Oleh: Dwiyoga Arya
Banyak hal menarik yang terjadi di rots (rbk on the street) hari ini minggu, 22 nov 2015. salah satunya keterlibatan anak kampung sidorejo. Antusias mereka sudah terlihat sejak kemarin ketika anak - anak mengajak kami untuk mandi di sendang belakang padepokan Rumah Baca Komunitas di hari minggu ini, tentu saja kami menyanggupi tetapi setelah rots, ya... mendengar kata rots dan sedikit penjelasan apa itu rots ternyata mereka menunjukkan keinginannya untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Pagi ini sekitar jam 06.00 ketika saya tiba di RBK rupanya mereka sudah berkumpul, dafa, haidar dan fuad, ketiga anak kampung yang mengawali hari ini dengan menunjukkan wajah bahagia dan sebuah pertanyaan 'kapan kita berangkat mas ?'.
Setelah saya dan cak lupet berkemas akhirnya kita menuju alkid, saya bersama Fuad, cak Lupet bersama Haidar, dan Dafa bersama teman cak Lupet yang sejak semalam menginap di RBK. Pemandangan sangat indah untuk setiap mata yang melihatnya, iring iringan pasukan kalibedog bersama tiga anak kecil, dan puluhan buku yang dibawanya.
Sesampainya di alkid, menggelar lapak dan mulai beberapa orang mendekat untuk meminjam atau mengembalikan buku, kami juga sempat didatangi seorang fotografer dan meminta ijin mengabadikan moment kami hari ini. Selang beberapa saat kemudian datang anak kecil bersama ibunya untuk mengembalikan dan meminjam buku. Aska, seorang anak kecil kelas 1 SD yang menolak dituliskan namanya di buku catatan pinjaman, dia berusaha menuliskan sendiri nama dan judul buku yang ia pinjam, aska membawa warna tersendiri di rots kali ini.
Disisi lain 3 anak kampung tadi bergerilya memberikan poster rots yang kami bawa kepada setiap orang yang ada di alkid.
Beberapa waktu kemudian Mas hafiz dan mas andi pun turut mewarnai rots hari ini. Setelah beberapa lama kami merebut ruang publik dari dominasi pasar, kemudian tepat jam 11 lapak kami tutup dan kami kembali ke rbk.
Sesuai janji kami kepada tiga anak kampung tadi, pada akhirnya saya, cak lupet, dafa, haidar, dan fuad menutup rots hari ini dengan mandi di sendang belakang rbk dengan penuh senyum bahagia.
Sebuah goresan anugrah Tuhan hari ini, melihat kegembiraan 3 anak kampung yang telah memulai memperjuangkan literasi. Semoga kelak ketika engkau dewasa menemukan makna dari apa yang kita lakukan hari ini nak....
Salam literasi....
Showing posts with label Catatan RBK. Show all posts
Showing posts with label Catatan RBK. Show all posts
Tuesday, November 24, 2015
Sunday, September 6, 2015
Cerita di bawah Pohon Mangga (1)
Fauzan A Sandiah, pegiat RBK
Tepat setengah tahun yang lalu sewaktu bicara soal perpustakaan jalanan, tidak terpikirkan nama "Alun-Alung Kidul". Beberapa teman pada awalnya menawarkan Sunmor sebagai alternatif tempat membuka perpustakaan jalanan. Waktu itu saya ingat Indra dan Mascu bilang "sunmor itu nanti kita bisa sekalian jogging gitu, di sana juga rame banget..".
Pembicaraan malam minggu itu sedikit lama soal lokasi perpustakaan jalanan buat esok pagi. Kopi aceh, gorengan, dan kacang-kacangan sisa kerja bakti pagi hari masih tersedia. begini ceritanya bisa nekad buka perpustakaan jalanan di Alkid.
Indra: "perpustakaan jalanan itu bisa jadi jalan biar RBK dikenal"
Mascu: "kalau saya sih ngak penting bisa dikenal, tujuannya itu yang penting lho ndra...kira-kira kita nanti bentuknya mau gimana?"
Saya: "iya, tujuannya itu yang penting..tujuannya kan biar buku-buku ini dekat sama pembaca..."
Indra: "Oh iya, biar buku ketemu orangtuanya gitu kan? hahaha"
Saya: "nah begitu juga oke"
Mascu: "indra ikut-ikut pak david aja..trus gimana cara nge-disain perpus jalanannya?"
Indra: "kita butuh banyak orang nih..besok sunan-sunan bisa bangun pagi ngak?..kita butuh banyak personel"..
Saya: "kamu nanti ngak usah tidur ndra, ini dah jam 2..kita nonton trus jam pagi berangkat ke sunmor"
Mascu: "Bang, sunmor itu kejauhan ngak?. dah pasti susah ngumpulin sunan-sunan RBK yang lain ntar pagi.."
Indra: "lho kok gitu, aku dah nyiapin sesuatu buat di sunmor"
Mascu: "tapi itu kejauhan..di Alkid aja gimana bang?"
Indra: "Alkid cuma banyak lari pagi aja..tapi boleh juga sih. soalnya di Alkid juga kan jarang orang buka stand selain buat jualan..hehe.."
Saya: "aku ikut kalian berdua aja..enaknya gimana..yang jelas, kita yang harus siap di sana dulu baru bisa kontak teman-teman biar ngak kelamaan. nanti juga siapa tahu andan, cak david sama kak wiek bisa ke Alkid..".
Indra: "kita foto aja trus kirim ke WA"..
(Bersambung).
Sunday, August 9, 2015
Pernahkah anda mendengar tentang Rumah Baca Komunitas (RBK)?
Oleh Neng, KKN 06
Seperti apakah kegiatan yang dilakukan para penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK)?
Penulis menemukan sesuatu yang unik pada salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas (RBK).
Penulis menemukan sesuatu yang unik pada salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas (RBK).
Pagi itu dimana kebanyakan orang masih terlelap dalam tidurnya setelah menikmati malam yang panjang bagi sebagian orang pada umumnya, sekumpulan mahasiswa memulai harinya pada satu kegiatan yang mulia. Para penggiat menamakannya RBK on the Street. Kegiatan yang mengusung tema perpustakaan jalanan ini, memuat harapan para penggiat Rumah Baca Komunitas bahwa membaca tidak hanya duduk dalam ruangan kemudian membuka lembar demi lembar buku yang sedang dibaca. Tetapi membuka peluang untuk seluruh lapisan masyarakat dari mulai anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua yang ada disekitar area RBK on the Street ini untuk membaca bahkan meminjam buku tersebut. Pada awalnya sekumpulan mahasiswa ini merasa pesimis dengan kegiatan tersebut.
Bermodalkan pengetahuan seadanya mengenai RBK on the Street ini, berangkatlah sekumpulan mahasiswa ini dengan beberapa dus buku menuju lokasi yaitu Alun-alun Kidul. Ketika semua buku yang dibawa kelokasi (Alun-alun Kidul) telah tersusun rapi beralaskan tikar, muncul dalam benak “adakah orang bersedia mampir bahkan hanya untuk melihat-lihat saja?”.
Kemudian seorang ibu bersama anaknya mampir dan melihat-lihat, sekumpulan mahasiswa pun terkejut “oh ternyata ada yang mampir” dalam benaknya. Ternyata pengunjung tersebut sering mampir ke RBK on the Street ini. “Loh, ini orang-orangnya kok beda ya? Kenapa baru buka lagi?
Saya sering kesini tapi malah tidak buka, padahal saya mau mengembalikan buku yang saya pinjam” ujar Ibu itu sembari memilih-milih buku untuk dibaca bahkan mungkin untuk dipinjam juga. Salah satu mahasiswa kemudian menjawab pertanyaan ibu tersebut, “oh iya bu, kemarin habis libur Idul Fitri jadi pada mudik orang-orangnya makanya ini kami baru buka lagi”. Setelah selesai memilah buku, Ibu itu berkata “saya mau pinjam buku ini kalau semisal saya meminjam bukunya tidak hanya satu tidak apa-apa?”. “Oh iya bu, tentu saja disini ibu bisa meminjam berapa banyakpun buku tanpa perlu meninggalkan kartu identitas apapun” ujar salahsatu mahasiswa tersebut.
Tiba-tiba datang pula seorang bapak dengan anaknya, terlihat dari gerak-geriknya anak tersebut ingin membaca buku hanya saja bapak tersebut menganggap bahwa kami sedang menjual buku. Salah seorang dari mahasiswa menghampiri dan bertanya pada anak kecil tersebut, “adek sedang mencari buku seperti apa? buku cerita atau kisah 25 para Nabi?.” Bukannya sang anak yang menjawab tetapi sang bapak yang menjawab “dek ini buku nya dijual, mba/ mas nya sedang jualan”.
