Thursday, July 31, 2014

Kalau Mengajak Nietzsche dan Arendt Nonton Film

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Kadang-kadang, kita, penonton, butuh ending. Kita butuh yang meneguhkan kegelisahan setelah dua jam memperhatikan, mencerna, dan menyimpulkan alur film. Begitu yang saya pikirkan saat mengetahui akhir dari film yang saya tonton hanya menyatakan tentang keberlanjutan dari perjalanan tragis manusia. Film itu mengisahkan tentang nasib anak-anak di Jepang, yang tumbuh di luar hukum. Mereka adalah anak-anak hasil hubungan seksual di luar pernikahan, yang akhirnya harus bersembunyi dari dunia sosial, dari masa-masa yang harusnya mereka maknai. Anak-anak tersebut terdiri dari empat orang kakak-beradik beda ayah. Yang tertua (usia 12 tahun, lelaki) adalah anak hasil hubungan si ibu dengan seorang pekerja di Bandara, anak kedua (usia sekitar 11 tahun, perempuan), adalah anak hasil hubungan dengan seorang manajer studio rekaman, anak ketiga (usia sekitar 6 tahun, lelaki) dan keempat (usia sekitar 4 atau 5 tahun, perempuan) tidak dijelaskan. Seperti ciri khas film drama Jepang pada umumnya, atau lebih spesifik lagi yang mulai berkembang setelah tahun 90-an, mencoba menunjukkan hidup secara eksistensialis. Kekuatan filsafat yang secara pribadi saya rasa lebih kuat ke arah Baudelaire daripada Sartre.

Film ini diawali dengan sebuah tawaran bagi penonton. Tawaran itu, adalah bersikap bertanya-tanya. Mengapa film diawali oleh sebuah teks tentang kenyataan si empat bersaudara harus berpindah-pindah tempat tinggal bersama sang Ibu?. Dan mengapa di antara keempat anak tersebut, hanya si sulung yang diperkenalkan oleh sang Ibu sebagai anak kepada pemilik losmen? Mungkin bagi mata sosial, hal itu penting, saya menafsirkan demikian. Anak ketiga dan anak keempat disembunyikan dalam tas koper besar, sedangkan anak kedua menunggu di pusat kota. Intinya, ketiga anak-anak tersebut tidak berada dalam radar sosial pemilik apartemen sebagai anak sang Ibu. Dan pemilik apartemen tidak tahu soal mereka. Hanya pada bagian pertengahan cerita saja, ketika ketiga anak tersebut ketahuan berada di dalam apartemen, memperkenalkan diri sebagai sepupu si anak sulung.

Kembali ke soal ending film. Saya sebagai penonton dibuat membimbang bahkan sampai beberapa saat setelah film tersebut selesai. Konon, cerita tersebut bersumber pada kisah nyata. Kalau menilik kehidupan masyarakat Jepang, hal tersebut memang sukar dibantah. Dan di Indonesia kenyataan demikian dapat juga terjadi, tentu dengan bumbu yang berlainan. Soal ending film, sang Ibu meninggalkan keempat anak tersebut terlunta. Saya bisa menerima ending demikian, sudah hal biasa dalam drama manapun. Tetapi dramatisasi terjadi saat anak keempat meninggal. Setelah dikuburkan di sebuah tanah lapang dekat Bandara, si sulung berkata sambil tertunduk dengan tangis yang ditahan. Dia berkata; “pagi itu, saat saya memegang tangannya yang dingin, beku, kaku. Saya tahu itu sangat mengerikan...”.

Penonton membutuhkan ending film yang melegakan dan menyenangkan bukan karena ingin agar realitas dunia dalam film terlihat baik-baik. Tetapi ini soal kebutuhan untuk percaya. Sama seperti kenapa kita membutuhkan Tuhan dalam penjelasan Nietzsche. Kita menemukan bahwa realitas tidak sepenuhnya terdiri dari sungai firdaus, kadang ada yang menyakitkan, seolah neraka menempati dunia. Dengan realitas yang begitu, kenapa ada yang tetap mempercayai Tuhan?. Hal itu, menurut Nietzsche karena manusia membutuhkan sesuatu yang meneguhkan dirinya, tidak sekedar karena pada diri-Nya terdapat Kebenaran, tetapi karena pada diri yang Ilahi tersebut kita selama ini merawati dan mewaraskan diri. Pada Tuhan kita selama ini mempercayakan kehidupan. Dan Tuhan, kata Nietzsche telah melindungi diri kita selama ini. Dalam karya magnum opus-nya, Zarathustra, pada kisah orang gila, Nietzsche menggambarkan penjelasan itu dengan cara yang bagus. Tuhan bukan soal apakah sebagai yang Ilahi terinderai oleh objektivitas atau validitas kebenaran, tetapi karena kita sendiri sebenarnya adalah manifestasi keberadaan dari yang Kuasa tersebut.

Mengapa kita butuh ending baik-baik dan menyenangkan pada sebuah film?. Karena kita, manusia memang membutuhkannya dan karena sebab utama kita sendiri dalam realitas yang sebenarnya membutuhkan-Nya. Itukah alasan kenapa ada surga dan neraka?.

Kalau Arendt Ikut Berkomentar

Mereka adalah, kata Hannah Arendt sebagai manusia pada umumnya. Kalau kita mencari apakah yang dimaksud oleh paham liberal tentang bentuk kebebasan humanisme yang konkrit, kata Arendt, temui komunitas-komunitas yang ada di kamp Nazi, temui imigran tanpa Negara, atau manusia tanpa ikatan dengan suku apapun, dalam film ini temui keempat bersaudara tersebut. Mereka adalah, manusia pada umumnya. Sebuah komunitas yang bebas secara universal tetapi tidak secara hukum. Dalam konteks ini, Arendt hendak menjelaskan tentang paradoksnya kebebasan universal. Sebuah konsep, yang menurut Arendt tidak dapat ditemukan pada manusia.

Kita, manusia bukan bebas secara universal. Dan kita tidak dapat bebas sepenuhnya menurut definisi tersebut. Kebebasan adalah kepatuhan terhadap hal-hal yang membatasi keinsanan manusia.

Demikian komentar dua filsuf tersebut. Dalam mata yang menghadap TV biasanya komentar-komentar tidak dapat kita tahan.

Tuesday, July 29, 2014

Ada Sastra, Pasca-Pramoedya, Pasca-Hamka

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK
“Wahai, manusia
mengapakah kamu katakan
sesuatu yang kamu tidak lakukan
?” (HR Bandaharo, 1975)

“Setan takkan pernah membawa surga dengan berkendaraan kata-kata”, petikan itu saya dapatkan ketika membaca tulisan Martin Aleida yang berjudul Ada Racun dalam Lirik Puisi Mutakhir Taufik. Martin Aleida, tentu saja merujuk kepada seorang sastrawan besar Indonesia, Taufik Ismail. Kutipan yang saya letakkan pada awal tulisan itu berasal dari Hamsad Rangkuti, seorang sastrawan, pernah bekerja di Horison. Sekitar tahun 2008 saya pernah bertemu dengan Hamsad Rangkuti di gedung Balai Bahasa di kampung halaman saya, Sulawesi Utara. Waktu itu, sekolah saya, SMA Muhammadiyah Manado diundang untuk turut serta ikut workshop sastra sekolah, dan Hamsad Rangkuti datang dari Jakarta untuk memotivasi para siswa menulis.

