Showing posts with label Reboan. Show all posts
Showing posts with label Reboan. Show all posts
Saturday, June 11, 2016
POLITIK KERELAWANAN: Wajah baru demokrasi Indonesia?
Oleh: Abdullah Zed
Catatan ini merupakan catatan pribadi dari diskusi reboan 1 Juni 2016 di rumah Baca Komunitas yang merupakan agenda Ramadan di RBK. salah satu rangkaian dari 8 sdiskusi serial.
Menengok kembali ke pemilu 2014 ternyata masih diperlukan. Apa yang terjadi pada Mei 2014 ternyata bukan sekedar menangnya seorang capres dengan latar belakang sipil terhadap militer dan Mei 2014 bukan hanya tentang makin gencarnya praktik politik uang dan turunnya jumlah golput pemilih tetap. Satu hal yang sekiranya sangat berbeda dan mungkin bisa dibilang baru dalam sejarah demokrasi Indonesia pasca 1965 adalah berpartisipasinya kelompok relawan dalam agenda perpolitikan 5 tahun sekali tersebut. Ya, mereka disebut relawan karena memang keterlibatan mereka dalam membantu memenangkan calon mereka lakukan dengan inisiatif mereka sendiri dan tanpa iming-iming rupiah. Barangkali saya ahistoris bila mengatakan orang turun ke jalan mengkampanyekan seorang kandidat politik tanpa dibayar sebagai suatu yang baru, pasti telah ada orang-orang yang telah melakukan nya namun masih kasuistik, tak terlembaga, dan tak sistematis.
Hal inilah yang muncul pada pemilu 2014 lalu. Sekelompok relawan yang terkoordinasi dengan baik, memiliki konsep, dan mekanisme kerja yang tersistem pun bermunculan. Bahkan, gerakan ini telah muncul semenjak Oktober 2013 dimana sekelompok anak muda dalam naungan komunitas relawan Turun Tangan mendeklarasikan dukungan penuh pada Anies Baswedan yang merupakan salah satu peserta konvensi calon presiden 2014 yang diikuti peserta dari intra dan ekstra partai. Secara mengejutkan, dengan ide dan gagasan “politik murah, orang baik tak boleh diam, orang berintegritas masuk politik, relawan tak dibayar karena tak ternilai, dan segudang slogan lainnya” berhasil menarik lebih dari 30.000 orang (lihat website aniesbaswedan.com) sebagai relawan. Ini menakjubkan, anak-anak muda ini berkumpul, meluangkan waktunya untuk membicarakan gagasan-gagasan yang diusung Anies, beberapa dari mereka sangat percaya diri ide tersebut merupakan solusi bagi segudang permasalahan di negeri ini dan sebagian lainnya agak meragukan ide tersebut bisa bena-benar terlaksana atau tidak.
Namun, mereka semua setidaknya percaya bahwa Anies yang terbaik yang saat itu muncul dan Anies hanya bisa maju bila ada orang-orang yang secara suka rela tanpa iming-iming rupiah atau jabatan meluangkan waktu, tenaga, bahkan materinya untuk mengenalkan Anies ke publik lewat berbagai agenda kreatif. Bagi saya, poin tentang kesadaran sekolompok orang terorganisir terlibat merupakan hal menarik untuk dikaji. 32 tahun dibawah rezim otoriter orde baru dimana mengekspresikan dukungan politik pada seseorang bisa berakibat hilangnya nyawa, kita lalu masuk pada era reformasi dimana kekuasaan banyak bertumpu pada kuasa parlemen dan partai politik—dua instrument utama dalam pemilu— yang pada praktiknya sangat transaksional. Dibawah dua instrument tersebut, pemilu menjadi begitu mahal dan serba uang. Hadir kampanye diberi amplop, uang bensin nya dibayar dengan uang, operasionalnya ditanggung, dan hingga makannya diberi gratis. Bertahun-tahun praktik tersebut dilakukan selama reformasi hingga hal tersebut dianggap lumrah bahkan perlu. Jiwa kerelawanan pun mati perlahan-lahan. Masyarakat dianggap customer dan bukan pemilik republik ini sehingga agenda pemilu yang nantinya menghasilkan wakil-wakil mereka yang mewakili aspirasi mereka pun dianggap tidak mungkin mau bergerakn tanpa iming-iming rupiah.
