Monday, January 5, 2015

Mencari Seni dalam Menulis


Mencari Seni dalam Menulis (Essay)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Saya termasuk orang yang senang menulis, tapi tanpa motivasi apapun. Bagi saya, menulis adalah suatu cara untuk berinteraksi dengan realitas. Karena dunia ini, adalah persoalan bagaimana realitas diperlakukan. Maka saya selalu tidak sampai pikir mengapa menulis menjadi semacam pekerjaan berat bagi sebagian orang. Saya tentu tidak bisa bilang “menulis itu semudah membalikkan telapak tangan”, atau bla-bla yang lain. Tetapi, jika melihat bahwa pekerjaan menulis sendiri adalah sebuah beban, saya tidak bisa menerimanya.
Saya menulis karena harus menulis. Mungkin juga karena prinsip itu, saya sangat jarang fokus pada satu tema utuh. Kadang-kadang bolak-balik antara berbagai tema. Ketika membaca filsafat, saya jadi ingin menulis filsafat. Membaca sastra, saya jadi mengomentari karya sastra. Membaca kolom parodi di koran, saya jadi tergelitik untuk menulis hal serupa.
Mungkin itu yang disebut mudah terpengaruh. Tetapi saya ingin memaknainya sebagai kebebasan. Karena menulis adalah tindakan seni, dan selayaknya tindakan seni pada umumnya, pelibatan dan penghargaan terhadap hasrat sangat tinggi. Hasrat untuk menulis teoritik, hasrat untuk menulis reflektif dan lain sebagainya bergantung pada menulis sebagai tindakan seni.
Ada beberapa pertanyaan menarik dari rekan-rekan saya, “bagaimana caranya menulis?”. Jujur saja, saya tidak tahu jawabannya. Tetapi dengan sikap tanpa pantang mundur, mereka mendesak saya untuk memberikan jawaban yang memuaskan. Jika sampai pada situasi begitu, saya jadi harus mengarang jawaban. Saya memulainya dengan refleksi dari motivasi mengapa saya menulis. Hasilnya, mentok. Saya tambah bingung. Jadi saya menjawabnya secara formal sekali “menulis itu harus dimulai dari tindakan menulis itu sendiri”. Yang sering saya dengar dari pembicara dalam seminar-seminar kepenulisan begitu. Ya sudah, saya kutip saja.
Sejak sekolah menengah, menulis bukan keahlian saya. Hal ini lebih banyak didorong ketika saya mulai tertarik dengan buku-buku biografi Hamka, Hatta, Syaffi Maarif yang awal-awal saya baca pada tahun pertama menjadi mahasiswa strata satu. Pelan-pelan saya mulai tertarik dengan menulis “dari-dalam”. Konsep menulis “dari-dalam” adalah sebuah keyakinan bahwa kita mampu memproduksi gagasan sendiri. Konsep itu saya bawa sampai tahun kedua menjadi mahasiswa.
Pengalaman awal menulis sebenarnya tidak mudah, tetapi sangat inspirasional. Saya mulai berkenalan dengan istilah plagiarisme dalam dunia menulis. Untung saja, sepanjang riwayat menulis, saya terhindar dari tindakan plagiarisme. Hal itu menolong saya ketika menulis paper untuk tugas kuliah. Dan memotivasi saya untuk menghargai tulisan sebagai produk dari tubuh-pikiran kita sendiri. Sehingga penolakan awal saya terhadap plagiasi bukan karena tindakan itu secara normatif salah, tetapi karena plagiasi sendiri berarti kita tidak menghargai pikiran-tubuh kita.
Nah, soal plagiarisme, ini juga menarik. Pada tahun kedua menjadi mahasiswa, saya berkenalan dengan dosen alumnus perguruan tinggi Belanda yang sangat produktif menulis. Melalui dirinya, saya banyak belajar soal etika menulis dan beragam hal. Melalui dirinya juga, saya dan rekan-rekan didorong untuk membuat jurnal ilmiah populer jurusan. Keseriusannya dibuktikan dengan tanpa basa-basi menjadi donatur utama penerbitan jurnal tersebut.