Saat itu, di sela-sela waktu istirahat, saya bertanya kepada Hamsad Rangkuti tentang hal suatu hal yang anehnya baru saya ingat ketika membaca kutipan kata-katanya yang ditulis Martin Aleida. Saya perhatikan raut wajahnya yang terlihat letih tetapi dengan nanar mata seorang empatik. “Mengapa kita harus menulis sastra?”, tanya saya. “Bangsa Indonesia akan maju dengan siswa yang rajin membaca dan menulis”, jawab Hamsad Rangkuti, dia sebenarnya menjawab dengan panjang lebar, tetapi sayangnya hanya kalimat pendek itu yang cukup kuat menempel.

Nampaknya, dari kutipan tersebut, meskipun sudah mencoba untuk menggunakan pendekatan tafsir being ala Heidegger, terasa sulit. Akhirnya saya hanya bisa memperlakukan kutipan tersebut dengan bermain hermeneutika di batas antara Husserl dan Heidegger, atau mungkin sedikit cita rasa Ponty. Bagi saya, perkataan Hamsad Rangkuti (kutipannya) merangkul sebuah totalitas dari sastra. Perlu saya jelaskan konteksnya. Martin Aleida, dalam Ada Racun... tersebut sedang menceritakan “pertemuan”, kalau bukan asal muasal konfliknya dengan Taufik Ismail. Saya tidak akan masuk ke dalam hal-hal subtil tentang siapa sebenarnya yang memulai, itu sebuah analisis yang kalau tidak kita ikhtiarkan kepada sejarah hanya akan menghabiskan energi saja.

Taufik Ismail menolak acara bedah buku Asep Sambodja yang pada akhirnya tetap dapat dilakukan di PDS HB Jassin, oleh mejabudaya. Penolakan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Taufik melalui sebuah pesan kepada Ajib Rosidi, Husseyn Umar, Rini dan Edo, ketua dan staf Yayasan PDS HB Jassin. “...Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas” tulis Taufik Ismail. Teguran Taufik Ismail melalui sebuah pesan itu membuat Ajib Rosidi, yang pada saat itu Ketua Dewan Pembina PDS HB Jassin, mendatangi rumah Martin Aleida dan menganjurkan dengan keras untuk menghentikan rencana diskusi dan bedah buku tersebut. Tetapi seperti kita ketahui dari cerita Martin Aleida, diskusi dan bedah buku berjalan sampai selesai. Rupa-rupanya, kekhawatiran tetap ada pada penyelenggara, karena Taufik Ismail juga menjanjikan akan membawa ‘pasukan’ pembubaran diskusi dan bedah buku tersebut.

Martin Aleida tentu saja kecewa dan marah. Mengapa karya sastra disangkut-pautkan secara tidak adil dengan pecah-pecah sejarah Indonesia?. Kenyataan pahit Indonesia pada 1950-1965, dan kekerasan budaya setelah 1965 tidak dapat didudukkan dengan semestinya. Tuduhan-tuduhan miring terhadap sastra dengan aliran realisme-sosialis__untuk merangkum secara general mahzab sastra masih dapat kita rasakan hingga sekarang. Menjamurnya sastra-selangkangan (istilah Taufik Ismail) sebenarnya tidak distigmakan sama dengan realisme-sosialis. Sastra yang mewakilkan dirinya sebagai media bagi kepentingan klas tertindas harusnya ramai membanjiri pasar-pasar perbukuan. Bagaimana sudah kita lihat, tema-tema karya sastra(?) pasca-Pramoedya menumpuk pada tema-tema tentang kedalaman ontologis individualis. Teks-teks setiap sastrawan adalah anak rohani, istilah Pramoedya. Teks-teks mungkin terikat dengan ideologi penulis, tetapi itu tidak penting. Martin Aleida, menemukan ketidakadilan Taufik Ismail pada tataran itu.

Pasca-Pasca

Tema-tema sastra yang bergerak dari individualisme ke sikap egoisme terhadap realitas tanpa maksud yang jelas. Dalam hal ini, kita mempertanyakan apakah hal tersebut dapat dinamakan sastra?. Bukankah sastra adalah bentuk ekspresi yang menjadi jembatan bagi manusia?. Tetapi sastra akhirnya menjadi produk kekerasan karena memuat tentang surga-surga klas kapitalis. Sastra kita juga tampak membudak kembali karena penulisnya tidak percaya diri menggunakan nama berbau Indonesia. Bukan soal yang besar, cuma harus saya ungkapkan. Apalagi kemudian memposisiskan klas bawah sebagai orang-orang yang juga memimpi mimpi surga klas kapitalis. Dan kita dibuat untuk prestisius atas apa yang tidak kita butuhkan.

Sastra relijius pasca-Hamka juga tidak menunjukkan perbaikan yang mencerahkan. Hanya menampilkan kisah cinta kronik yang terlalu kaya dengan eksploitasi nilai-nilai profetik. Sedangkan tema-tema nir-kekerasan hanya sekedar pemuas nafsu individualisme yang sama dengan anti-realisme-sosial. Karya sastra, khususnya novel pasca-Hamka jarang yang memiliki kekuatan nilai budaya, sama seperti yang terjadi pada novel dengan aliran lain pasca-Pramoedya. Karya-karya sastra pasca-Pramoedya dan pasca-Hamka memuat kecenderungan pembentukan nilai-nilai borjuis. Konsumerisme pun juga semakin dikekalkan oleh dalih-dalih sastra liberal yang menjadi cerita lain dalam dunia kesusastraan kita.
 
Saya ingat kritik seorang teman terhadap peminat sastra. Dia berkata bahwa membaca karya sastra tidak membawa pencerahan apapun. Saya jelaskan duduk perkara dengan bertanya, “karya sastra seperti apa yang kamu maksud?”. Dia menyebut deretan sejumlah novel, pasca-Pramoedya (saya setuju bahwa deretan novel tersebut tidak banyak berguna). Saya katakan kepada dia bahwa sastra adalah bagian dari khasanah manusia. Seorang Bung Hatta saja pernah mengarang Soneta yang berjudul Beranta Indera, yang dimuat di Jong Sumatra. Bung Hatta selalu menyempatkan membaca karya-karya sastra, salah-satunya syair Heine yang dipinjamnya dari keluarga sahabat Siegfried Le Febvre, dan mengaku bahwa sastra mempengaruhi dirinya. Saya jelaskan kepadanya tentang jenis-jenis sastra.

