Showing posts with label volunteer. Show all posts
Showing posts with label volunteer. Show all posts
Wednesday, June 15, 2016
Danang dan Rasyid✊
Powered by 🐜pekerja.co
Tahun 2013, pasca pindah dari Onggobayan menuju Jl. Paris, hanya ada satu alasan mengapa RBK layak dipertahankan. Alasan itulah yang pada akhirnya melatarbelakangi proses apresiasi penuh atas kerja-kerja literasi pegiat RBK sejak berdiri di Jl. Pak Rebo Onggobayan. Ada perasaan mendalam yang dirasakan oleh pegiat RBK. Mereka merasa RBK telah menjadi komunitas yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya membantu proses transformasi diri.
Itulah salah-satu alasan mengapa RBK menjadi sangat berharga bagi para pegiatnya. Maka seringkali saya merasa RBK ini memerankan gerakan literasi sebagai gerakan transformasi. Genealogi gerakan literasi sendiri jika bercermin dari kerja-kerja Freirian, bertujuan utama untuk mentransformasi hasrat menindas yang bersemayam dalam diri manusia menjadi hasrat purna. Jadi gerakan literasi tidak hanya soal kemampuan baca-tulis. Gerakan literasi merupakan perjuangan melawan reproduksi hasrat-hasrat yang membawa manusia menjadi predator-predator baru dari sistem yang dikuasai oleh mode sosial alienatif. Tujuan gerakan literasi berbasis komunitas dengan demikian adalah menunjukkan bahwa proses reproduksi pengetahuan yang alienatif bukan merupakan jalan mengerem proses kerusakan.
RBK persisnya memainkan peran demikian. RBK berusaha memperkuat transformasi diri tiap pegiatnya melalui kerja literasi. Diskusi dua kali setiap minggu yang dinamakan Reboan dan DeJure pun sebenarnya bertujuan mengajak para pegiat RBK untuk merefleksikan dirinya dan realitas yang majemuk. Begitu juga dengan ROTS yang digelar pada minggu pagi. Tujuannya adalah melatih etos berbagi. RBK sekali lagi merupakan tempat yang cocok bagi siapa saja yang ingin belajar terus menerus. Hal ini bisa terbaca dari tema-tema Reboan atau DeJure yang tampak masuk ke berbagai topik. Tentu saja hasrat belajar yang menolak redup itu juga tercermin dari dua orang pegiat RBK; Danang dan Rasyid.
Saya merasa kuat membaca testimoni yang ditulis oleh Danang. Begini testimoninya:
"
"Banyak hal yg menggembirakan yang saya dapat ketika rots atau gabung di perpustakaan jalanan, terutama dari seorang pengunjung guru ngaji yang mengatakan bahwa baru kali ini menemui komunitas yang mau sukarela meminjamkan buku dg cara segampang ini, ada juga ibu ibu yang rada menyesal baru tahu ada perpustakaan jalanan padahal rumahnya dekat, dan seorang bapak2 yang ketika pertama kali datang hanya seorang diri selanjutnya ketika datang lagi membawa anaknya. Banyak hal yang saya rasa indah saat kita menjalaninya. Ketika melihat mereka tersenyum dan mengucapkan terima kasih adalah hal yg luar biasa. Apalagi bl ada yg mendoakan kita. Luar biasa senangnya."
Bisa dibayangkan betapa kuatnya dua orang ini membuka lapak perpustakaam jalanan yang biasa disebut ROTS. Tentu saja mereka berada di tengah kondisi puasa dan harus memantau jadwal masuk kuliah. Ditambah lagi, mereka selalu menyesuaikan diri dengan cuaca yang kadang begitu terik, kadang diguyur gerimis. Saya tak bisa bayangkan dua mahasiswa ini berjibaku kreatif dan tampak tak lelah. Perlu kita ketahui, mereka juga tengah sibuk menghadapi sejumlah tugas akademik, problem keseharian mahasiswa, hingga tantangan yang tak terduga.
Sewaktu saya mampir ke Alun-Alun Kidul tempat ROTS dibuka, Rasyid berkata pada saya "Mas, sebaiknya kita harus gimana lagi ya supaya ROTS ini semakin asik?". Setelah bertanya dia melanjutkan dengan pertanyaan lain "Mas, buku ini diletakkan di mana ya..?". Obrolan berlanjut sambil kami beraktifitas.