Saya ditunjuk menjadi ketua redaksi jurnal. Posisi tersebut tentu memacu saya untuk meningkatkan kualitas tulisan. Maka saya mulai bergaul dengan berbagai literatur untuk mempersiapkan diri. Pada pukul 3 sore, saya pulang untuk makan dan kembali ke perpustakaan yang saat itu hanya buka hingga pukul 5 sore. Hal itu saya lakukan tiap hari. Saya membaca beberapa buku untuk menunjang akademik, dan meminjam buku sastra untuk bacaan istirahat malam. Sebulan dua kali saya berkeliling toko buku untuk memburu beberapa buku yang saya anggap penting. Pada waktu itu, dorongan menulis lebih banyak disebabkan oleh perasaan saya untuk belajar otodidak mengenai apa saja.
Perlahan-lahan, pengalaman intensif saya bersentuhan dengan buku, mendorong saya untuk meningkatkan penggunaan diksi. Pada waktu itu, belum terlintas mengenai persoalan efektivitas penggunaan diksi, pemilihan diksi, dan lain sebagainya. Saya memang pernah mendengar tentang hal itu, tetapi menurut saya itu tidak terlalu penting. Suatu estetika kepenulisan bersifat historis, artinya direkonstruksi oleh suatu model umum penyampaian gagasan melalui tulisan. Saya tidak pernah tertarik dengan semacam “tips-tips menulis”, karena menurut pengalaman, saya tidak cocok dengan yang begitu-begitu.
Soal estetika menulis, saya punya pandangan. Menurut saya, menulis adalah pekerjaan manusia sejak dahulu. Estetika terjadi setelah kebiasaan menulis mulai terbentuk. Estetika dengan demikian bisa jadi sangat penting, tetapi jangan sampai melampaui substansi mengapa tulisan harus muncul. Maka saya selalu percaya, bahwa seorang yang memahami pentingnya tulisan jarang yang akan mereduksinya dengan komentar abstrak mengenai lay out, footnote, dan beberapa hal lain.
Pernah suatu kali saat menggarap penelitian, laporan penelitian saya dibaca oleh seorang teman, dan komentarnya seputar estetika menulis. Saya tidak paham maksudnya, maka diam saja dan mengaguk seperti setuju. Saat itu, saya pikir tidak masalah, karena kehadiran komentarnya termasuk keberuntungan untuk saya karena menemukan komentator yang bisa jadi mewakili pandangan suatu “varian” mahasiswa mengenai estetika kepenulisan. Setelah mendengar komentar panjang lebarnya, saya ucapkan terima kasih. 
Masih berkaitan dengan cerita itu, dalam dunia menulis, kita akan bertemu dengan berbagai macam komentator. “Komentar positif tidak masalah, tetapi, komentar negatif bagaimana cara nanggapinnya?” tanya seorang teman suatu ketika. Sejujurnya, saya tidak punya persediaan jawaban untuk pertanyaan ini. Saya tipe penulis yang yakin bahwa soal estetika, itu soal rekonstruksi. Ada rekonstruksi resmi yang dibuat oleh komunitas tertentu untuk mempermudah pekerjaan menulis, dan ada rekonstruksi berdasarkan pada budaya. Makanya saya jarang terganggu dengan komentar negatif mengenai estetika kepenulisan dari orang terhadap tulisan saya. Bukan karena saya arogan, tetapi saya menikmati komentar itu. Saya pikir komentar orang itu negatif atau positif merupakan informasi yang menarik soal dunia kepenulisan. Jadi komentar-komentar itu menjadi data penting bagi saya untuk memahami sudah sejauh mana dunia kepenulisan meresap dalam kesadaran keseharian kita.

Pergulatan “Daging-Darah” Buya Syafi'i Ma'arif

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Ada yang selalu membakar. Selalu ada optimisme. Ahmad Syafi’i Ma’arif biasa disapa buya, bagi saya adalah seorang otentik. Tokoh bisa seliweran. Siapa saja bisa bicara wacana pluralisme, nasionalisme, kebangsaan, atau keummatan, tetapi yang seperti Buya, saya rasa belum tampak. Hal ini tentu tidak berarti ada kecenderungan pesimistik.