Tampaknya, sastra kian hari, menyusul pasca-Pramoedya dan pasca-Hamka  tidak dianggap lebih daripada permainan kata-kata. Kalaupun sastra dibaca, tentu saja, karya-karya yang sebenarnya hanya cukup mengenyangkan hiburan semata. Kita tidak berharap semua orang akan membaca karya Goethe atau Gorky, tapi sastra yang baik harusnya digunakan untuk kepentingan kolektif-sosial. Sastra harus membawa inspirasi bagi kenyataan hidup yang timpang, kesenjangan sosial yang kian jadi kelaziman. Apakah kita sudah terlanjur jadi Syshipus?, yang bersabar, dan terus bersabar dengan ketimpangan hidup?. Sudah saatnya sastra jadi media perlawanan terhadap kekerasan, konsumerisme dan individualisme.

Masa Depan Gerakan/Organisasi Kepemudaan di Indonesia

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Judul: Nun Tafsir Gerakan al-Qalam
Penulis: Azaki Khoirudin
Tahun Terbit: 2014
Dimensi:xi+277 hlm; 14x20.5 cm
Penerbit: Nun Pustaka

Dentuman Fukuyama bahwa ideologi menemui ajalnya, tampaknya belum sepenuhnya dapat diyakini kecuali kita benar-benar berkiblat dengan paradigma ilmu pengetahuan Amerika yang melihat bahwa masa pasca PD II adalah masa meleburnya berbagai sekat-sekat ideologis.

Buku Nun Tafsir Gerakan al-Qalam (selanjutnya saya singkat Nun) karya Azaki Khoirudin memang tidak memuat konten ideologi sebagaimana Marx menyebut ideologi. Tetapi buku ini adalah produk reflektif. Tentu pergulatan organisasi kepemudaan di Indonesia yang menurut sebagai kalangan memasuki tahap transformasi dari social movement (SM) yang sarat perlawanan klas, menjadi new social movement (NSM) yang tidak lagi bergerak dengan manifestasi perlawanan klas. Ciri gerakan sosial yang belakangan disebut ini, adalah komposisi klas yang beragam. Mahasiswa, pelajar, pegawai negeri, pengusaha, peminat film, peminat budaya, peminat grub band,--semuanya tanpa bisa lagi dilihat sebagai klas.

Apa titik penting buku ini?. Menyusul kondisi gerakan kepemudaan yang mulai kehilangan orientasi utamanya, yang tentu saja terbawa arus NSM dengan variabel yang beragam. Kita sekarang jarang menjumpai lagi buku-buku semisal Pikiran dan Perjuangan seperti karya Sjahrir. Atau kita jadi tidak lagi bisa melihat bagaimana gerakan-gerakan kepemudaan yang me-martir-kan diri sebagai wadah bagi perubahan sosial. Soal bagaimana perubahan sosial tersebut dilakukan tentu pembicaraan lain dapat dibuka khusus ke arah tersebut. Titik letak penting buku ini akan mulai kelihatan kalau kita sedikit reflektif terhadap dunia global dan bagaimana menghadapi kenyataan bahwa lembaga-lembaga swadaya tidak lagi memainkan peranan sentral kecuali bermental kapitalis. Organisasi kepemudaan akan bermental kapitalis jika tataran supra-struktur-nya seperti ideologi atau semacam panduan gerakan dinihilkan peranannya. Kritik keras terhadap niatan ekploitatif organisasi dan lembaga-lembaga akibat menihilkan peran ideologi berujung pada ketidakberdayaan mereka membawa perubahan sosial kecuali jargon-jargon perlawanan yang sebenarnya berselimut pikiran eksploitatif. hal tersebut memang gejala pragmatisme gerakan.

Cerita-cerita yang kita dapatkan terkait dengan hal itu, dapat kita lihat di gerakan-gerakan buruh tambang minyak, yang justru memperkeruh upaya lobi antara buruh dan pemilik tambang dengan mengekslusifkan diri, atau gerakan-gerakan dengan kedok pemberdayaan tetapi sesungguhnya memuat misi eksploitatif.

Buku Nun tentu tidak hadir untuk upaya yang masih membutuh aksi panjang tersebut. Buku Nun hadir dengan aspek berbeda yang sesuai dengan konteksnya sendiri. Buku Nun ditulis secara khusus bagi pegiat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yakni organisasi otonom yang berada di bawah payung persyarikatan Muhammadiyah. IPM bergerak dengan basis massa pelajar, atau aktivis pelajar atau mahasiswa dengan usia hingga 25 tahun. Basis massa pelajar sebenarnya adalah basis strategis yang sudah banyak dibahas sejak kelahiran “angkatan baru”, dan bahkan jauh sebelumnya. Akan tetapi dengan memberikan catatan khusus ketika kebijakan orde baru menihilkan keberadaan mereka dari panggung wacana kritis. Orde Baru menundukkan mereka dengan jargon “siswa dilarang berpolitik”. Tidak ada dokumen khusus untuk tuduhan terakhir ini, akan tetapi melalui OSIS, kita melihat bagaimana filterisasi gerakan di ruang-ruang sekolah saat itu begitu gencar. IPM termasuk salah-satu organisasi yang ikut merasakan dampaknya.

Tapi zaman sudah berubah, dan banyak masalah-masalah kekinian menjelma menembus batas-batas yang pada Orde Baru dapat dilihat secara sekilas. Sekarang, tantangan IPM adalah tantangan dengan kenyataan basis pelajar yang kalau dianalisis merupakan generasi yang tidak mewarisi pengalaman-pengalaman Orde Baru. Basis Pelajar dengan demikian punya kecenderungan ahistoris terhadap fakta-fakta sejarah yang dapat dilihat pada kontestasi pemilu 2014. Selain pada tantangan IPM yang berhadapan dengan generasi ahistoris, IPM juga harus menentukan langkah strategis. Jargon gerakan keilmuan, atau istilah Azaki Khoirudin; gerakan al-Qalam, adalah juga mempertahankan ideologi Muhammadiyah ditengah kondisi yang dikatakan oleh Zygmunt Bauman sebagai zaman liquid politic. IPM sebagai ortom Muhammadiyah berada pada kondisi yang dikatakn oleh Anthony Giddens sudah bergerak dari perjuangan sosial menuju zaman perbaikan komunikasi atas masalah-masalah yang bersifat simbolis dan permukaan.

Jika demikian bagaimana buku Nun menjawab kenyataan tersebut?. Tampaknya tidak perlu dikhawatirkan karena toh, walaupun kecenderungan sosiologis demikian, kita masih memerlukan gerakan-gerakan dengan landasan ideologi, tidak terkecuali ideologi Muhammadiyah yang dalam hal ini diturunkan oleh Azaki Khoirudin dengan konteks tafsir Nun. Nada motivasi dapat kita ambil dari Slavoj Zizek yang masih melihat bahwa perjuangan ideologi dapat berjalan di zaman ketiadaan alternatif terhadap kapitalisme. Bagaimana buku akan melakukan hal tersebut? Silahkan dinikmati. Selamat membaca!!


Monday, July 21, 2014

Aku, Buku dan bangsaku

Oleh: Iqra Garda Nusantara


Aku hanyalah seonggok daging di kapal republik ini,
Dibandingkan para pemula yang mengawali kebangsaan, 
Tentu aku hanyalah bui kecil di ombak yang maha besar
Jadi aku buta tanpa sang pemula bangsaku

Tapi aku diberikan obor oleh para manusia agung itu
Sehingga kuyakini buku yang akan menjadi pelita masa depan kami
Bukan hanya aku. Kita. 
Dengan buku kita mengenal alif ba ta sejarah dan kilatannya.

