Gama, relawan PKBI DIY
“Pak,
bangun pak, bangun pak, bangun pak!” nada dering alarm yang kupasang
di HPku membangunkan tidurku yang lelap setelah semalam mencoba
merangkai kata dan kalimat dalam kotak2 form laporan. Adzan Subuh belum
juga berkumandang. Kabut pagi selepas hujan dini hari tadi terasa
melengkapi galapnya malam.
Dini
hari, selepas mandi, aku langsung bergegas berganti baju, mancal sepeda
motor lawasku menuju PKBI Badran. Di sana, sudah menunggu mas Narto
sopir mobil, bersamaku menjemput mas Budhi Hermanto dan membawa kami
menuju Banyumas. Pagi buta ini, kami akan “sowan” di rumah Ahmad Tohari,
seorang tokoh sastra yang cukup lama kukenal lewat buku-buku yang
dikoleksi istriku.
Ahmad Tohari.
Sastrawan
yang (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni
1948; umur 66 tahun) adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan
Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Karya monumentalnya,
Ronggeng Dukuh Paruk,sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan
diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah
mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun,
Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal
Soedirman,Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu
Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976).
Setelah
sampai di Kotawinangun, kami berhenti untuk sarapan di warung Asli yang
cukup ramai. Di depannya ada 2 orang pedangang sate Ambal yang cukup
terkenal. Sambuil menunggu pesenanku tiba, aku menghabiskan waktu di
depan warung sambil menikmati lalu lalang kendaraan di Jalan itu.
Aku
sudah merangkai banyak kata dan kalimat Tanya kepada pak Tohari, namun
ada satu pertanyaan yang selalu ingin kutanyakan tentang dirinya. Bukan
bagaimana dia menulis, namun tentang “mengapa masih “setia” tinggal di
rumahnya di Jatilawang Banyumas, sementara sastrawan lain tenggelam
dalam hiruk pikuk dan Angkuhnya Ibu Kota.
Aku
bertanya dalam hati, Perlawanan kah? Melawan Jakarta Centris? Atau
kekalahan bersaing di sana. Langsung saja teringat lagu lamanya Koes
Ploes, “Siapa suruh dating ke Jakarta?” atau sarkasme yang masih saja
sering kudengar paska Film Ari Hanggara, “Kejamnya Ibu Tiri tidak
SEKEJAM Ibu Kota!”.
Hemm, semoga ada kesempatan untuk bertanya, gumamku.
Memasuki
Kebumen, mataku disuguhi dengan pandangan “khas” produk kebanggan kota
itu. Genting Soka. Yang saking terkenalnya, banyak perajin Genting yang
“meniru” merknya. Pengalamanku mencari genting karena sedang membangun
“gubug” untuk berteduh dari panas dan hujan, aku tahu bahwa sekarang
genteng merk SOKA ada beberapa tingkat kualitas, namun yang paling mahal
yang “ASLI” Kebumen.
Dulu aku sering bercanda
dengan kawanku dari Kebumen dan saling “umuk” tentang oleh-oleh khas
kota kami masing-masing. Aku sering menggodanya selepas kami pulang ke
daerah masing2 karena liburan Idul Fitri.
“Whaaa,
ini, (sambil menunjuk kawanku yang dari Kebumen), dia paling enak kalo
bawa oleh oleh, pasti awet, sampai 10 tahun ya awet!” candaku.
“Lho kok?” Tanya kawan-kawanku.
“Lha
nggowo gendheng, sopo sing arep ngrokoti (menggigit}?” kami semua
tertawa termasuk kawanku yang dari Kebumen. Ahh, masa itu.
Memasuki
kota Banyuman, kami berjalan pelan karena mas Budhi yang sudah pernah
ke rumah pak Tohari lupa dengan rumahnya. Meski sudah menelfon dan
dikasih petunjuk, kami berhenti beberapa kali untuk bertanya kepada
penduduk di pinggir jalan. Karena sangat terkenal, petunjuk yang
diberikan memudahkan kami untuk menuju rumah Pak Tohari.
Sejurus
kemudian, kami sampai di Jatilawang. Mas Budhi menelfon Pak Tohari dan
menyampaikan bahwa kami sebentar lagi sampai rumahnya. Benar, tidak
sampai 5 menit, kami sampai. Pak Ahmad Tohari menunggu kami, di pinggir
jalan di depan rumahnya. Rumahnya sangat asri, sederhana namun
bersahaja. Membuatku enggan pulang. Tanaman dibiarkan tumbuh sesuai
dengan keinginan tunas dan pucuk daunnya menggapai sinar mentari.
Bibit-bibit tanaman dibiarkan tumbuh memenuhi halaman rumahnya dan
“sengaja” dibiarkan.
Kami
menyalami dan dipersilakan masuk. Namun, kami memilih untuk
bercengkerama di teras rumah. Sejuk, adem, terasa damai. Sebeleum kami
duduk, Mas Budhi menyodorkan bingkisan yang kami siapkan untuk Pak
Tohari, dalam dialek “Banyumas-an” yang sangat menarik untuk kudengar
pagi itu.