Tentu saja apabila sekilas lewat mampir tanpa membaca banner yang terpasang di tembok belakang, orang-orang sangatlah wajar mengira bahwa sekelompok mahasiswa tersebut sedang menjual buku-buku nya. Diperlukan penjelasan secara singkat untuk bapaknya bahwa inilah perpustakaan jalanan, membaca ditempat maupun untuk dibawa pulang (meminjam) sangatlah diperbolehkan karena itu memang tujuannya sebagai salahsatu upaya meningkatkan minat baca. Beragam macam pengunjung yang mampir membaca dan meminjam buku pada saat RBK on the Street waktu itu. Dari mulai yang berasumsi bahwa buku-buku tersebut dijual, meminjam buku harus meninggalkan identitas, sampai pada waktu ada seorang anak kelas 4/5 SD yang mampir ke RBK OTS ini. Secara tiba-tiba anak tersebut berkata “ini semacam perpustakaan ya?” sembari membaca banner yang terpasang didinding belakang. Anak tersebut mengakui kalau dia sering dan suka membaca buku.
Hal yang membuat kaget sekelompok mahasiswa yang cenderung membaca apabila mendekati hari-hari ujian. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari RBK OTS pada waktu itu, kegiatan yang mulia mengajak semua untuk membaca dan tidak terpaku pada tempat karena dimanapun kita selagi ada buku yang kita pegang disitulah kita bisa membaca.
)*catatan perpustakaan jalanan minggu lalu, 2 agustus 2015
Wednesday, July 29, 2015
Kilas Jejak Langkah RBK 2012-2015
1. Mendukung kberadaan bacaan di komunitas "merginal"
2. Membuka dan menawarkan akses buku bacaan bermutu untuk komunitas "rentan"
3. Mempromosikan ide ide emansipatif melalui wacana bagi pegiat literasi dan melalui website www.rumahbcakomunitas.org
4. Merumuskan pembelajaran anak melalui kegiatan RBK for Kidz untuk menanamkan nilai cinta damai, cinta keluarga, kampung, dan cinta bangsa
5. Bekerjasama dengan komunitas yang punya kesamaan visi misi
6. Mempelajari pendekatan apresiatif inquary dan mencoba mempraktikkan dalam komunitas
7. Kecil bergerak betul betul menjadi spirit komunitas. Diskusi tak harus massal dan banyak peserta.
2012: Learning community
Apa yang dilakukan adalah antara lain:
1. Pembelajaran alternatif untuk menolak secara tidak langsung komodifikasi pendidikan/liberalisasi lembaga pendidikan
1. Pembelajaran alternatif untuk menolak secara tidak langsung komodifikasi pendidikan/liberalisasi lembaga pendidikan
2. Menciptakan komunitas yang peduli pendidikan
3. Merintis perpustakaan milik komunitas yang inklusif
4. Menanamkan nilai rela berbagi buku dan pengetahuan
5. Sinergisitas dengan lembaga yang sudah ada di lokasi (TPA, masjid, sekolah, dll)
6. Membangun sinergisitas dengan komunitas yang punya kesamaan visi misi
7. Menanamkan minat baca anak dengan cara yang menyenangkan ( memberikan hadiah: nonton film inspiratif, game, dll)
8. Membangun basecamp komunitas sebagai pusat interaksi pegiatnya
Apa kata tentang RBK?
Cerita saja. Literasi itu menarik
Perkenalan dengan Literasi
Hafidz Afandi
Dua atau tiga bulan, lalu saya bertemu dengan Cak David Efendi, salah satu mantan pentolan IPM yg kini jadi akademisi di UMY, beliau mengenalkan saya dengan gerakan literasi yang dirintisnya dan kawan-kawan, bernama Rumah Baca Komunitas
sebuah komunitas yang menarik, di dalam komunitas ini mereka mencintai buku dan ilmu di dalamnya dengan sangat mesra, di grup wa-nya hampir tak pernah absen setiap hari merekomendasikan bacaan-bacaan bermutu, Saya baru beberapa kali berkesempatan kesana, menarik semuanya serba sederhana tetapi penuh makna, obrolan-obrolan dalam setiap perjumpaan bukan sekedar beradu pengetahuan, melainkan hampir semua berusaha mengkontruksi dirinya masing-masing dengan buku,
ada keunikan-keunikan yang saya sendiri tak pahami dari kultur yang sedang dibangun komunitas ini, Dan, mungkin mudah untuk mereplikasi semangatnya tapi pasti berat mereplikasi prosesnya. Di mulai dari kecintaanya pada buku, teman-teman RBK beranjak untuk berbagi, bahkan berbagi harta yang paling dicintainya, yaitu "BUKU". Kutu buku, RBK lebih dari itu?
Saya, jadi ingat dulu sejak sma banyak kawan-kawan di PII yang gila buku, aku pun hampir sama, sejak sma dulu selalu bergelut dengan setumpuk buku-buku, di masa kuliah sama, rela, rela tak punya apa-apa asal masih sanggup beli buku, dengan perjuangan berat untuk dapat buku rasanya sayang kalau sampai hilang, ini bak harta terakhir saya, toch tetap saja dari berdus-dus kira2 hampir separonya melayang terutama saat di bawa ke acara basic training HMI, pasti melayang hampir separo.... tak ikhlas rasanya, tapi ya bagaimana lagi.
DI RBK, sebaliknya sejak awal si para empunya buku mewakafkan aset pribadinya untuk komunitas. ntah, jangan bayangkan sistemnya secanggih perpustakaan kampus. yang ada sistem demokrasi, pilih sendiri, catat sendiri bawa sendirim, kembalikan sendiri, aneh....! padahal di perpus betapa ribetnya pinjam buku belum denda yang membayangi kalau telat, saat pernah ku tanya, "kok bisa sebegitu mudahnya?", teman-teman menjawab, "kita belajar percaya dan melatih kejujuran saja, pembaca buku, penggila buku pasti orang pintar, seharusnya beretika", jadi malu dengan prinsip kami dulu yang niru-niru gus dur"orang bodo itu yang mau pinjemin buku, tapi lebih bodo lagi orang yang dipinjemi buku malah balikin,"
ada juga sharing bang dollah namanya, aktivis gerakan turun tangan ini berbagi via wa saat dia habis kumpul dengan anak-anak gerakan literasi lainya dia bilang (karena sudah ke hapus jd izin pake bahasa saya) "saya sebenarnya punya cita-cita merubah bangsa ini dengan dirikan partai yang revolusioner, ngapai hanya main-main dengan anak-anak yang sekedar pengen bagi-bagi buku.... tapi setelah bertemu dan sharing dengan penggiat literasi agaknya saya jadi berfikir, perubahan harus dimulai dari buku, biarkan anak-anak baca buku dari awal, hingga mereka lahir menjadi generasi yang sadar, tak mungkin cita-cita dirikan partai revolusioner tanpa generasi yang revolusioner, dan tak mungkin ada generasi revolusioner tanpa dimulai dari buku"
Nasib perpustakaan pertama ku Alangkah indahnya, saya jadi teringat pula dengan sosok pembimbing kami saat remaja di tegal, pak Ratmana Sutjiningrat yang saat itu selalu konsen dengan dunia buku, sastra dan pendidikan, beliaulah yang mendukung remaja masjid angkatan mas dan mbak ku dulu buat perpustakaan masjid yang menarik, isinya tak cuma quran dan fikih, tapi novel dan buku-buku pemikiran sampai komik, dari hasan al banna, sayyid qutub, yusuf qardhawi, ali syariati, ayatullah khomenei, iqbal, hingga marx, pram, anton chekov, sayang, seiring dengan semakin sepuhnya beliau saat aku beranjak remaja ia "lemari perpustakaan itu" sudah tinggal sisa-sisa, dan saat aku kuliah syukur ia masih digudang masjid, Tidak dibakar atau di loak.... semoga jd jariyah beliau yg terus mengalir di diri kami yang sempat menikmatinya, "alm. SN. Ratmana"
semoga gerakan literasi tumbuh berkembang dimana pun manusia indonesia ada, sehingga kelak kita bisa berharap punya satu generasi baru yang berkesadaran, #optimis...! #terima_kash_RBK yang Mengggugah kesadaran (entah kenapa tiba-tiba menulis ini panjang lebar daripada bebal edit proposal, itung-itung nebus dosa dan menghibur diri)
Hafidz Afandi
Dua atau tiga bulan, lalu saya bertemu dengan Cak David Efendi, salah satu mantan pentolan IPM yg kini jadi akademisi di UMY, beliau mengenalkan saya dengan gerakan literasi yang dirintisnya dan kawan-kawan, bernama Rumah Baca Komunitas
sebuah komunitas yang menarik, di dalam komunitas ini mereka mencintai buku dan ilmu di dalamnya dengan sangat mesra, di grup wa-nya hampir tak pernah absen setiap hari merekomendasikan bacaan-bacaan bermutu, Saya baru beberapa kali berkesempatan kesana, menarik semuanya serba sederhana tetapi penuh makna, obrolan-obrolan dalam setiap perjumpaan bukan sekedar beradu pengetahuan, melainkan hampir semua berusaha mengkontruksi dirinya masing-masing dengan buku,
ada keunikan-keunikan yang saya sendiri tak pahami dari kultur yang sedang dibangun komunitas ini, Dan, mungkin mudah untuk mereplikasi semangatnya tapi pasti berat mereplikasi prosesnya. Di mulai dari kecintaanya pada buku, teman-teman RBK beranjak untuk berbagi, bahkan berbagi harta yang paling dicintainya, yaitu "BUKU". Kutu buku, RBK lebih dari itu?