Dengan buku, Kawan
Kita menyatukan bangsa yang porak

Dengan buku, Kawan
Kita pertautkan kemanusiaan yang redup dan kelam

Buku menuntun bangsa
menatap masa depannya

Kali bedog, 10 Juli 2014

Tuhan Izinkan Aku Membaca

Oleh: Iqra Garda Nusantara


Tuhan yang ilmunya tiada berbatas ruang dan waktu
Tuhan yang memancarkan penerangan batin pada yang dikehendaki
Yang mengajarkan kalam dengan pena-Nya
Aku bermohon pada kehadiratMu akan waktu

Hari ini seolah manusia bertebaran di bumiMu, bersaing mencari dunia yang silau dan mematikan ruhani,
Dan waktu tak lagi menjadi kesempatan berburu ilmu karena Ilmu tak cukup berharga dihadapan hambamu
Kekayaan segunung itulah status yang dikejar ummat
kadang-kadang sesamapun dilumat

Tuhan, waktu misterimu adalah jiwa-jiwa kami
pesta pora dunia memang melupakanmu, selalu
Tapi tuhan, dalam termangsung ku sebut namaMu

"Tuhan, izinkanlah aku membaca"

untuk mengerti apa yang sembunyi dan yang ada di atas rerimbunan buku.

Tuhan, kuketuk pintu rumahmu
agar aku beriman pada buku-bukuMu.

kali bedok, 10 Juli 2014.

Catatan De Jure; "RMS, Nasionalisme dan Komunitas Terbayang"

Oleh: Iqra Garda Nusantara

Seperti biasa di Rumah Baca Komunitas terdengar suara anak-anak yang ramai dengan masing-masing urusannya di RBK. Seolah mereka sudah merasa feel at home dan dapat berekspresi secara merdeka dengan teman-teman sebaya maupun dengan mahasiswa dan penghuni RBK lainnya. Anak-anak itu selalu ingin tahu apa yang dilakukan oleh orang orang di rumah ini. Jika ada orang baru, anak-anak selalu antusias untuk melakukan pendekatan.

Pada sore hari ini, 10 Juli 2014 teman-teman Mahasiswa mengadakan diskusi tematik dengan topik Republik Maluku Selatan dan bagaimana masa depannya. Kegiatan ini mengundang Rhenald yang merupakan mahasiswa HI UPN dan juga aktifis IKPM (Ambon) yang sangat mengenal seluk beluk gerakan RMS baik dalam maupun luar negeri. Sangat menarik ketika Rhenald memaparkan bagaimana selama ini RMS disalahartikan oleh meanstream media nasional atau oleh oknum negara. RMS sama sekali tidak dapat diartikan anti nasionalisme. Bahkan fenomena unik juga kerap muncul misalnya dia sendiri mengakui bahwa dia pendukung Prabowo walau kebanyakan aktifis dan masyarakat Ambon itu sangat serius dan berhati hati dengan isu hak asasi manusia. Artinya, kita bisa menyaksikan bahwa pola pikir itu tidak seragam tapi kelompok aktifis ini sering disalahpahami oleh publik.

"memang kalau saya ditanya lebih senang mana belanda dan Indonesia, saya jujur saya lebih senang dengan Balanda. walau ini bukan sikap semua orang", ujarnya. Dia juga menceritakan bagaiaman keturunan Ambon yang ada di Amerika dan negara lain sering mengunjungi Indonesia dan mengungkapkan kebanggaanya kepada belanda dengan segala kelebihannya. Fauzan, salah seorang peserta diskusi mengungkapkan bahwa situasi masyarakat diaspora Ambon ini mirip-mirip dengan apa yang dibayangkan oleh Benedict Anderson dalam Imgined Community bahwa "bangsa itu adalah sesuatu yang terbayang".

Peserta lain Panggih S, seorang pegiat RBK dan mahasiswa akhir UIN melihat banyak fenomena kebangsaan yang terkoyak akibat salah urus negara. Situasi lebih parah digambarkan oleh narasumber misalnya meluasnya ketimpangan di maluku terkait akses pendidikan, beasiswa, jalan, dan listrik yang sangat buruk. "kami seringkali tidak tahu ada beasiswa pemerintah untuk kuliah..dan mungkin tak pernah tahu kalau saya tidak tinggal di Yogyakarta." tentu saja ini mengundang perhatian bagi banyak kalangan bukan hanya aktifis IKPM dan pejuang RMS. walau demikian, dari banyak aktifitas teman-teman Maluku selama ini tidak serta merta meneriakkan merdeka sebagai pilihan yang harus diperjuangkan dengan berdarah-darah.

Diskusi yang dipimpin oleh Abdullah Bin Zed memang tidak menyimpulkan dari semua dinamika tetapi ada lesson learn yang sangat penting adalah membiasakan diskusi dan sharing dengan lintas komunitas yang dalam jangka panjang diharapkan mampu mempertautkan nasioanalisme anak-anak bangsa yang sering kali terkotak-kotak oleh suku dan asal-asal. "Ke depan diskusi serupa akan kita intensifkan dengan lebih banyak mengundang komunitas lainnya," tamba Abdullah Bin Zed. Diskusi isu lokal-nasional ini merupakan edisi kedua setelah bulan lalu diisi tentang kajian politik lokal Banka yang diisi oleh Agam Pozan.