Pada konteks sosial-politik seperti inilah fenomena gerakan kerelawanan politik menjadi sangat menarik untuk dikaji. Apa yang dilakukan kawan-kawan turun tangan jelas terinspirasi dari praktik gerakan kerelawanan politik yang ada di Amerika yang memiliki tradisi kuat gerakan kerelawanan saat pemilu. Sekarang pun bermunculan gerakan-gerakan kerelawanan politik seperti teman Ahok di Jakarta dan JOINT (Jogja Independent) di Jogja. Namun kedua gerakan tersebut lahir dengan mengusung calon lewat kendaraan sendiri (independent) dimana sangat berbeda dari turun tangan yang secara sadar mengusung Anies dalam proses konvensi sebuah partai politik. Diskusi reboan di RBK pun cukup panas membahas ini dimana terjadi beberapa perdebatan dan saling sanggah antar peserta diskusi. Ada lupet yang merupakan mantan ketua Turun Tangan Jogja yang memberikan pandangan kritis tentang fenomena gerakan kerelawanan yang dia pandang juga seringkali tidak demokratis (kritik lupet terhadap JOINT). Gus ind pun menimpali dengan mempertanyakan kerelawanan gerakan-gerakan tersebut dan menganggap mereka 11:12 dengan partai politik yang elitis dan sering tidak demokratis. Namun rifky sahnadi dan saya sedikit lebih optimis terhadap gerakan-gerakan ini.
Lalu cak david, seorang pegiat rbk yang pernah mengecap studi di Amerika mengungkapkan banyak analisis menarik terkait perbandingan gerakan political volunteerism yang ada di Amerika dengan yang ada di Indonesia. Pertama-tama, cak david mempertanyakan perpaduan konsep volunteer & politic secara radikal. Menurut cak, mengutip beberapa ahli seperti Tocquiville dan Putnam, dua kata tersebut tidak bisa digabung karena saat kerelawanan dibawa ke ranah politik maka itu bukan lagi tindakan kerelawanan. Namun, cak mengatakan masih ada kemungkinan menafsir kembali makna volunteer khususnya saat dipadankan dengan politik karena konsep volunteer sendiri masih cukup fluid dan dynamic. Kembali ke komparasi praktik kerelawanan politik di Amerika dan Indonesia, cak david menjelaskan bahwa perbedaan paling utama dari cara bekerja kelompok relawan politik di dua Negara ini adalah yang satunya (Amerika) cenderung sporadik, tak terlembagakan secara formal (memiliki struktur, ketua dll), dan merupakan sebuah gerakan yang diisi oleh orang dari berbagai macam kelompok/asosiasi seperti kelompok pecinta bowling, Harley, dll. Di Indonesia, gerakan kerelawanan politik cenderung serba dilembagakan dan akhirnya memunculkan struktur-struktur yang berujung pada kecumburuan antar satu relawan dengan relawan lainnya.
Hal ini sangat menarik karena ini sebuah potret komparasi yang unik dan bisa dikembangkan menjadi sebuah penelitian serius dengan tema yang fresh. Pada akhirnya, diskusi ini menyisakan banyak hal yang membuat diskusi ini perlu dilanjutkan lagi dengan persiapan materi yang lebih komprehensif dan teoritis tentang konsep political volunteerism dan membutuhkan penelitian dan kajian lebih dalam lagi. Tapi setidaknya, dari kritik saya dan lupet terhadap beberapa gerakan relawan di Indonesia yang mengklaim demokratis dan tidak elitis seperti partai justru terjerumus pada lubang elitisme yang sama seperti yang dilakukan partai politik di negeri ini. Kritik penting ini muncul dari cara beberapa kelompok relawan di Indonesia yang cenderung tidak transparan didalam tubuh komunitas/gerakannya sendiri dengan menciptakan lapisan-lapisan pengurus dimana lapis terdalam (elit) dan lapis terluar (relawan pekerja teknis) memiliki gap pengetahuan dan informasi. Relawan di lapisan terluas cenderung hanya mendapatkan tugas-tugas teknis seperti mengelola event untuk kampanye dan mengumpulkan KTP. Bagian konsep, info tentang donor/pendukung calon di balik layar hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Ini membuat sebuah gerakan tidak lagi demokratis dan menciptakan elit-elit baru yang mengambil keputusan dan mengelola informasi secara elitis.