Saya, jadi ingat dulu sejak sma banyak kawan-kawan di PII yang gila buku, aku pun hampir sama, sejak sma dulu selalu bergelut dengan setumpuk buku-buku, di masa kuliah sama, rela, rela tak punya apa-apa asal masih sanggup beli buku, dengan perjuangan berat untuk dapat buku rasanya sayang kalau sampai hilang, ini bak harta terakhir saya, toch tetap saja dari berdus-dus kira2 hampir separonya melayang terutama saat di bawa ke acara basic training HMI, pasti melayang hampir separo.... tak ikhlas rasanya, tapi ya bagaimana lagi.
DI RBK, sebaliknya sejak awal si para empunya buku mewakafkan aset pribadinya untuk komunitas. ntah, jangan bayangkan sistemnya secanggih perpustakaan kampus. yang ada sistem demokrasi, pilih sendiri, catat sendiri bawa sendirim, kembalikan sendiri, aneh....! padahal di perpus betapa ribetnya pinjam buku belum denda yang membayangi kalau telat, saat pernah ku tanya, "kok bisa sebegitu mudahnya?", teman-teman menjawab, "kita belajar percaya dan melatih kejujuran saja, pembaca buku, penggila buku pasti orang pintar, seharusnya beretika", jadi malu dengan prinsip kami dulu yang niru-niru gus dur"orang bodo itu yang mau pinjemin buku, tapi lebih bodo lagi orang yang dipinjemi buku malah balikin,"
ada juga sharing bang dollah namanya, aktivis gerakan turun tangan ini berbagi via wa saat dia habis kumpul dengan anak-anak gerakan literasi lainya dia bilang (karena sudah ke hapus jd izin pake bahasa saya) "saya sebenarnya punya cita-cita merubah bangsa ini dengan dirikan partai yang revolusioner, ngapai hanya main-main dengan anak-anak yang sekedar pengen bagi-bagi buku.... tapi setelah bertemu dan sharing dengan penggiat literasi agaknya saya jadi berfikir, perubahan harus dimulai dari buku, biarkan anak-anak baca buku dari awal, hingga mereka lahir menjadi generasi yang sadar, tak mungkin cita-cita dirikan partai revolusioner tanpa generasi yang revolusioner, dan tak mungkin ada generasi revolusioner tanpa dimulai dari buku"
Nasib perpustakaan pertama ku Alangkah indahnya, saya jadi teringat pula dengan sosok pembimbing kami saat remaja di tegal, pak Ratmana Sutjiningrat yang saat itu selalu konsen dengan dunia buku, sastra dan pendidikan, beliaulah yang mendukung remaja masjid angkatan mas dan mbak ku dulu buat perpustakaan masjid yang menarik, isinya tak cuma quran dan fikih, tapi novel dan buku-buku pemikiran sampai komik, dari hasan al banna, sayyid qutub, yusuf qardhawi, ali syariati, ayatullah khomenei, iqbal, hingga marx, pram, anton chekov, sayang, seiring dengan semakin sepuhnya beliau saat aku beranjak remaja ia "lemari perpustakaan itu" sudah tinggal sisa-sisa, dan saat aku kuliah syukur ia masih digudang masjid, Tidak dibakar atau di loak.... semoga jd jariyah beliau yg terus mengalir di diri kami yang sempat menikmatinya, "alm. SN. Ratmana"
semoga gerakan literasi tumbuh berkembang dimana pun manusia indonesia ada, sehingga kelak kita bisa berharap punya satu generasi baru yang berkesadaran, #optimis...! #terima_kash_RBK yang Mengggugah kesadaran (entah kenapa tiba-tiba menulis ini panjang lebar daripada bebal edit proposal, itung-itung nebus dosa dan menghibur diri)
Monday, June 29, 2015
Gathering & Bincang Muda komunitas pendidikan
By Abdullah Zed Munabari, pegiat RBK
Sabtu 27 juni 2015 menjadi sebuah hari yg penting bagi saya. Sore itu sekitar pukul 3 sore, saya mewakili Rumah Baca Komunitas menarik gas motor saya menuju universitas kebanggaan bumi Mataram, Universitas Gadjah Mada. Yap, saya menghadiri undangan sebuah komunitas di Fakultas Fisipol UGM yaitu YouSure FISIPOL UGM. Sore itu digelar lah gathering dan bincang-bincang kecil komunitas yg beraliran pendidikan dan literasi yg ada di bumi NgaYogyakarta. Kalau tidak salah, gathering itu dihadiri oleh 4 komunitas yaitu Komunitas Djendela, Buku untuk NTT, Jogja Mengajar,RBK, dan YouSure FISIPOL UGM sendiri selaku tuan rumah.
Bincang" dimulai sekitar pukul 16.00 dan dimoderatori oleh pegiat dri YouSure. Jujur saja sebagai pegiat literasi yg masih hijau, ekspektasi dan persepsi awal saya hanya sekedar memenuhi kewajiban sebagai pihak yg diundang. Saya saat hadir berfikir bahwa ini hanya kumpulan anak-anak muda yg bermimpi merubah Indonesia hanya dengan mengajar dan menyumbangkan buku. Itu terlihat agak "Memuakkan" bagi saya yg baru berkenalan dan akrab dgn pemikir-pemikir kiri seperti Karl Marx dan Antonio Gramsci. Di kepala saya saat itu yg terpikir hanya "Anda ingin merubah Indonesia?? Lakukanlah gerakan-gerakan penyadaran (pendidikan kritis), buat perubahan-perubahan radikal dan dirikan partai alternatif yg revolusioner". Anda bayangkan saja dgn persepsi seperti itu dan saya dikumpulkan dan harus berdialog dgn sekolompok orang yg bermimpi merubah dan menyelesaikan peliknya problematika negeri ini hanya dgn MENYUMBANGKAN BUKU KE PELOSOK NEGERI DAN MENGAJAR ANAK JALANAN?? Oohh betapa naifnya orang-orang ini, pikirku saat itu.
Namun, saya tetap coba jalani bincang-bincang itu dan memahami pola mikir mereka. Satu persatu komunitas mulai bercerita tentang asal usul komunitas nya masing-masing, kegiatan-kegiatan yg mereka lakukan, tantangan yang dihadapi, cerita seru hubungan mereka dgn masyarakat dan cerita unik yg lain nya. Saya pun tak ketinggalan juga bercerita tentang RBK dan segala seluk beluk tentang RBK (sebatas yg saya ketahui pastinya). RBK pun mendapat apresiasi yg cukup hangat dari peserta yg hadir, sebagaimana juga komunitas lain mendapat apresiasi itu saat bercerita tentang komunitasnya.
Sekitar 90 menit berdiskusi, bercerita dan mendengarkan pengalaman-pengalaman 3 komunitas itu, saya pun merasakan sesuatu. Ada sesuatu yg salah dalam pola pikir saya, pikir saya saat itu. Hal-hal yg sangat sederhana telah menyentil kemapanan berpikir saya. Cerita perjuangan kawan-kawan Komunitas Djendela yg mendirikan semacam tempat belajar di 2 tempat pelosok di jogja, perjuangan mereka mengajar anak-anak jalanan dibawah jembatan fly over di dekat stasiun lempuyangan, juga cerita kawan-kawan dri Jogja mengajar yg saat itu diwakili 2 siswi SMA tentang bagaimana mereka masuk ke rusun dan memberikan fasilitas belajar gratis, mengajak anak-anak utk membaca, dan tak kalah menyentilnya juga cerita pengalaman kawan-kawan dari komunitas Buku untuk NTT yg berjuang keras mengumpulkan buku untuk dikirim ke daerah pelosok NTT dgn berbagai macam perjuangan nya mulai dri mencari pihak yg bisa diajak kerja sama menyalurkan buku, mencari dana utk mengirim buku dri jogja ke NTT dan tentu saja mencari donasi buku dari berbagai pihak. Saat itu saya berpikir "Spirit macam ini?? Kenapa mereka bisa begitu yakin bahwa anak yang suka membaca semenjak kecil maka besarnya bisa menjadi orang yg berguna bagi negeri ini? Bagaimana mereka yakin bahwa bila anak-anak di pelosok NTT menjadi anak-anak yang melek membaca maka NTT bisa menjadj provinsi yang makmur dan sejahtera??
Aaaahhh saat itu alam pikir saya benar-benar 'terguncang'. Saat itu saya sadar bahwa ide-ide saya tentang melakukan pendidikan kritis dan mendirikan partai revolusioner itu akan menjadi angan-angan sampah belaka bila anak-anak negeri ini tumbuh besar dgn keterasingan dari buku. YAA, saya sadar bahwa sebenarnya apa yang dilakukan oleh kawan-kawan Komunitas Djendela, Buku untuk NTT, Jogja Mengajar adalah juga bagian dari misi RBK. Sesungguhnya, kita semua ini (komunitas & gerakan literasi) ibarat bagian-bagian tubuh yg mempunyai fungsi masing-masing yang sangat penting. Bila 3 komunitas ini berusaha mendekatkan anak-anak pada buku, hal-hal akademik, maka kita dari RBK siap mendidik dan membangun kesadaran kritis yg berbasiskan permasalahan-permasalahan di akar rumput seperti ekologi, HAM, politik, agama, ekonomi, dan budaya. Kita semua adalah bagian tubuh, yang satu sama lain nya saling menopang, membantu dan berjejaring demi bergeraknya tubuh yang ideal (Indonesia) untuk bergerak MELUNASI JANJI KEMERDEKAAN.
