“Pejuang Hebat itu dibentuk, baik oleh Alam
maupun oleh Masyarakat, terbentuknya pejuang rakyat maka negeri ini takkan sepi
lagi dengan seribu para pejuang yang tangguh yang akan melakukan pembaharuan
demi terwujudnya kedaulatan rakyat”(Fie).
Oleh: Hanapi
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan dan Pegiat
Rumah Baca Komunitas
Telah lama aku di Yogyakarta sekitar satu tahun lebih namun telah banyak
pengalaman yang telah aku dapatkan dari kota yang indah yang menyimpan banyak
sejarah tetapi aku tak menemukan sebuah kisah perjalanan indah bersama sosok
wanita yang pernah menemaniku, ntah indah bagi orang lain atau tidak, sebuah
kenangan yang cukup berat yang belum bisa aku lepaskan seperti elang yang bisa
terbang bebas, aku merasa jiwa dan ragaku ada disini tapi hatiku masih
bersamanya, pergi kuliah keluar merupakan tanggungjawab yang berat karena kuliah
diluar harus jauh lebih hebat dari pada di daerah karena selama ini banyak
pandangan bahwa yang dari luar harus menjadi tokoh yang bisa melakukan
perubahan, teringatlah kisah seorang Tokoh islam yang telah melakukan
pembaharuan yang sangat besar di indonesia kalau aku berkata tentang perubahan,
Sang Pencerah begitulah masyarakat mengenalnya, Yogyakarta banyak menyimpan
cerita tentang Pahlawan hebat yang menyimpan kisah yang sangat indah maka tidak
salah kalau Yogyakarta ini mendapatkan gelar sebagai kota pendidikan dengan
alasan yang historisnya, selama di yogyakarta aku banyak mengenal berbagai
macam orang dari berbagai budaya yang berbeda, ras berbeda, sukupun begitu,
selama ini disini tempat yang paling aku sukai adalah tempat dimana buku banyak
dijual, buku banyak dipinjamkan dengan sukarela, pertama sampai di kota ini aku
melihat banyak perbedaan yang jauh dengan kotaku, kota yang tak memiliki banyak
pembangunan yang tinggi tapi sangat menawan dan nyaman, disemester awal aku
mulai sibuk dengan kegiatan meskipun kesibukan yang aku lakukan tidak seperti
teman-teman yang sibuk dengan organisasi tapi aku sibuk membaca buku dan
mencari buku yang menarik untuk dibaca.
Kenangan tentang dia memang belum bisa lepas dalam ingatanku karena
waktuku terlalu banyak didampingi dia dulu, disini aku mengenal bagaimana
sebuah kehidupan yang jauh lebih luas, aku mengenal teman dari Kalimantan,
Palembang, Sulawesi dan Papua, tempat ini mengajarkanku tentang pendidikan
multicultural dimana perbedaan bukanlah suatu masalah melainkan memang
politiklah yang banyak memecah belah bangsa ini, aku pergi ke kampus dengan
teman dari Aceh yang bernama Suhadi, dikampus aku sering bercanda dengan
anak-anak dari Sulawesi, dari mengenal merekalah jiwa toleransi tumbuh untuk menjaga
bahwa kedaulatan perbedaan tidak pernah ada masalah, selama kita saling
menghormati, dalam perjalanan kuliah aku banyak melihat orang-orang yang
berjuang membangun sebuah budaya yang langkah dikalangan anak muda bangsa
indonesia, mereka yang suka membaca buku dengan kesendirian baik dilobby maupun
di tempat perpustakaan, melihat budaya seperti ini maka betapa mirisnya
negeriku di daerah yang ada penguasa tapi tak pernah mampu menciptakan gerakan
budaya baru untuk membangun sumber daya daerah yang benar-benar memiliki
keterpihakan dengan rakyat,
anak muda di daerahku sangat langkah budaya membaca meskipun
perpustaakaan aset daerah ada tapi tak pernah disosialisasikan, aku teringat
ketika aku masih SMP waktu itu, disebelah rumahku merupakan rumah orang yang
mengurus perpustakaan desa, karena banjir di desaku maka dibawaklah buku-buku
desa kerumahnya, disitulah aku mulai mengenal siapa itu Bungkarno dengan cukup
lengkap untuk saat ini, para pejuang buku di setiap desa di indonesia memang
masih kurang, ini hal yang menyedihkan bagiku, seandainya otonomi daerah
disertai dengan otonomi buku dalam jumlah yang besar, dengan disertai alokasi
pendaan yang banyak maka aku rasa pemerintah tak perlu sibuk untuk membuat
kebijakan yang banyak tetapi tak pernah membangun pada lapisan tingkat bawah,
pada suatu hari aku mendengar ada sebuah gerakan literasi dimana buku dipinjam
tanpa jaminan apapun, mendengar itu aku begitu penasaran, di negeri kaya di
daerahku masih sangat jarang orang-orang ingin berjuang dengan landasan tanpa
imbalan maka aku katakana bahwa perjuangan ketulusan merupakan jalan islam yang
sesungguhnya, nama gerakan itu hanya aku dengar ditelinga tak pernah aku bisa
kesana tapi malam hari aku masuk ke kamar Suhadi sampai melihat sebuah buku, di
dalam kamarnya aku melihat Buku Prof. Ramlan Subakti tentang ilmu politik, aku
bertanya padanya, kamu mendapatkan buku ini dari mana?, dia memberikan
penjelasan bahwa dia meminjam di Rumah Baca Komunitas, aku semakin penasaran
dengan rumah baca ini?. Kenapa gerakan seperti ini belum mampu dilipatgandahkan
oleh pemerintah.?
