Oleh : Dr. Al-Zastrouw
Ketua Lesbumi PBNU
Data-data
survey menunjukkan, masyarakat Indonesia menempati posisi terendah di Asia
dalam budaya memebaca. Rendahnya budaya baca ini tidak hanya terjadi di
kalalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan pelajar, mahasiswa, guru, bahkan
dosen dan akademisi yang mestinya dekat dengan aktivitas membaca. Kebiasaan
membaca mereka rata-rata kurang dari satu jam perhari. Kalau komunitas akademik
hanya memiliki kebiasaan membaca kurang dari satu jam per hari, maka berapa
menit masyarakat umum memiliki kebiasaan waktu membaca (Baidhowi; 2010).
Data
ini perkuat oleh laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND, dan studi IEA
(International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di
Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor
51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand ( skor 65,1), Singapura (skor
74,0), dan Hongkong (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang
Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain
juga menyebutkan (UNDP) dalam Human Report 2000, bahwa angka melek huruf orang
dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4
persen, dan negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika
Serikat umunya sudah mencapai 99,0 persen (Ben S. Galus; 2011).
Rendahnya
budaya baca masyarakat Indonesia ini bisa dilihat dari jumlah buku baru yang
terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan
Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun,
sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun. Kesenjangan budaya baca ini
akan semikin terlihat kalau dibandingkan dengan Jepang. Menurut kalangan pers
Jepang, tiras koran yang beredar setiap hari mencapai 60 juta. Padahal penduduk
Jepang hanya 125,6 juta. Di Jepang rata-rata pembaca koran 1:2 sampai 1:3.
Artinya, tiap dua atau tiga penduduk, satu diantaranya baca koran. Mungkin tiap
rumah di Jepang berlangganan satau sampai dua Koran, sehingga tidak heran
banyak mempengaruhi hidup mereka dalam banyak aspek, seperti cultural, ilmiah,
sosial, ekonomis, demokratis, dan kreativitas individu.
Selain
dari jumlah penerbitan buku, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia juga
terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap tempat, mulai café, halte bus,
stasiun kereta, bandara, taman dan area bublik lainnya kita jarang sekali
melihat ada orang yang membaca, mereka lebih banyak ngobrol, main HP atau
bengong sambil melamun. Kondisi ini sangat berbeda dengan masyarakat Jepang,
yang budaya membacanya sudah tinggi. Di Jepang kita akan mudah melihat
dan menemukan orang membaca di Stasion Kreta Api, terminal bus atau antrean
calon penumpang taksi. Bahkan tidak sedikit yang tetap membaca sambil berjalan
dengan langkah-langkah cepat.
Paparan
di atas menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih dekat dengan budaya tutur
(oral tradition) daripada budaya baca. Di tengah kuatnya tarikan budaya tutur,
tiba-tiba datang tehnologi audio visual yang menyajikan berbagai macam hiburan
yang tidak saja dapat didengar tetapi juga dapat dilihat. Kondisi ini makin
menjauhkan masyarakat terhadap budaya baca, karena budaya menonton dan
mendengar jauh lebih mudah dan lebih menyenangkan dari pada
budya
baca, Terjadinya lompatan budaya menonton dari budaya tutur tidak saja bisa
melemahkan budaya baca tetapi juga menghilangkan sensitifitas masyarakat
terhadap bacaan dan ini sama artinya dengan terjadinya stagnasi budaya yang
menjebak masayrakat Indonesia dalam budaya tutur.