Gerakan literasi yang sejati pasti mengabdi pada rakjat, bukan mendidik untuk dikirim menjadi tukang korporasi yang terus melanggengkan ketimpangan dan penindasan. LONG LIFE LITERACY MOVEMENT..!!
Monday, April 27, 2015
Perpustakaan Jalanan dan Ikhwal Podjok Batca
Perpustakaan Jalanan dan Ikhwal Podjok Batca
Oleh Luthfi ZK, pegiat literasi Podjok Batca & RBK
Kemarin, Minggu 26 April adalah kesekian kalinya aku bergabung bersama teman-teman relawan Rumah Baca Komunitas dalam kegiatan Perpustakaan Jalanan (RBK on the street) di Alun-alun Kidul. RBK on the Street merupakan salah satu program Rumah Baca Komunitas yang untuk memberikan akses bacaan kepada siapa saja dengan cara mendatangi pembaca. Membuka lapak pinjam buku gratis tanpa jaminan apapun kecuali rasa saling percaya.
Pada awalnya aku merasa sanksi dengan kegiatan RBK on the street. Aku curiga kegiatan ini tidak akan berlangsung lama karena buku-buku yang dipinjamkan hilang atau tidak kembali. Sebab peminjam buku tidak meninggalkan jaminan apapun, kalau mereka tidak mengembalikan buku pinjamannya tidak bisa dilacak, ya sudah berarti hilang. Perkara itu pernah aku tanyakan, "apa tidak takut kalau nanti buku Rumah Baca Komunitashabis karena tidak dikembalikan oleh peminjamnya?" Kata Relawan Rumah Baca Komunitas, "kalau takut terus nanti kapan bergeraknya, gerakan literasi tidak akan berjalan kalau terus dihantui ketakutan. Nanti kita akan ragu-ragu terus dan buku-buku hanya dinikmati oleh segelintir orang saja."
Kenyataannya dimulai dari akhir tahun 2014 sampai saat ini RBK on the Street konsisten melakukan kegiatannya setiap minggu pagi. Bukunya bukannya berkurang justru bertambah. Barangkali benar jika ada yang mengatakan bahwa ketulusan itu menular. Pelanggan buku di RBK on the Street bukannya tidak mengembalikan buku pinjamannya. Mereka malah memberikan buku-buku koleksinya untuk dikelola RBK, disosialkan. Seperti kemarin, RBK on the street menerima dua puluhan buku dari peminjamnya untuk dikelola. Kesanksianku ternyata meleset.
Terjalin hubungan yang akrab dan rasa saling percaya antara relawan dengan pelanggannya. Aku menyebut pelanggan bukan karena relasi yang terjalin adalah relasi jual beli, perdagangan. Susah menemukan padanan kata lain untuk menggambarkan peminjam buku di RBK on the Street. Sebab mereka tidak hanya berkunjung sekali-dua saja. Sebagian rutin datang ke RBK on the street. Seperti bapak yang aku lupa namanya, ia sudah cukup berumur yang terlihat dari keriput mukanya dan uban yang menutupi kepalanya, selalu datang ke RBK on the street menggunakan sepeda tuanya untuk mengembalikan buku pinjaman serta meminjam lagi. Para relawan RBK on the Street hafal, bapak ini pengagum berat Pramoedya Ananta Toer. Hampir semua koleksi Rumah Baca Komunitas tentang Pram, ia lahab habis. Setiap minggu selalu ada hal baru yang bisa diambil pelajaran darinya.
Ada lagi ibu beserta anak perempuannya yang juga rutin pinjam-mengembalikan buku-buku di RBK on the Street. Bahkan pernah suatu kali, dengan jenaka si ibu "marah-marah" karena RBK on the Street tidak membuka lapaknya. Si ibu terlanjur datang ke sana bersama anak perempuannya. Sesampainya di Alun-alun Kidul bukan lapak RBK on the Street yang didapatinya melainkan segerombolan pemuda penuh energi yang meraung-raungkan knalpot motornya -- bertepatan dengan konvoi PPP.
Tak hanya sampai di situ. Virus ketulusan Rumah baca Komunitas menyebar sampai Condong catur. Jika biasanya virus itu melemahkan bahkan mematikan. Virus ketulusan Rumah Baca Komunitas malah semakin menguatkan niat dan tekad segerombolan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia untuk melakukan gerakan literasi yang kurang lebih sama dengan RBK on The Street.
Awalnya segerombolan anak muda itu dihinggapi ketakutan dan keragu-raguan, bagaimana kalau nanti buku-buku yang mereka pinjamkan rusak atau hilang. Sampai kemudian segerombolan anak muda itu berkunjung ke RBK on the Street. Berdiskusi ringan ihwal kegiatan RBK on the Street serta orientasi yang melatar belakanginya. Mendengarkan cerita mereka, segerombolan anak muda itu mantep untuk segera mengeksekusi idenya.
Eksekusi ide itu berwujud Podjok Batja. Lapak pinjam buku gratis tanpa jaminan dan pojok kumpul untuk berdiskusi, membacakan puisi, prosa, maupun sekedar lihat-lihat buku saja, setiap hari rabu di FE UII.
Friday, April 24, 2015
Mastodon & Burung Kondor : Sastra, perlawanan dalam lingkaran Kuasa
Rendra memang paham betul bagaimana kebebasan itu sebaiknya direbut, sementara
teman-teman sebangku semakin tenggelam dalam pusaran gerakan revolusi yang
diiming-imingi ampuh oleh para aktivis era yang genting itu.
Sunday, February 1, 2015
Romo Francis Wahono Jadi Pembicara DeJure 23 Januari 2015
Oleh: Lek Malaka
Di malam tanggal 23 Januari, kami sudah menunggu Romo Francis Wahono (selanjutnya saya sebut dengan singkatan Romo Francis). Rasa tidak sabar dan bertanya-tanya pada mahasiswa, voluntir dan pegiat RBK yang saat itu jadi peserta DeJure.
Di malam tanggal 23 Januari, kami sudah menunggu Romo Francis Wahono (selanjutnya saya sebut dengan singkatan Romo Francis). Rasa tidak sabar dan bertanya-tanya pada mahasiswa, voluntir dan pegiat RBK yang saat itu jadi peserta DeJure.
RBK DeJure edisi 23
Januari 2015 sudah direncanakan oleh Abdullah untuk mengundang Romo Francis.
Abdullah waktu itu berkata “saya ingin undang romo, gimana?”. Cak David dan Kak
Wiek, menjawab “oke”. Maka berjalanlah komunikasi Abdullah dengan Romo Francis,
yang memang sebelumnya sudah sering diajak obrol oleh Abdullah.
Malam itu setelah
beberapa saat menunggu, Romo Francis akhirnya datang. Kemeja kotak bercampur
warna kuning gading, lengkap dengan kacamata, Romo Francis masuk ke ruang utama
RBK.
Setelah duduk, Abdullah
memberikan sedikit pengantar tentang Romo Francis dan materi yang akan dibahas
malam itu yakni; Teologi Pembebasan. Poster BC dibuat oleh Indra.
Unik juga, Romo Francis
membuka diskusi dengan pertanyaan, “saya mau memulainya dengan
pertanyaan-pertanyaan dari anda saja”. Tiga pertanyaan awal muncul dari peserta
diskusi, pertanyaan pertama, “bagaimana sebenarnya hakikat dari teologi
pembebasan”, kemudian ada yang bertanya “mengapa disebut teologi pembebasan?”,
dan yang terakhir bertanya “bagaimana tanggapan Romo Francis tentang kasus kekerasan
yang terjadi atas nama agama atau Tuhan?”.
Romo Francis menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menceritakan pengalaman-pengalamannya. Romo
Francis kemudian balik bertanya dengan jenaka kepada semua peserta, “agama itu
untuk siapa? Manusia atau Tuhan?”. Peserta kemudian diminta untuk unjuk
pendapat. Macam-macam komentar muncul dari pertanyaan Romo Francis. Ada yang
menjawab “untuk Manusia Romo, kan agama itu buat diterapkan ke dalam hidup
manusia”. Ada juga yang merespon “agama itu harus menyerap ke dalam persoalan
profan. Agama itu merupakan narasi dari Tuhan untuk manusia”.
Diskusi berlanjut hingga
pukul 10.30, edisi DeJure kali ini memang lebih lama daripada DeJure biasanya,
yang akan berakhir secara seremonial antara pukul 7 atau pukul 8 malam. Biasanya
dilanjutkan diskusi kecil-kecil.
