Oleh : David Efendi
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Kehadiran
negara sebagai penjamin atas hak-hak dasar warga negara kembali dipertanyakan
ketika kembali mencuat kasus kekerasan oleh oknum TNI yang menimpah jurnalis
dan warga biasa di Pekan Baru, Riau kemarin dalam kegiatan meliput di lokasi
jatuhnya pesawat Hawk 200. Kejadian itu mengundang protes dan solidaritas
public di berbagai lokasi di tanah air. Mereka sepakat kekerasan yang
dilakukan oknum TNI AU melanggar UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Mereka juga sepakat, kekerasan terhadap fotografer Riau Pos, Didik Herawanto
wajib diusut sampai tuntas di jalur hukum. Hal ini perlu, agar tidak
terulang dan terulang kembali.
Berita
itu kembali mengejutkan, setelah beberapa pekan negara diramaikan dengan
pertanyaan, “kemana Presiden kita?” yang mana subtansinya mengandung kegalauan
bahwa negara itu tidak ada, negara absen dalam persoalan serius yang mengancam
kedaulatan hukum dan undang-undang. Kini oknum negara itu hadir, tetapi dengan
wajah brutal dan bukan untuk melindungi tetapi bermain 'hakim' sendiri. Inilah
yang kita sebut sebagai paradok negara!
Sebagai
negara hukum, presiden adalah pemegang kekuasaan politik sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan. Secara politik, presiden dipilih rakyat langsung
sehingga presiden sebagai representasi negara dapat secara syah melakukan
tindakan walau bersifat kekerasan (Weber, 1919) demi menjaga kebiakan
umum---bahwa hukum dapat ditegakkan.
Kasus
pemukulan atau kekerasan oknum angkatan Udara di Riau adalah wujud bahwa negara
itu hadir tetapi hadir dalam wajah bringas tanpa orientasi penegakan hukum
bahkan tindakan itu cenderung melawan hukum seperti halnya massa bringas
menghakimi oknum polisi di berbagai tempat seperti di sekitar kawasan
penambangan freepot, di Medan, dan sebagainya. Artinya hukum massa berlaku dan
oknum penegak hukum dan agen pengamanan negara melakukan hal yang sama. Kasus
penghilangan nyawa yang dialami oleh komunitas Ahmadiyah di Jawa Barat dan
komunitas Syiah di Madura juga peristiwa yang jelas menggambarkan negara absen
dan diam. Kealfaan negara ini menjadi kesalahan yang sangat serius manakalah
alasan-alasan sosiologis dan politik memperlihatkan bahwa negara kita lemah.
Negara
lemah ditandai dengan rendahnya kapasitas negara (weak state, incapacity
to govern) dalam melindungi dan memproteksi hak-hak dasar individu dalam
masyarakat. Ketidakmampuan itu kemudian melegalisasi hukum rimba
dimana komunitas yang kuat dapat memangsa komunitas lemah tanpa konsekuensi
hukum yang berat. Disisi lain, seringkali negara hadir (berwujud polisi dan
tentara) hanya berupaya mengamankan asset-aset pemilik perushaaan besar walau
alat produksi mereka sedang diperkarakan oleh rakyat. Tetapi jelas, kasus
Mesuji yang menewaskan dan menghilangkan banyak orang itu adalah wujud bahwa
negara hadir untuk memusnahkan rakyat kecil. Ketimbang menyediakan jasa
keamanan bagi seluruh rakyat tanpa pandang buluh. Dalam konteks inilah negara
hukum yang kita yakini sebenarnya sedang dikhianti dari berbagai sisi.
Rentetean
fenomena yang menunjukan situasi kontraproduktif baik disebabkan oleh hadir
atau ketidakhadiran negara itu menjadikan kita terus berfikir sebanarnya negara
ini hendak kemana dan mau dibawah kemana. Kasus kekerasan terhadap insan media
yang sudah berulang kali di era pasca reformasi ini menjadikan pertanyaan besar
bahwa pola perolaku militer yang ‘kejam’ dan tidak humanis kepada masyarakat
sipil ini terus berlanjut dengan aktor yang berubah (change and continuity)
sehingga persoalan dihapuskannya dwi fungsi ABRI bukan jawaban pemangkus untuk
mengurangi dampak buruk dari militer.
Dalam
materi amandemen UUD 1945 tahun 2002 itu disebutkan bahwa reformasi setidaknya
menuntut beberapa hal mendasar yaitu amandemen UUD 1945, mencabut dwi fungsi
ABRI, pemberantasan KKN, otonomi daerah, demokratisasi, dan kebebasan pers.
Keenam point itu jika dirangking tentu saja baru secara sempurna dijalankan
adalah penghapusan dwi fungsi ABRI. Amanat reformasi lainnya nampaknya bisa
dikatakan masih jauh panggang dari api terutama sekali persoalan kebabasan pers
di Indonesia.
Pada
tahun 2012 ini Freedom House merilis rangking kekebasan pers di dunia.
Indonesia menempati urutan ke 97 dari 197 negara dan mendapatkan status ‘party
free” artinya kebebasannya terbatas atau baru sebagaian. Untuk kawasan Asia
Pasifik Indonesia harus puas dengan urutan ke-22 dari 40 negara untuk kebebasan
pers atau media. Artinya perjuagan amanat reformasi dan kelompok
civil society masih sangat panjang untuk dapat menjadi alat control yang
independen dan tidak dihantui oleh bayang-bayang kekerasan ‘negara’ atau akibat
ketidakhadiran negara.
Rilis
freedom house itu dipublis sebelum kasus kekerasan oleh oknum Angakatan Udara
di Pekan Baru. Artinya rangking kebebasan pers kita bisa semakin terpuruk
apabila lembaga internasional terus saja memantau apa yang terjadi akhir-akhir
ini terhadap insan media. Setidaknya ini menjadi cambuk, bahwa negara kita
belums ecara subtansial demokratis akibat kebebasan pers yang terus saja
dianggap menjadi ancaman bagi ‘penguasa’ dalam hal ini lembaga militer baik
polisi atau tentara yang rishi terhadap pemberitaan media.
No comments:
Post a Comment