Dalam
perspektif sosiologis, budaya oral menunjukkan posisi awal (rendah) dalam
perkembangan perdaban manusia. Sebagaimana dijelaskan Auguste Comte bahwa
masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama, yang masing-masing tahap
ditentukan menurut cara berpikir dominan; teologis, metafisik dan positif .[1] Fase teologis yang
terbagi dalam tiga fase; fetisisme, politeisme dan moniteisme, kebudayaan
didominasi oleh bentuk pikiran thayyul dan mitos sebagaimana tercermin dalam
masyarakat primitive. Pada fase metafisik ditandai dengan kepercayaan akan
hukum-hukum alam yang asasi yang dapat diterima akal budi. Fase Positif
ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan (Doyle
Paul Johnson; 86). Dalam tiga fase ini ini, budaya lisan berada pada fase
pertama dan permulaana fase kedua. Ini artinya budaya membaca suatu masayarakat
menjadi ukuran kemajauan peradaban. Dengan kata lain semakin tinggi budaya
membaca maka semakin tinggi taraf peradaban masyarakat tersebut, demikian
sebaliknya. Jika perspektif Comte ini kita gunakan untuk melihat masyarakat
Indonesia saat ini, maka jelas terlihat bahwa sebenarnya masyarakat Indodnesia
masih berada dalam fase teologis dan metafisik sekalipun hidup dalam perdaban
modern, dibuktikan dengan rendahnya budaya baca dan tingginya budaya tutur.
Melihat
kenyataan yang ada, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana
mentransformasikan budaya tutur yang metafisis menjadi budaya baca yang
positifistik. Dengan kata lain bagaimana memodernisasikan masyarakat Indonesia
melalui pengingkatan budaya?
Kebudayaan dan Habitus Masyarakat Indonesia
Sebelum
mebahas upaya meningkatkan budaya baca di kalangan masyarakat, ada baiknya kami
memaparkan soal kebudayaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang
lebih spesifik mengenai kebudayaan yang terkait dengan upaya penumbuhan minat
baca di kalangan masyarakat, menginat begitu luasnya definisi mengenai
kebudayaan.
Krober
dan Kluckhon sebagaimana dikutip Sutrisno dan Putranto (2009;5) merumuskan
kebudayaan dalam enam pengertian: Pertama, kebudayaan sebagai hasil yang
total dan komprehensif dimana kehidupan sosial masyarakat terstruktur secara
simetris dan diametral. Dalam hal ini budaya hendak ditempatkan sebagai pedoman
dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain budaya adalah system dalam
masyarakat; kedua, budaya sebagai warisan leluhur yang berisi
kaidah-kaidah/norma-norma kehidupan dimana generasi selanjutnya wajib menerima
dan menjaga untuk diteruskan pada generasi berikutnya; ketiga, budaya
adalah setumpuk aturan yang membentuk pola perilaku seseorang ataupun
masyarakat; keempat, budaya adalah piranti atau perangkat lunak yang
memiliki kemampuan memecahkan masalah; kelima, budaya adalah bagian organis
dari seluruh kehidupan masyarakat yang mengkatagorikan dan
mengabstraksikan segala bentuk perilaku kongkrit manusia yang berbeda satu sama
lain;
keenam,
budaya dapat dilihat suatu nilai yang keberadaanya tetap selama manusia itu ada
di atas bumi.
Menurut
Koentjaraningrat (1974;80) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari
bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
“budi” atau “akal”. Dari sini Koentjaraningrat melihat budaya sebagai
“daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah
“keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”
Dari
difinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah segala hasil cipta
karsa manusia baik yang berbentuk materi maupun non materi sebagai sarana
mengaktuali-sasikan diri sebagai manusia dan sebagai sarana perekat social baik
dengan sesama manusia maupun dengan alam.
Ada
tiga hal yang terkait dengan kebudayaan; pertama adalah manusia. Kebudayaan
adalah produk manusia yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya.
Kedua, kebudayaan bukan sesuatu yang berada di ruang hampa atau ada secara
spontan, tetapi kebudayaan ada dan terbentuk melalui proses yang lama, ketiga
hubungan antara manusia dan kebudayaan adalah timbale balik (reversible). Pada
kondisi dan titik tertentu manusia dibentuk oleh kebudayaan yang melingkupinya,
namun pada kondisi dan titik tertentu manusia bisa menjadi agen yang merubah
budaya yang ada dalam suatu masyarakat[2].