Kesimpulan penting dari kritik peserta diskusi ini dan sekaligus rekomendasi bagi siapapun yang ingin mendalami kajian politik kerelawanan adalah untuk meneliti beberapa poin dibawah ini:
1. Bagaimana manajemen sebuah kelompok relawan dijalankan? (pertanyaan ini ingin menguliti bagaimana pembagian kerja, pengelolaan informasi hingga pengambilan keputusan didalam gerakan/komunitas kerelawanan dilakukan)
2. Bagaimanakah sebuah kelompok kerelawanan dapat dikatakan sebagai sebuah gerakan yang demokratis?
Akan sangat menarik bila ada kajian ilmiah yang secara serius mendalami pertanyaan-pertanyaan tersebut guna menggali lebih dalam diskursus "Political Volunteerism". Wassalam :)
Wednesday, November 18, 2015
Reboan Revolusi Harapan
Berita Mingguan
By admin
Silahkan teman-teman merapat ke Kalibedog di Pendopo Rumah Baca Komunitas. Reboan kali ini kita akan membahas mengenai Revolusi Harapan; Transformasi Sosial ala Erich Fromm.
mengapa saya memilih tema revolusi ala Erich Fromm?.
alasan pertama, Fromm termasuk filsuf yang banyak mengeksplorasi topik tentang manusia, sebuah syarat subjektif yang menjadi faktor utama dari proses revolusi. tanpa pemahaman yang baik dan manusiawi tentang manusia, transformasi hanya menjadi alat menuju transisi model penindasan yang mutakhir.
alasan kedua, Fromm termasuk filsuf yang berani menawarkan solusi praktis. kondisi manusia di zaman industrialisasi (diterima atau tidak) telah menjadi fakta material. sebagai sebuah fakta material, era industri jelas telah mempengaruhi kompleksitas relasi sosial. mau tidak mau, filsuf selain meradikalisasi problem, juga meradikalisasi solusi. Fromm melakukannya dengan mengintrodusir humanisasi ke dalam mode manusia modern.
alasan ketiga, Fromm termasuk yang jarang dibahas dalam konsep revolusi harapan. padahal harapan adalah sebaik-baiknya perlawanan.
thnks Arya Dwiyoga atas posternya
Sebagai informasi awal silakan baca Resensi di sini
http://psychorevolution.blogspot.co.id/2011/09/v-behaviorurldefaultvmlo.html
smile emoticon
smile emoticon
Thursday, May 7, 2015
Screening dan Diskusi Film (Reboan)
Merawat Perlawanan Malalui Alkinemokiye
Bantul – Rabu (5/6) setidaknya ada empat titik pemutaran film terkait eksploitasi
di bumi pertiwi Indonesia pada hari tersebut, ELKiS dan kampus Sanata Dharma memutarkan
Samin Vs Semen, salah satu komunitas di Yogyakarta yang memutarkan film Kala Benoa,
dan Rumah Baca Komunitas memutarkan film keempat besutan Watchdog terkait eksploitasi kekeyaan alam Papua, setelah sebelumnya, RBK telah mengadakan pemutaran dan diskusi film Di belakang Hotel, Samin vs Semen dan Kala Benoa. Pemutaran
dan diskusi film yang bertempat di Rumah Baca Komunitas (RBK) trsebut dihadiri
oleh kurang lebih 20 mahasiswa dari kampus yang berbeda-beda dan juga dari komunitas yang beragam.
Film Alkinemokiye, yang konon adalah salah satu dari dua judul filmyang
dilarang penyanganya di kampus Universitas Brawijaya ini, merupakan film dokumenter yang mengambil setting di Timika,
Papua. Menceritakan tentang pekerja-pekerja Freeport yang diberi upah rendah,
yakni sekitar 3 juta sekian per bulannya. Selain upah yang rendah, buruh-buruh
Freeport yang merupakan penduduk Papua ini tidak mendapat pesangon ketika
pensiun, padahal, mereka dijanjikan untuk mendapat pensiunan ketika mengajukan
pensiun. Selain itu, film juga mengambil setting demonstrasi pekerja Freeport
yang berujung ricuh dimana aparat menembaki rakyat Papua dengan peluru hingga
mengakibatkan seorang warga tewas dan beberapa lainnya luka berat akibat
hujaman peluru aparat.
OPM juga tak luput dari setting film ini, dimana warga Papua mengadakan upacara
memperingati 3 tahun kemerdekaan Papua.
