dan sebagainya. Di bidang pendidikan, alumni
IPM yang menerkuni sebagai guru, dosen, dan aktifis di berbagai NGO, pusat
kajian, lembaga penerbitan, enterprenurship, dan berbagai komunitas sudah
memberikan warna tersendiri bagi Indonesia. kemenangan-kemenangan kecil itu
sudah didepan mata kita semua. Di sisi lain terhampar PR yang tidak sedikit
yang akan menggelisahkan kita sepanjang usia di mana bangsa ini masih rendah
jumlah bacaannya, penindasan dan kebijakan yang tidak manusiawi, melawan ras
akeadilan, juga korupsi dan praktik anti-agama lainnya. Kita kadang merasa, 10
tahun terakhir ini bangsa kita involusi, mungkin kita dan IPM sendiri absen
dalam progress dan inovasi yang bisa dianggap ‘luar biasa’. Kebaranian melawan
arus itu masih samar-samar di lingkungan kita.
Banyak engle yang kita bisa mulai untuk membincang masa depan “IPM yang
Berjaya” tanpa mengurangi ruh gerakan. Dalam kesempatan ini penulis hendak
memberikan urun rembug mengenai bagaimana IPM memberikan konstribusi secara
signifikan dalam pencerdasan bangsa melalai implementasi visi kelimuwan IPM
yang dimanifestasikan dalam “gerakan iqro” atau gerakan membaca yang sampai
hari ini belum menjadi meanstream di tubuh gerakan ini baik secara individual
maupun organisasi. Hal itu membuat penulis ingin mempertajam diskusi mengenai
bagaimana IPM ke depan betul-betul berada di garis terdepan dalam gerakan
membaca. Ada adapun landasan pikir dan dampak akan penulis diskusikan di bagian
selanjutnya.
Visi Kebangsaan Gerakan Iqro’
Sebagai orang yang pernah aktif di IRM, saya membaca visi baik IRM atau IPM
melalaui rangkain kalimat yang berbeda tanpa mengurangi maksud yang termaktub
dalam berbagai keputusan organisasi (Muktamar) yang setiap dua tahun
diselenggarakan dengan menelan biaya ratusan juta setiap event. Setidaknya ada
tiga target utama dalam menekuni IPM sebagai gerakan pelajar. Pertama, visi
pembebasan manusia. Kedua, visi perwujudan generasi Ilmu. Dan terakhir, adalah
visi sebagai bangsa unggul.
Pertama, untuk memperjuangkan visi pembebasan IPM dan alumni memang harus
bergumul dari mulai urusan pendidikan, social, budaya, dan politik. Karena
keempat ranah itulah yang paling potensial untuk terjadinya dominasi, hegemoni
dan mewabahkanya penindasan. IPM dan Muhammadiyah seharusnya berjalan seiring
dan sejalan dalam konsep alternative untuk pembebasan manusia yang seringkali
kita sebut sebagai teologi al-maun (teologi pembebesan Muhammadiyah).
Implementasi dari teologi itu tidak boleh saling bertentangan. Taruhlah contoh,
Muhammadiyah sebagaimana tuntutan sebagian aktifis IPM untuk keluar dari system
pendidikan meanstream ala negara dimana segala sesuatu terpusat dan segala
bentuk otoritas untuk mengatakan layak lulus dan tidak lulus dikuasai oleh
negara (melalui Ujian Nasional (UN)/UNAS) maka Muhammadiyah seharusnya berada
dipihak IPM dan bukan malah menghambat kritisisme yang berkembang di media.
Sebagaimana Buya Syafii Maarif sering mengatakan bahwa gerakan Muhammadiyah
masih sebatas sebagai gerakan pembantu karena di ranah pendidikan Muhammadiyah
tidak ‘mampu’ berfikir alternative. Banyak contoh kasus yang ternyata bisa
keluar dari dominasi negara seperti ponpes Gontor Jawa Timur tanpa Ujian
Nasional tetapi ijazahnya bisa diakui oleh berbagai universitas dalam dan luar
negeri.
