David
Efendi, Pegiat RBK
Gagasan "sekolah" literasi di RBK lahir bukan didesain
untuk teknikalisasi atau fabrikasi komunitas yang rentan dengan proses
mekanistik yang tidak apresiatif dengan kreatifitas dan proses evolusi ilmiah.
Mendesain dan mempraktikkan model belajar manusiawi--interaksi non-doktriner
yang memanusiakan serta menghargai keragaman peserta belajar. Artinya,
inklusifisme dalam belajar merupakan keniscayaan yang perlu diciptakan
bersama-sama.
Harus diakui, substansi partisipatoris dalam beragam training
sering berujung pada dominasi yang laten. Taruhlah contoh, seorang fasilitator
yang berubah menjadi penceramah atau seorang yang menyebut dirinya hanya
fasilitator ternyata mengendalikan waktu dan jalan kegiatan yang menjadikan
peserta kehilangan kenyamanan dalam proses belajar. Metode belajar gaya kyai
atau gaya bank hari ini benar benar tak dapat diterima oleh kalangan anak anak
muda bahkan anak anak TK. Mempertahankan car belajar demikian menjadi ironi karena
kegagalan menjadikan manusia itu punya pengetahuan dan kreatifitas. Fasilitator
tahu segalanya, merasa tahu semua hal, dan menjadikan peserta merasa bodoh
adalah kegagalan paling berbahaya dalam proses pembelajaran komunitas. Ini
belajar gaya militer bagi manusia manusia pendamba kebajikan akal fikiran.
Tugas semua orang untuk melakukan pembaharuan cara belajar terus menerus sesuai
konteks zaman.
Dari cerita sekolah literasi baik yang saya saksikan, dari WA,
dari obrolan dengan fasilitator dan peserta serta refleksi dari teman-teman
pegiat ada beberapa catatan yang perlu saya curhatkan di sini; bukan dalam
rangka menghakimi tapi menemukan makna makna baru yang menguatkan;.
Pertama, level paradigmatik penyelenggara. Kedua, level konsepsi
kurikulum. Ketiga, level interaksi manusiawi dalam proses dan keempat level
evaluatif materi, penyajian dan capaian.
Pertama, paradigma sebagai cara memandang diri dan dunia luar
merupakan hal sangat mendasar yang secara langsung berpengeruh bagaimana
perlakuan seseorang pada dirinya, pada kemampuannya dan juga kepada orang lain
atau lingkungan lain. Terlalu inward looking sering terjebak pada superioritas
dan terlalu over outword looking akan berakhir pada psimisme yang berakibat
tidak PD akan peran yang dilakoni. Nalar apresiatif sangat penting untuk
memperkuat posisi secara manusiawi. "Tidak ada yang sempurnah" tapi
yang tak sempurna itu sangat bermakna. Inilah brainstorming awal setidaknya
yang perlu dimiliki oleh penyelenggara. Keinginan mengubah keadaan secara
instan hanya akan melukai optimisme. Paradigma emansipatif, pedagogis, inklusif
serta apresiatif sangat penting hari ini untuk memulai memikirkan landasan
epistimologis dan aksiologis gerakan.
Kedua, kurikulum adalah kbutuhan peserta setelah melakukan
aksesmen di hari pertama atau pra training. Asesmen akan sangat penting
membentuk antusiasme warga belajar karena memang materi itu yang diharapkan
didambakan peserta. Tanpa asesmen yang tepat suasana pembelajaran dapat dengan
mudahnya berubah menjadi suasana sosialisasi. Kurikulum didesainnbareng dengan
komitmen hal hal positif yang mesti dijaga selama proses pelatihan ( kontrak
belajar). Sangat bagus, jika kontrak belajar tidak berisi larangan larangan
tapi hal hal yang menguatkan potensi apresiatif.
Kurikulum yang pas menurut hemat saya adalah materi yang
ditargetkan untuk (1) memungkinkan potensi setiap peserta berkembang tanpa
mengabaikan salah satu pun dari warga belajar; (2) memantik berbagai gagasan
orisinil yang dimiliki peserta; (3) mengembangkan nilai apresiasi sesama ; (4)
merawat dan menumbuhkan kepercayaan diri akan eksistensi perannya dalam
komunitasnya atau dalam keluarganya; (5) menjadi media interaksi sosial yang
dinamis dan kretif; (6) serta menumbuhkan keberanian sikap dan tindakan yang
dilandasi pengetahuan; dan sebagainya. Banyak hal positif secara mandiri juga
diserap oleh peserta dengan logika dan emosi masing masing.
Ketiga, nuansa interaksi manusia adalah keinginan semua orang.
Tak mungkin ada yang menolak suasana humanis dan damai nyaman belajar bersama
orang orang baru dikenal. Nilai nilai humanisme secara sederhana dapat
dijelaskan dengan metode apresiatif inquary--semua orang punya kekuatan dahsyat
yang disadari maupun tidak/kurang diketahui. Dengan penghargaan atas potensi
semua orang kekuatan dalam diri memungkinkan tumbuh. Will to improve atau N-ach
adalah suatu tendensi umum yang berhak untuk dirawat dan dipelihara.
Fasilitator dan peserta yang baik adalah orang yang ingin maju berdaya bersama
sama. Tidak keberatan memberikan bantuan dan berbagi sesama. Egoisme dan
narsisme adalah dua problem yang harus diwaspadai. Termasuk suasana antar
peserta yang saling mengalahkan dan menjebak yang berakibat pihak lain malu
adalah interaksi buruk yang harus dihindarkan. Adil harus benar benar sejak dalam
pikiran dan sampai perbuatan. Open minded dan terbuka menerima perbaikan adalah
jiwa kstaria hebat yang perlu ditumbuhkan.
Untuk belajar secara manusiawi, ada beberapa buku yang perlu
untuk dibaca dengan penuh kesungguhan rasa seperti buku buku Paulo Friere
politik pendidikan dll, buku sekolah itu candu, buku pendidikan populer karya
Mansur Fakih dan masih banyak lagi. Setidaknya pengetahuan tersebut menancapkan
filosofi pendididikan dan pembelajaran agar tidak menjadikan ruang belajar
sebagai bengkel yang mekanistik dan cenderung dehumanis. Inilah kepentingan
kita untuk menghargai proses bukan berlari kencang mengejar hasil semata.
Terakhir adalah keberanian evaluatif sebgai bentuk kepribadian
mulia bahwa kita sadar manusia adalah makhluk pembelajar--belajar dari masa
lalu dan masa depan untuk memberikan bekal bagi jiwa dan akal kebajikan. Tanpa
merasa kurang dan terbuka kritik perbaikan maka kita telah memenjarakan akal
kreatif kita untuk mentok pada kepuasan semu. Pujian keberhasilan
penyelenggaraan kegiatan bukanlah target dari kegiatan pembelajaran namun
sejatinya trget adalah bagaimana tahapan belajar satu menuju tahapan berikutnya
dengan antusias dan semangat. Kata plato, pendidikan itu bukan mengisi air
dalam bejana tetapi menyalakan lampu penerang bagi kegelapan.
Sangat
pas mengutip Yudi Latif, jenis keberpihakan kita yang dibutuhkan negara adalah
patriotisme progresif dimana generasi muda tak sibuk mencela, melawan yang
tidak disuka tetapi harus menawarkan alternatif perbaikan secara nyata. Saatnya
menyalakan lampu bukan mengutuk kegelapan. Semoga manfaat bagi saya dan pembaca
No comments:
Post a Comment