Secara
historis, kita bisa melihat, konstruksi sosial masyarakat Indonesia bukanlah
masyarakat yang memiliki budaya baca. Transfer nilai dan kebudayaan dilakukan
melalui budaya lisan (tutur); tembang, dongeng dan kidung dan sejenisnya.
Memang banyak prasasti dan kitab yang ditulis oleh para Empu, seperti kitab
Pararaton, Serat Centhini, Serat Kalatidha, Negarakertagama dan sebagainya
(Agus Sunyoto; 2012). Namun kitab-kitab tersebut secara praktis tidak untuk
dibaca, tetapi disampaikan melalui tembang, terbukti dengan susunan bahasa dan
kalimatnya yang harus sesuai dengan ritme tembang-tembang jawa (guru lagu dan
guru wilangan). Selain itu ajaran etik dan moral lebih banyak disampaikan melalui
dongeng, ceritera tutur dan nasehat-nasehat langsung dari para sesepuh, bukan
dalam bentuk kodivikasi etik yang tertulis. Semua ini menunjukkan bahwa
transfer kebudayaan masyarakat Indonesia lebih banyak dilakukan melalui budaya
lisan. Inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia tidak memiliki habitus
membaca.
Melihat
konstruksi sosiologis dan akar cultural masyarakat Indonesia, perlu ada
strategi kultural yang efektif untuk melakukan transformasi dari budaya
lisan/tutur ke dalam budaya baca. Agar proses transformasi ini bisa berjalan
dengan baik dan cepat, maka kita perlu mencermati hal-hal yang bisa mendorong
terjadinya transformasi tersebut. Artinya upaya meningkatkan budaya baca
merupakan bagian dari proses transformasi kebudayaan masyarakat Indonesia, oleh
karenanya dia menjadi sesuatu yang vital dan penting yang harus dilakaukan
secara
serius dan sunggung-sung karena terkait dengan masa depan dan eksistensi
peradaban bangsa Indonesia.
Transformasi
Menuju Budaya Baca
Koentjoroningrat
membedakan 7 (tujuh) unsur kebudayaan, atau yang disebut sebagai faset-faset
kebudayaan atau “mata bajak” kebudayaan, yakni: (1) sistem kepercayaan; (2)
sistem kekerabatan dan organisasi sosial; (3) sistem mata pencarian hidup atau
ekonomi; (4) bahasa; (5) sistem ilmu pengetahuan; (6) kesenian, dan (7)
peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi) (Koentjaraningrat, 1974).
Selanjutnya
Koentjoroningkat menjelaskan bahwa urutan unsur budaya tersebut juga
menunjukkan urutan kesulitan dalam perubahan budaya. Unsur budaya yang pertama,
yakni ’sistem kepercayaan’, adalah yang paling sulit berubah, sedang unsur yang
ketujuh, yakni ’peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)’ adalah yang
paling mudah. Terkait dengan ketujuh unsur atau faset kebudayaan tersebut,
budaya baca lebih dekat dengan unsur ’bahasa’ atau ’sistem ilmu pengetahuan’,
karena membaca merupakan prasyarat penting yang diperlukan dalam sistem ilmu
pengetahuan (Suparlan;2009).
Dengan
merujuk pada ketujuh faset kebudayaan Koentjoroningkat kita bisa membangun
strategi kebudayaan untuk menumbuhkan budaya baca di kalangan masyarakat. Dari
ketujuh faset kebudayaan Koentjoroningrat, dapat dibagi ke dalam
dua lapis kebudayaan; pertama kebudayaan halus dalam hal ini kami menyebut
dengan soft cultur (budaya lembut) yaitu kebudayaan tak berbentuk
yang terkait dengan pemikiran, norma, nilai, ajaran, sistem keyakinan dan
sebagainya yang dapat mempengaruhi perilaku dan cara hidup manusia. Kedua
kebudayaan material, berbentuk dan dapat dilihat yang kami sebut dengan hard
cultur, seperti produk tehnologi, benda-benda seni atau peralatan yang menjadi
penopang kehidupan.