Hasan Tiro, Nietzsche, dan Aceh

Oleh: Nezar Patria
Hasan Tiro dalam keadaan galau. Dia berada pada situasi batas eksistensial. Terpaku pada satu rak di toko buku di Fifth Avenue, New York, matanya tak lepas mengeja karya filsuf eksistensialis Jerman, Friedrich Nietzsche. Dia terbenam dalam aporisme Thus Spoke Zarathustra. Saat itu, September 1976. Beberapa hari lagi Hasan harus membuat keputusan penting: ke Aceh menyalakan pemberontakan bersenjata atau tetap hidup di New York sebagai pengusaha.
Dia akhirnya memilih yang pertama. Tiga bulan kemudian, dari hutan belantara Pidie, Hasan Tiro menyerukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak itu, di Aceh, bedil meletus lagi. Padahal daerah itu belum lama pulih dari pergolakan Darul Islam Daud Beureu’eh. Berbeda dari Beureu’eh yang mendekap Islam, Hasan menyodorkan gagasan baru: nasionalisme Aceh. Dia agak berhasil, setelah memperluas basis pendukungnya: kaum intelektual dan pemuda.
Adakah perjumpaannya dengan Nietzsche memantik pemberontakan itu? ”Kata-kata (Nietzsche) itu seperti petir melibas semua keraguanku,” tulisnya di catatan harian. Lalu selama tiga tahun dia bergerilya keluar masuk hutan. Terdesak operasi militer rezim Orde Baru, Hasan kabur ke luar negeri pada 1979. Dia sempat singgah di sejumlah negara, dan akhirnya menetap di Stockholm, Swedia.
Catatan masa gerilya itu diterbitkan di London pada 1981. Judulnya The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro. Membaca stensil 238 halaman itu, kita seperti menemukan eksistensialisme bukan lagi sekadar gagasan, tapi aksi politik. Dari catatan harian itu, entah soal taktik gerilya, negasi atas sejarah Indonesia, sampai kontemplasi hidup dan kematian, terajut dalam satu garis merah: upaya rekonstruksi sejarah. Dan, yang menarik, Hasan mengolah paragraf dari Nietzsche dalam tafsirnya atas momen kesejarahan Aceh.
Tampaknya, penting menjenguk kembali catatannya itu kini. Lelaki 83 tahun itu pulang ke tanah kelahirannya, sepekan setelah Idul Fitri lalu. Kali ini dia kembali tanpa letusan senjata. Aceh sudah tiga tahun damai. Hasan pun disambut seperti pahlawan pulang dari pengasingan. Anak-anak muda—mungkin belum lahir saat dia mencetuskan gerakan perlawanan itu—pekan lalu berdiri menyambutnya di sepanjang jalan. Mereka mengibarkan bendera Partai Aceh, satu partai lokal milik para bekas kombatan. Partai itu kini legal dan berhak ikut pemilu.
Di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Hasan Tiro disambut puluhan ribu orang. Dia dipanggil ”Wali” karena menabalkan dirinya penerus ”Wali Nanggroe”, atau ”penjaga negeri”; satu takhta darurat bentukan Kesultanan Aceh masa perang Belanda. Diceritakan, Wali terakhir adalah Teungku Ma’at di Tiro, anak Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, yang kita kenang sebagai pahlawan nasional itu. Ma’at tewas di Alue Bhot, Pidie, setelah bertempur dengan Belanda, 3 Desember 1911. Dia adalah paman Hasan Tiro dari garis ibu.
Dari titik inilah, perjumpaannya dengan Nietzsche lalu menjadi pergulatan penting. Sejak membaca Thus Spoke Zarathustra dan sejumlah karya Nietzsche lain, Hasan seperti mendapat kekuatan baru. Dia sadar tubuhnya mengalir darah biru pejuang. Dalam pembuka catatan hariannya, dia mengutip satu bagian dari Zarathustra , petikan pada bab ”On War and Warriors”: ... To you I do not recommend work but struggle./ To you I do not recommend peace but victory./ Let your work be a struggle./ Let your peace be a victory!
Agaknya ada dua momen penting, yang terangkum dalam catatan harian itu. Pertama, manakala Hasan menangkap apa yang disebutnya ”momen kebenaran”; menemukan kembali patriotisme Aceh yang hilang. Itu terjadi pada 1968, saat dia membolak-balik arsip The New York Times yang terbit sepanjang Mei 1873, saat Belanda menyerang Aceh. Editorial koran itu mengakui kapasitas Kesultanan Aceh yang garang bertempur dengan Belanda.
Bagi Hasan, ini satu bukti Aceh adalah ”old state”, negara tua berdaulat sejak lama. Semua itu ditulisnya dalam pamflet Atjeh Bak Mata Donya (Aceh di Mata Dunia), diterbitkan pada 1968 di New York. Dia pun menyimpulkan, energi perlawanan masa itu menyala karena kuatnya patriotisme dari generasi Aceh. ”Mereka tahu kapan harus mati terhormat,” tulisnya lagi. Dia menyesalkan generasi Aceh setelah 1945, yang menurutnya menderita ”ketaksadaran sejarah”.
Momen kedua adalah ketika dia, dengan semua bagasi masa lalunya itu, bertumbukan langsung pikiran Nietzsche di rak toko buku itu. ”Aneh sekali, selama aku belajar di kampus, mungkin aku keliru memahami Nietzsche yang sebenarnya,” tulis Hasan. Dia memang pernah mengambil program doktor di Universitas Columbia. ”Aku yakin sudah membacanya dalam begitu banyak teori dan filsafat politik. Tapi mestinya itu hasil tafsir dari orang lain,” tulisnya. Sejak ’pertemuan’ itu, Hasan mengaku ”tak pernah lepas dari Nietzsche”.
Aceh pada masa 1970-an, dengan marginalitas ekonomi politik, adalah kenyataan lain yang menajamkan semua kegelisahan seorang Hasan Tiro, cucu dari keluarga pejuang legendaris Tiro. Sejak masa kecilnya, dia merasa sebagai orang pilihan, manakala dia risih jika tangannya kerap dicium orang-orang, yang lalu memohon agar dia tak pernah lupa pada tanah kelahiran. Pada titik ini, dia sepertinya ”menemukan” dirinya dalam satu interupsi sejarah.
Maka, membaca catatan harian itu, dapat dimengerti mengapa Hasan Tiro meletakkan dirinya sebagai pusat bagi kelanjutan sejarah Aceh kontemporer. Dia merasa terpanggil memberikan tubuh dan jiwanya kepada tanah leluhurnya. Antropolog kondang James T Siegel, dalam epilog The Rope of God, karya klasik tentang pergolakan di Aceh itu, menyebut Hasan Tiro ”terasuk” tugas sejarah, yang dianggapnya sebagai takdir itu.
Tapi, dalam catatan hariannya itu, Hasan tak langsung menggelorakan nasionalisme Aceh. Dia tak bicara imagined communities seperti apa yang kelak dibentuk di Aceh. Dia memilih patriotisme lebih dulu, sebagai modal nasionalisme. Sebetulnya, ide itu pernah disinggung dalam bukunya Demokrasi untuk Indonesia (1958). Di situ, dia mengkritik Soekarno tentang nasionalisme Indonesia. Bagi dia, bukan nasionalisme itu yang paling penting, tetapi patriotisme. Rasa cinta Tanah Air akan membuat orang mau mempertahankan diri, dan ”melibatkan pengorbanan diri sendiri sebagai kewajiban moral”.
Dari sini, nyaris 20 tahun kemudian, ide ”pengorbanan diri sendiri” itu bertemu gagasan Nietzschean tentang ”the free death”. Dia mau membangkitkan Aceh sebagai entitas politik berdaulat, seperti pada masa lalu. Hasan lantas menyeret soal politik itu ke wilayah pergulatan eksistensial: makna hidup dan mati. Dia menunjukkan, hanya ”manusia bebas” dan bukan budak bagi lainnya, bisa memilih ”bagaimana harus hidup” dan ”kapan harus mati”. Tetapi, adakah retorika Nietzschean itu menjadi aneh bagi alam pikiran orang-orang Aceh?
Mungkin, sekilas tafsir itu terdengar agak janggal. Tema kebebasan memang lebih akrab bagi mereka yang besar dalam kultur Eropa, atau pendidikan Barat. Tetapi, Hasan mencoba menafsirkannya dalam konteks keacehan, terutama Islam. Baginya, Islam memberi bekal ”kehendak berkuasa” dalam menjaga dan mempertahankan hak-hak. Dia setuju dengan ujaran Nietzsche dalam Notes (1875), yang melukiskan sosok tertinggi Muslim adalah sesuatu yang melantunkan ”kesunyian gurun, raungan jauh seekor singa, dan tatapan sangar seorang pejuang”.
Hasan Tiro mengerti bahwa Islam adalah energi bagi Aceh. Tapi, dia menyalakannya dengan cara berbeda. Hasan mengartikan jihad sebagai perjuangan untuk kebebasan. Dalam satu catatan panjangnya saat memberi makna perayaan Asyura, atau hari Hasan-Husen, yang menjadi tradisi di Aceh setiap 10 Muharam, Hasan Tiro mempertegas posisinya itu.
Dikatakan, pengorbanan Imam Husin, cucu dari Rasulullah, yang dibunuh kubu Muawiyyah dan Yazid di Karbala, adalah contoh martir sejati. Husin tahu bahwa tak ada jalan selamat baginya. Dia memilih melawan mempertahankan yang benar, dan yang adil. Bagi Hasan Tiro, arti kebebasan bergantung pada ”bebas untuk mati”. Atau dalam ujaran Nietzsche, seperti dikutip Hasan Tiro: ”… To die proudly when it is no longer possible to live proudly”. Mereka yang tak bisa menentukan kapan harus mati, kata Hasan, ”akan kehilangan kebebasannya”.
Sayangnya, kita tak menemukan lagi catatan terbarunya setelah The Price of Freedom itu. Dia pulang pada usia renta, berziarah ke makam nenek moyang, dan bersalaman dengan rakyat yang dulu takzim mencium tangannya. Setelah damai, mungkin Hasan Tiro tak lagi berada pada situasi batas eksistensial. Dia, dan Aceh, agaknya sudah melampaui perbatasan itu.
Nezar Patria, Peneliti Aceh, Alumnus the London School of Economics and Political Science (LSE).