Film yang berdurasi kurang lebih satu jam tersebut nampaknya berhasil
membuat kegelisahan penontonnya membuncah, terbukti pada sesi diskusi usai
pemutaran film terlihat para peserta saling sahut-menyahut mengemukakan kritik,
analisis, asumsi juga keprihatinan yang mendalam terhadap yang mereka saksikan
dalam film tersebut. La Ode, misalnya, peserta yang merupakan pegiat aktif RBK
ini sampai terharu dan tak bisa menahan tangis, mengingat La Ode pernah
benar-benar menjalani hidup di Papua.
Mula-mulanya bang Dolah sekalu moderator memantik teman-teman peserta
dengan memberikan sedikit clue perihal pembangunan. Menurutnya, pembangunan
selalu dari atas, tetapi tidak pernah melihat dari bawah,ironisnya, kedok dari
pembangunan ialah rakyat. Kemudian La Ode melanjutkan tentang sejarah freeport
senidri yang telah mulai bercokol sejak 1936 dimana Amerika menjadi pemegang
kendalinya, bahkan Kennedy pun turut dibunuh
demi keabadian Freeport.
Analisa terhadap film ini kemudian disampaikan oleh peserta lainnnya, ia
menyoroti terdapat empat isu yang diangkatdalam film ini, antara lain: Isu
kenaikan upah pekerja, isu keamanan, kondisi pekerja pensiunan dan yang
terakhir tentang aksi perlawanan. Film ini cukup mencover segala permasalahan
terkait PT. Freeport di Timika, namun sayangnya ia tidak cover both side, seperti juga menyajikan wawancara langsung
terhadap pihak Freeport dan pemerintah selaku pihak pro.
Sulit memang untuk menerkan-nerka tentang Freeport, kenapa pemerintah kita
melakukan perpanjangan kontrak hingga 2041? Terlebih jika kita harus menawarkan
apa solusinya begitu sulit karena mau tidak mau memang yang dilibatkan adalah
elit kita sendiri dan korporasi asing seperti pada kasus pemberian upah yang
tidak layak juga pesangon yang tidak sesuai janji, Indonesia tidak mungkin
mampu membeli saham Freeport, bahkan, tidak ada korporasi manapun juga yang
sanggup membeli. “Sementara jika kita ikut turun mendemo belum tentu juga
selesai persoalan di akar rumput tersebut. “ Ujar salah satu akademisi UGM.
Kasus Freeport ini menurut Mas Awi, selaku direktur RBK, merupakan kasus
pelanggaran HAM, dimana hak-hak hidup dan untuk mendapat kesejahteraan yang
layak bagi penduduk Papua benar-benar dikebiri. Namun ada komentar juga bahwa
disisi lain jika memframing isu Freeport sebagai isu HAM akan banyak penumpang
gelap hadir untuk memanfaatkan kesempatan ini, seperti Australia, Belanda, UK
yang telah memberi dukungan sejak lama atas nama kepedulian terhadap HAM, akan
tetapi logika yang dibangun oleh negara-negara tersebut yakni Papua harus
merdeka (lepas dari Indonesia) seperti Timor Leste.
Meskipun terbilang begitu imajinatif untuk menakhlukkan raksasa Freeport,
akan tetapi melalui komunitas-komunitas seperti RBK tersebut kesadaran dapat
mulai dibangun. Bahwa diskusi yang banyak orang hanya menganggapnya sebagai
akrobat pikiran tersebut juga merupakan bagian dari perjuangan, “saya tahu
bahwa jerawat itu jelek, karena melihat iklan-iklan di televisi. Maka seperti
itu juga yang harus kita lakukan, menebar lebih banyak kegelisahan semacam ini
agar terbangun kesadaran dan keberpihakan khususnya di kalangan anak-anak muda,” ujar salah satu
pegiat RBK.
Bagaimanapun, Papua adalah sayap kiri Garuda Indonesia, jika Timor Leste
ibarat ekor yang putus, Jakarta ibarat kepala yang menunduk, Aceh ibarat sayap
kanannya. Maka, betapa penting untuk menjaga Papua tetap berada di wilayah
Indonesia, tambah La Ode di akhiar sesi.
Pak David, sebagai sesepuh RBK, menganggap hal yang serupa bahwa berdiskusi
ialah bagian dari perlawanan itu sendiri, “maka bergeraklah seperti microba”
pungkasnya.