Berpijak
dari dua model kebudayaan ini, bisa dibuat suatu strategi budaya menumbuhkan
budaya membaca di kalangan masyarakat. Pada sisi soft cultur penumbuhan
budaya baca bisa dilakukan dengan cara merubah habitus masyarakat melalui
transformasi kesadaran. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengembangkan dan
mengeksplorasi berbagai ajaran dan nilai-nilai agama, adat, petuah dan tradisi
yang bisa mendorong tumbuhnya budaya baca. Hal ini penting dilakukan, karena
secara sosiologis masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religious, tetapi
regiusitas masyarakat ini sifatnya masih simbolik formal sehingga belum bisa
menyerap dan mengamalkan ajaran-ajaran yang sifatnya substansial secara
maksimal.
Salah
satu contoh yang bisa diambil di sini adalah ajaran Islam soal membaca. Jelas
ditegaskan dalam Islam bahwa wahyu yang pertama kali turun adalah perintah
untuk membaca. Artinya Islam sangat concern dalam membangun budaya baca. Agar
ajaran Islam mengenai pentingnya budaya membaca ini bisa menjadi kesadaran
kolektif masyarakat, maka perlu ada pemahaman yang bisa mempengaruhi kesadaran
masyarakat bahwa membaca adalah bagian dari tugas ummat beragama, membaca
adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh ummat beragama, selain kewajiban formal
(mahdlah) yang telah ditentukan oleh agama. Pendeknya, pada taraf ini perlu
dieksplorasi secara mendalam berbagai nilai, norma, ajaran dan pemikiran yang
bisa mendorong tumbuhnya budaya baca untuk dijadikana sebagai capital social
dan capital cultural dalam membanagun strategi kebudayaan menumbuhkan budaya
baca.
Agar
proses transformasi habitus melalui penyebaran kesadaran bisa berjalan maka
perlu disediakan ranah tempat pertarungan untuk membentuk produksi cultural.
Sebagaimana dijelaskan Bourdieu di dalam ranah inilah agen-agen akan menempati
berbagai posisi yang ada dan mereka akan terlibat dalam berbagai kompetisi
untuk memperebutkan kepentingan dalam ranah tersebut. Pendeknya, perlu
menjadikan ranah politik, ranah ekonomi, ranah pendidikan, ranah cultural dan
ranah agama sebagai sarana para agen melakukan pertarungan untuk
mentransfornasikan habitus membentuk produksi cultural budaya baca.
Secara
tehnis, untuk menciptakan pertarungan antar agen, perlu dilakukan berbagai
kompetisi dalam setiap ranah yang bisa mendorong setiap agen memanfaatkan
berbagai capital yang mereka miliki; capital social, cultural dan simbolik.
Dengan cara ini upaya mebangun kesadaran membaca yang bisa menumbuhkan budaya
baca akan terwujud, karena membaca akan menjadi kebutuhan bagi setiap agen yang
sedang melakukan pertarungan dalam berbagai ranah yang ada.
Selain
pada tataran soft cultur, perlu juga dilakukan penanganan pada
tataran hard cultur. Pada tataran ini srtategi cultural menumbuhkan
budaya baca bisa dilakaukan dengan penyediaan berbagai fasilitas yang bisa
mendorong tumbuhnya minat baca di kalangan masyarakat. Misalnya penyediaan
buku-buku bacaan yang mudah diakses oleh masyrakat, perpustakaan yang nyaman
dan menarik dengan pelayanan yang mudah dan menyenangkan sehingga orang merasa
nyaman berada diperpustakaan.
Hal
lain yang perlu dilakukan adalah menciptakan berbagai event yang memiliki
keterkaitan dengan membaca, misalnya lomba resensi buku, lomba menulis,
kompetisi penelitian, forum debat dan diskusi dan sejenisnya. Semua event ini
akan mendorong masyarakat untuk membaca. Jika hal ini dilakukan secara terus
menerus, maka akan tumbuh perasaan gemar membaca. Jika perasaan ini dipelihara
akan muncul kebiasaan membaca yang bisa melahirkan tradisi membaca di kalangan
masyarakat. Dari tradisi membaca inilah akan lahir budaya membaca.