 sumber: http://nasional.kompas.com/read/2008/10/19/02124693/hasan-tiro-nietz

Sunday, July 6, 2014

Mengapa Muncul Partisipan Politik Radikal?

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa pilpres 2014 menimbulkan antusiasme yang luar biasa tinggi dari masyarakat. pendapat ini harus dilihat dengan tiga pertanyaan kritis. Pertama, kelompok masyarakat mana yang terlihat antusias tersebut. kedua, bagaimana peran media sosial terhadap peningkatan rasa antusias masyarakat terhadap isu-isu politik menjelang pilpres 2014 (penulis juga memperhatikan kaitan peningkatan antusiasme tersebut berdasarkan pada tayangan debat capres di TV). Ketiga, bagaimana peningkatan ini jika dilihat dari masa/periode tertentu, misalnya dari Januari hingga April dan Mei hingga Juni.

Penulis mengikuti sekitar 1.000 akun aktif dari 3.000 akun pertemanan penulis di facebook. Rata-rata jumlah postingan jika dihitung dari tiap akun minimal berjumlah 2 postingan sebanyak 60%, 3-5 postingan sejumlah 10%, 6-7 postingan sebanyak 25%, sisanya hanya melakukan kegiatan menjalankan akun seperti memberi apresiasi terhadap postingan, hingga komentar pro-kontra terhadap postingan. Prosentase ini tidak mewakili fluktuasi angka akun aktif tiap hari, akan tetapi mengambil jumlah rata-rata pada bulan Juni. Variabel usia akun pertemanan tersebut, yakni usia 15-20 tahun sebanyak 17%, usia 21-25 tahun sebanyak 45%, 25-30 tahun sebanyak 30%, 30 tahun ke atas sebanyak 5%, sisanya akun yang tidak mencantumkan variabel usia.

Penulis akan fokus pada postingan yang membicarakan tentang isu-isu politik terkait dengan dua kandidat presiden. Kandidat pertama, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Kandidat kedua adalah Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Penting untuk diingat bahwa isu-isu politik apa saja yang muncul menyangkut dua kandidat ini dalam postingan FB, tidak dapat dipisahkan dari klasifikasi kelompok masyarakat yang memiliki hubungan pertemanan FB dengan penulis. Maka analisis tersebut akan mengikuti pada prinsip dasar ini tentang level supra-struktur dari kelompok masyarkakat yang secara representasi diwakili oleh akun-akun FB tersebut. meskipun tentu saja sangat sulit untuk memberikan klasifikasi tersebut sesuai dengan indikator yang cermat, namun memperhatikan dan mempertimbangkannya sebagai kelompok masyarakat yang mewakili “kesadaran” tertentu yang direkonstruksi secara sosial dan budaya akan meminimalisir kemungkinan bias dalam analisis ini.

Partisipan Politik

Penulis mendefinisikan “partisipan politik” dengan merujuk pada individu yang memiliki preferensi terhadap salah-satu kandidat pilpres dan juga yang tidak memiliki preferensi tetapi ikut serta dalam membicarakan isu-isu politik yang beredari di media sosial. Partisipan politik juga tidak akan penulis batasi secara ketat dengan mengelompokkan mereka ke dalam kategori “partisipan politik aktif” (mengikuti partai atau tim sukses) atau sebagai “massa mengambang” (belum menentukan pilihan terhadap kandidat), atau sebagai “pengamat amatir” yakni yang mengamati isu-isu politik dengan memanfaatkan perspektif berdasarkan pada latar belakang akademis, profesi, dan lain sebagainya. Namun akan diperhatikan sebagai klasifikasi sementara terhadap apa yang dimaksud sebagai partisipan politik.

Isu-Isu Politik

Penulis menyadari bahwa isu-isu politik yang berkembang di media massa harus didefinisikan secara cermat dan hati-hati. Tetapi tujuan utama tulisan ini adalah untuk menunjukkan bagaimana antusiasme pengguna FB terhadap perkembangan politik di Indonesia melalui pilpres ini terjadi. Alasan utama adalah bahwa isu-isu politik ini tidak dikemas dalam bentuk yang kaku, tetapi juga memanfaatkan joke-joke politik yang cenderung sarkastik. Isu-isu politik yang dibahas secara serius melalui akun FB jumlahnya tidak menyentuh angka 25%, yang hanya terdiri dari 7% dari keseluruhan jumlah pengguna akun FB. Namun angka-angka tersebut tidak menunjukkan kualitas yang rendah. Isu-isu politik itu dibuat oleh aktifis dan akademisi-akademisi yang memiliki latar belakang sebagai pengamat politik nasional, penulis buku, aktifis nasional dan internasional, hingga timses masing-masing kandidat lingkar 1 dan lingkar 2. Dengan kompleksitas tersebut, penulis tentu harus membuat keputusan bahwa isu-isu politik yang diposting oleh semua akun FB tersebut dapat disentuh menggunakan polarisasi terhadap tema-tema dan kemudian mengklasifikasikannya ke dalam jenis pengemasan isu.
1.    Kapasitas Kepemimpinan

Kapasitas kepemimpinan menyangkut hal-hal yang dipersepsikan oleh publik sebagai kemampuan bertanggungjawab, sikap simpatik-empatik, kemampuan diplomasi, kecakapan adminstratif. Dalam beragam kosakata yang umum tersebut, kedua kandidat pilpres dianalisis, diklasifikasikan dan diinterpretasi menjadi nasionalis, relijius, komunis, demokrat, visioner, berwibawa, hingga persoalan etika kepemimpinan. Kapasitas kepemimpinan ini juga turut serta diukur melalui kemampuan kandidat capres mengelola koalisis dengan partai-partai lain.  