Sentilun Dari Aksi Diam RBK 25 Januari 2015
Oleh: Lek Malaka
Dalam Aksi
Diam yang kami (baca: RBK) lakukan 25 Januari kemarin, sudah kami katakan dalam
press release. Dukungan kami tidak
tertuju pada KPK, atau POLRI. Kami, hanya membela suatu persoalan klasik yang
begitu menggurita hingga saat ini, tiada lain; korupsi. Jadi beberapa
pertanyaan pra dan pasca Aksi Diam RBK di nol KM kota Yogyakarta, misalnya; “isu
KPK hanya isu elit politik”, “kalian tidak seharusnya ikut-ikutan dengan isu pelemahan
KPK” dan “pelemahan KPK hanya pengalihan isu dari sejumlah agenda politik
liberal Jokowi”, dan lain sebagainya kami pahami sebagai bentuk perhatian rekan-rekan terhadap kami. tetapi penting untuk kami ceritakan juga terkait aksi malam itu, bahwa isu “dukungan terhadap KPK”
yang kami angkat bukanlah
satu-satunya isu yang kami angkat.
Di RBK,
sudah lumrah berbagai persoalan kami bahas. MP3EI, #JogjaAsat, Pengawasan Politik
Lokal, Diskursus Sastra, Apotik Hidup, Gerakan Ekoliterasi, hingga gerakan
voluntir 3 jam, teologi pembebasan, pendidikan yang membebaskan, dan banyak
lagi perbicangan yang terjadi di RBK, semuanya kami bahas. Sama sekali tidak
ada peringai laten di dalam aksi-aksi RBK. Kami hanya sesekali tampil di publik
dalam rangka yang sederhana saja, yakni berdialektika dengan realitas kesadaran
masyarakat di zaman sosial media. Kami tidak mengkaji isu melulu juga dengan
pendekatan substansial, kadang-kadang kami juga pakai pendekatan strukturalisme
yang bertolak pada bagaimana isu tidak berkaitan erat dengan maksud hakikat
tetapi merupakan ekspresi yang terwujud dari pemaknaan yang berjejaring dengan
makna yang lain.
Jadi,
ketika orang bicara tentang #SaveKPK, itu bukan berarti KPK sebagai objek utama
isu. Kata “KPK” berelasi dengan “harapan publik terhadap simbol perlawanan atas
korupsi yang akut”. Aksi Diam yang kami lakukan di malam itu membuktikan hal
tersebut. Tukang becak, ibu-ibu penjual baju hingga gudeg, merespon kami yang
jalan dengan mengangkat poster-poster mendukung KPK dengan “dukung KPK!”, “bagus-bagus”,
“ada poster ‘saya orang ngak jelas’ ngak mas?”. Waktu kami diam di nol KM,
seorang perempuan di sepeda motor mengangkat jempol tinggi dan bersunggut “bagus-bagus,
lawan!”. Beberapa pengendara memang acuh dengan aksi kami, tetapi banyak yang
memberikan jempol.
Aksi
Diam kami di malam itu juga memberikan hal yang menarik. Remaja-remaja yang
sedang nongkrong di sekitar Benteng Vredeburg berebut ingin meminjam
poster-poster dukungan terhadap KPK yang dibuat Mascu dan Indra, dua orang pengurus
RBK. Remaja-remaja itu berebut berfoto dengan pose bak seorang demonstran
modern, lengkap dengan pose “dua jari-peace”, atau pose-pose remaja “zaman
saiki” menurut mbah-mbah”. Aktivis 98 mungkin akan tertawa kalau melihat
pose-pose remaja itu.
Abdullah,
seorang pengurus RBK yang menjadi kordinator Aksi Diam diwawancarai oleh
mahasiswa Malaysia. Komentar mahasiswa Malayasia “gimana anda bikin macam
begini?, menurut saya itu bikinan menarik. Apa yang hendak anda sampaikan?”.
Abdullah yang diwawancarai malam itu menjelaskan panjang lebar tentang Aksi
Diam RBK sebagai bentuk kampanye pegiat literasi terhadap pentingnya menjaga
kewarasan di saat kasus-kasus korupsi semakin menggurita.
Friday, December 26, 2014
Ekoliterasi dan Penyegaran Gerakan
David
Efendi, Pegiat Ekoliterasi
Gerakan yang tak mampu memperbaharui
dirinya adalah gerakan yang sedang menemui ajalnya. Ungkapan ini menandai
banyak sejarah di dunia dan telah dicatat di sana bahwa banyak sekali
gagasan-gagasan besar kemudian lapuk akibat ia atau pengagumnya gagal
mengawetkannya. Bisa jadi ia berhasil memasukkan dalam katalog buku atau sudut
ruang museum, tetapi tak lagi berdaya untuk menggerakkan perubahan—membawa
dampak positif bagi kehidupan kontemporer. Inilah tantangan besar, bagi
Komunitas kecil sekalipun.
Di akhir tahun ini, tulisna ini bermasuk
ingin kembali menyegarkan suasana terutama bagi pegiat literasi yang sudah
lelah. Tulisan ini ingin menyapa sekaligus mengajak pembaca untuk terus menerus
memperbaharui keadaan fikiran lalu aksi dan juga refleksi. Tentu ini tidak akan
banyak mengubah pembaca sebagai resep pesakitan, tetapi setidaknya penulis ingin
mengatakan bahwa penulis mengurai kejenuhan dalam gerakan literasi hampir
setiap saat setiap waktu: berperang melawan kemalasan, kebosanan, dan
kelelahan. Kita harus tampil menjadi pemenang!
Dalam kesempatan ini, penulis terinspirasi
oleh status BB seorang pegiat literasi yang sangat reflektif yaitu Fauzan Anwar
Sandiah beberapa hari lalu yaitu gerakan 3M: membaca, menulis , dan menanam.
Dia rupanya sangat dekat dengan pikiran filosof Fritjof Capra, penulis buku the web of life (2001) yang kemudian banyak
direplikasi gagasannya di website ecoliteracy.com. Gagasan ekoliterasi ini
kemudian menjadi penting bagi pegiat RBK khususnya untuk menyegarkan gerakan
anak-anak muda dalam mentradisikan gerakan membaca. Apa yang mampu kita
perbaharui dalam tradisi gerakan literasi akan didiskusikan dalam tiga bagian
pembahasan berikut ini.
Membaca
Membaca sebagai kegiatan aktif-produktif
serta kreatif merupakan pekerjaan yang menguras banyak energy kita. Namun
demikian, membaca telah terbukti memberikan ide-ide gila bagi pembacanya dan
telah terbukti kegiatan ini memproduksi banyak ilmu pengetahuan. Buku-buku yang
mengubah sejarah pun telah dirilis (lihat link 50 buku paling berpengaruh di
dunia, http://superscholar.org/features/50-most-influential-books-last-50-years/). Berapa judul buku yang telah and abaca atau setidaknya pernah anda dengar
gaungnya? Semoga ada beberapa judul yang telah mengubah kadaan menjadi lebih
baik. Saatnyaberbagi kekuatan itu, setidaknya kita dapat merekomendasikan judul
buku untuk masyarakat luas.
Aktifitas membaca sebagai pembuka pagi,
walau tak semua orang sama memiliki kebiasaan. Tidak sedikit pula , mereka
membuka pagi dengan menulis: menulis puisi, cerpen, artikel, buku, dan
sebagainya. Aktifitas membaca yang mendahului kegiatan menulis akan memperkaya
materi yang kita tulis dan menjadikan lebih bergizi. Sesuai saran Hernowo
(2008), text yang kit baca adalah vitamin sempurna untuk terus bertahan dalam
segala pancaroba zaman. Semakin banyak vitamin, semakin
sehat tulisan kita. Tulisan yang baik
akan mengerakkan pembacanya, memberikan inspirasi setidaknya.
Menulis
Taufiq Ismail pernah mengatakan bahwa “membaca
dan menulis adalah kembar siam”. Artinya, dua aktifitas ini tak terpisahkan.
Penulis yang hebat merupakan pembaca yang militant dan juga sebaliknya ( walau
kurang kuat di sisi sebaliknya). Faktanya, banyak pembaca ideologis dan super
militant, tetapi tidak banyak memproduksi tulisan namun lebih pada penyajian
secara verbal. Potensi orang memang beragam, jika tak rajin menulis tentu
diskusi menjadi solusi terbaik untuk mengawetkan ingatan dan pengetahuan.
Menulis adalah kegiatan mengabadikan
pengalaman empirik untuk dijadikan pengetahuan bagi pembaca atau untuk
menginspirasi pembaca termasuk juga bagaimana penulis menawarkan hal baru,
gagasan baru untuk mendekonstruksi meanstream pemahaman yang sudah melekat. Sebagaimana ‘mantra’ Pramudya yang sangat
popular bahwa “menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Tanpa kebudayaan tulis,
rasanya sangat berat membawa bangsa ini mengenyam kemajuan dan penerangan
peradaban. Jadi, tak ada tawar menawar bahwa bangsa ini harus menulis agar
dapat menentukan masa depannya sendiri. Bukan bangsa lain yang mendikte
bagaimana hari depan harus dilakoni oleh anak-anak negeri ini.
“Menulislah sejak SD, apapun yang ditulis
sejak SD pasti jadi”, kata Pramudya Ananta Tour, seorang sastrawan humanis yang
sangat keras pendirianya mengenai kemandirian dan kebebasan manusia. Beberapa
warisan pemikiranya saya kira cukup mendongkrak motivasi kalangan penulis muda
salah satunya adalah tiga hal yang paling berharga yaitu (1) usia muda yang
kreatif; (2) kebebasan; dan (3) harga diri sebagai manusia. Ketiga hal ini yang
harus terus menerus diperjuangkan tanpa henti dan tidak kenal lelah. Pegiat
literasi tak boleh menyerah dengan kelelahan!.