Alkinemokiye sendiri adalah kata yang diadopsi dari bahasa asli suku
Amungme, yang merupakan suku terbesar di Timika, Papua, berarti “usaha keras
demi kehidupan yang lebih baik.” Film ini adalah hasil garapan Dandhy Dwi
Laksono yang diproduksi sekitar tahun 2011 lalu. (reported by dew)
Tuesday, March 10, 2015
Politisasi Kebudayaan Yogyakarta Demokrasi Ini Milik Siapa?
Oleh: Sadida
Mahasiswi, Peserta Diskusi Reboan
Malam itu hujan turun cukup
galak, gerimis yang deras, diikuti sepinya jalanan karena orang-orang jelas
lebih nyaman berada di rumah mereka yang hangat. Tapi saat jam menunjukkan
pukul 20.30, sudah ada kurang lebih sepuluh orang berkumpul di Padepokan Rumah
Baca Komunitas, ceritanya, salah seorang pegiat RBK, sekaligus pendiri RBK, David
Efendi, akan berbagi pada kami semua tentang tesisnya. Menariknya, tesis yang
ditulis dalam bahasa Inggris itu dipresentasikan juga dengan bahasa yang sama,
dan dimoderatori dengan bahasa yang senada. Mengesankan, menyenangkan untuk
belajar, sedikit memusingkan sebenarnya, haha.
Tapi kelugasan bahasa cak David
membuat kami bisa mengerti apa yang ia sampaikan, tulisan di power point yang ditembak dengan
proyektor juga sangat membantu kami memahami arah dari presentasi ini.
Sejujurnya, saya pribadi nggak pernah membayangkan diskusi bisa menjadi
se-serius dan se-menarik ini, terutama karena pengantarnya bahasa yang belum
biasa digunakan. Tapi pembiasaan itu selalu lebih berguna dari teori apapun kan?
Garis besar dari presentasi cak
David adalah: bagaimana Yogyakarta bisa menjadi tempat dimana demokrasi
berjalan kalem. Ya, demokrasi berjalan sangat kalem karena adanya dominasi
Keraton Yogyakarta, cak David memaparkan teori yang mengklasifikasikan tiga lapis
golongan terkait cara demokrasi mereka, pertama demokrasi oleh golongan
pemerintahan, kedua demokrasi oleh golongan pergerakan dan paguyuban, dan
terakhir demokrasi oleh masyarakat keseharian yang belum jelas arah dan
tujuannya. Dominasi Keraton inilah yang kemudian menarik kebudayaan dan
ideologi masyarakat Yogyakarta masuk sebagai salah satu faktor penguatnya.
Diskusi kemudian merembet masuk
pada keistimewaan Yogyakarta (yang jelas tidak dapat dipisahkan dari upaya
demokrasi rakyat Yogyakarta itu sendiri), berbagai macam informasi masuk dan
tertanggapi dengan baik, dan berujung pada persoalan tanah di Yogyakarta.
Persoalan yang terus dipersoalkan namun masih bisa diredam oleh Keraton karena
hak milik tanah masih banyak yang beratas namakan milik Sultan.
Poin penting yang kemudian
muncul adalah bagaimana kita mengkritisi dan mengadvokasi hak-hak masyarakat
Yogyakarta, dimana titik keadilan serta akar persoalan demokrasi itu sendiri?
Di satu sisi kadang kita bisa melihat ketidak adilan yang justru adil bagi
masyarakat yang menjalaninya. Lantas demokrasi yang kita perjuangkan itu
sendiri merupakan demokrasi milik siapa? Rakyat Yogyakarta kah? Atau justru
buah kritisme kita yang kadang lupa mencari dasar dan akar permasalahan?
Untuk itulah media diperlukan, dan
untuk itulah diskusi-diskusi semacam ini harus terus dikembangkan. Kritis
memang salah satu sifat yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan,
tapi dalam sikap kritis tersebut, kita juga harus paham betul suatu
permasalaha. Bukan percuma jika kita mengkritisi suatu hal tanpa dasar, tapi
melakukannya tanpa pengetahuan yang cukup justru membuat sikap kritis tersebut
tidak tepat sasaran.
Tetap kritis, tetap berilmu, dan
tetap berbagi, karena ada banyak hal yang masih perlu kita semua ketahui, dalam
hal apapun itu.
-dida
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tulisan Terbaru
Populer
-
”Gerakan Membaca” merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari itu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka ...
-
Oleh : David Efendi Direktur Rumah Baca Komunitas Anak-anak adalah manusia masa depan, Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-...
-
Oleh : Iqra Garda Nusantara Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan b...
Hamka For RBK

Sjahrir For RBK