2.    Suku-Agama-Ras (SARA)

Isu-isu politik tentu saja menyangkut dengan upaya melekatkan masing-masing kandidat dengan latar belakang personal, yang menyangkut suku, agama dan ras. Sentimentil terhadap latar belakang suku-ras terlihat dengan munculnya kata-kata “chino”, “wong chino”. Atau “wong solo”. Persoalan agama juga menjadi hal yang ramai,  misalnya dengan perbincangan mengenai kemampuan membaca al-Qur’an, kemampuan melakukan ibadah sholat, dan sensitivitas keberagamaan.

3.    Visi-Misi

Persoalan visi-misi dibahas terkait dengan program-program yang ditawarkan kedua kandidat pilpres. Meskipun demikian, dari banyak isu-isu politik yang muncul, visi-misi merupakan tema pembicaraan yang paling rendah prosentasenya dari segi analisis ekonomi-politik, ekologi-politik, . Prosentase tinggi untuk visi-misi dibicarakan antara lain melalui terma-terma umum seperti “pendidikan gratis”, “jaminan kesehatan”, “gaji”, “perbaikan infrastruktur”.

4.    Persepsi Publik & Retorika Politik

Tema isu-isu politik yang dibahas di dalam bagian ini berkisar antara kekuatan dukungan massa terhadap dua kandidat capres. Termasuk juga seberapa banyak jumlah alat peraga kampanye yang digunakan di ruang-ruang publik. Sedangkan retorika politik masing menyangkut pembicaraan terhadap kemampuan retoris dua kandidat dalam menggunakan bahasa yang tepat di media. Joke-joke isu-isu politik juga menjadi demikian massif terkait dengan kemampuan retorika politik di ruang public oleh masing-masing kandidat.

5.    Nostalgia Figur

Nostalgia figur sangat erat kaitannya dengan pendekatan analisis behaviorisme terhadap elit yang sampai pada hari ini masih menjadi pilihan utama. penilaian ini berkaitan dengan pelekatan ciri-ciri tertentu seperti gesture, atribut-atribut personal yang secara sengaja dihubungkan dengan tokoh-tokoh politik yang memiliki massa fanatik seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jendral Soedirman.

6.    Masa depan politik Indonesia

Perbincangan mengenai masa depan politik Indonesia juga termasuk tema populer di kalangan aktifis, peneliti, dan pengamat sosial. Perbincangan ini mengenai masa depan hegemoni politik di Indonesia, termasuk siapa aktor-aktor yang akan memegang dominasi pada sektor-sektor penting dari hulu hingga hilir di Indonesia. Perbincangan demikian berasal dari banyak hal, seperti koalisi partai yang lekat dengan kepentingan kelompok tertentu yang berpotensi merugikan masyarakat.

Partisipan Politik Radikal

Partisipan politik radikal adalah objek utama mengapa tulisan ini dibuat. Penulis sudah memaparkan secara singkat mengenai definisi partisipan politik pada bagian awal tulisan ini dengan tujuan untuk membagi definisi tersebut sambil menunggu ketepatan definisi yang cukup baik bagi analisis ini. Akan tetapi tujuan utamanya adalah untuk membawa definisi tersebut ke dalam konteks peningkatan antusiasme yang cenderung radikal hingga yang menggambarkan bentuk-bentuk anarkisme verbal. Persoalan apakah antusiasme itu berkaitan dengan institusinalisasi ideologi partai yang telah mencapai tahap sosialisasi kepada masyarakat atau pendidikan politik yang sudah demikian massif terkait dengan pembangunan kesadaran terhadap demokrasi tidak akan banyak disinggung.

Partisipan politik radikal adalah individu yang terlibat aktif atau tidak di dalam struktur kelompok politik salah-satu dari dua kandidat pilpres yang menggunakan FB untuk memperbincangkan isu-isu politik. Bentuk-bentuk pengemasan isu-isu politik tersebut dapat berupa postingan status, postingan note, postingan komentar, dan postingan berbentuk video, gambar atau foto.

Apakah terdapat pertentangan ideologi dan kepentingan antara kelas menengah dan kelas intelektual kiri di dalam isu-isu dan perbincangan yang beredar di masyakarakat?. Sepertinya cukup sulit untuk mengatakan ada kebangkitan perebutan opini publik antara kelas menengah (sebagai pemilik hegemoni opini publik) dan intelektual kiri yang melihat momen pasca reformasi yang kian membuka ruang-ruang publik meluas. Isu-isu politik yang diperbincangkan dapat dilihat sebagai bagian dari perbicangan global tentang bagaimana peran kapitalis dalam negara dan bagaimana negara menciptakan kesejahteraan sosial. Maksud-maksud tertentu juga dikandung di dalam isu-isu tersebut, seperti anti-feodalisme dan anti-oligarki politik. Antusiasme partisipan politik radikal ini memang menyisakan ruang paradoks dengan keberadaan kelompok muda yang apatis terhadap  isu-isu politik. Analisis terhadap apatisme kelompok muda yang mencapai angka 60% yang tidak terlibat di dalam organisasi sosial-politik pada tahun 1991 oleh majalah Editor tentu sudah mengalami dinamisasi terkait dengan perkembangan teknologi yang membuat frasa “partisipasi politik” berubah. Ruang publik yang tidak lagi terbatas pada pertemuan-pertemuan fisik, tetapi juga bertemu secara imajiner melalui sistem simbol yang ada di media sosial harus diperhatikan semakin memperkecil signifikansi ruang pertemuan fisik menurut efektifitas sosialisasi-sosialisasi. Dengan demikian, pertemuan ruang fisik mengambil peran yang lain, yakni sebagai penguat dan tindakan afirmasi dari sosialisasi gagasan melalui media massa. Khusus untuk kasus ini, FB berperan tiga kali lebih cepat dalam hal penyebaran gagasan dan informasi daripada media massa konvensional seperti koran cetak atau TV. FB memperbesar kemungkinan gagasan-gagasan atau isu-isu politik jadi demikian variatif tanpa terhalang oleh ketersediaan akses seperti halnya media massa konvensional. Ketersediaan akses FB yang demikian mudah membuka ruang pendapat terhadap isu-isu politik dalam konteks individu tapi berkekuatan terhadap publik. Tentu saja, resistensi dan apresiasi terhadap postingan-postingan di FB membuat partisipan politik semakin menjadi semakin massif, walaupun ekses dan tantangan utamanya adalah soal anarkisme verbal yang tidak pernah selesai.

