Rendra memang paham betul bagaimana kebebasan itu sebaiknya direbut, sementara
teman-teman sebangku semakin tenggelam dalam pusaran gerakan revolusi yang
diiming-imingi ampuh oleh para aktivis era yang genting itu.
Ia selalu asyik sendiri dalam
dunia teater, senang memunculkan ekspresi yang mencengangkan para pendengar dan
penonton. ini sungguh beda, bukan perkara ia mencoba untuk menjadi shakespeare
saat mementaskan hamlet dengan versi nya sendiri, tetapi nyatanya sejak ia
dianggap pemberi kejutan yang ulung dengan karya sastra-sastra nya yang semakin
berkarakter, ia terlihat lepas terbang kesana kemari, seperti kondor liar yang tak
ingin sayap besarnya itu dikekang dalam sarang, liar memang.
“Mastodon & Burung Kondor” bukan hanya sekedar judul
pementasan teater, seperti yang biasa kita temui di Taman Ismail marzuki (TIM)
atau teater sastra umumnya. Tidak aneh
memang untuk sekelompok anak yang badung, kali ini bengkel teater harus
kucing-kucingan dengan petugas keamanan agar semuanya tak berujung buruk dengan
cekalan atau bisa saja culikan, apa saja bisa terjadi untuk mereka yang dianggap
subversif. Maka itu semua harus disimbolkan dengan lembut, bahkan untuk
kebebasan manusia sekalipun.
Hidup seekor burung memang keras, Rendra memaklumi itu, apalagi untuk seekor kondor yang terbiasa bertengger dipuncak batu. lingkungan kampus-kampus masa itu tak pernah kondusif untuk siapapun tuk keluarkan cakar panjang. arakan ini itu selalu dihadang mundur, birokrasi disana sudah dililit oleh ekor panjang mastodon yang menyusun cara aman dari mahasiswa radikal atau geliatnya para extremis.
Jose karosta pada penokohannya dan rendra sendiri memang
sama-sama memimpikan kebebasan yang dibangun lewat ratapan-ratapan di atas panggung
teater, berbeda dengan juan frederico yang lebih terlihat garang memobilisasi
kelompok radikal, menghimpun kesadaran
dan dukungan secara terang-terangan. Apa
yang dilalui kedua nya jelas berbeda alasannya, terang saja baik Jose dan
Rendra menganggap pendekatan persuasif melalui budaya sastra lebih bisa
menjemput perubahan, yang menurutnya dimana perubahan itu bukan hanya ibarat ganti baju. Kematangan mental juga kesiapan
akan menjemput revolusi itu lebih dahulu penting sebelum memulai, yang tak
mudah dibentuk dengan hal instan. tentu saja ini membuat mereka lebih memilih
untuk menjadi burung kondor, dibandingkan sang matador yang mengundang banyak resiko didepan, jika
tak dapat dihindari sang banteng bisa saja menjadi mastodon baru.
Mastodon & burung kondor memang memicu perbincangan
sejak diluncurkannya, bukan hanya tercatat sebagai kritik sastra panggung terhadap
gerakan semu yang marak, tetapi jauh daripada itu tentang rezim yang totaliter
mengarahkan peran instusi dalam memfilter resitansi berlawanan dengan kekuasaan
pemerintah, juga cara pandang kita tentang perubahan. Jelas saja bengkel teater
menjadi saksi sejak pentas ini diluncurkannya pada nov 1973 di hall kridosono
yogyakarta, sempat mendapatkan cekalan karena dianggap kontroversial karena
menyinggung pemerintah saat itu, tatapi akibat jaminan dan pertimbangan
akhirnya pementasan pun dilakukan. Rendra memang dinilai lihai dan cerdik, sungguh
bukti kemenangan sastra mampu meloloskan diri dari sangkar rezim menuju kearah Revolusi/Perubahan,
sebagaimana harusnya berjalan Ampuh tidak instan.
Nb : Tulisan ini ialah catatan singkat tentang hasil diskusi
Dejure edisi bedah karya sastra Naskah drama : “Mastodon dan Burung Kondor” karya : W.S.
Rendra, bersama pembedah: Lutfi Zanwar (Podjok
batca, pegiat RBK) pada Jumat 17 April 2015 lalu.
No comments:
Post a Comment