David Efendi
Pada awalnya ini
catatan ihwal sabuk dan dompet bermula dari obrolan di perjalanan dari kediri
menuju mandiun dan dilanjutkan lagi dari madiun menuju kota Yogyakarta. Perjalanan
ini merupakan bagian dari piknik literasi keluarga RBK yang menghadiri
pernikahan salah satu sahabat pegiat literasi, Azaki Khoiruddin, yang
melangsungkan akad dan walimah di kampung Siman, Ponorogo pada 12 September
2015. Acara diadakan pada malam hari. Dingin dan penuh subtansi tausyiyah dan
doa. Acara model kampung ini sama persis dengan apa yang ada di kampung saya,
di Lamongan. Betul mungkin karena sama-sama jawa timur sehingga tak ada
perbedaan kebudayaan dan adat istiadat. Seusai resepsi, kami pun berenam malaju
menuju kediri nan sejuk—menuju rumah kediaman pegiat RBK, om Lupet. Tentu dia
sangat gembira kita membersamainya ke kampung halaman.
Karena sudah
terencana, saya pun asik juga. Sejak tiba di madiun sudah dijamu oleh keluarga
Dolah dengan makanan middle east dan
beragam buah. Itu pun ditambah acara berenang di hotel yang terletak di samping
rumahnya. Perjalanan yang sangat asik bagi saya bareng anak-anak muda yang
penuh visi dan kesungguhan dalam berkiprah dalam masing-masing dunianya. Ada yang
aktif di dunia gerakan mahasiswa, gerakan pelajar, gerakan literasi, komunitas,
peneliti dan sebagainya. Ini merupakan kesempatan langka dalam hidup saya. Aku pun
gembira dalam berinteraksi selama ini. Apresiasi merupakan kunci utama untuk
mendambah bahagia lahir bathin. Setelah ini nampaknya perlu kita straight
forward untuk ngomongin perihal dompet dan sabuk.
Pada mulanya tak
terpikirkan untuk bicara ‘serius’ soal sabuk dan dompet. Reflek saja gara-gara
dolah ‘kehilangan’ dompet dan hal serupa sebenarnya menimpah banyak orang. Bukan
hilang, tapi terlalu sering lupa menaruh. Panik acapkali menjadi ekpresi paling
masuk akal. Yapp. Itu belum lama menimpah dolah dan aku menyaksikan sendiri dia
pegang kepala dan sumpah aku bersaksi: dolah seperti orang yang ditolak lamaran
kerjanya atau menyerupai orang yang putus cinta. Lah ini benar-benar menjadikan saya ingin
membincang dan memotret bagaimana orang-orang mempersepsikan dompet, makna, dan
bagaimana interaksi dengan ‘barang kulit’ ini pada kehidupan kontemporer. Ya,
sekedar membunuh waktu di perjalanan dengan mencoba menjadikan percakapan
bertenaga. Tak ada yang tak punya komentar perihal dompet maupun sabuk. Ini point
penting. Semua orang punya ‘pengalaman’ dengan dompet dan beserta cerita-cerita
kecil yang unik. Topik yang punya detail ini menjadikan sangat ‘dahsyat’
apabila ditilik dari antropologi. Semua orang di mobil menjawi pewawancara dan
sekaligus menjadi narasumber bagi lainnya. Ini bukan FGD tetapi ini lebih pada informal talk laiknya di kedai kopi di
Sumatra atau angkringan kucing di Yogyakarta.
“dompet itu pada
awal kukenal lebih bersifat akseseris dari pada substantif”
“dompet warna
hitam atau gelap itu maskulin....”
“saya kenal
dompet sejak SD...”
“memilih dompet
polos itu agar tak terkesan aksesoris.”
“dompet itu
barang yang selalu melekat di saku celana...”
“satu jam saja
taruh dompet di saku celana dah gatal rasanya. Lebih nyaman taruh dompet di saku
tas.”
“...uang di
dompet harus rapi.”
“ saya
mengurutkan besaran nominal uang di dalam dompet.”
“saya menaruh
uang receh di dompet.”