Selain
sarana dan prasarana yang sifatnya material, instirusi social juga menjadi
sesuatu yang penting diperhatikan untuk mempercepat tumbuhnya budaya baca.
Institusi social terpenting dan srategis adalah keluarga, karena bagaimanapun
keluarga adalah lingkungan paling dekat dengan kehidupan seseorang. Selain itu
keluarga adalah lingkungan pertama tempat terbentuknya habitus seseorang.
Setelah itu adalah lingkungan pendidikan formal; sekolah, universitas,
pesantren dan sejenisnya. Jika lingkungan seperti ini bisa menyediakan berbagai
perangkat yang bisa merangsang tumbuhnya minat baca, maka upaya menciptakan budaya
baca di kalanagan masyarakat akan lebih cepat terwujud.
Harus
diakui tidak mudah membangun budaya baca di kalangan masyarakat, karena hal ini
berkaitan dengan habitus masyarakat. Perubahan budaya lisan menjadi budaya baca
memang akan lebih sulit dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada unsur
’peralatan dan peralatan hidup (teknologi). Dalam kehidupan sehari-hari kita
melihat bahwa mengubah cara menulis menggunakan pensil menjadi laptop atau
komputer lebih mudah dibandingkan dengan mengubah budaya ’ngrumpi’ menjadi
budaya baca. Perlu kesabaran, keuletan, ketekunan, komitmen dan konsistensi
tinggi untuk melakukan perubahan budaya. Tetapi saya yakin, dengan strategi
yang benar, cara yang efektif dan dibantu oleh kecanggihan tehnologi sebagai
sarana dan prasarana transformasi budaya untuk membangun budaya membaca di
kalangan masyarakat akan bisa berjalan lebih cepat.
[1] Mengenai dialektika
antara agen dan struktur dalam kebudayaan, lihat Bourdieu. Melalui konsep“habitus” dan “ranah”,
Bourdieu menjembati dialektika agen dan struktur. Menurut Bourdieu,habitus merupakan
hasil dari proses panjang pencekokan individu, dimulai sejak masa kanak-kanan
yang kemudian menjadi semcam penginderaan kedua atau hakekat alamiah kedua.
Habitus merepresentasikan disposisi-disposisi sebagai berikut; ‘tahan lama’
dalam artian bertahan disepanjang rentang waktu tertentu dalam kehidupan
seorang agen; ‘bisa dipindahkan’ dalam arti sanggup melahirkan praktik-praktik
di berbagai ranah aktivitas yang beragam; ketiga merupakan ‘struktur yang
distrukturkan’ dalam arti mengikut sertakan kondisi-kondisi social obyektif
pembentukannya; keempat, merupakan ‘struktur-struktur yang menstrukturkan’
artinya mampu melahirkan praktik-praktik yang sesuai dengan situasi-situasi
khusus dan terentu. Ranah adalah ruang terstruktur dengan
kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kuasanya sendiri.
Ranah merupakan konsep yanag dinamis yang strukturnya mengalami perubahan
karena adanya perubahan posisi agen dalam suatu ranah (Pierre Bourdieu, 2010;
xv dan xvii).
[2] Dalam fase teologis,
akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan
sebab terakhir (asal dan tujuan) dari segala akibat –singkatnya pengetahuan
absolute- mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari
hal-hal supranatural. Dalam fase metafisik, yang sebenarnya merupakan bentuk
lain dari yang pertama, akal budi tidak lagi mengandalikan hal yang
supernatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar
nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasi) dan
yang mampu menghasilkan semua gejala. Dalam fase positif akal budi sudah
meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolut,
asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala dan memuaskan
perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya –yakni hubungan-hubungan urutan
dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan digabungkan
secara tepat sehingga menjadi sarana pengetahuan. (Comte dalam Doyle Paul
Johnson; 1986, 85)
_________________________________________________________