Resensi:
Novel : Air Mata Di tapal batas
Novel : Air Mata Di tapal batas
Penulis :
Aguk Irawan MN.
Tebal halaman : xxii + 366 halaman, 12 x 19
cm
Penerbit :
Glosaria Media
ISBN : 978-602-71777-1-0
oleh Ahmad Sarkawi (Pegiat Rumah baca
komunitas)
“Garuda di dada kami”, ucap Nanjan warga Semunying
Jaya, Jagoi Babang, suatu malam hampir setahun yang lalu, saat pertama-tama ia
kenal dengan pemuda itu, “tetapi harimau di perut kami!” (hal.19)
Cinta butuh pengorbanan begitulah Hermen malik
mengawali pengantarnya dalam novel Air Mata di Tapal Batas. Dalam cerita air
mata di tapal batas penulis mengajak penikmat kata dalam rangkaian kalimat
sastra menjelajah Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang
Kalimantan Barat. Sepakat dengan Farid Mustafa bahwa air mata di tapal batas
adalah novel etnografi yang begitu apik, (Baca pada halaman sampul belakang
komentar dari Farid Mustafa Dosen Filsafat Universitas Gajah Mada), deskripsi
suasana indahnya alam Semunying Jaya, Jagoi Babang dimulai dengan hamparan
rumput yang menghijau sampai pada bukit gajah dan yang lebih special adalah
pohon-pohon yang tinggi tempat Hamdan menerima telpon dari Siti.
Di awali
kegelisahan beberapa pemuda atas nasib yang tak kunjung berubah sebut saja
Nanjan, Mamut, Sipet, Ampong, Hamdan, Sukimin dan Parno pemuda berpengaruh di
Jagoi babang. Aktivitas yang sejak turun temurun di lakukan oleh warga Jagoi Babang
bekerja sebagai buruh perkebunan sawit di Negeri Serawak dan menghabiskannya
juga di negeri Serawak tepatnya di pasar Serikin. Kegelisahan sudah memuncak
hingga memutuskan untuk mengajak warga Jagoi Babang berpindah kenegeri tetangga
tetapi keinginan Nanjan mendapat penolakan dari beberapa warga khususnya
kelompok Tua Jagoi Babang, situasi politik Jagoi Babangpun memanas. Pang Ukir
adalah tetua atau kepala suku yang di hormati oleh semua warga tidak menolak
keinginan dari Nanjan tapi ia hanya menyayangkan siapa yang akan melanjutkan
Jagoi Babang kelak.
Kehadiran
Iskandar, Cornelius, Herman dan prajurit lainnya merupakan prajurit TNI yang
tergabung dalam Batalion Infanteri 642 Bengkayang bertugas untuk menjaga patok
perbatasan Indonesia – Malaysia. Iskandar hidup bersama warga Jagoi Babang dan
ikut merasakan penderitaan hidup di daerah perbatasan di mulai dengan makan
nasik busuk sampai rebusan singkong menjadi makana istimewa karena tidak ada
pilihan. kehidupan prajurit di daerah perbatasan sudah menjadi rahasia umum
kehidupannya memperihatin gaji yang terkadangkal tidak mencukupi untuk biaya
hidup sedangkan tugas sangat berat untuk membela dan menjaga tanah air yang
disebut Indonesia.
Karena keterbatasan
waktu, komentar lengkap saya silakan datang pada bedah Novel Air mata di tapal
batas pada tanggal 2 Mei 2015 di Pesta Buku Wanitatama Yogyakarta, tulisan ini
sengaja tidak diselesaikan agar kita mengikuti diskusi bedah novel ini dengan
seksama.
No comments:
Post a Comment