Menanam
Gerakan literasi, seharusnya, bukan melulu
urusan perbukuan tetapi jugadilengkapi dengan aktifitas lain yang membumi
seperti mengembangkan kebudayaan, menagpresiasi seni, sampai pada kegiatan
berkebu. Membaca dan menanam punya orientasi masa depan. Membaca itu menanam
pengetahuan untuk masa depan sementara menanam juga upaya advokasi terhadap
lingkungan untuk melindungi bumi agar tetap sehat dan menyehatkan. Tak
terbayangkan, jika pembaca tak peduli pada alam maka membaca itu terasa mencabut
kesadaran akan pentingnya realitas. Realitas yang kita pahami sebagai persoalan
kontemporer lingkungan. Bumi panas, oksigen kurang adalah satu persoalan
sederhana yang akan bisa ditolong dengan menanam. Upaya lainnya adalah pendayagunaan barang
barang yang masih bermanfaat tetapi disepelekan dengan reduce dan reuse. Inilah
yang dilabeli “ekoliterasi” dalam madzab RBK Kalibedog (Gerakan literasi #5).
Pesan agung dari gerakan ekoliterasi adalah
kehidupan yang lebih harmoni, ramah longkungan, dan berkelanjutan. Gerakan
literasi tidak boleh berhenti pada kemampuan masyarakat menyerap bacaan text
dan beragam wacana kontemporer tetapi juga dituntut aksi nyatanya untuk
mengurangi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat misalnya hilangnya
ruang terbuka hijau di kota dan degradasi fungsi tanah sebagai penyedia
kehidupan (oksigen) dan juga ketidakpedulian manusia akan pentingnya menjaga
keseimbangan ekosistem—jaring-jaring kehidupan (meminjam Capra). Membaca harus
diaktifasi dengan kegiatan menanam sebagai manifestasi keberihakan pegiatnya
pada masa depan bumi.
Salah satu problem besar masyarakat modern
adalah masalah pengelolaan sampah. Jumlah sampah setiap hari berlari seperti
deret ukur, sementara tata kelola sampah sangat lamban seperti deret hitung.
Jadi semakin sesaklah bumi manusia dengan sampah bahkan manusianya dapat
tertimbun sampah. Di Jakarta, laporan majalah Tempo edisi Desember 2014
menuliskan bahwa masyarakat Jakarta menghasilkan sampah seberat 2000 gajah
dewasa/per harinya. Jika tak mampu dikelola, maka akan menjadi bencana
sewaktu-waktu. Apa yang bisa dilakukan? Sampah bisa saja menjadi komoditas
ekonomi agar manusia tidak ceroba memindahkan sampah hanya karena egoism
sesaat—menjauhkan sampah dari matanya tetapi mendekatkan kepada mata banyak
orang dengan membuang secara sembrono di tempat yang menjadikan sampah itu
mengganggu padahal sampah itu bisa tidak mengaggu bahkan menguntungkan.
Hari
ibu, hari bumi, ibu bumi, bumi buku, I love you, 22 Des 2014.
Tuesday, November 18, 2014
Kemenangan Kaum Literasi
Oleh: David Efendi
Pembina dan Pegiat RBK
RBK on the street, sebuah
aktifitas yg makin akrab terdengar bagi pegiat literasi beberapa bulan
terakhir, adalah sebuah konsep perpustakaan jalanan yang lahir dari komunitas
anak muda di Kali Bedog (Rumah Baca Komunitas).
Salah satu visi utamanya adalah bagaimana buku itu menjadi muda
diakses bagi setiap orang tanpa disekat status sosial. Ibaratnya air, buku
adalah kehidupan bagi semua manusia. Tanpa setitikpun pengecualian.
Pada kegiatan RBK on the street #7 ini semakin menguatkan
imajinasi para konseptornya. Kegiatan ini mampu menggerakkan kesadaran dan
sekaligus kreatifitas pegiatnya. Ya, "kreatifitas tanpa batas", kata
Indra yang berjibagu siapkan acara RBK di alun alun kidul.
Pegiat yang mengamalkan ajaran apresiatif ini semakin terbiasa
dengan serangkaian kegiatan di akhir pekan. Malam menyiapkan buku, souvenir
seadanya, spanduk untuk kampanye literasi dgn cara manual. Tantangan terberat
adalah, keharusan bangun pagi di minggu hari. Ini serasa berat sekali pada
awalnya.
Edisi kali ini mengambil tema, ramoco ramulyo dgn gambar Tirto
Adisuryo. Seorang pegiat literasi di masa pra revolusi kemerdekaan Indonesia.
Artinya, salah satu cara memuliakan sebuah bangsa adalah dengan
cara membangun kesadaran literasi, kesadaran akan nilai nilai kemerdekaan,
kesetaraan, dan spirit pembebasan. Dengan kekuatan ini, bangsa kita layak
diperhitungkan oleh bangsa bangsa lainnya terutama menjadi teror bagi
kesewenangan kaum penjajah. Kini, penjajahan fisik itu lebih pada hegemoni dan
dominasi kebudayaan. Karena itulah, media tv yg tidak edukatif, diskriminasi,
budaya inlander haruslah menjadi common enemy para pekerja literasi.
Dgn gambar Tirto Adisuryo, menuntut kita harus dedikasikan diri
kita untuk belajar keras, membaca menulis dengan militan, dan bekerja keras
untuk kebaikan rakyat sbg kelanjutan dari revolusi literasi Tirto.
Aksi pembebasan ini dicatat oleh Agam, salah seorang pegiat RBK
dalam notes BBM. Dia menulis demikian:
"...Setelah perut terisi, sambil menghisap dalam rokoku,
datang seorang bapak berpostur tinggi, memakai kaos lengan panjang dan celana
pendek, merapatnya ke lapak baca tentu tanpa panggilan. Keberadaannya dilapak
baca hari ini menurut cak david adalah fenomena yg belum pernah terjadi
sebelumnya, bisa disimpulkan beliau adalah pemecah rekor tukang becak pertama
yg mengharimpi lapak baca. Sambil ditemani gus ind, dia melihat-lihat koleksi
buku yg kami sajikan, tanpa berlama lama si tukang becak tadi menjatuhkan
pilihannya pada buku anak-anak, entah apa yg mendasari beliau memilih buku
anak-anak tersebut, kami mencoba utk meminta alasan kenapa beliau memilih buku
itu ? Dgn tegas dia menjawab "anak saya pasti senang sekali kalau saya
bawa buku ini untuknya". Subhanallaah, aku dan gus ind terdiam haru.
Ternyata buku selain memberikan pengetahuan, juga bisa membahagiakan
hidup seseorang. Tidak hanya itu sebagai bentuk apresiasi atas keikhlasannya,
cak David langsung memberikan 1 baju dewasa, 1 baju anak" hasil dari karya
para pegiat literasi ,
"Terima kasih, terima kasih, anak saya pasti senang sekali saya bawakan buku dan baju ini, " celetuknya sebelum meninggalkan kami dan tumpukan buku."
"Terima kasih, terima kasih, anak saya pasti senang sekali saya bawakan buku dan baju ini, " celetuknya sebelum meninggalkan kami dan tumpukan buku."
Dia mempertegas pengalaman "etnografi" ini bahwa RBK
telah memberikan bukti hilangnya sekat sekat kelas sosial dalam gerakan
literasi. Buku sebagai media komunikasi lintas kelompok kepentingan. Saya
setuju dengan kesimpulan ini. Hari ini ada banyak ragam menusia mampir di lapak
"moco gratis" mulai dari wartawan, penulis buku (memberikan buku
karya sendiri), pegiat pendidikan dari AJI, temannya teman, mahasiswa, dan
masyarakat umum lainnya.
Ada beberapa pengunjung juga menghibahkan bukunya di RBK pada
moment on the street.
Beberapa peminjam buku masih juga ada yang kaget tentang
kegiatan pinjam buku boleh bawa pulang gratis ini. Ada dua
"pelangggan" pinjam buku meminta maaf belum bisa pulangkan buku yang
dipinjam.
"kemanusiaan saya tersentuh" nyaris terguncang, adalah
sebuah penghargaan besar mereka (ada yang bapak bapak juga ibu) datang ke
"TKP" hanya menyampaikan permohonan maaf karena belum selesai membaca
buku dan masih dipakai bahan menulis. Para peminjam buku ini memanusiakan para
pegiat RBK dengan kesantunan meminta maaf. Dan senyum terkembang dari wajah
penjaga lapak ini.
Parkir
dan Kemenangan
Walaupun say sudah nego dengan petugas parkir dan mendapatkan keringan, sampai pada akhirnya saya minta pendapat di komunitas sosial lain: "sudah empat bulan tak pernah diparkir, pagi tadi para pegiat gerakan literasi didatangi pak parkir agar bayar parkir.
Walaupun say sudah nego dengan petugas parkir dan mendapatkan keringan, sampai pada akhirnya saya minta pendapat di komunitas sosial lain: "sudah empat bulan tak pernah diparkir, pagi tadi para pegiat gerakan literasi didatangi pak parkir agar bayar parkir.