“di dompet khusus
uang kertas. Receh ditaruh di luar dompet.”
Nah itu
sepenggalan obrolan malam itu yang tercatat. Saya awalnya tidak berfikir warna
hitam itu maskulin sebagaimana warna sabuk yang diakui oleh teman saya. Mungkin
bagi orang tertentu ini aneh karena warna dompet ditandai dengan urusan
maskulinitas atau fiminim. Tapi, inilah persepsi dan hasil konstruksi rezim ‘buntu’
yang memang merabah dalam kegalapan. Artinya, saya sendiri mengakui saya tak
tahu dari mana arahnya pikiran ini mengapa dompet hitam atau gelap itu saya
lebeli ini maskulin. Bisa saja, aku bukan sendirian dalam korban ketidaktahuana
ini. Ini artinya juga, konsep diri dan kedirian belum cukup berdaya merespon
sekeliling pikiran dan lingkungan. Tapi aku sendiri tak punya otoritas
ngobrolin ini. Om sarkawi pasti bisa membantu asal muasl kontruksi salah kaprah
ini? Dolah seringkali menyebut istilah false consciusness. Kejahatan filosofis
atau kesesasatan epistimologis. Ya ini kejadian yang dapat dijadikan disertasi
jika mau. Beneran. Ini bisa jadi disertasi. Kalau tak percaya ya saya memang
tak bisa memaksakan cerita ini. Usulanku, ketika sampai pada halaman ini
silakan temui om Sarkawi yang teman-teman RBK dah mengakui kedahsyatannya.
Kembali ke jalan
yang rusak, eh ke jalan yang lurus. Ini agak ilmiah. Dompet secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi aksesoris dan fungsi subtantif. Fungsi aksesoris
tak perlu dibedah terlalu panjang lebar.
Namanya aksesoris, kehadirannya lebih pada atributif, fashhion, trendy,
mengikuti perkembangan zaman dan yang penting juga keren. Hal ini terbukti
salah satunya adalah ada pengakuan dari narasumber yang membeli dompet itu
perlu ikut trend. Misalnya, dompet dengan begel tengkorak atau rantai yang
menghubungkan dompet dan sabuk.
Fungsi subtantif
meliputi sekuritas dan organizer. Kedua fungsi utama ini lebih dapat dilihat
sebagai fungsi yang memberikan kemudahan bagi pemilik untuk menjadikan mudah
dalam berurusan traksaksi dan administrasi.
Ini bukan hanya tentang
saya, urusan dompet ini tentang banyak orang. Dari obrolan ringan dan panjang
didapatkan banyak informasi. Salah satunya adalah mengenai usia berapa orang
mengenal dompet. Ada yang di saat akhir semester kuliah baru memakai dompet
yang sebenarnya, ada yang pada saat SMA dan ada yang sejak SD. Saya sendiri
pada saat SMA yang tinggal tidak bersama orang tua. Anak saya yang pertama,
sudah minta dompet saat TK dan menyimpan uangnya di dompet yang
disembunyikannya sendiri. Yapp. Ada pergeseran generasi mengenai makna dompet
dan bagaimana anak-anak berinteraksi dengan uang. Saya melihat anak-anak lebih
awal mengenal uang bisa disebabkan karena kesibukan orang tua yang tak bisa
melakukan transaksi terus menerus di dekat anaknya. Anak-anak sejak usia TK
sekolah di tempat yang berbeda dengan orang tua sehingga secara otomatis
anak-anak akan dibekali dengan uang jajan. Untuk alasan keamanan, dompet
kemudian menjadi pilihan. Ada juga sekolah sekolah yang uang murid dipegang
oleh guru atau fasilitatornya.
Seiring perkembangannya.tidka
berbeda dengan dompet, Sabuk sendiri menjadi alat sekuritas atau alat
pertahanan diri. Termasuk bagaimana dompet digunakan sebagai senjata untuk
perkelaian. Trend sabuk dengan begel besar seperti besi, gear, dan beragam
kepala sabuk yang mengerikan apabila digunakan menyakiti orang dalam festival
pertempuran jalanan.