Salah-satu hal yang membuat penulis melekatkan term “radikal” terhadap frasa “partisipan politik” adalah justru bersumber dari kecenderungan anarkisme verbal. Partisipan politik radikal dengan demikian justru menjadi istimewa disebabkan oleh anarkisme verbal. Partisipan politik radikal itu juga muncul dengan postingan yang secara afirmatif berisi kecenderungan persuasif terhadap salah-satu calon presiden. Partisipan politik radikal membuat isu-isu politik menjadi sangat sederhana melalui gambar-gambar joke, dan membuatnya menjadi jenis gambar propaganda yang populer. Partisipan politik radikal juga memiliki kemampuan asosiatif terhadap berbagai macam perbincangan media menjadi berkaitan secara langsung dengan perkembangan pilpres. Bahan-bahan konsumsi publik juga dengan otomatis dapat diasosikan dengan perkembangan pilpres.

Kata “kemunculan” yang digunakan penulis sebagai proses membendakan kata dari “muncul”, menunjukkan sebuah proses dari “ketiadaan” menjadi “ada”. Apakah dengan demikian, partisipan politik radikal mendapatkan eksistensi dari pilpres 2014?. Nampaknya, dari jumlah, peningkatan partisipan politik radikal mengikuti peningkatan jumlah pemilih sejak tahun 1999. Setiap pilpres dari tahun 1999, 2004 dan 2009 mengalami peningkatan kuantitatif. Pada tahun 2009, daftar pemilih berada pada angka 170.022.239. selain karena konstetasi politik tahun 2009 yang membuka ruang lebih luas bagi partisipan dari berbagai elemen masyarakat (misalnya individu dengan stigmatisasi PKI). Maka kata “kemunculan” tidak berarti spontanitas proses, tetapi lebih kepada keterbukaan kesempatan politik yang kian membaik dari penyelenggaran pemilu di Indonesia. Dengan demikian, keterbukaan kesempatan politik ini juga dapat diinterpretasikan sebagai keterbukaan kesempatan berpendapat politik bagi masyarakat. keberhasilan reformasi yang membuka kebebasan berpendapat di ruang publik akhirnya menunjukkan akumulasi keberhasilannya yang tidak hanya dinikmati oleh beberapa pihak seperti pengamat-akademisi atau jurnalis, tetapi juga masyarakat dari elemen apapun untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

REFERENSI
Afan Gaffar, Javanese Voters; a Case Study of Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta: UGM Press, 1992.
Chris Verdiansyah,  Politik Kota dan Hak Warga Kota, Jakarta: Kompas, 2006
Edward Aspinall, Indonesia on the Knife’s Edge, http://inside.org.au/indonesia-on-the-knifes-edge/ (akses 1 Juli 2014)
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Jakarta: Granit, 2004
Marcus Mietzner, Money, Power and Ideology; Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia, Singapore: NUS Press, 2013
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996
Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: JIP UGM, 2009

Thursday, July 3, 2014

Memanusiakan Gerakan Literasi

Oleh: Iqra Garda Nusantara

Usia gerakan literasi dalam Rumah baca Komunitas hampir tiga tahun dan dari perjalanan ini ditemukan potongan-potongan sejarah yang dapat dijadikan amunisi untuk melakukan perubahan-perubahan positif di masa kini dan masa yang akan datang. Perubahan adalah hak dan perubahan ini seharusnya dikehendaki oleh para pegiatnya bukan oleh kekuatan luar sehingga seringpula kita akan terjebak pada arti sebuah penghargaan". Gerakan kecil, kuat, dari dalam adalah spirit yang masih sangat kuat dipegang erat sebagai bentuk penolakan atas skema pembangunan manusia yang dipaksakan oleh negara.
Banyak sekali gerakan-gerakan masyarakat justru mengalami negaranisasi tidak hanya pada zaman Orde Baru yang kuat dan 'keras' terhadap eksistensi komunitas kritis. Pasca Orde baru juga masih diperlihatkan bagaimana masyarakat ingin menjadi bagian dari karakteristis negara yang 'wah', dominan, superior, narsis, dan terpenting adalah mendapatkan akses finansial untuk membiayai dan menggadaikan idealismenya. Tendensi negeransiasi ini telah kita rasakan dampak negatifnya sampai ke tulang rusuk masyarakat entah sampai kapan akan berakhirnya rasa sakit itu. Pain killer itu juga kadang jalan frustasi yang ditempu.

RBK adalah identitas anak muda dan para pembelajar otonom yang hendak memperjuangkan mimpi-mimpi yang dimiliki masing-masing dengan bergabung ke dalam komunitas untuk saling memberikan kekuatan dan apresiasi sehingga perubahan yang diharapkan itu lebih mudah dan lebih awal menjadi kenyataan. identitas yang terbayang adalah keberdayaan komunitas yang dapat mengadvokasi hak-hak sipil politik dan juga mampu menggerakkan perubahan positif yang dikehendaki masyarakat. Masyarakat adalah kita dan kita adalah masyarakat merupakan situasi yang abstrak kita gambarkan namun perubahan dari dalam itulah kata kuncinya sehingga tidak mengalami bias kegagalan akibat faktor luar.

Bagaimana gerakan literasi (melek wacana) ini mencirikan dirinya sebagai manusiawi? RBK adalah rumahnya manusia. Ini adalah spirit memanusiakan manusia yang hendak dibangun bersama sebagai kesadaran baru di zaman yang seringkali 'menghina kemanusiaan' dan 'akal sehat'--di mana kita lihat bagaimana buruknya politik perkantoran, kerasnya persaingan kuasa di desa, di organisasi, praktek tidak demokratis dalam lembaga demokrasi dan jutaan list paradoks masyarakat lainnya.


Spirit memanusiakan gerakan literasi ini setidaknya tercermin dalam praktek keseharian antara lain (1) inklusifisme yaitu para pegiat sangat terbuka dan open minded untuk menerima siapapun yang bergabung dan akan mengambil manfaat dari komunitas ini. Prinsip yang sangat populer adalah bahwa semua orang adalah guru dan semua tempat adalah madrasah pembelajaran; (2) apresiatif yang menjadi ciri khas dari komunitas RBK ini yaitu pola relasi manusia yang saling menghargai dan menghormati keputusan dan capaian-capaian yang telah dimiliki. Dalam bekerja dalam tim, kontribusi tidak diketegorikan besar kecil, dan sedang tetapi setiap keterlibatan adalah jiwa-jiwa yang menghidupi, memberi nafas pada aktifitas bersam. Terakhir, (3) adalah 'anti-kapitalisme' yang ditunjukkan pada aspek-aspek kehidupan sosial yang mengedepankan 'nilai interaksi' yang besifat kualitatif dari pada berfikir "mendapatkan keuntungan apa dari relasi". Apa yang dimaksudkan disini dengan anti kapitalisme adalah menolak model relasi timpang antar sesama manusia yang dijebak oleh pemikiran kapitalis. Kapitalisme itu merusak dan menjadi anti tesis dari eksadaran hakiki para pegiat untuk saling berderma, berani berkorban, berani menjadi Gandi, dan tidak mudah menggadaikan kemanusiaan hanya gara-gara materi yang tak pernah abadi. Bagi para pegiat literasi, membaca adalah bekerja untuk memberadabkan diri dan "menulis adalah bekerja untuk keabadaian." Selamat malam, Buku.

Kalibedog, 25 Juni 2014.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK