Direktur Rumah Baca Komunitas
Dalam pemahaman sederhana saya,
melek huruf tidak berarti melek baca. Artinya kemampuan membaca dan
menulis tidak serta merta diikuti dengan semangat membaca dan menelaah berbagai
materi bacaan (buku, majalah, Koran, dan sebagainya). Jadi, jangan
bersenang-senang dulu jika kita berhasil menurunkan angka buta huruf di
Indonesia kemudian kita merasa puas. Pembangunan manusia tidak selesai dengan
memberantas buta huruf.
Fakta membuktikan bahwa tradisi
emembaca cukup mewarnai tokoh-tokoh revolusi baik di Indonesia maupun di luar
negeri.
Sukarno, Bung Hatta, dan
Tan Malaka adalah sedikit dari manusia Indonesia yang menginplementasikan hasil
pembacaan (text-kontext) dalam melawan balik kolonialisme. Konsep-konsep barat
didekuntruksi dan dikawinkan dengan aspek dan nilai-nilai lokalitas untuk
memperkuat bangunan pengetahuan dan militansi manusia Indonesia. Lalu, Sukarno
memunculkan gagasan Trisakti yaitu pentingnya kepribadian, kemandirian, dan
kedaulatan negara.
Membaca dan anti-konservatisme.
Banyak fakta memberikan
ilustrasi bahwa kekurangan membaca menjadikan daya kritisi tumpul, pemikiran
buntu (jumud) dan menjadikan seseorang tertutup atas kebenaran lain (closed
minded) sehingga seringkali menolak dialog menegasikan kemungkinan alternative.
Ujung dari persoalan ini kemudian memantik kekerasan dalam berbagai
situasi SARA. Dr. Zaenal Abidin Bagir mengatakan bahwa satu-satunya cara
menjadikan kita kritis terhadap situasi adalah dengan membaca. Bekerja keras
membaca adalah salah satu strategi ampuh menggempur kejumudan berfikir.
Hal ini sudah diajarkan oleh
Aristotele dengan terus bertanya atas situasi yang ada. Bagi dia tidak ada
kebenaran final yang diciptakan manusia sebab kebenaran itu sendiri dinamis.
Kebenaran itu tidak lain dan tidak bukan adalah kekeliruan yang belum teruji.
Jika kita memegang teguh kebenaran semu maka tentu akan mengalami kemandegan
intelektual.
Taruhlah contoh, Peter
Berger membuat thesis tentang masyarakat sekuler dimana pengaruh agama-agama di
masa depan akan semakin melemah diruang publik. Situasi justru mengatakan
sebaliknya dan dia pun tidak keberana untuk mengatakan bahwa teorinya sudah
using (out of date). Dari sini kita memahami bahwa di kalangan intelektual
Barat mempunyai tradisi self-critique yang cukup kuat sehingga ilmu pengetahuan
menjadi dinamis.
Namun demikian, bisa jadi banyak
orang membaca tetapi cukup eklusif yaitu emmbaca materi-materi yang hanya
sepaham dan seideologi sehingga menjadi seperti ‘katak dalam tempurung’
sehingga hasanah pengetahuan lain tercampakkan karena ego keyakinan sesaat.
Keyakinan ideologis memang terus diperdebatkan terkait penerimaan kelompok
agama tertentu terhadap pengetahuan yang berasal dari dunia lain (contoh: budaya
asing, westernisasi). Hal ini memang masih menjangkiti sebagian komunitas
sehingga upaya untuk mendamaikan ilmu barat dan timur menjadi keniscayaan.
Tuhan saja, menurut penganut islam tidak berada di Barat atau Timur, utara atau
selatan tetapi meliputi dan eksis di segala penjuru sehingga ilmu pun demikian,
tidak bisa didikotomikan sebagai ilmu agama dan ilmu umum/sekuler atau ilmu
islam dan non-islam. Ini adalah pendangkalan ilmu secara berlebihan.
Pertanyaan kemudian adalah
bagaimana tradisi membaca dapat mendobrak kejumudan pikiran masyarakat?
Pertama, buku harus
ditempatkan sebagai sumber pengetahuan yang kebenarannya dapat didialogkan dan
dinamis. Kedua, buku adalah produk yang tidak pernah 100 persen terlepas dari
subjektifitas sehingga harus mencari alternatif bacaan guna melengkapi
pengetahuan. Ketiga, tradisi membaca dan menulis harus menjadi bagian tidak
terpisahkan dari masyarakat ilmu yang
Catatan Penutup
Bahwa sebuah masyarakat akan
bergerak maju apabila ilmu pengetahuan menjadi bagian hidup dan terrefleksikan
dalam kegiatan sehari-hari. Masyarakat ilmu yang dicita-citakan adalah
masyarakat ilmu yang terintegariskan dalam ruang privat sebagai kebenaran
dialogis dan tidak menjadikan masyarakat jumud dan terkungkung oleh keyakinan
akan kebenarans semu (false consciousness).
Masyarakat ilmu yang dilandasi
oleh nilai-nilai keadilan dan keyakina n pentingnya memanusikan manusia. Hal
ini berarti, ilmu dan agama tidak konfrontasi dan justru damai dalam satu
kebaikan umum
No comments:
Post a Comment