Oleh: Lek Malaka
Dalam Aksi
Diam yang kami (baca: RBK) lakukan 25 Januari kemarin, sudah kami katakan dalam
press release. Dukungan kami tidak
tertuju pada KPK, atau POLRI. Kami, hanya membela suatu persoalan klasik yang
begitu menggurita hingga saat ini, tiada lain; korupsi. Jadi beberapa
pertanyaan pra dan pasca Aksi Diam RBK di nol KM kota Yogyakarta, misalnya; “isu
KPK hanya isu elit politik”, “kalian tidak seharusnya ikut-ikutan dengan isu pelemahan
KPK” dan “pelemahan KPK hanya pengalihan isu dari sejumlah agenda politik
liberal Jokowi”, dan lain sebagainya kami pahami sebagai bentuk perhatian rekan-rekan terhadap kami. tetapi penting untuk kami ceritakan juga terkait aksi malam itu, bahwa isu “dukungan terhadap KPK”
yang kami angkat bukanlah
satu-satunya isu yang kami angkat.
Di RBK,
sudah lumrah berbagai persoalan kami bahas. MP3EI, #JogjaAsat, Pengawasan Politik
Lokal, Diskursus Sastra, Apotik Hidup, Gerakan Ekoliterasi, hingga gerakan
voluntir 3 jam, teologi pembebasan, pendidikan yang membebaskan, dan banyak
lagi perbicangan yang terjadi di RBK, semuanya kami bahas. Sama sekali tidak
ada peringai laten di dalam aksi-aksi RBK. Kami hanya sesekali tampil di publik
dalam rangka yang sederhana saja, yakni berdialektika dengan realitas kesadaran
masyarakat di zaman sosial media. Kami tidak mengkaji isu melulu juga dengan
pendekatan substansial, kadang-kadang kami juga pakai pendekatan strukturalisme
yang bertolak pada bagaimana isu tidak berkaitan erat dengan maksud hakikat
tetapi merupakan ekspresi yang terwujud dari pemaknaan yang berjejaring dengan
makna yang lain.
Jadi,
ketika orang bicara tentang #SaveKPK, itu bukan berarti KPK sebagai objek utama
isu. Kata “KPK” berelasi dengan “harapan publik terhadap simbol perlawanan atas
korupsi yang akut”. Aksi Diam yang kami lakukan di malam itu membuktikan hal
tersebut. Tukang becak, ibu-ibu penjual baju hingga gudeg, merespon kami yang
jalan dengan mengangkat poster-poster mendukung KPK dengan “dukung KPK!”, “bagus-bagus”,
“ada poster ‘saya orang ngak jelas’ ngak mas?”. Waktu kami diam di nol KM,
seorang perempuan di sepeda motor mengangkat jempol tinggi dan bersunggut “bagus-bagus,
lawan!”. Beberapa pengendara memang acuh dengan aksi kami, tetapi banyak yang
memberikan jempol.
Aksi
Diam kami di malam itu juga memberikan hal yang menarik. Remaja-remaja yang
sedang nongkrong di sekitar Benteng Vredeburg berebut ingin meminjam
poster-poster dukungan terhadap KPK yang dibuat Mascu dan Indra, dua orang pengurus
RBK. Remaja-remaja itu berebut berfoto dengan pose bak seorang demonstran
modern, lengkap dengan pose “dua jari-peace”, atau pose-pose remaja “zaman
saiki” menurut mbah-mbah”. Aktivis 98 mungkin akan tertawa kalau melihat
pose-pose remaja itu.
Abdullah,
seorang pengurus RBK yang menjadi kordinator Aksi Diam diwawancarai oleh
mahasiswa Malaysia. Komentar mahasiswa Malayasia “gimana anda bikin macam
begini?, menurut saya itu bikinan menarik. Apa yang hendak anda sampaikan?”.
Abdullah yang diwawancarai malam itu menjelaskan panjang lebar tentang Aksi
Diam RBK sebagai bentuk kampanye pegiat literasi terhadap pentingnya menjaga
kewarasan di saat kasus-kasus korupsi semakin menggurita.
No comments:
Post a Comment