Di suatu Maghrib, bersama rekan-rekan, saya datang ke rumah Buya. Sebetulnya rencana mengunjungi Buya termasuk yang mendadak. Agenda hari itu sebenarnya adalah berangkat ke Solo. Tetapi karena orang yang kami tuju memiliki kesibukan pada hari itu, maka dalam konfirmasi terakhirnya dibatalkan. Acara berkunjung ke Solo, segera dialihkan oleh seorang teman ke tempat Buya.
Seorang rekan yang mengirim SMS ke Buya direspon positif. Tandanya, kita diterima untuk mengunjungi Buya. Cukup mendadak, tetapi sudah rezeki hari itu untuk bertemu Buya. Saya sebelumnya tidak pernah berkunjung ke rumah Buya. Biasanya, cuma menyapa atau menyalami Buya pada acara-acara umum. Otomatis, berkunjung dan menjadi satu dari enam orang yang datang adalah pengalaman baru.
Kendaraan yang kami tumpangi berhenti di depan kediaman khusus Buya untuk menulis. Soal “rumah khusus” ini pun menarik. Berdasarkan cerita banyak orang dekat Buya, rumah khusus itu diperuntukkan untuk menerima tamu dan menulis. Sedangkan rumah Buya yang di dekat masjid Nogotirto khusus untuk berkumpul bersama keluarga. Malahan, sebelum ada rumah itu, menurut cerita takmir Masjid Nogotirto, Buya biasanya menerima tamu di masjid. Ada diskusi juga Buya lebih senang bila di masjid.
Mobil berhenti, dari depan pintu terlihat Buya sudah menunggu. Pakaiannya hari itu adalah kaos berkerah lengan pendek dan sarung hitam. Tapi tatapan Buya tetap kuat. Bahunya tampak masih tegak. Tapi usia tetap membiarkan sebagian ciri-cirinya pada tubuh Buya. Rambutnya penuh uban, kulit sudah keriput.
Satu persatu kami masuk ke rumah. Waktu masuk ke rumah Buya, banyak hal yang saya pikirkan. Tentu saja, sebelum-sebelumnya, sudah banyak cerita yang saya dengar mengenai kehidupan pribadi Buya. Misalnya, tentang keengganan Buya untuk ditolong dalam hal apapun; menutup pintu, atau menyupir.
Ada yang menarik dari pertemuan dengan Buya. Satu-persatu dari kami berenam diminta untuk bicara terlebih dahulu. “Masing-masing ayo bicara” kata Buya. Permintaan Buya sebenarnya mudah, tetapi tidak ada yang bepikir akan diminta secepat itu, apalagi mengomentari persoalan besar tentang Negara, Bangsa dan Kemanusiaan. Beberapa rekan mencoba terlebih dahulu. Memberikan komentar di hadapan tokoh bangsa bukan pekerjaan yang sederhana.
Pekerjaan itu penuh kehati-hatian. Kesalahan intonasi bisa berarti menggurui. Terlalu lama memberikan respon atas pertanyaan juga kurang baik. Buya memang orang yang senang mendengar pendapat anak muda terlebih dahulu sebelum perspektifnya dikemukakan.
 Soal perspektif, saya selalu punya pegangan. Seperti dalam banyak hal yang saya insafi ketika membaca pemikiran tokoh-tokoh. Selalu ada apa yang sering saya sebut dengan “pergulatan daging-darah”. Pergulatan itu, adalah pergulatan dimensional yang tidak dapat dimasuki oleh “yang-liyan”. Pergulatan itu seperti suatu ruang yang sangat privat, komentator di luar daripadanya sering menunjukkan kekurangajaran atau—kekurangajaran pemuda—mengutip Nietzsche.
Maka jika kita merasa ada “keterbatasan” dimensi dalam perspektif seseorang, itu bukan pertanda tentang batas. Dan bukan juga penanda adanya “jarak pemikiran”. Kadang-kadang itu lebih mirip sebuah padang pasir, dengan banyak sungai-sungai kecil. Masing-masing orang punya sungai-sungai kecil itu, yang kita sebut oase. Jadi persoalannya bukan pada seberapa berbedanya perspektif antar tiap orang, melainkan seberapa sadar kita mengenai kehadiran oase-oase itu di sekitar kita.
