Lutfi
Zahwar, pegiat Podjok Batca
Sekolah Literasi pertama yang diselenggarakan
oleh Rumah Baca Komunitas (selanjutnya disebut RBK) berakhir
senin 31 Agustus 2015 dengan materi Praksis Advokasi Gerakan Literasi Terhadap
Kaum Tertindas yang difasilitatori oleh Kang Dwi Cipta dari Gerakan Literasi Literasi menorehkan bekas yang dalam pada diri
saya. Bekas yang mendalam itu yang kemudian membuat saya memutuskan untuk
membuat refleksi singkat tentang Sekolah Literasi yang saya ikuti di RBK.
Menyesal rasanya tidak bisa mengikuti Sekolah
Literasi dari pertemuan pertama tanggal 21 Agustus karena masih berada di
Kediri. Tetapi beruntung saya bisa mengikuti kelas kedua sampai kelas terakhir.
Sekaligus saya mendapatkan kesempatan yang tidak terduga untuk menjadi salah
satu fasilitator di kelas ketiga karena David Efendi yang
seharusnya menjadi fasilitator mengikuti konferensi di Davao, Filipina.
Menjadi fasilitator tentu saja memberikan
banyak pelajaran bahwa saya masih harus banyak belajar. Untung saja waktu itu
ada Ahmad Sarkawiyang membantu menjelaskan dengan cukup detail
latar belakang lahirnya RBK serta nilai-nilai apa yang diperjuangkan. Menurut
Om Wiek, panggilan Ahmad Sarkawi di RBK lahir karena adanya semangat untuk
berbagi. Membuka akses seluas-luasnya bagi siapapun untuk bisa mengakses
pengetahuan. Menjadikan buku sebagai kepemilikan pribadi menjadi milik bersama
di komunitas. Buku yang sebelumnya privat disosialkan.
Om Wiek juga menjelaskan bahwa dalam
perjalanan keberadaan RBK yang saat ini sudah berumur tiga tahun. RBK sempat
mengalami beberapa transformasi gerakan untuk menemukan formula gerakan yang
lebih pas guna menjadi gerakan literasi yang transformatif. Di periode kedua
ketika di Jalan Paris (selanjutnya disebut mahzab paris) RBK mengorientasikan
keberpihakannya pada kaum-kaum marjinal yang disisihkan oleh masyarakat. RBK
membuka diri seluas-luasnya kepada kelompok-kelompok waria, anak gelandangan,
dan pekerja seks komersial untuk mendapatkan bahan bacaan, akses pada ilmu
pengetahuan. Sedangkan di saat yang sama perpustakaan negara melakukan
diskriminasi terhadap mereka. RBK ingin memperlakukan mereka sebagai layaknya
manusia, tidak melakukan diskriminasi.
Kemudian apa yang membedakan RBK dengan taman
baca-taman baca pada umumnya. Dalam diskusi di Podjok Batja, Cak Daviid pernah
menyinggung bahwa gerakan yang diinisiasi di RBK adalah model gerakan baru yang
memberikan nafas baru dalam gerakan literasi. Ia menyebutnya sebagai gerakan
post taman baca yang hanya menyediakan buku. RBK dengan mengusung dan
memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan, anti diskriminasi, anti kekerasan,
berpihak pada mereka yang tertindas tidak saja menyediakan buku untuk bisa
diakses. Namun juga secara rutin mengadakan diskusi rutin dua kali seminggu,
Diskusi Reboan dan Diskusi Jumat Sore (DeJure) yang banyak mengangkat isu-isu
tentang nilai-nilai yang diusungnya.
Tentang Gerakan Post Taman Baca yang disebut
oleh David Efendi.Fauzan Anwar Sandiah dalam kelas kedua dalam Sekolah
Literasi yang mengangkat topik Dinamika Gerakan Literasi. Sayang dalam
pertemuan itu saya datang terlambat sehingga tidak bisa mengikuti dari awal
penjelasan menarik dari Fauzan tentang dinamika gerakan literasi. Namun
beruntung malam harinya saya berkesempatan mengulang materi yang disampaikan
sambil berbincang santai di kafe. Fauzan membagi dinamika gerakan literasi
menjadi tiga bagian penting. Pertama gerakan literasi yang berfokus pada
meningkatkan minat baca masyarakat. Kritik Fauzan Anwar Sandiah terhadap
gerakan ini selain karena tidak kontekstual dengan realitas sosial yang
dihadapi masyarakat, bahkan kerap kali dijadikan lahan basah proyek bagi yang
berkuasa untuk mengeruk keuntungan. Kedua, gerakan literasi yang berorientasi
pada pengembangan dan peningkatan skill, misal saja pelatihan komputer, membaca
dan menyusun laporan keuangan.
Tentu saja gerakan itu bagus apalagi jika
sesuai konteks dan kebutuhan masyarakat dalam sistem ekonomi yang berkembang
seperti sekarang. Namun lebih penting lagi jika tahap kedua itu dilanjutkan ke
tahap ketiga, gerakan literasi kritis transformatif. Sebab kalau tidak gerakan
literasi model kedua hanya akan menyediakan tenaga terampil yang akan menjadi
penopang sistem kehidupan yang instrumentalistik industrial. Gerakan literasi
model ini tidak hanya berorientasi, meminjam istilah Karlina Supelli, memproduksi
manusia yang semata-mata mampu survive, beradaptasi dengan lingkungan demi
keselamatan diri. Melainkan menumbuhkan pemikiran baru, merangsang pemikiran
kritis. Ini adalah kemampuan khas manusia untuk mengkreasi budayanya, menangani
realitas, menambahkan hal-hal baru, bahkan mengubahnya.
Sebagai model gerakan literasi post taman
baca, RBK ingin menjadi tempat disemainya model pendidikan dan pembelajaran
gaya baru. Seperti dikatakan David, gagasan sekolah literasi yang diadakan RBK
bukan didesain untuk teknikalisasi atau fabrikasi komunitas yang rentan dengan
proses mekanistik yang tidak apresiatif kreatifitas dan proses evolusi ilmiah.
Mendesain dan mempraktikkan model belajar manusiawi dengan interaksi non
doktriner serta menghargai keragaman peserta belajar. Sekaligus membuat Model
gerakan literasi seperti itulah yang dalam pandangan saya akan membuka dan
menumbuhkembangkan pemahaman kritis mengenai permasalahan apa yang terjadi,
kenapa bisa terjadi, dan bagaimana kemungkinan upaya pemecahan yang bisa dikerjakan
dalam dunia ini terus berubah. Sekaligus membuat dunia tempat kita hidup
mendapatkan kehadiran seseorang yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya.
Proses seperti ini akan menjadikan gerakan
literasi model baru seperti RBK sebagai tempat berdialog dengan realitas, bukan
semata-mata pengalihan pengetahuan tentang realitas. Pemahaman dialogis ini
juga berarti pelibatan subyek di dalam membentuk sejarahnya sendiri. Melalui
proses berdialog dengan realitas, seseorang akan mampu merekonstruksi dan merevisi
kepemahamannya mengenai dunia secara terus menerus. Ia akan lahir sebagai
mahluk yang terus menerus mencipta diri, atau secara sederhana, mahluk
pembelajar seumur hidup. Dari proses inilah lahir subyek otonom yang tidak
lepas dari konteks sosial-kulturalnya, dan konteks kehidupan secara menyeluruh.
No comments:
Post a Comment