“Walah, kok malah repot-repot gowo oleh-oleh!” ungkap Pak Tohari
“Puniko, sowan Ramane ya bawa oleh-oleh lah, wis suwe ora sowan”, jawab Mas Budhi.
Sang istri tercinta keluar menemui kami dan membawa oleh-oleh ke dalam.
Kami
dipersilakan duduk dan memulai perbincangan kami. Pagi itu, kami
menyampaikan kepada beliau tentang rancana untuk mengajukan program
pertukaran remaja Indonesia – Australia untuk belajar budaya dan sastra
dan hasil akhirnya akan dipentaskan di Indonesia dan Australia. Kami
“meminta” dukungan Pak Tohari untuk menjadi salah satu mentor dalam
produksi karya remaja yang terpilih untuk ikut program tersebut.
Beliau sangat terbuka dan mendukung program tersebut dan bersedia untuk menjadi mentor. Alhamdulillah.
Kami
melanjutkan perbincangan kami. Mulai dari “gugatan” Pak Tohari terhadap
situasi nasional, mulai dari Politik, sastra, dan ekonomi Indonesia.
Sesekali “mengkritik” penguasa dan sesekali membuai kami dengan
“petuah-petuah” yang terkesan sederhana namun sangat dalam.
Kami larut dalam canda dan “kritik” social budaya ala Ahmad Tohari.
Tak
berapa lama, Sang Istri tercinta keluar menemui kami sambil membawakan 3
cangkir the, kacang rebus, pisang rebus dan tempe mendowan hangat khas
Banyumas.
“Monggo!” Pak Tohari mempersilakan kami menikmatinya.
Tempe
mendowannya berbeda dengan yang biasa kumakan di Jogja. Lebih tipis
namun rasanya khas. Aku bergumam, “Ohhh, ini tempe mendowan yang sering
diceritakan bung Jacky!”
Setelah
berboincang ngalor ngidul tentang “situasi Indonesia dan Sastra
Indonesia”, kami undur diri. Sebelum kami berpamitan, saya memberanikan
diri untuk menyampaikan pertanyaan yang kupendam selama dalam
perjalanan.
“Kulo gadah pertanyaan ingkang kulo simpen saking Jogja. Menawi kerso jawab, sembah nuwun”, ungkapku.
“Kok
panjenengan taksih “lenggah” wonten mriki, padahal rencang-rencang
Sastrawan Besar sanesipun sampun “nglurug” dateng Jakarta? Puniko
perlawanan punopo badhe melestarikan Budaya Banyumasan? Kados Rendra lan
sanesipun sampun “pindah” wonten Jakarta?’ tanyaku.
“Begini
mas, tentu banyak unsur. Tetapi yang paling mendasar, hidup saya ini
sangat “terinspirasi” sama hadits Kursi. Yang menceritakan tentang
“dialog” antara “Tuhan” dengan “penghuni neraka! Bukan “Penghuni Surga”
malahan!” lanjutnya.
“Penghuni Neraka “menggugat”, ya Tuhan, kenapa aku Engkau masukkan neraka?
Karena kamu tidak menjenguk tetanggamu, tidak menjenguk Aku (Tuhan) ketika “AKU” “sakit”.
“Bagaimana Tuhan bisa “Sakit”? (Tanya penghuni neraka)
“Itu,
tetanggamu yang sakit dan kamu tidak menjenguknya! Maka kamu berada di
sini (neraka) sekarang! Ini Ulama-ulama, kyai-kyai ortodoks
menerjemahkan secara tekstual, malah skriptual : Kalo ada tetangga yang
saget infeksi, sakit kanker ayo kita jenguk! Itu JELAS tidak salah
penafsiran seperti itu. Tapi ulama-ulama yang memiliki pandangan lebih
luas menafsirkan bahwa sakit itu bisa sakit RAGAWI, sakit EKONOMI, sakit
SOSIAL. Itu harus kamu jenguk! Artinya, kamu harus berpihak ke sana,
kamu punya komitmen ke sana. Jadi, dalam bahasa saya, alamat-alamat
Tuhan, ditulis di punggung-punggung Yatim, fakir miskin…”
Hahahahahaha, …
“Pun, ketemu, ketemu (jawabannya)” kataku…
“Dadi, Sangkan Paraning dumadi (ingat Asal dan Tujuan Hidup)!
Jadi
hidup itu tidak di Menteng, tidak di Mall, tidak di pesta-pesta itu.
Ini tetangga saya ini, penghasilannya Rp. 10.000 per hari per Kapita dan
banyak yang kurang dari itu. Ini harus dibenahi ini. Jadi hidup saya ya
di sini, di desa!”
“Yang kedua, saya lebih banyak berdialog dengan alam!”…
Ohhh… his words almost killed me…
Jatilawang – Jogja, 26/04/15
No comments:
Post a Comment