Kebetulan saat itu salah-satu stasiun TV sedang meliput NgabubuRead ROTS RBK. Danang dan Rasyid merupakan dua pegiat yang konsisten membuka lapak selama bulan puasa. Sewaktu diliput, dua pegiat ini tetap tampak asik beraktifitas. Saat hujan mengguyur dari langit yang gelap, mereka tampak ceria saja. Dari kaos yang basah mereka kelihatan selalu baik-baik saja. Memang benar, dalam badan yang berdaya-tahan, ada pikiran sehat yang dirawat.
Satu motor berdua dikendarai rasanya semua bagian sudah penuh sesak. Tapi Tidak untuk Danang Dan rasyid pegiat ROTS yang memenuhi motornya dengan satu container sedang berisi buku, dua rangsel berisi buku, banner besar, 3 buah tampah bertuliskan RBK dan satu tampa bertuliskan "aku Dan buku" ditambah dua TIKAR cukup makan tempat. Ini dilakukan hampir tiap hari di bulan penuh berkah. Menurutku ini tindakan ultra militan yang sangat mengesankan. Semoga Allah menambah kasih sayangnya pada pegiat Literasi
Aku taunya ketika mereka berdua mampir rumah, masyaallah seperti tosa yang mendarat di gang sempit. Bentuk bentuk tindakan yang paling penting diapreasiasi pada hari hari penuh Polemik ini.
Selalu saja ada manusia yang memperpanjang nafas literasi. Sambung menyambung, saling bergantian, saling berbagi peran.
Zaman sudah banyak berubah, sangat banyak. Yang tergelincir, terhempas mati tak tertolong....yang masih tahan terus bertahan.
Wednesday, December 2, 2015
Apa yang Salah dengan Volunter?
Oleh: Butet Manurung
"Kamu perempuan, lahir dan besar di Jakarta, sekolah tinggi, kenapa mau bekerja keluar-masuk hutan hanya untuk orang-orang seperti mereka?"
Begitu pertanyaan yang sering saya dapatkan selama tak kurang dari 15 tahun terakhir ini. Tidak ada jawaban yang memuaskan mereka. Setiap jawaban malah melahirkan pertanyaan baru.
"Memangnya di kota tidak bisa berarti?"
"Di hutan, kan, tidak ada mal, sinyal telepon, teve, internet, bakso?" Atau, "Hobi, ya, hobi, pekerjaan itu pekerjaan, tidak bisa disatukan!"
Lalu, "Tidak takut binatang buas, kena malaria, diperkosa, atau bertemu setan?"
Bekerja di kota, di mana banyak orang berkompetisi memperebutkan sedikit kesempatan, yang tak jarang hanya demi kesenangan dan memuaskan pancaindra semata, sampai-sampai harus sikut kanan-sikut kiri, bagi saya justru lebih menakutkan dibandingkan kemungkinan bertemu binatang buas di hutan.
Tapi, kenyataannya, pekerjaan di kota memang menjadi incaran banyak orang.
Teramat banyak sehingga kantor-kantor itu harus menyeleksi calon karyawannya habis-habisan dengan berbagai persyaratan.
Pada situasi ini tampak sekali kalau kita yang memburu pekerjaan, bukan pekerjaan yang membutuhkan kita.
Masih ingatkah bagaimana rasanya langkah jadi ringan dan senyum terkembang seharian setelah bantuan kecil yang kita lakukan tulus untuk orang lain?
Misalnya, setelah membantu seorang nenek menyeberang di jalanan yang ramai penuh mobil, atau saat membantu anak tetangga yang kesulitan menyelesaikan pekerjaan rumahnya?
Sulit digambarkan perasaan saya ketika mendengar kata pertama yang berhasil dibaca oleh murid saya, lalu di lain waktu melihatnya membantu orangtuanya di pasar menghitung hasil penjualan produk hutannya.
Bantuan kecil kita bisa jadi besar maknanya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Saya merasa dibutuhkan.
Butuh dan dibutuhkan menghasilkan perasaan yang berbeda. Letaknya jauh di kedalaman hati, membuat kita merasa berharga, menghargai hidup dan akhirnya bersyukur.