Kenapa UN ini terhubung kuat dengan visi pembebasan karena tidak bisa dipungkiri
UN ini telah menjelma menjadi malapetaka bagi pelajar, orangtua, dan
nilai-nilai luhur bangsa yang tercabik oleh berbagai bentuk angkara murka
penipuan, korupsi, contek massal (baca: kasus Siami dan Alif di Jawa Timur),
dan lalu munculnya fenomena yang disebut Dr. Haedar Nashir sebagai masyarakat
yang sakit (Kedaulatan Rakyat, 18 Juni 2011). Gerakan kritis menyoroti
persoalan UN semakin kencang dilakukan IPM enam tahun terakhir ini namun
Muhammadiyah dan diksdasmen Nampak belum bergeming. Dan ini telah menjadi
hambatan serius bagi IPM untuk mengejawantahkan visi pembebasan (teologi
al-maun yang perlu diperjuangkan IPM). Model-model alternative dalam dunia
pendidikan sebetulnya sudah banyak dipelajari di berbagai lini perkederan IPM.
Kader potensial sudah mafhum dengan pemikiran Kyai Dahlan, Paulo Freire, Ki
Hajar Dewantoro, Marx, Dewey, dan sebagainya namun mereka masih bingung
memahami para punggowo Muhammadiyah yang mendapat gelar sebagai “13 dewa” itu.
Alternatif yang saya yakini sampai hari ini memang masih sama, bahwa kader dan
alumni IPM harus menyuarakan jati diri sebagai pelajar melalui gerakan
kesadaran membaca. Untuk apa? Untuk membangun kesadaran, menjaga kewarasan,
membebaskan diri, dan tidak alergi terhadap apa yang disebut pemikiran ‘jalan lain’,
‘jalan ketiga’, alternative’, maupun gagasan-gagasan‘subaltern’.
Visi kedua adalah perwujudan generasi ilmu yang akan memperkuat visi
pembebasan. Semenjak tahun 2002 secara formal gerakan iqro’ (membaca)
dilaunching namun secara cultural gerakan IPM semenjak kelahirannya memang
dijiwai oleh semangat ‘pencari ilmu’ yaitu kaum terpelajar atau terdidik, atau
meminjam bahasa Yudi Latief disebut kelompok intelegensia atau jika dirunut
dalam khasanah ilmuwan Barat yaitu Antonio Gramsci menyebutnya sebagai “intelektual
organik” (Gramsci, 1971) yang kemudian dibahasakan sebagai kelompok
ilmuwan-aktifis untuk membedakan dengan kelompok ilmuwan ‘tradisional’,
intelektual konvensional’ atau ‘official intelectual’ (label lainnya: ilmuwan
menara gading, ilmuwan-pedagang, ilmuwan-pejabat dan sebagainya). Memang kita
harus punya standing position dalam pemahaman terminology-terminologi kelompok
intelektual yang semakin hari mengalami dinamika yang beragam setidaknya sampai
hari ini kita sering dibingungkan ol;eh berbagai kategori academic seperti
intelektual progresif, intelektual organic, intelektual-ulama,
intelektual-liberal, dan seterusnya. Namun sebenarnya kepentingan kita adalah
bagaimana kerja-kerja intelektual kita juga bisa membumi untuk kalangan pelajar
kota dan desa teritama keberpihakan kita kepada pelajar marginal (marginalized
community). Bagi aktifis IPM sendiri memang sering kali dianggap belum fokus
gerakannya karena kecenderungan bermuka banyak wajah dalam gerakan IPM baik
sebagai ortom, sebagai NGO/LSM, atau kelompok new social movement yang
menyuarakan hak-hak minoritas/kaum marginal dikalangan remaja (IRM mengurusi
kenakalan remaja dan sekitarnya).
Visi keilmuwan dikejawantakan salah satunya adalah gerakan membaca yang sangat
membumi dalam tataran intelektualitas dan teoritis namun kering dalam praktik
seharusnya tidak divonis gegal namun bisa dikatakan ‘belum berhasil’ sehingga
perlu penguatan di berbagai struktur penopang, insfrastruktur, dan sebagainya
termasuk bagaimana model-model perpustakaan alternative, sekolah ‘informal’
atau yang disebut Andreas Harefa sebagai “masyarakat pembelajar” dan sejenisnya
untuk terus dikenbangkan sebagai model arus ‘utama’ dalam gerakan IPM. Kita
tahu, beberapa alumni sudah memulai mendedikasikan diri dalam komunitas riil
yang kita harus apresiasi. Kurang lebih 4 tahun lalu, ada jargon di lingkungan
IPM: “Gerakan Iqro’ melawan kebodohan dan penindasan”. Ini juga menunjukkan
bagaimana visi gerakan IPM melejit melampuai visi-visi gerakan kepelajaran
lainnya.
Ketiga merupakan visi yang rada ‘developmentalism’ namun mempunyai manfaat
untuk survive memenangkan globalisasi. Di zaman yang dilabeli sebagai ‘zaman
akhir’ (ramalan Jawa) atau oleh pemikir futuristic Alvin Tofler sebagai zaman
informasi, zaman tunggang langgang ( Antony Gidden), dan zaman bergerak
(Takeshi Siraishi) keunggulan komparasi atau kecanggihan mengakses tekhnologi
memang slaah satu senjeta pamungkas memenangkan pertempuran kapitalisme global.
Satu petikan yang menarik adalah bahwa buta huruf di era sekarang ini bukan
melulu sebagai ketidakmampuan (disability)membaca huruf dan angka namun lebih
pada ketidakberdayaan memanfaatkan system tekhnologi dan informasi (Tofler,
2000). Maka dari inspirasi itu, IPM diharapkan, dalam usia 50 tahun ini
mempunyai kemampuan menafsir tanda zaman dan menginterpretasi kembali
pakem-pakem zaman dahulu untuk ditransformasikan secara lebih cerdas dan
visioner.
Apa yang disebut visi pemberadaban ala IPM kemudian tidak melulu dianggap
sebagai suatu yang jauh tidak tergapai namun lebih sebagai proses, keberanian
melakukan perubahan (anti status que yang rasional). Pendek kata, kita
berproses untuk membebaskan, mencerahkan peradaban namun prose situ harus
terukur,m jelas di depan mata kepala kita dan akan kemana muara sebuah ikhtiar
yang dimanifestasikan dari muktamar ke muktamar (mulai gerakan tiga “T”—tertib
ibadah, organisasi, dan belajar, gerakan anti kekerasan, kritis transformatif,
Pelajar berdaulat, visi gerakan pelajar baru, sampai yang terakhir gerakan
komunitas kreatif) dan nanti apa lagi di masa yang akan datang. Pertanyaannya,
benarkah kita telah merangkai dinamika itu dalam setiap muktamar mempunyai
hubungan ideologis, epistemologi terkait sejarah apa yang sudah, sedang, dan
akan dikerjakan IPM.
Pelopor Gerakan Membaca: Peran Strategis Gerakan Pelajar
Gerakan Iqro’ adalah branding aseli IPM yang secara luas diartikan sebagai
manifestasi gerakan ilmu di tubuh IPM dengan dilandasi nalar kritis
transformative. Adapun penjelasan gerakan ini meliputi aktifitas membaca dan
menulis dengan ragam aktifitas kreatif di dalamnya mulai bedah buku, membuat
media, milis, dan seterusnya (Baca Tanfidz Muktamar Medan 2006). Bahkan Quraish
Shihab sendiri dalam tafsirnya menjelaskan kata iqro meliputi kegiatan membaca,
memahami, meneliti baik naskah yang tertulis atau naskah yang tidak tertulis
(Shihab dalam tafsir Al-Misbah, 2002). Seorang intelektual organik dari Amerika
Latin pernah menyatakan ungkapan yang singkat dan tajam bahwa, “ jika semua
rakyat berdaulat atas kata-kata (membaca), maka penguasa atau pendeta akan
kehilangan sifat dominasi dan hegemoninya.” Pernyataan itu tidak berlebihan,
dalam masyarakat yang mempunyai tingkat literasi tinggi maka kebebasan sipil
tinggi lalu demokrasi berkembang dengan baik sebagaimana di beberapa negara
barat walau dengan batasan tertentu (Amerika, Inggris, Perancis, dan Jerman).
