Istilah “sekolah” dalam kata sekolah
literasi bermakna “tempat berbagi”. Tentu saja ada banyak orang yang telah
mengusulkan topik seputar pentingnya sekolah literasi. Berbagai kelompok
masyarakat juga sebenarnya telah menginisiasi semacam sekolah literasi yang
bertopang pada aktivitas membaca, menulis, serta keterampilan budaya lainnya.
Hal itu juga banyak kami temukan dari berbagai individu atau
kelompok masyarakat. Kalau mengingat bagaimana upaya-upaya pegiat literasi
seperti Almarhum Dauzan Farook, sebenarnya gerakan literasi telah dirintis
secara serius dan diam-diam dalam kesunyian tertentu. Dalam rangka untuk
mengapresiasi setiap perjuangan masyarakat dalam menggiatkan literasi maka,
Rumah Baca Komunitas mengadakan semacam pertemuan rutin khusus untuk membahas
seputar gerakan literasi yang disebut “Sekolah Literasi”.
Ada antusiasme tersendiri yang kami rasakan sewaktu
menyelenggarakan Sekolah Literasi. Antusiasme itu muncul dari beragam respon
menarik selama sekolah literasi berlangsung.
Saya ingin mengemukakan beberapa respon dari teman-teman yang
mengikuti sekolah literasi, misalnya Mbak Rosa Kusuma Azhar seorang pegiat dari
Komunitas Sedekah Edukatif berkata “saya ingin menemukan beberapa inspirasi
dari proses sekolah literasi, semoga setiap orang semakin memperkuat
kerja-kerja inspiratif”.
Andi, seorang mahasiswa UAD “menarik sekali membicarakan seputar
gerakan literasi, saya ingin tahu bagaimana menjadi seorang pembaca yang
bijak?”.
Akil, seorang mahasiswa dari Solo berujar “menurut saya literasi
konvesional dan literasi digital atau media harus barengan”.
Ipin, Mahasiswa UMY, “saya ingin tahu bagaimana caranya memilih
buku yang baik. Apakah ada cara menghindari buku yang memuat tentang
kekerasan?”.
Ucil, Mahasiswa UMY “membaca buku harus dilandasi oleh keinginan
belajar, jadi membaca apapun secara kritis itu sangat penting”.
Selama lima pertemuan Sekolah Literasi berbagai diskusi sudah
terjadi. Latarbelakang dari tiap parisipan telah memberikan banyak informasi
berharga untuk RBK.
Sejak awal Sekolah Literasi tidak didisain semacam klinik atau
rumahsakit. Sekolah literasi justru muncul karena keinginan untuk menemukan
model gerakan literasi yang berangkat dari proses apresiatif terhadap
beragamnya identitas kultural. “Gerakan literasi sejatinya memang sebuah proses
transformasi sosial yang mudah dan gampang untuk direplikasikan oleh berbagai
orang” kata Cak David di sela-sela obrolan mengenai evaluasi Sekolah Literasi.
Saya kira ada juga catatan penting dari Om Awiek tentang
“Sekolah literasi pertama-tama harus berangkat dari kesetaraan dan keinginan
untuk mengenal konsep berbagi (sharing) sebagai bagian penting dari gerakan
literasi yang berpihak”. Mas Sakir juga menekankan pentingnya perspektif
gerakan literasi sebagai “rumahnya manusia”. Maksudnya adalah “tempat dimana
semua orang dapat mencoba berkembang dengan caranya sendiri” hal itu saya
perolah dari keterangan Mascu, Dollah, dan Lupet. Tiga pegiat RBK ini juga
banyak meluangkan waktunya untuk berbicara seputar nilai-nilai kemanusiaan yang
harus terus belajar dipraktikkan. Melalui mereka juga saya menemukan banyak hal
yang baik.
Semoga kita dapat sharing lagi.
jika diperkenankan, bolehlah kiranya materi-materi tersebut di share kepada kami (pergipagi@gmail.com)
ReplyDelete