Direktur Rumah Baca Komunitas
Terminologi ideologi dan
deideologisasi nampaknya seringkali disematkan pada gerakan-gerakan agama dan
partai politik. Banyak orang mengatakan
bahwa ideology sudah berakhir (the end of ideology) dan beberapa meyakini bahwa
leiberalisme memenangkan kompetisi ideology dunia (Fukuyama, 1998). Di
Indonesia, beberapa kalangan juga mengamini adeologi yang ada sekarang hanyalah
ideology perut, ideology pasar yang tidak memanusiakan manusia. Tetapi gerakan re-ideologisasi
belum benar-benar berakhir karena ternyata ideology itu sendiri mewakili satu
bagian kemanusiaan (jiwa).
Pembaca
ideologis
Situasi yang memberikan pelajaran
kepada kita adalah mengapa ada beberapa manusia
yang sampai berdarah-darah membaca buku dan mempelajari berbagai data
untuk menjawab keraguan atau menemukan bangunan teori baru. Jenis manusia ini
terlihat pada diri ilmuwan-ilmuwan terdahulu atau saya sebut ashabiqu al awwalun seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusd, al-Jabar, Muhammad Abduh, Arkoun, dan dari belahan bumi “Barat” misalnya
ada Galeleo, Plato, Aristoteles, Hobes, Einstein, dan sebagainya. Mereka inilah yang kemudian dapat disebut
sebagai pembaca ‘ideologis’.
Jadi, pembaca ideologis secara
sederhana dapat diartikan sebagai metode pembelajaran yang didapatkan baik dari
membaca text maupun non-textual untuk
memberdayakan diri dan masyarakat secara luas. Pemikiran ilmuwan terdahulu,
misalnya, diproyeksikan jauh ke depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk
ratusan generasi setelahnya. Ideology mereka adalah keberpihakan terhadap nilai
kebenaran, humanisme, dan penghargaan atas karya-karya terdahulu. Walau
demikian, ada juga jenis pembaca yang mempunyai orientasi ‘merusak’ yaitu upaya
mempelajari sesuatu ditujukan untuk dekonstruksi yang melawan kebenaran hakiki.
Contoh ini adalah Darwin yang menemukan teori evolusi yang melawan kebanaran
dalil agama-agama samawi.
Pembaca
Pragmatis
Weber mempunyai teori tentang
tindakan manusia yang salah satunya adalah tindakan bertujuan. Misalnya orang
emmbaca untuk mengerjakan tugas dari guru/dosen. Membaca bukan dilandasi oleh
kesadaran tetapi kepentingan jangka pendek (pragmatis). Situasi ini menjelaskan
bahwa membaca bukan menjadi bagian tradisi (internalized) tetapi hanya menjadi
mekanisme pekerjaan yang diakibatkan oleh tuntutan dari luar (membaca terpaksa,
terpaksa membaca). Jenis pembaca ini cukup banyak dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dari
penelitian Taufiq Ismail (2003) yaitu siswa SMA tidak emmbaca karya sastra (nol
buku) karena bukan bagian dari penugasan sekolah. Manusia dididik dengan cara
mesin diberikan tugas yang sudah paten dan dikerjakan secara mekanis.
Masyarakat kemudian menjadi instan, suka menerabas yang penting emmenuhi
tugas/kewajiban dari guru. Inilah unintended consequence dari metode
pembelajaran yang salah kaprah.
Beberapa jenis pembaca lain
misalnya, membaca sebagai hiburan, mengisi waktu luang, dan mohon maaf, kadang
hanya iseng. Pembaca pragmatis bisa saja merasa puas tetapi pada umumnya tidak dilanjutkan
dalam upaya berbagai informasi dan membela komunitas.
Pragmatisme itu menjalar tidak
hanya dalam urusan perut, urusan pendidikan/pembelajaran sudah berkembang
mental menerabas sehingga wajar saja banyak kasus plagiasi baik dilakukan
mahasiswa atau dosen demi meraih suatu ‘keuntungan’ jangka pendek.
Pembaca pragmatis dan iseng tidak
selalu dalam makna negatif. Ada banyak juga tipe pembaca yang memang sudah
menjadi tradisi akibat habitus (lingkungannya) walau tidak serta merta diikuti
dengan mengimplementasikan dalam tindakan advokatif. Tetapi, se-pragmatis dan
se-iseng apa pun jika masih ada waktu membaca artinya da potensi besar untuk
menjadi pembaca ideologis. Anak bangsa ini, seperti halnya Sukarno, Tan Malaka,
Hatta adalah pembaca ideologis yang mencurahkan seluruh pikiran, tenaga untuk
mengantarkan bangsa menjadi lebih unggul secara lahiriah dan bathiniah, secara
ideology dan kesejahteraan sosial-ekonomi.
Ada jenis pragmatisme yang lebih
berbahaya. Suatu saat di beberapa kesempatan yang sama ada diskusi kecil
terkait film yang diangkat dari novel. Saya sendiri tidak mengoleksi film-nya
tetapi saya membeli novelnya seperti Laskar Pelangsi, Sang Pemimpi, Nagabonar
Jadi 2, Di Bawah Lindungan Kakbah, Hafalan sholat delisa, sang pencerah dan masih
banyak lagi. Ketika ada teman mengenalkan novel-novel tersebut lawan bicaranya
langsung nyeletuk, “lebih enak nonton
langsung film-nya.” Saya hanya berfikir ternyata budaya nonton jauh lebih
banyak jamaahnya ketimbang membaca. Kepuasan menonton adalah kepuasan yang hobi
menonton dan jarang membaca.
Bagi pembaca ideologis, penggila
baca dan jenis manusia kutu buku tentu kepuasan hasil membaca jauh lebih
rasional karena selain melibatkan mata juga melibatkan pikiran, hati, dan
imajinasi ketika membaca. Dari sinilah rahasia terkuak, kenapa membaca itu
dapat menyehatkan. Membaca dapat mengurangi stress karena pelibatan indra yang
lebih interaktif.
Menjadi pembaca adalah kewajiban.
Menjadi pembaca ideologis adalah sebuah pengharapan dan cita-cita mulia. Dari
sini pula, nilai-nilai pembelaan dan kemanusiaan kita tancapkan. Demikian
semoga manfaat.
No comments:
Post a Comment