Ntahlah aku tak bisa menjawabnya, mungkin pemerintah sibuk dengan
kekuasaannya saja tak pernah memikirkan anak-anak di desa terutama desa yang
jauh dari pengawasan pemerintah pusat, kakekku sering bercerita tentang
kehebatan pahlawan daerahku negeri Jambi, dari kakek aku banyak tahu bahwa
pemimpin Sultan di Jambi bukanlah pemimpin yang berjiwa politisi seperti
penjabat sekarang, dulu di Tanah Jawa ada Kerajaan Majapahit yang memiliki Raja
yang hebat dengan Panglimanya MahaPatih Gajah Madah dengan Sumpah Palapanya
mampu menyatuhkan Nusantara, aku bertanya kepada Suhadi, dimana tempatnya di?
Namun Suhadi hanya menjelaskan yang aku hanya mampu menggambarkan dengan
sedikit, rasa penasaranku semakin menjadi-jadi karena aku lebih suka berjalan
di dunia akademik dari pada dunia politik praktis tapi aku tahu bahwa terjun ke
politik harus dilakukan agar pembaharuan kebijakan benar-benar terwujud
meskipun memang benar bahwa politik membuat kesalehan menjadi alat pencitraan,
melihat ulama di daerah terjebak pada konservatisme tapi tak mampu menciptakan
jalan pencerahan, banyak di desaku yang sekolah ke pesantren terbaik di pulau
jawa tapi mereka hanya mempunyai kecerdasan individu bukan kecerdasan sosial
yang mampu mendobrak sistem yang korup di dalam kemasyarakatan, mau jadi polisi
harus bayar ratusan juta sedangkan masyarakat hanya diam dalam belenggu
kekuasaan yang romantis yang membuat rakyat tidur nyenyak, setelah bertanya
kepada Suhadi aku hanya sibuk melihat buku yang dipinjamnya, aku meminta dia
menemaniku untuk kesana tapi dia hanya bilang Ia, setelah sekian lama aku ingin
pergi kerumah baca yang sangat membuat hatiku terbuka untuk mengetahui lebih
dalam tentangnya, pada malam selanjutnya cecep datang ke kossanku maka pada
malam itulah aku mengajaknya ke rbk secara dadakan tanpa perencanaan.
Langsung saja di menghidupkan motornya, aku dibelakang cecep sambil
melihat pemandangan jalanan yang aku rasa cukup menyebalkan, kami pergi dengan
santai menuju rumah baca komunitas, rumah yang indah, ketika aku masuk aku
melihat seseorang yang sedang duduk di kursi, aku melihat wanita dua yang ada
di dalam sedang duduk, ada yang sambil membaca, ada yang sambil memainkan
hpnya, aku kenal satunya bernama Lisa, Hai pi kata lisa, kenapa baru kemari,
aku hanya menjawab ya sa, baru diajak kesini, lisa memang sering aku tanyakan
dia lagi dimana, maka dia sering bilang dia di Rumah Baca Komunitas, melihat
buku yang banyak aku heran koq bukunya sebanyak ini, malam itu aku hanya
mengobrol biasa-biasa saja tak mengobrol tentang pembicaraan yang serius, malam
itu aku ingat sekali ketika Cak David menawarkan kami untuk makan di Rbk tapi
aku tidak mau karena bukan aku menolak dengan tidak sopan waktu itu, selain
barusan makan, aku juga sangat pemalu orangnya, makanya waktu itu cecep bilang
ke yang lain mahlum dia pemalu orangnya, aku hanya senyum karena aku memang
memiliki sikap seperti itu, malam itulah aku melihat rumah baca komunitas yang
indah, dalamnya sangat memikat hatiku, setelah lama dalam berbicara sambil
santai akupu pulang dengan cecep, aku sangat bahagia bisa mengenal sebuah
tempat yang bagiku itu sebuah surga yang dihadirkan untuk membebaskan meskipun
aku melihat ada tulisan kenapa rumah baca komunitas itu hadir?, karena masalah
masih sulitnya akses bacaan sehingga dia
No comments:
Post a Comment