Direktur Rumah Baca Komunitas
Gerakan Membaca atau gerakan Iqro
secara harfiah mempunyai makna sama tetapi dalam perspektif ideologis gerakan
Iqro mempunyai penekanan pada pentingnya ideologi pembebasan yang termaktum
dalam theologi IPM 'gerakan kritis tranformatif' yaitu perlunya nilai-nilai
penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan dalam gerakannya (baca tanfidz Muktamar
IRM Lampung 2004). Sementara gerakan membaca terlihat agak bermadzab developmentalisme
yang percaya bahwa membaca akan membantu menyelesaikan persoalan tugas
sekolah/kuliah untuk naik kepada jenjang karier berikutnya. Inilah perbedaan
itu. Persoalannya adalah apakah semua kader IPM paham?
Karena faktanya seringkali
terjadi patahan paradigma dalam periode di IPM sehingga mengancam orientasi
fisi masa depannya baik internal maupun kebutuhan untuk menawarkan alternatif
atas persoalan global kekinian. Saatnyalah kita bekerja sama untuk kembali
membumikan gerakan Iqro yang sampai hari ini belum beranjak ke mana-mana. Bagi
saya, masih jauh panggang dari api.
Pribumisasi Gerakan iqro
Dari survey yang dilakukan oleh
harian KR dan UPN di Yogyakarta awal Oktober lalu memunculkan fakta baru bahwa
hanya 5% anggaran mahasiswa untuk membeli buku dan menghabiskan sebagian besar
untuk wisata kuliner setiap hari. Ini di kota pelajar, bagaimana ini juga akan
terjadi di kota yang lebih besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan,
makasar? tentu hasilnya akan sangat lebih buruk jika kita asumsikan pada
tersedianya akses buku murah, pameran, dan perpustakaan. Fakta ini harus
dijawab dengan langkah nyata bahwa kita perlu advokasi gerakan iqro tidak
peduli siapa dan di lingkungan apa kita berada. Gerakan Iqro, ekpresi gerakan
pelajar/terdidik, adalah ruh bangsa yang sedang dalam taruhan zaman.
Pribumisasi gerakan ini tidaklah
sulit karena infrastruktur kita sudah terbentuk dari pusat sampai ranting, dari
universitas sampai TK ABA sehingga hanya kemauan, social will atau political
will dari pengambil kebijakan di organisasi untuk eksekusi pentingnya 5 pilar
gerakan Iqro diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai standar
kualifikasi kader/kekaderan harus diukur dengan tradisi baca-tulis yang ketat
sehingga kualitas intelektual dapat dipertanggungjwabkan tidak hanya di hadapan
manusia tetapi juga sebagai khalifah yang haus ilmu dengan bersandar pada wahyu
ilahi: IQRO!!
Setidaknya ada beberapa langkah
yang dapat dilakukan untuk revolusi damai Indonesia dengan gerakan membaca.
Pertama, gerakan harus mulai dari atas dan bawah agar cepat. PP IPM, misalnya,
merekrut manusia-manusia super untuk mengelola berbagai komunitas pecinta buku
dan rumah baca yang sudah ada sembari menginisiasi untuk membuka yang baru
dengan dukungan finansial dan material perpustakaan komunitas. Alumni pun harus
dilibatkan termasuk amal usaha Muhammadiyah. Perpustakaan ranting, cabang,
daerah harus menjadi target kultur organisasi baru sheingga menjadi lebih melek
baca.
Kedua, menggembirakan minat baca
di lingkungan sekolah yang emnjadi basis organisasi IPM sperti SMP/SMA
sederajat. Perpustakaan sekolah tidak lagi boleh menjadi gudang atau formalitas
tetapi harus dimanfaatkan. Pengurus IPM wajib dilibatkan menjadi pengelola
perpustakaan sehingga menjadi pelajaran tersendiri bagi mereka untuk
menghasilkan manusia-manusia pecinta buku/ilmu. Perpustakaan tidak bisa
diserahkan sepenuhnya kepada pegawai sekolah yang dibatasi 'jam tayang'
sehingga tidak bisa diakses dengan mudah.
Ketiga, kesadaran perlu dibangun
dengan menggaet stake holder yang dirasa dapat memberikan konstribusi secara
kongkrit seperti amal usaha muhammadiyah untuk penyediaan buku, hibah buku,
ruang, dan mungkin akses-akses internet untuk memajukan budaya baca-tulis
tersebut. dengan demikian,spirit Iqro ditularkan kepada institusi dan lembaga
yang pada akhirnya akan membantu keberlangsungan gerakan membaca. Ini adalah
persoalan kebijakan lembaga/amal usaaha untuk mengalokasikan anggaran untuk
gerakan membaca.
CSR (Social Responsibility) yang
selama ini dimaknai sebagai kegiatan sosial diluar kegiatan kampanye pentingnya
membaca kemudian perlu realokasi untuk kegiatan rumah baca yang secara nyata
lebih berdimensi jangka panjang lantaran buku dan perlengkapan perpustakaan
komunitas dapat hidup lebih lama ketimbang konsumsi lainnya. Hal ini kemudian
mengetuk tranparansi para pengelola CSR perusahaan. Tidak hanya itu, banyak kasus pengelolaan lembaga zakat yang
kadang tidak mengalokasikan zakat untuk pemberdayaan sehingga berdimensi jangka
pendek karena dianggap hanya untuk alokasi pangan sehari-hari orang miskin.
Kebutuhan buku, layaknya, kebutuhan pendidikan harus dimaknai sebagai kebutuhan
primer dan penting sehingga unsur pemberdayaan berorientasi masa depan ini
harus digalakkan dan digemberikan.
Sebagai kalimat penutup catatan
singkat ini, saya kembali menekankan bahwa upaya pembumian gerakan Iqro--agar
dapat dengan mudah dipahami dan dilaksanakan oleh jaringan organisasi tentu
saja pembumian ini tidak hanya menyangkut dimensi fisik dimana harus menghadirkan
rumah baca sebagai manifestasi gerakan tetapi juga ideologisasi terhadap
gerakan itu sendiri sehingga aspek ibadah, sosial menyatu atau antara yang
duniawi dan ukhrowi juga berkelindan dalam gerakan ini.
Wallahu 'alam bi asshowab.
No comments:
Post a Comment