Bangunan Rumah Baca Komunitas yang sering
kita sebut dengan Rumahnya Manusia, seperti kita bersama tahu bukanlah bangunan
megah dengan fasilitas serba lengkap. Tak ada air conditioner ataupun lemari
es. Ruang penyimpanan buku sekaligus ruang berdiskusi nampak sederhana, apalagi
dapur dan kamar mandinya tak mengkilap, tak dipenuhi dengan berbagai peralatan
memasak masa kini. Arsitekturnya biasa saja, tak menyolok, terletak di ujung
gang buntu, dan di sekitarnya rumah-rumah masyarakat yang juga sederhana. Hanya
saja lantainya bersih, kebun tanaman di halamannya terawat dengan baik, koleksi
bukunya ribuan, dan terpenting ia mempersilahka dan menerima dengan hangat
siapa saja yang datang, tanpa membeda-bedakan.
Barangkali ia bukan tipe bangunan yang
layak dipotret untuk dijadikan contoh orang-orang yang ingin membangun rumah.
Kecuali bagi mereka yang tahu sejarahnya yang berharga. Bahkan di musim
penghujan, air masih bisa menerobos
atapnya yang berlubang di sana-sini. Air hujan yang melewati celah atapnya
ditampung di ember yang ditaruh persis di bawah tempat jatuhnya air. Setiap
datang pagi ia disapu, halaman depannya
yang penuh dengan tanaman disirami pakai air bekas wudhu atau bekas cuci
peralatan dapur. Tentang ini, diilhami oleh filosofi bahwa konsep menghemat
bukan hanya menghemat komoditas.
Bangunan itu dikontrak dengan harga yang
tak terlalu mahal untuk ukuran bangunan yang tak terlalu kecil dan dipelihara
juga dengan ongkos yang murah. Dengan demikian terbebas dari ketergantungan
pada penyumbang-penyumbang kakap. Ia bisa terus hidup tanpa diperhatikan
pejabat-pejabat kakap. Sampai saat ini ia tak pernah berniat untuk mengajukan
bantuan. Ia dihidupi dengan iuran pegiatnya atau siapapun yang bersimpati
padanya.
Rumah Baca Komunitas bukan tipe-tipe
gerakan literasi yang berharap banyak pada proposal ke perusahaan dan negara.
Ia tak berniat menghimpun banyak dana, karena dikawatirkan akan merusak
nilai-nilai kerelawanan yang sedang dan telah diperjuangkannya dengan
sungguh-sungguh. Kurang dari sebulan saya tinggal di sana, bukan bangunan dan
fasilitas fisik yang jadi perhatian utama. Karena ia berdiri tak bertujuan
untuk kasih unjuk apapun selain "membangun" manusia.
Pada awalnya saya tidak terpikir untuk
pulang selama ini, sudah hampir tiga minggu di Kediri. Karena sakit yang tak
kunjung sembuh menyebabkan rindu ibuk di rumah akhirnya memutuskan untuk
pulang. Rencana awal sekitar seminggu, balik ke Jogja setelah acara pernikahan
sepupu. Tak ada niat meninggalkan Rumahnya Manusia sampai berminggu-minggu.
Baru sebulan tinggal di Rumahnya Manusia,
saya merasa belajar banyak hal tentang kesederhanaan hidup yang selama ini tak
saya dapat di tempat lain. Contoh kecil, tentang air bekas wudhu ataupun bekas
cucian perkakas dapur yang selalu dimanfaatkan untuk menyiram tanaman. Jika
selama ini saya diajar tentang menghemat sesuatu adalah menghemat komoditas,
dan air kran bukan bagian dari komoditas maka air itu tak perlu dihemat. Lalu
tentang hasrat untuk membeli atau mengkonsumsi, selama tinggal di RBK, saya
merasa hasrat-hasrat itu ditekan kuat. Bukan oleh alasan-alasan moral kesalehan
yang lebih sering terdengar klise dan normatif. Tapi melalui praktik hidup
keseharian.
Selama ini ketika haus, lapar, ataupun
ingin ngemil, dengan segera pergi ke alfamart, indomaret, warung burjo, ataupun
angkringan. Beli es teh, nasi telor, teh botol kemasan atau merk minuman lain
yang dengan mudah kita dapatkan dengan mengeluarkan sejumlah uang.
Di RBK saya belajar untuk memenuhi
kebutuhan itu sendiri. Saya pemalas untuk terlibat di urusan dapur. Daripada
ribet membuat teh, lebih praktis saya pergi saja ke angkringan, burjo atau
alfamart indomaret, tak ribet dan beres urusan. Di sana banyak pilihan dan
kerap lebih nikmat daripada buatan sendiri. Tapi ada beberapa hal yang tak saya
sadari, sebagai individu saya semakin tergantung dan tak berdaulat dalam
memenuhi kebutuhan.
Dalam hidup tak mungkin kita bisa sendiri,
selalu butuh kehadiran yang lain. Tapi tak lantas semua kebutuhan kita
gantungkan pada yang lain. Di RBK saya belajar bahwa berdaulat itu bisa dimulai
dari hal kecil, untuk minum kita bisa memproduksi sendiri tanpa harus beli air
kemasan. Ketika menginginkan teh, kopi, saya belajar membuatnya sendiri di
dapur RBK. Tentu tak semuanya bisa saya penuhi sendiri, setidaknya di RBK saya
belajar memulai untuk memenuhi kebutuhan dengan mau repot-repot. Menyeduh teh
sendiri, merebus air untuk minum. Barangkali kecil, tapi hal kecil itu
membentuk kesadaran bahwa hidup berdaulat, tidak tergantung itu, dimulai dengan
kemauan untuk repot dan hidup yang tak praktis.
Lalu apa hubungannya dengan pulang lama?
Saya sedang menikmati dengan perasaan yang bahagia menerapkan apa-apa yang saya
peroleh di RBK. Bahkan Ibuk terkaget-kaget melihat perubahan anak lelakinya
yang tak seperti biasanya. Saya jadi terbiasa terlibat di urusan dapur,
mengulek sambal, mengupas bawang merah, bawang putih, mencuci piring bekas
makan. Membuat kopi dan teh sendiri,
padahal biasanya saya langsung ngacir ke toko, tinggal beli yang diinginkan. Di
rumah saya tak lagi minum air kemasan, merebus air sendiri. Menungguinya sampai
dingin kemudian baru memasukkannya ke cerek tempat minum. Hal-hal kecil itu,
yang tak seberapa itu, yang barangkali
bagi orang lain sepele, tapi dari sana saya belajar mandiri dan berdaulat. Dan
saya ingin sanggup repot-repot memasak.
No comments:
Post a Comment