Tahun 2010 tercatat basis utama anggota dan simpatisan IPM seluruh Indonesia
adalah tersebar sebanyak 1.188 Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah, 534 Mts,
515 SMA, 278 SMK, 172 MA (profil Muhammadiyah 2010), maka kerja-kerja pejuang
IPM tidaklah ringan dan tentu saja penuh dengan tantangan. Tidak bisa
diperdebatkan bahwa IPM mengambil peran kesejarahan dalam dinamika lokal dan
nasioanl sebelukm dan pasca reformasi di bumi Nusantara ini. Peran gerakan
pelajar ini yang menurut hemat penulis perlu diperkuat adalah meyakinkan bahwa
gerakan membaca/iqro mampu mengantarkan anak bangsa ke gerbang masyarakat yang
beradab dan adil. Dengan gerakan membaca orang pintar tidak hanya didominasi
oleh jebolan sekolah tinggi dan luar negeri, anak borjuasi dan penguasa
aristokrasi, namun dengan visi pembebasan melalui gerakan membaca diharapkan
setiap anak bangsa bisa belajar, anak tidak terperosok sebagai kelompok remaja
putus sekolah, dan anak jalanan tidak melulu mendapat stigma buruk karena
seluruh bumi dan situasi ruang kita desain sebagai rumah belajar alternative,
ruang membaca tanpa batas, dan ruang imaginasi untuk melakukan transformasi
social (social engineering) yang sejatinya kita sudah memikirkannya hanya kapan
kita harus memulainya. Ingat satu ungkapan inggris: if not us, who? If not now,
when?
Penting direnungkan sbagaimana penggalan kalimat di atas yang ditulis oleh
Pramudya betapa membaca dan menulis sebagai bagian penting dari bangsa beradab.
Gerakan Iqro’ IPM sangatlah strategis yang sudah diusung sekian tahun dan
dicoba diinstal dalam kehidupan sehari-hari kadernya hanya perlu revitalisasi
mengikuti laju kencangnya arus perubahan sehingga harus ada upaya mengupdate
strategi untuk mencapai target dimaksud. Taufiq Ismail (2002) lebih dramatis
menyampaikan keprihatinannya pada minat baca anak bangsa sampai beliau
mengungkapkan bahwa Indonesia sedang dilanda “Tragedy Nol Baca” yang entah
sampai kapan akan berakhir. Gerakan membaca dan menulis adalah kembar siam yang
tidak terpisahkan sehingga terus saja dipacu tanpa henti. Kontribusi IPM untuk
memerangi bencana ini haruslah kongkrit diusia ke-50 tahun sebagai bagian
integral dari visi pembebasan.
Secara pribadi, saya yakin tanpa kesadaran untuk mentradisikan membaca sangat
mustahil lahir pada zaman itu sosok Syahrir, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Kyai
Dahlan, Mahatmagandhi, Soe Hok Gie, dan seterusnya. Pribadi berkarakter kuat
banyak dilahirkan oleh tradisi baca-tulis yang kuat pula. Hubungan ini hampir
tidak diragukan, maka betapa stareteginya gerakan membaca ini menjadi peran
strategis kebangsaan yang telah, sedang, dan akan terus diperjuangkan oleh
kader persyarakitan baik structural maupun cultural, baik dilakaukan secara
sembunyi atau terang-terangan, baik pribadi atau jamaah. Satu hal yang jelas,
bahwa kesadaran membaca dan kewajiban baca-tulis bukanlah sesuatu hal yang bisa
dihukumi ‘fardhu kifayah’ namun sebagai kewajiban utama dengan tumpuhan
idelogis surat al-Alaq (ayat 1-5) dan surat al-Qalam.