Diantara peminjam buku adalah tukang becak dan siapa saja tak bs
disebutkan satu satu."
Kegiatan sosial saja diparkir, apa negerri ini sudah kehilangan
kearifan lokal? jika ada jamaah group ini yg tahu otoritas parkir alkid,dan
bisa membantu untuk pembesan parkir dilapak moco buku gratis boleh dibawa
pulang ini kami akan gembira sekali."
Adapun hasil nego pagi ini adalah motor pegiat RBK tidak ditarik
parkir dengan dinaikkan ke atas sisi jalan. Saya pun gembira. Tapi ada
kegembiraan lainnya, bahwasanya pegiat RBK tak ada yang menggerutu gara gara
harus bayar parkir. Bahkan ada salah satu pegiat yang sudah banyak berbincang
dan kenal dengan "abang parkir" itu. Satu hal yang saya khawatirkan
adalah pengunjung/pembaca enggan mampir kalau harus membayar parkir.
Overall,
suasana hati dan perbuatan telah kita menangkan hari ini. Kita bukan masuk
golongan orang yang kalah dan marah! selamat untuk teman teman pekerja
literasi. Kemenangan kecil kita sudah raih setiap hari, kita akan perjuangkan
lahirnya hari raya kemenangan besar.
Monday, July 21, 2014
Catatan De Jure; "RMS, Nasionalisme dan Komunitas Terbayang"
Oleh: Iqra Garda Nusantara
Seperti biasa di Rumah Baca Komunitas terdengar suara anak-anak yang ramai
dengan masing-masing urusannya di RBK. Seolah mereka sudah merasa feel at home
dan dapat berekspresi secara merdeka dengan teman-teman sebaya maupun
dengan mahasiswa dan penghuni RBK lainnya. Anak-anak itu selalu ingin tahu apa
yang dilakukan oleh orang orang di rumah ini. Jika ada orang baru, anak-anak
selalu antusias untuk melakukan pendekatan.
Pada sore hari ini, 10 Juli 2014 teman-teman Mahasiswa mengadakan diskusi tematik dengan topik Republik Maluku Selatan dan bagaimana masa depannya. Kegiatan ini mengundang Rhenald yang merupakan mahasiswa HI UPN dan juga aktifis IKPM (Ambon) yang sangat mengenal seluk beluk gerakan RMS baik dalam maupun luar negeri. Sangat menarik ketika Rhenald memaparkan bagaimana selama ini RMS disalahartikan oleh meanstream media nasional atau oleh oknum negara. RMS sama sekali tidak dapat diartikan anti nasionalisme. Bahkan fenomena unik juga kerap muncul misalnya dia sendiri mengakui bahwa dia pendukung Prabowo walau kebanyakan aktifis dan masyarakat Ambon itu sangat serius dan berhati hati dengan isu hak asasi manusia. Artinya, kita bisa menyaksikan bahwa pola pikir itu tidak seragam tapi kelompok aktifis ini sering disalahpahami oleh publik.
"memang kalau saya ditanya lebih senang mana belanda dan Indonesia, saya jujur saya lebih senang dengan Balanda. walau ini bukan sikap semua orang", ujarnya. Dia juga menceritakan bagaiaman keturunan Ambon yang ada di Amerika dan negara lain sering mengunjungi Indonesia dan mengungkapkan kebanggaanya kepada belanda dengan segala kelebihannya. Fauzan, salah seorang peserta diskusi mengungkapkan bahwa situasi masyarakat diaspora Ambon ini mirip-mirip dengan apa yang dibayangkan oleh Benedict Anderson dalam Imgined Community bahwa "bangsa itu adalah sesuatu yang terbayang".
Peserta lain Panggih S, seorang pegiat RBK dan mahasiswa akhir UIN melihat banyak fenomena kebangsaan yang terkoyak akibat salah urus negara. Situasi lebih parah digambarkan oleh narasumber misalnya meluasnya ketimpangan di maluku terkait akses pendidikan, beasiswa, jalan, dan listrik yang sangat buruk. "kami seringkali tidak tahu ada beasiswa pemerintah untuk kuliah..dan mungkin tak pernah tahu kalau saya tidak tinggal di Yogyakarta." tentu saja ini mengundang perhatian bagi banyak kalangan bukan hanya aktifis IKPM dan pejuang RMS. walau demikian, dari banyak aktifitas teman-teman Maluku selama ini tidak serta merta meneriakkan merdeka sebagai pilihan yang harus diperjuangkan dengan berdarah-darah.
Diskusi yang dipimpin oleh Abdullah Bin Zed memang tidak menyimpulkan dari semua dinamika tetapi ada lesson learn yang sangat penting adalah membiasakan diskusi dan sharing dengan lintas komunitas yang dalam jangka panjang diharapkan mampu mempertautkan nasioanalisme anak-anak bangsa yang sering kali terkotak-kotak oleh suku dan asal-asal. "Ke depan diskusi serupa akan kita intensifkan dengan lebih banyak mengundang komunitas lainnya," tamba Abdullah Bin Zed. Diskusi isu lokal-nasional ini merupakan edisi kedua setelah bulan lalu diisi tentang kajian politik lokal Banka yang diisi oleh Agam Pozan.
Pada sore hari ini, 10 Juli 2014 teman-teman Mahasiswa mengadakan diskusi tematik dengan topik Republik Maluku Selatan dan bagaimana masa depannya. Kegiatan ini mengundang Rhenald yang merupakan mahasiswa HI UPN dan juga aktifis IKPM (Ambon) yang sangat mengenal seluk beluk gerakan RMS baik dalam maupun luar negeri. Sangat menarik ketika Rhenald memaparkan bagaimana selama ini RMS disalahartikan oleh meanstream media nasional atau oleh oknum negara. RMS sama sekali tidak dapat diartikan anti nasionalisme. Bahkan fenomena unik juga kerap muncul misalnya dia sendiri mengakui bahwa dia pendukung Prabowo walau kebanyakan aktifis dan masyarakat Ambon itu sangat serius dan berhati hati dengan isu hak asasi manusia. Artinya, kita bisa menyaksikan bahwa pola pikir itu tidak seragam tapi kelompok aktifis ini sering disalahpahami oleh publik.
"memang kalau saya ditanya lebih senang mana belanda dan Indonesia, saya jujur saya lebih senang dengan Balanda. walau ini bukan sikap semua orang", ujarnya. Dia juga menceritakan bagaiaman keturunan Ambon yang ada di Amerika dan negara lain sering mengunjungi Indonesia dan mengungkapkan kebanggaanya kepada belanda dengan segala kelebihannya. Fauzan, salah seorang peserta diskusi mengungkapkan bahwa situasi masyarakat diaspora Ambon ini mirip-mirip dengan apa yang dibayangkan oleh Benedict Anderson dalam Imgined Community bahwa "bangsa itu adalah sesuatu yang terbayang".
Peserta lain Panggih S, seorang pegiat RBK dan mahasiswa akhir UIN melihat banyak fenomena kebangsaan yang terkoyak akibat salah urus negara. Situasi lebih parah digambarkan oleh narasumber misalnya meluasnya ketimpangan di maluku terkait akses pendidikan, beasiswa, jalan, dan listrik yang sangat buruk. "kami seringkali tidak tahu ada beasiswa pemerintah untuk kuliah..dan mungkin tak pernah tahu kalau saya tidak tinggal di Yogyakarta." tentu saja ini mengundang perhatian bagi banyak kalangan bukan hanya aktifis IKPM dan pejuang RMS. walau demikian, dari banyak aktifitas teman-teman Maluku selama ini tidak serta merta meneriakkan merdeka sebagai pilihan yang harus diperjuangkan dengan berdarah-darah.
Diskusi yang dipimpin oleh Abdullah Bin Zed memang tidak menyimpulkan dari semua dinamika tetapi ada lesson learn yang sangat penting adalah membiasakan diskusi dan sharing dengan lintas komunitas yang dalam jangka panjang diharapkan mampu mempertautkan nasioanalisme anak-anak bangsa yang sering kali terkotak-kotak oleh suku dan asal-asal. "Ke depan diskusi serupa akan kita intensifkan dengan lebih banyak mengundang komunitas lainnya," tamba Abdullah Bin Zed. Diskusi isu lokal-nasional ini merupakan edisi kedua setelah bulan lalu diisi tentang kajian politik lokal Banka yang diisi oleh Agam Pozan.
Thursday, July 3, 2014
Memanusiakan Gerakan Literasi
Oleh: Iqra Garda Nusantara
Usia gerakan literasi dalam Rumah baca Komunitas
hampir tiga tahun dan dari perjalanan ini ditemukan potongan-potongan sejarah
yang dapat dijadikan amunisi untuk melakukan perubahan-perubahan positif di
masa kini dan masa yang akan datang. Perubahan adalah hak dan perubahan ini
seharusnya dikehendaki oleh para pegiatnya bukan oleh kekuatan luar sehingga
seringpula kita akan terjebak pada arti sebuah penghargaan". Gerakan
kecil, kuat, dari dalam adalah spirit yang masih sangat kuat dipegang erat
sebagai bentuk penolakan atas skema pembangunan manusia yang dipaksakan oleh
negara.