Kembali ke cerita di Maghrib itu. Setelah meminta kami untuk berkomentar satu-persatu, Buya memulai pembicaraan dengan beberapa pertanyaan. Salah-satu yang sampai hari ini masih terulang-ulang di kepala saya adalah pertanyaan begini; “Islam yang ada di kantong kita apa (sudah cukup) bisa menyelesaikan persoalan bangsa?”.
Seingat saya, Bung Hatta dahulu pernah membersitkan diri pada pertanyaan yang mirip-mirip begini pasca pertemuannya dengan Agus Salim. Yakni tentang relasi antara agama sebagai keyakinan, dan sifat transformatifnya atas problem kemanusiaan.
Tidak sedikit orang yang menuduh Buya sebagai nihilis, karena tema-tema pembicaraannya terdengar ironis. Tetapi saya justru tidak menangkap itu. Atau mungkin, saya cukup gagal sampai pada kesimpulan begitu. Dalam banyak tulisan-tulisan Buya, kesan saya justru refleksi ilmiah atas kondisi-kondisi yang mempengaruhi sejarah. Dalam analisa sejarah, model refleksi demikian juga dipakai Kuntowidjoyo—yang dengan beberapa aspeknya mengakui pengaruh materialisme historis. Tidak mengherankan, karena Buya sendiri banyak menggunakan analisa Benedetto Croce dalam kondisi historis. Jadi, walaupun ada kesan tentang kondisi yang mencekam, sesungguhnya justru menawarkan oase reflektif, terkadang berbeda, dan bersifat emansipatif.
Pertemuan Maghrib itu menjelaskan beberapa hal yang masih tidak saya pahami mengenai pemikiran Buya. Termasuk hal-hal yang perlu saya pertegas karena banyak dipersoalkan oleh banyak komentator pemikiran Buya. Misalnya, mengenai rantai wawasan yang harus dimiliki dalam konsep leadership; kemanusiaan, kebangsaan, keummatan, dan persyarikatan (Muhammadiyah). Paling tidak, ada dua penafsiran umum mengenai ini. Pertama, yang melihatnya sebagai rantai wawasan holistik. Kedua, yang melihatnya sebagai rantai wawasan berjenjang. Cara penafsiran pertama maupun yang kedua, dapat dibenarkan sejauh itu untuk memaknai pikiran Buya secara umum. Jadi begini, sekalipun holistik, rantai wawasan tersebut tidak dapat dicampurkan. Problemnya ada pada implementasi praksis. Wawasan kemanusiaan, dan wawasan keummatan dapat berbenturan karena berpotensi bias kepentingan.
Tiap wawasan adalah pengetahuan, oleh karenanya bergantung pada faktor-faktor siapa yang memiliki kuasa hegemonial. Oleh karena itu, jika memahami rantai wawasan tersebut sebagai sesuatu yang holistik, potensi terjebak dan buntu dalam tataran implementasi sangat besar. Artinya, wawasan kemanusiaan dan wawasan keummatan dapat berbenturan karena berangkat dari sistem epistemis yang berbeda. Dalam soal ini, sebenarnya penyelesaian ada pada “pusat kesadaran”. Tentu saja, banyak intelektual menggunakan kata holistik untuk menjelaskan kerumitan relasional. Dan karena alasannya begitu, banyak juga yang terjebak untuk menafsirkan relasi-relasi dari tiap wawasan dalam konsep leadership sebagai yang holistik.
Maghrib itu Buya berbicara panjang tentang banyak hal. Buya selalu bicara dengan antusiasime tinggi. Dan selalu ada perasaan motivasional setelah mendengar gagasan Buya. tidak berbeda keadaannya, baik itu ketika membaca tulisan, “orasi”, atau diskusinya. Saya sendiri selalu iri dengan orang-orang yang selalu bertarung dalam hidup dan melewatkan hasil sebagai reward yang harus diterima. Mereka menjalani hidup tanpa bermaksud pada hasil, karena itu tidak pernah sengsara dengan prasyarat. Pikiran-pikiran mereka selalu jernih, makanya tidak tersandera. Saya sendiri tidak merasa mampu mengikuti jejak begitu. Paling tidak, berada di selasar oase mereka saja saya merasa beruntung.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK