Merawat Perlawanan Malalui Alkinemokiye
Bantul – Rabu (5/6) setidaknya ada empat titik pemutaran film terkait eksploitasi
di bumi pertiwi Indonesia pada hari tersebut, ELKiS dan kampus Sanata Dharma memutarkan
Samin Vs Semen, salah satu komunitas di Yogyakarta yang memutarkan film Kala Benoa,
dan Rumah Baca Komunitas memutarkan film keempat besutan Watchdog terkait eksploitasi kekeyaan alam Papua, setelah sebelumnya, RBK telah mengadakan pemutaran dan diskusi film Di belakang Hotel, Samin vs Semen dan Kala Benoa. Pemutaran
dan diskusi film yang bertempat di Rumah Baca Komunitas (RBK) trsebut dihadiri
oleh kurang lebih 20 mahasiswa dari kampus yang berbeda-beda dan juga dari komunitas yang beragam.
Film Alkinemokiye, yang konon adalah salah satu dari dua judul filmyang
dilarang penyanganya di kampus Universitas Brawijaya ini, merupakan film dokumenter yang mengambil setting di Timika,
Papua. Menceritakan tentang pekerja-pekerja Freeport yang diberi upah rendah,
yakni sekitar 3 juta sekian per bulannya. Selain upah yang rendah, buruh-buruh
Freeport yang merupakan penduduk Papua ini tidak mendapat pesangon ketika
pensiun, padahal, mereka dijanjikan untuk mendapat pensiunan ketika mengajukan
pensiun. Selain itu, film juga mengambil setting demonstrasi pekerja Freeport
yang berujung ricuh dimana aparat menembaki rakyat Papua dengan peluru hingga
mengakibatkan seorang warga tewas dan beberapa lainnya luka berat akibat
hujaman peluru aparat.
OPM juga tak luput dari setting film ini, dimana warga Papua mengadakan upacara
memperingati 3 tahun kemerdekaan Papua.
Film yang berdurasi kurang lebih satu jam tersebut nampaknya berhasil
membuat kegelisahan penontonnya membuncah, terbukti pada sesi diskusi usai
pemutaran film terlihat para peserta saling sahut-menyahut mengemukakan kritik,
analisis, asumsi juga keprihatinan yang mendalam terhadap yang mereka saksikan
dalam film tersebut. La Ode, misalnya, peserta yang merupakan pegiat aktif RBK
ini sampai terharu dan tak bisa menahan tangis, mengingat La Ode pernah
benar-benar menjalani hidup di Papua.
Mula-mulanya bang Dolah sekalu moderator memantik teman-teman peserta
dengan memberikan sedikit clue perihal pembangunan. Menurutnya, pembangunan
selalu dari atas, tetapi tidak pernah melihat dari bawah,ironisnya, kedok dari
pembangunan ialah rakyat. Kemudian La Ode melanjutkan tentang sejarah freeport
senidri yang telah mulai bercokol sejak 1936 dimana Amerika menjadi pemegang
kendalinya, bahkan Kennedy pun turut dibunuh
demi keabadian Freeport.
Analisa terhadap film ini kemudian disampaikan oleh peserta lainnnya, ia
menyoroti terdapat empat isu yang diangkatdalam film ini, antara lain: Isu
kenaikan upah pekerja, isu keamanan, kondisi pekerja pensiunan dan yang
terakhir tentang aksi perlawanan. Film ini cukup mencover segala permasalahan
terkait PT. Freeport di Timika, namun sayangnya ia tidak cover both side, seperti juga menyajikan wawancara langsung
terhadap pihak Freeport dan pemerintah selaku pihak pro.
Sulit memang untuk menerkan-nerka tentang Freeport, kenapa pemerintah kita
melakukan perpanjangan kontrak hingga 2041? Terlebih jika kita harus menawarkan
apa solusinya begitu sulit karena mau tidak mau memang yang dilibatkan adalah
elit kita sendiri dan korporasi asing seperti pada kasus pemberian upah yang
tidak layak juga pesangon yang tidak sesuai janji, Indonesia tidak mungkin
mampu membeli saham Freeport, bahkan, tidak ada korporasi manapun juga yang
sanggup membeli. “Sementara jika kita ikut turun mendemo belum tentu juga
selesai persoalan di akar rumput tersebut. “ Ujar salah satu akademisi UGM.
Kasus Freeport ini menurut Mas Awi, selaku direktur RBK, merupakan kasus
pelanggaran HAM, dimana hak-hak hidup dan untuk mendapat kesejahteraan yang
layak bagi penduduk Papua benar-benar dikebiri. Namun ada komentar juga bahwa
disisi lain jika memframing isu Freeport sebagai isu HAM akan banyak penumpang
gelap hadir untuk memanfaatkan kesempatan ini, seperti Australia, Belanda, UK
yang telah memberi dukungan sejak lama atas nama kepedulian terhadap HAM, akan
tetapi logika yang dibangun oleh negara-negara tersebut yakni Papua harus
merdeka (lepas dari Indonesia) seperti Timor Leste.
Meskipun terbilang begitu imajinatif untuk menakhlukkan raksasa Freeport,
akan tetapi melalui komunitas-komunitas seperti RBK tersebut kesadaran dapat
mulai dibangun. Bahwa diskusi yang banyak orang hanya menganggapnya sebagai
akrobat pikiran tersebut juga merupakan bagian dari perjuangan, “saya tahu
bahwa jerawat itu jelek, karena melihat iklan-iklan di televisi. Maka seperti
itu juga yang harus kita lakukan, menebar lebih banyak kegelisahan semacam ini
agar terbangun kesadaran dan keberpihakan khususnya di kalangan anak-anak muda,” ujar salah satu
pegiat RBK.
Bagaimanapun, Papua adalah sayap kiri Garuda Indonesia, jika Timor Leste
ibarat ekor yang putus, Jakarta ibarat kepala yang menunduk, Aceh ibarat sayap
kanannya. Maka, betapa penting untuk menjaga Papua tetap berada di wilayah
Indonesia, tambah La Ode di akhiar sesi.
Pak David, sebagai sesepuh RBK, menganggap hal yang serupa bahwa berdiskusi
ialah bagian dari perlawanan itu sendiri, “maka bergeraklah seperti microba”
pungkasnya.
Alkinemokiye sendiri adalah kata yang diadopsi dari bahasa asli suku
Amungme, yang merupakan suku terbesar di Timika, Papua, berarti “usaha keras
demi kehidupan yang lebih baik.” Film ini adalah hasil garapan Dandhy Dwi
Laksono yang diproduksi sekitar tahun 2011 lalu. (reported by dew)
No comments:
Post a Comment