Abdullah
Zed Munabari, Pegiat RBK
Yap, ini tulisan berisi refleksi dari dinamika selama
kegiatan #SekolahLiterasi dan dari obrolan kawan" pegiat RBK tentang
evaluasi Sekolah jni beserta refleksi-refleksi nya. Agak unik memang, sekolah
ini dari awal memang di design sebagai sebuah ruang untuk bertukar pikiran
tentang sejarah, perkembangan, cara merawat, hingga peneluran model baru
gerakan literasi.
Dari mulai menjaga nilai-nilai independensi komunitas,
anti donasi terikat yg mematikan semangat kerelawanan, penerapan pendidikan
kritis, pengadopsian nilai-nilai ekoliterasi hingga tataran praksis, hingga
pengadopsian spirit dan jiwa RBK, yaitu nilai apresiatif yg tentu saja
dibarengi dgn nilai-nilai kemanusiaan sebagai prinsip.
Ahh lagi" kemanusiaan, sebuah terminologi
"pasaran" yang dijadikan label dan kulit oleh banyak kalangan. Bahkan
korporasi yang berniat mengeksplorasi potensi sumber daya suatu kawasan pun
seringkali menggunakan term ini sebagai legitimasi rencana "penyejahteraan
masyarakat nya". Terdistorsi lah makna kemanusiaan, tak indah lagi lah
kata kemanusiaan, bahkan seringkali bikin mual saat ini dikampanyekan. Hmm,
setidaknya itulah yg barangkali dirasakan oleh dunia kita sekarang. Kalian tau
apa emas paling berharga yang saya dapatkan selama proses Sekolah Literasi
itu?? Ada 2 emas yg saya temukan, yaitu Pemaknaan-isme dan Kemanusiaan.
Agar tidak ditelan bumi, saya coba refleksikan emas di
pikiran dan hati saya itu kedalam tulisan ini. Yang pertama yaitu
pemaknaan-isme. Hmm, terminologi apalagi ini, begitu barangkali yg orang
pikirkan saat membaca ini. Tunggu dulu, ini term punya makna, yang tentu saja
bukan dimaksudkan utk membuat saya terlihat ala ilmuwan sosial kekinian dgn
menambahkan isme diakhir kata Pemaknaan. Pemaknaan-isme disini saya dapatkan
dari refleksi sederhana saya pasca sekolah literasi, membaca refleksi
pegiat" RBK, dan obrolan kecil sambil makan di burjo dgn Lutfi Zanwar
Kurniawan, pegiat RBK. Sebenarnya ini sudah menjadj semacam budaya di RBK utk
menuliskan refleksi-refleksi. Namun refleksi ini sebenarnya lahir dari sebuah
pemaknaan dalam dimensi pikiran dan jiwa manusia. Apa yang membuat ini penting
saya sadari pasca sekolah literasi ini. Sebenarnya proses memaknai manusia
terhadap apa yg dia atau orang lain lakukan atau bahkan sebuah fenomena sosial,
menjadi sangat berarti dalam rangka menjaga pikiran dari dominasi media atau
pihak manapun, menjaga kewarasan untuk tetap memberi tahu kita bahwa tempat
kita memijak belum tentu tempat yg ajeg utk ditempati, dan juga (yang paling
penting) untuk mengetuk hati, jiwa, dan pikiran kita tentang apakah yang kita
ucapkan atau lakukan terhadap orang lain itu sudah sesuai dengan ke-hakikian
manusia tersebut (ini akan jadi titik temu dgn emas kedua yaitu
"kemanusiaan").
Point terakhir tadi adalah titik terpenting dari mengapa
pemaknaan yang melahirkan refleksi-refleksi itu menjadi sangat perlu. Yaa, dgn
memaknai interaksi" kita dgn org lain lalu kita melakukan oto-kritik
terhadap diri kita sendiri, menurut saya itu akan membantu kita menjadi ksatria
yang berani mengatakan hal sederhana namun sulitnya luar biasa, yaitu "Ya
ternyata aku yang salah, tdk seharusnya aku seperti itu". Pemaknaan
menemukan titik termulia nya saat bisa mengantarkan manusia melewati
tahap-tahap tersebut (lepas dari dominasi, tetap "waras", dan berkomunikasi
dgn jiwa/hati dgn keberanian mengakui kesalahan). Kesimpulan saya dari emas
bernama Pemaknaan-isme ini adalah Sekolah Literasi dimana proses pembelajaran
nya yang memicu pesertanya untuk melakukan pemaknaan-pemaknaan melalui refleksi
yang dituliskan telah mengantarkan peseta itu sendiri pada titik-titik manusia
merdeka yang manusiawi.
Emas kedua yang saya syukuri temukan yaitu
Kemanusiaan. Namun bukan kemanusiaan yg biasa dikampanyekan korporasi dalam
rangka akumulasi modal nya yang bikin kita mual. Ini kemanusiaan yang lahir
dari pandangan filsafat yang memandang manusia sebagai makhluk HOMOBAIKUS &
HOMOJUJURUS. Inilah filsafat manusia yang merupakan antitesa dari
homoekonomikus. Emas kemanusiaan ini saya temukan saat menyadari bahwa memandang
manusia pada dasarnya makhluk baik dan dapat dipercaya itu justru akan
menjauhkan kita dari sikap penuh kecurigaan yang spekulatif yang bisa jadi
berujung pada luka nya hati seseorang atau curiga berlebihan yang dapat
menghapus kepercayaan kita pada orang yang bahkan belum pernah kita
temui.
Emas kemanusiaan yang saya dapatkan ini diawali saat
membaca tulisan ahmad sarkawi yang menjelaskan makna kemanusiaan dan penting
nya membuat asumso dasar bahwa manusia itu makhluk yang baik dan dapat
dipercaya. Setelah membaca itu, .elalui proses pemaknaan dan berkomunikasi dgn
hati saya pun melahirkan sebuah otokritik yang memberi tahu saya bahwa saya
masih belum memandang manusia sebagai Homobaikus & Homojujurus.
Dibalik kesedihan saat sadar bahwa saya masih seorang
yang curigaan dan blm bisa menjadi pribadi yang apresiatif, saya sungguh
bersyukur dapat mengenal komunitas seperti Rumah Baca Komunitas yang telah
memberi saya begitu banyak hal berharga, saya benar-benar belajar bagaimana
memanusiakan manusia itu di komunitas ini. Saya membayangkan bila saya tak
pernah belajar disini bersama orang-orang seperti , mungkin saya akan menyakiti
dan mencurigai ratusan orang lain di sepanjang hidup saya kedepan nya.
Terima kasih RBK..terima masih mas dwi cipta dari GLI
yang telah memberi saya banyak inspirasi tentang membangun paradigma
kritis-transformatif dalam gerakan literasi yang dikawal dgn aksi-aksi praksis
yang konsisten.
Kalibedog, 3 september 2015
No comments:
Post a Comment