Kerja suka dan rela
Orang banyak mengatakan kegiatan ini sebagai voluntary service. Voluntary biasa diterjemahkan sebagai sukarela, sedangkan service dalam makna luas berarti pelayanan, bakti, jasa, atau pengabdian.
Maka, mari kita artikan voluntary service sebagai pekerjaan (kalau memang disebut pekerjaan) yang dilakukan bukan hanya dengan penuh suka, juga rela; bukan untuk mencari keuntungan pribadi, tetapi memberi apa yang kiranya dibutuhkan orang.
Indonesia punya 13.000 lebih pulau dan tak kurang dari 250 juta jiwa penduduk. Dengan luas hampir 2 juta kilometer persegi, tentu ada banyak peluang yang terbuka.
Apalagi kalau kita baca surat kabar, rasanya tak pernah selesai persoalan di negeri ini.
Bagaimana kita bisa terlibat?
Kita hanya perlu lebih banyak melihat dan mendengar langsung. Langsung itu artinya dari luar layar monitor HP, tablet, atau laptop-mu! Ada banyak hal yang tak berada di tempatnya.
Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati. Rendah hati artinya kita datang dengan pertanyaan, bukan jawaban.
Sekalipun ada perasaan dibutuhkan, kita datang bukan untuk jadi pahlawan, bukan untuk menggurui, tapi mempelajari, mengenali, sambil mencari apa yang bisa kita bantu. Lalu biarkan hatimu mengatakan apa yang harus kamu lakukan.
Konon, ada tiga kekuatan dahsyat, mengutip Pramoedya dalam novelnya Rumah Kaca, "Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya." Saya setuju. Sekali kita menentukan tujuan, biarkan ia jadi kekuatan yang menggerakkan.
Ada lagi model pertanyaan yang sering saya jumpai, "Kak, saya suka bertualang, saya juga ingin mengajar di rimba, tapi saya takut gelap. Bagaimana, ya?"
Atau, "Kak, saya sangat ingin mengajar anak-anak jalanan, tapi orangtua ingin saya jadi PNS."
Menghadapi pertanyaan itu, saya biasanya senyum-senyum saja. Atau kalau sudah terpojokkan, saya bilang, "Bereskan dulu tapi-mu, ya, setelah itu baru kita ngobrol lagi."
Rasanya sulit menumbuhkan kekuatan pikiran dan hati kita kalau kita sendiri sudah membatasi diri kita dengan banyak "tapi". Akan selalu ada alasan kalau kita fokus pada kalimat di belakang kata "tapi".
Karena bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, bukan? Bahwa dia tidak (akan) berusaha ke rimba atau apa pun mimpinya karena dia punya banyak "tapi".
Bagaimana kalau kalimat "tapi" itu kita balik? "Kak, sebenarnya orangtua saya ingin saya jadi PNS, tetapi saya sangat ingin mengajar anak-anak jalanan." Dan, "Kak, saya itu sangat takut gelap, tapi saya suka bertualang dan ingin mengajar di rimba!"
Bekerja, apa pun itu, termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri sendiri, menghormati hidup kita sendiri.
Bahwa kita begitu berharga, bermanfaat, dan berarti, sehingga kita ingin membagikan anugerah yang kita punya kepada orang lain melalui segala daya dan kreativitas.
Melalui penghargaan kepada diri sendiri, kita akan menemukan banyak hal menarik dan berguna yang bisa dilakukan.
Ini memang terlihat seperti pengabdian terhadap orang lain. Tapi tidak, karena sebenarnya kita mengabdi kepada kemanusiaan yang sejati.
Menghargai diri sendiri
Pertanyaan yang lain, "Saya ingin bergabung. Saya ingin bekerja sosial, mungkin satu atau dua tahun, tapi setelah itu saya akan bekerja serius. Saya tak munafik, hidup tentu butuh uang."
Kalau memang begitu, mengapa tak bekerja serius dulu sampai punya cukup banyak uang lalu baru bekerja sosial sehingga tidak perlu lagi mencemaskan keuangan?
Satu hal yang mengganjal, bahwa sering kali kerja sukarela tidak dianggap sebagai pekerjaan serius.
