Oleh Lutfi Zanwar Kurniawan
Lama rasanya tak membaca esai-esai renyah Emha Ainun Nadjib. Esai yang kerap menyajikan peristiwa harian yang luput dari tangkapan. Dan Emha berhasil memotretnya, menuliskannya dengan gaya yang terkadang jenaka, di lain waktu liris kontemplatif. Bacalah kumpulan esainya dalam buku Markesot Bertutur, di sana akan kita temukan campuran gaya itu.
Satu hal yang kerap saya temukan ketika membaca esai-esainya, selain gaya yang saya sebut di atas. Emha adalah esais yang mampu menangkap kemudian menampilkan realitas dalam tulisannya di luar kerangka rutinitas. Realitas yang ia tampilkan hampir selalu realitas dengan multi wajah, sehingga melahirkan beragam pemahaman dan pemaknaan. Realitas olahraga tinju misalnya. Melalui baku pukul dua manusia di atas ring Emha mampu memberi makna dan mengaitkannya dengan penindasan dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang diterima rakyat kecil.
Dunia tinju adalah dunia yang penuh kontroversi. Jika ada petinju sakaratul maut atau bahkan meninggal di atas ring akibat terkena hantaman lawan. Segera saja muncul di berbagai media analisis pakar dan pengamat dunia pertinjuan. Mereka berdebat, berpolemik, yang tak setuju tinju mengatakan bahwa olahraga ini tak manusiawi, menganggap manusia layaknya hewan yang diadu dijadikan tontonan. Yang setuju mengatakan tak ada yang salah dengan tinju, toh para petinju sudah mengerti konsekuensi yang mereka hadapi apa. Mereka jiga dibayar untuk itu, dan ada peraturan ya g ketat di dalam olahraga ini. Sakaratul maut atau kematian petinju adalah insiden bagi mereka yang setuju.
Lalu sebaiknya bagaimana sikap kita terhadap tinju? Kita semua terseret ke dalam perdebatan abadi itu tanpa pernah tahu kapan pernah selesai. Keterseretan kita, kesulitan kita menemukan ketepatan-ketepatan dalam mengambil sikap dikarenakan kita memandangnya sebagai pengamat dari jarak yang terlampau jauh. Itupun hanya dari media, dari koran, dari tivi tidak ikut bertungkus lumus, menceburkan diri, mengalami sendiri realitasnya.
Emha menceritakan suatu kali pernah menjadi ofisial darurat seorang petinju kelas ayam sayur. Petinju partai tambahan empat ronde yang setiap ronde petinju akan dihonori sebesar sepuluh ribu rupiah. Kalau petinju ndlosor di ronde pertama, ya sepuluh ribu saja perolehannya. Petinju kelas ayam sayur itu menang. Tetapi kemenangan itu membuat Emha menangis. Sebab, lawannya juga seorang suami miskin dengan istri dan dua anaknya yang menunggu di rumah. Tentunya tindakan yang ideal adalah memberinya pekerjaan di luar tinju. Akan goblok dan sadis kalau kita mengatakan kepadanya bahwa tinju itu biadab, memukul orang itu haram.
Karena kita selama ini mengetahui realitas itu dari koran, tivi yang pasti telah melalui proses pembingkaian. Sehingga kita tak pernah benar-benar tahu realitas yang lebih utuh seperti apa. Kita tidak akan pernah mengetahui mayoritas petinju yang nasibnya sekedar untuk pancikan (batu pijakan) para petinju top. Demi menghidupi keluarga mereka, anak dan istri yang menunggu di rumah.
Bertinju di ring masih lumayan moralnya. Mereka saling pukul dan dipukul karena suatu akad yang telah disepakati bersama. Ada yang "bertinju" lebih kejam dari itu, yakni mekanisme orang ditinju, dipukul, dan disakiti dalam berbagai bidang tanpa orang itu rela disakiti dan tak memiliki "kewajiban" apapun disakiti. Mereka yang disakiti juga tidak dilengkapi oleh "peralatan" atau instrumen dan "jurus-jurus" untuk melawan balik. Kecuali dengan protes.