Catatan Penutup
Gerakan apa pun namanya adalah sebuah proses dinamis diliputi oleh pro-kontra,
pasang naik dan pasang surut dalam setiap langka perjuangannya. Bagi kita kaum
terdidik, tentu menyuarakan dan menjaga idealism adalah pekerjaan yang tidak
ringan ditambah beban sejarah untuk mengabdi sebagai barisan intelektual
organic tentu tidaklah ringan. Konon, di negeri ini menjaga tetap waras saja
susah apalagi berbuat baik dan menularkan kebaikan akal budi kita. Namun,
stigma gagal, involusi, dan ‘degenerasi’ yang terus kita tancapkan kepada
komunitas dan diri sendiri menjadi kabar buruk bagi bumi. Maka ikhtiar
mencerahkan anak bangsa yang termarginalkan oleh pembangunan adalah kerja-kerja
tidak ‘basah’ bahkan mengundang ‘sengsara’ sehingga teramat mulia untuk tidak
diperjuangkan. Selamat milad IPM, selamat bergerak untuk aktifis dan alumni di
mana saja berada karena hidup ini akan berhenti jika kita tidak bergerak. Dan
gerakan cerdas, kritis, alternative, itu adalah lahir dari pribadi-pribadi
merdeka yang lahir di setiap zamannya.
Jika kita perhatikan sepintas, peta social dan politik serta budaya mengalami
laju tunggang langgang terutama pasca reformasi dan perdagangan bebas sementara
gerakan pelajar mengalami involusi artinya tidak menyesuaikan diri dengan zaman
dengan inovasi dan progress maka kondisi ini sebenarnya kabar sangat buruk bagi
kelangsungan IPM, Muhammadiyah dalam mengemban dakwah amar ma’ruf (humanism)
dan nahi munkar (liberasi) untuk mewujudkan wajah masyarakat yang menjadi rahmat
bagi semesta alam. Pertanyaannya, tawaran progress dan inovasi apa yang
diberikan IPM untuk ‘merayakan’ milad setengah abad? Ada secercah psimisme
melanda jangan-jangan seremonial ini hanya sebuah festival yang akan segera
dilupakan dan menjadi romantisme. Namun, ide member kado dalam bentuk tulisan
adalah manifestasi kongkrit dari bentuk gerakan anti-kejumudan berfikir dan
involusi laku.
Ke depan kaum pelajar yang tergabung dalam IPM perlu sedikit merevisi jargon
idealis bahwa pelajar sebagai agen perubahan (agent of change) menjadi sedikit
progresif yaitu agen perlawanan (agent of resistance) untuk men-counter budaya
dominan baik dalam era kapitalisme global yang terus saja menggencet kita dari
segala penjuruh mata angin kanan dan kiri, atas dan bawah yang berdampak pada
meluasnya bentuk-bentuk ketidakadilan, dikatator, soft authoriatian, dan
bentuk-bentuk kolonialisme dan imperaslisme gaya baru yang tercermin dalam
berbagai praktik politik lokal dan nasional hari ini. Kita tahu kondisi “the
silent majority” di masyarakat kita dalam berbagai peristiwa termasuk ujian
nasional, pemberantasan korupsi dana pendidikan, dan sebagainya adalah isyarat
buruk peradaban modern dewasa ini dan menjadikan subyek garapan IPM menjadi
lebih kompleks.
Maka, jika bukan kaum pelajar yang menyuarakan perlawanan atas ketidakadilan
dan system undemocratic yang anti kemanusiaan maka kita sejatinya memberikan
konstribusinya atas jejaring projek maha besar yang bernama: DEHUMANISASI dan
DELIBERALISASI. Kita bisa memulainya dengan membangun kesadaran baru bahwa
gerakan membaca adalah konstribusi besar kita menyelematkan bangsa setidaknya
adalah mengurangi dampak “silent society” yang menjadikan keadilan dan
kebenaran terkubur semakin dalam. Akhirnya, selamat milad IPM semoga terus
mendobrak kebobrokan berfikir dan tragesi nol baca untuk pembebasan manusia
Indonesia.[]