Banyak sekali gerakan-gerakan masyarakat justru mengalami negaranisasi tidak hanya pada zaman Orde Baru yang kuat dan 'keras' terhadap eksistensi komunitas kritis. Pasca Orde baru juga masih diperlihatkan bagaimana masyarakat ingin menjadi bagian dari karakteristis negara yang 'wah', dominan, superior, narsis, dan terpenting adalah mendapatkan akses finansial untuk membiayai dan menggadaikan idealismenya. Tendensi negeransiasi ini telah kita rasakan dampak negatifnya sampai ke tulang rusuk masyarakat entah sampai kapan akan berakhirnya rasa sakit itu. Pain killer itu juga kadang jalan frustasi yang ditempu.
Banyak sekali gerakan-gerakan masyarakat justru mengalami negaranisasi tidak hanya pada zaman Orde Baru yang kuat dan 'keras' terhadap eksistensi komunitas kritis. Pasca Orde baru juga masih diperlihatkan bagaimana masyarakat ingin menjadi bagian dari karakteristis negara yang 'wah', dominan, superior, narsis, dan terpenting adalah mendapatkan akses finansial untuk membiayai dan menggadaikan idealismenya. Tendensi negeransiasi ini telah kita rasakan dampak negatifnya sampai ke tulang rusuk masyarakat entah sampai kapan akan berakhirnya rasa sakit itu. Pain killer itu juga kadang jalan frustasi yang ditempu.
RBK adalah identitas anak muda dan para pembelajar otonom yang hendak memperjuangkan mimpi-mimpi yang dimiliki masing-masing dengan bergabung ke dalam komunitas untuk saling memberikan kekuatan dan apresiasi sehingga perubahan yang diharapkan itu lebih mudah dan lebih awal menjadi kenyataan. identitas yang terbayang adalah keberdayaan komunitas yang dapat mengadvokasi hak-hak sipil politik dan juga mampu menggerakkan perubahan positif yang dikehendaki masyarakat. Masyarakat adalah kita dan kita adalah masyarakat merupakan situasi yang abstrak kita gambarkan namun perubahan dari dalam itulah kata kuncinya sehingga tidak mengalami bias kegagalan akibat faktor luar.
Bagaimana gerakan literasi (melek wacana) ini mencirikan dirinya sebagai manusiawi? RBK adalah rumahnya manusia. Ini adalah spirit memanusiakan manusia yang hendak dibangun bersama sebagai kesadaran baru di zaman yang seringkali 'menghina kemanusiaan' dan 'akal sehat'--di mana kita lihat bagaimana buruknya politik perkantoran, kerasnya persaingan kuasa di desa, di organisasi, praktek tidak demokratis dalam lembaga demokrasi dan jutaan list paradoks masyarakat lainnya.
Spirit memanusiakan gerakan literasi ini setidaknya tercermin dalam praktek keseharian antara lain (1) inklusifisme yaitu para pegiat sangat terbuka dan open minded untuk menerima siapapun yang bergabung dan akan mengambil manfaat dari komunitas ini. Prinsip yang sangat populer adalah bahwa semua orang adalah guru dan semua tempat adalah madrasah pembelajaran; (2) apresiatif yang menjadi ciri khas dari komunitas RBK ini yaitu pola relasi manusia yang saling menghargai dan menghormati keputusan dan capaian-capaian yang telah dimiliki. Dalam bekerja dalam tim, kontribusi tidak diketegorikan besar kecil, dan sedang tetapi setiap keterlibatan adalah jiwa-jiwa yang menghidupi, memberi nafas pada aktifitas bersam. Terakhir, (3) adalah 'anti-kapitalisme' yang ditunjukkan pada aspek-aspek kehidupan sosial yang mengedepankan 'nilai interaksi' yang besifat kualitatif dari pada berfikir "mendapatkan keuntungan apa dari relasi". Apa yang dimaksudkan disini dengan anti kapitalisme adalah menolak model relasi timpang antar sesama manusia yang dijebak oleh pemikiran kapitalis. Kapitalisme itu merusak dan menjadi anti tesis dari eksadaran hakiki para pegiat untuk saling berderma, berani berkorban, berani menjadi Gandi, dan tidak mudah menggadaikan kemanusiaan hanya gara-gara materi yang tak pernah abadi. Bagi para pegiat literasi, membaca adalah bekerja untuk memberadabkan diri dan "menulis adalah bekerja untuk keabadaian." Selamat malam, Buku.
Kalibedog, 25 Juni 2014.
Tuesday, June 17, 2014
RBK Gelar Perpustakaan Jalanan
Oleh: Iqra Garda Nusantara
(Pegiat RBK)
(Pegiat RBK)
Hari Minggu tanggal 15 Juni 2014 merupakan hari yang istimewa bagi pegiat literasi yang tergabung dalam Rumah Baca Komunitas (RBK) di mana pada pagi hari itu sukses menggelar perpustakaan jalanan dengan tajuk "RBK on the Street" yang mengusung tema "Repoeblik Bokoe." Pada edisi perdana ini pegiat RBK memilih alun-alun selatan Yogykarta sebagai lokasi. Sangat menarik tentunya, karena hari minggu pagi banyak orang lalu lalang, olahraga/jogging dan kuliner yang memadati seputaran alun-alun selatan. Kali ini perpustakaan jalanan berhasil mengejutkan beberapa pengunjung.
Menurut kordinator acara, Fauzan Anwar Sandiah, kegiatan tersebut mempunyai beberapa target di antaranya adalah pertama, untuk mempromosikan buku sebagai kekayaan peradaban yang mesti mendapatka tempat istimewa di hati masyarakat terlebih di kota pelajar Yogyakarta ini. Kedua, kegiatan ini juga diharapkan menjadi wahana silaturahmi antar pegiat literasi (gerakan membaca) di Yogyakarta serta menjadi tempat pertemuan antar pecinta buku yang selama ini kurang disapa oleh kegiatan outdoor. Ketiga, kegiatan 'unik' dan 'menarik' ini menurut Fauzan adalah bentuk dekonstruksi dari persepsi mengenai perspustakaan yang selama ini identik dengan ruang tertutup, gelap, kuno, membosankan, dan tidak 'ceria'. Dengan kegiatan ini seseorang tidak perlu takut lagi membuka perpustakaan di rumah atau halamannya.
Velandani yang juga merupakan pegiat RBK yang hadir pada saat itu mencontohkan, kalau beberapa mahasiswa bukunya dikumpulkan lalu membentuk komunitas atau sharing bacaan di tempat terbuka lalu para pembacanya mendapatkan manfaat dan inspirasi untuk mengaktualisasikan dirinya atau setidaknya memicu minat membaca dan melek wacana. "Kebaikan sharing bacaan adalah kegiatan yang sangat positif dan akan menjadi media perubahan ke arah ang lebih baik dalam perspektif yang jauh ke depan.", tambah Yoga Mascu dari UMY.
Selain itu, "kegiatan RBK on the street ini dapat memberikan motivasi bagi pegiat RBK sendiri karena banyak juga relawan dan pegiat RBK baru yang selama ini belum begitu paham dengan ideologi dan karakter gerakan Rumah baca Komunitas", tambah Indra Isnais yang merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Terlihat memang beberapa mahasiswa lintas universitas menjadi relawan dalam kegiatan RBK on the Street ini seperti dari UIN, UAD, UGM, dan MMTC. Suasana gelaran buku dari pagi jam 06.00 sampai dengan 10.30 wib cukup memuaskan yang mengunjungi baik yang sekeder melihat judul koleksi, duduk membaca sampai meminjam. Ada juga yang penasaran ingin datang ke perpustakaan RBK dengan meminta nomor kontak dan alamat lengkap.
Tidak banyak ditemui Rumah baca yang mempunyai karakter ideologis sangat kuat sebagaimana yang dimiliki oleh Rumah Baca Komunitas yang bermarkas di Dusun Sidorejo, Ngestiharjo, Kasihan bantul ini. Rumah baca ini selain meyakini bahwa bangsa yang berdaya adalah bangsa yang melek wacana (membaca buku secara dialogis), RBK ini juga mempunyai program atau misi untuk membangun tradisi baca dan wacana bagi kelompok marginal yang selama ini kurang mendapatkan akses bahan bacaan. Karena itu, RBK terus berupaya melakukan pembaharuan gerakannya untuk menemukan ragam kemenangan-kemenangan kecil yang dapat menggerakkan kesadaran dan tangan masyarakat.
Karena RBK on the street ini menurut panitia akan diadakan setiap minggu sekali dengan spot yang berpindah-pindah, saya pribadi sebagai pegiat literasi sejujurnya menyampaikan apresisasi tertinggi pada pegiat gerakan membaca yang ingin mewujudkan mimpi masyarakat berilmu dan berdaya untuk bangsa Indonesia yang lebih baik. Bagi pembaca yang ingin menjalin korespondensi dengan Rumah baca Komunitas dapat dijumpai di FB: Rumah Baca Komunitas.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tulisan Terbaru
Populer
-
”Gerakan Membaca” merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari itu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka ...
-
Oleh : David Efendi Direktur Rumah Baca Komunitas Anak-anak adalah manusia masa depan, Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-...
-
Oleh : Iqra Garda Nusantara Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan b...
Hamka For RBK

Sjahrir For RBK
