Direktur Rumah Baca Komunitas
“Jika rakyat melek baca, maka
tidak ada penguasa yang dapat berbuat semena-mena.”
Hadirnya perpustakaan rakyat
adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat mengimpikan dan negara wajib mewujudkan.
Inilah relasi pemberdayaan dan pencerdasan antara negara sebagai pelayan rakyat
dan rakyat sebagai pemilik negara.
Untuk memahami wacana tersebut
perlu melihat orientasi negara dan rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila
kebutuhan pokok hanya dimaknai sandang, papan, pangan, maka belajar dan membaca
buku bukan bagian dari kebutuhan pokok dan ujungnya menjadi terkesampingan begitu saja. Wajar saja apabila perpustakaan
di negeri ini sering lebih sepi dibandingkan kuburan sekalipun. Negara dan
masyarakat seringkali juga berada dalam situasi yang sulit lantaran tuntutan
kebutuhan dasar selalu diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan perut dan rumah
tetapi menegasikan kebutuhan otak. Di banyak negara maju, buku adalah kebutuhan
dasar seperti kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Perpustakaan Rakyat
Ide pentingnya perumahan rakyat
tidak diikuti dengan menambah kebutuhan aspek pemberdayaan masyarakat melalui
aktifitas yang mencerdaskan. Perang melawan buta aksara tidak dilanjutkan
dengan upaya merevitalisasi untuk melek baca sehingga kualitas warga negara
lebih meningkat. Paradok lainnya adalah situasi dimana ‘negara’ tidak rela
rakyatnya melek baca. Karena melek baca akan mengancam eksistensi negara.
Logikanya adalah, ketika rakyat
melek baca maka mereka otomatis mengetahui hak dan kewajiban dan mampu
mengkritik pelaku pemerintahan kapan dan di mana pun. Pola pikir demikian masih
ada sehingga seringkali buku-buku yang diproduksi negara sering kali
menyesatkan dan lebih memberikan kewajiban ketimbang hak. Kewajiban membayar
pajak disampaikan diberbagai tempat smenetara hak mendapatkan informasi tentang
kemana uang pajak itu digunakan. Menarik ketika PBNU mengeluarkan statemen
boikot pajak sebagai protes. Organisasi ini mewakili komunitas yang melek
baca-nya rendah kemudian diadvokasi oleh elit-elit yang tercerahkan. Ini
disebut dengan kedaulatan rakyat yang dihasilkan oleh meningkatnya melek baca.
Perpustakaan Rakyat yang kita
imajinasikan adalah perpustakaan yang menjadi pusat belajar yang manusiawi. Perpustakaan tidak lagi diartikan sebagai
institusi milik orang terdidik, kelas menengah, dan tidak identik dengan
rakyat. Apa maksudnya pusat belajar yang manusiawi?
Setidaknya ada 3 syarat
perpustakaan manusiawi. Pertama, perpustakaan komunitas yang mana rasa memiliki
sudah merasuki denyut nadi masyarakat itu sendiri. Kebijakan membangun
perpustakaan rakyat walau disubsidi negara (top down) tetapi rakyat/komunitas
itu harus lebih aktif dan sebagai pengambil kebijakan. Negara juga harus
memfasilitasi berupa hal-hal yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat itu
sendiri. Kedua, tidak diskriminatif.
Perpustakaan adalah rumah bersama yang menjadi tempat belajar apa saja dan
dengan siapa saja. Pemahaman bahwa semua orang adalag guru dan setiap tempat
adalah sekolah merupakan nilai yang harus ditekankan. Dan ketiga, berorientasi
penyadaran, pemberdayaan, dan pembelaan.
Dalam hal referensi, perpustakaan
rakyat juga harus berisi buku-buku pengetahuan yang dapat dimanfaatkan oleh
rakyat seperti komunitas pertanian harus dilengkapi dengan buku-buku terkait
pertanian agar lebih berkembang. Begitu juga di komunitas nelayan, industry,
buruh, TKI/W, pengrajin dan seterusnya. Perpustakaan rakyat mempunyai visi
memberdayakan dan membelajarkan tanpa skat-skat identitas kelas, pekerjaan, dan
budaya.
Jika perpustakaan rakyat dapat
dimasifikasi dan mampu memberikan pengetahuan yang beragam sehingga rakyat
melek wacana dan melek informasi tentu ini menjadi energy kebangkitan
tersendiri bagi bangsa. Jika dulu, rakyat dipersenjatai dengan cangkul dan arit
sekarang kita dapat mempersenjatai dengan buku (ilmu pengetahuan). Mari kita
mulai dari langkah kecil yang pasti melalui gerakan melek-baca!
No comments:
Post a Comment