Mungkin karena pekerjaan serius itu didefinisikan sebagai rutinitas kantor dari Senin sampai Jumat, berpakaian rapi, dan segala formalitas lainnya.
Padahal, kerja sukarela tak kalah seriusnya, sama-sama menguras pikiran dan tenaga. Hanya karena formalitas yang berbeda, bukan berarti keduanya berlawanan.
Bagaimana dengan uang? Jutaan rupiah yang sudah habis untuk biaya sekolah, ditambah lagi tahun-tahun yang telah dilewati dengan penuh harap, sering kali dianggap sebagai piutang yang pada saatnya nanti harus bisa dipetik hasilnya.
Setidaknya balik modal, syukur-syukur kalau bisa kembali dengan berlipat ganda. Ah, mari berhenti menyogok masa depan.
Sekolah tidak ada hubungannya dengan banyaknya gaji yang akan kita terima. Demikian halnya prestasi (achievement), tidak selamanya diukur dengan uang.
Teman saya, lulusan S-2 dari universitas negeri di Jakarta yang juga bekerja di hutan, pernah ditanyai seorang wartawan yang berkunjung ke rimba dengan penuh apriori, "Berapa gaji yang kamu terima untuk pekerjaan gila seperti ini? Kalau tidak besar, mana mungkin ada yang mau?"
Teman saya menjawab dengan jengkel, setengah bercanda, "Kalau untuk mencari banyak uang, saya mendingan piara tuyul saja, Pak, bukan bekerja seperti ini. Uang bukan tujuan saya."
Si penanya tentu tidak puas, tetapi bagaimana menjelaskan keindahan lautan kepada orang yang tidak pernah tahu apa itu laut.
Lagi-lagi memang kembali kepada tujuan dan keberanian kita menjalani tujuan itu. Keberanian untuk menjadi berbeda dengan ribuan orang yang mengantre pekerjaan di kota.
Pikiran-pikiran kami sering dianggap ajaib oleh kebanyakan orang. Sering juga setelah beberapa waktu bercakap-cakap mereka seperti disadarkan bahwa mereka juga ingin punya perasaan-perasaan seperti itu: melakukan hal yang disenangi, merasa bermanfaat.
Kekayaan batin akan senantiasa membuat kita bergairah. Namun, tentu gairah akan berlipat ganda kalau kita bisa memberi manfaat bagi orang lain.
Kerja sukarela tak hanya bisa dilakukan di hutan, di dunia politik, atau di medan perang, tapi bisa di mana pun.
Tidak perlu bermimpi menyelamatkan bumi karena itu tugas Superman dan James Bond.
Tak juga harus baik hati selemah Cinderella yang mengharap uluran Ibu Peri karena yang kita perlukan justru kekuatan dan keberanian.
Tidak juga sibuk cari pengakuan atas yang kita lakukan karena yang kita cari adalah penghargaan kita terhadap diri sendiri.
Tidak juga harus mengikuti petunjuk orang-orang terkemuka yang seolah berhati peri karena dalam beberapa kasus yang menumbalkan rakyat negeri ini ternyata malah didalangi mereka. Tak juga harus sepakat dengan saya.
Seperti kita tahu, setiap orang memiliki ketertarikan, prioritas, dan kemampuan sendiri-sendiri. "Jadilah diri sendiri", sering sekali dikumandangkan di mana-mana.
Sekali lagi, taruh gadget- mu, lihat lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan hatimu. Sebab, kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini.
Bayangkan jika suatu hari, di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan baru tersadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita.
Butet Manurung
Pendiri dan Direktur SOKOLA-Literasi dan Advokasi untuk Masyarakat Adat Indonesia
Pendiri dan Direktur SOKOLA-Literasi dan Advokasi untuk Masyarakat Adat Indonesia
sumber: http://nasional.kompas.com/read/2015/11/03/18420041/Apa.yang.Salah.dengan.Volunter.?page=all
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tulisan Terbaru
Populer
-
”Gerakan Membaca” merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari itu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka ...
-
Oleh : David Efendi Direktur Rumah Baca Komunitas Anak-anak adalah manusia masa depan, Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-...
-
Oleh : Iqra Garda Nusantara Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan b...
Hamka For RBK

Sjahrir For RBK