Showing posts with label essai. Show all posts
Showing posts with label essai. Show all posts
Monday, June 13, 2016
Monday, November 30, 2015
Komunitas sebagai Rumah Budaya Kreatif: kesan pegiat
David Efendi
Salah satu kesan dalam diri saya adalah bahwa RBK yang berisi sekumpulan anak muda ini adalah rumah budaya kreatif. Di tempat ini, seolah kreatifitas tak dibatasi dan didorong berkembang sedemikian adanya melalui praktik apresiatif. Setidaknya ini kesan yang hari ini semakin menguat menjalar.
Unsur kreatifitas dalam sebuah komunitas sangatlah penting sebagai energi pembaharuan dan energi terbarukan untuk dinamika dan nafas komunitas. Tanpa kreatifitas , pergerakan dan misi akan stagnan atau akan mengalami APA yang disebut dengan involusi.
Dalam tulisan INI akan kita bincang beberapa kreatifitas yang diperlukan untuk mendukung daya tahan suatu komunitas yaitu meluputi kreatifitas berfikir, kreatifitas berkarya Cipta, Dan kreatifitas dalam tindakan. Ketiga jenis kreatifitas ini coba kita obrolkan.
Kreatifitas berfikir
Kreatifitas pemikiran (creativity of thought) dapat dilihat bagaimana seseorang dapat menjelaskan hal hal rumit menjadi sederhana. Dalam kalimat lain, dapat mencari jalan keluar ketika deadlock atau jalan buntu. Kelihaian berfikir out of box merupakan salah satu kekuatan kreatifitas Jenis INI. Tipe inilah kira kira yang menyumbang populasi komunitas dengan kegiatan "anti mainstream".
Sebagai contoh, ketika banyak orang berfikir bahWa transformasi sosial hanya bisa terjadi karena revolusi Besar melibatkan kekuatan konfrontasi seseorang berfikir Hal Hal kecil yang dirawat dengan kekuatan ketahanan akan mengarahkah pada perubahan sosial atau kebaruan. Pemikiran InI yang memungkinkan APA yang dianggap Tak pernah mungkin. Ajaran gerakan tanpa kekerasan yang dipraktikkan mahatma Gandhi adalah dari buah pikiran kreatif.
Dalam kehidupan RBK juga dapat diambil contoh. Ketika banyak orang menganggap jiwa kerelawanan memudar, RBK justru menyemai kehidupan ini dengan sealamaiah mungkin untuk mendorong amal baik individu dalam komunitas. Dari pemikiran sehat terciptalah komunitas yang berdaulat.
Kreatifitas karya Cipta
Komunitas sangat perlu karya karya kreatif untuk menggembirakan aktifitas pikiran sebagai energi terbarukan. Kreatifitas dalam desain visual misalnya sangat membantu dinamika Komunitas--memberikan kesegaran tersendiri. Laman socme dan website makin inspiratif. Kreatifitas lainnya bisa dalam seni dekorasi, panggung,poster, desain media tanam,Dan masih banyak lagI. Daya visual INI perlu karena Zaman INI sedang menghargai kecanggihan visual. Selembar Poster yang disebar di socmed dapat membuat penguasa geram marah Dan jatuh akal sehatnya lalu biasanya dengan mudah tumbang.
Peran kreatifitas karya cipta ini juga yang punya daya magnetik pegiat baru dan volunter serta masyarakat luas melibatkan dirinya baik dengan sembunyi maupun terang terangan--berbuat kebaikan secara individual maupun keloktif. Beberapa fakta menunjukkan ini benar benar terjadi. Seorang relawan bergabung di komunitas karena tertarik poster, ada juga tertarik karena isi website dan tulisan2 di laman facebook. Ada juga karena google bisa temukan RBK.
Kreatifitas tindakan
Banyak perubahan digerakkab oleh manusia jumlahnya sedikit dengan kepemilikan Tiga Kreatifitas INI. Ahmad Dahlan Salah satu contohnya, disebut sebagaI man of action karena tindakannya melampau wacana yang dipikirkan atau diucapkannya. Gandhi dgn ahimsa, nelson Mandel anti aparthaida, Tirto Adi Suryo dengan persnya, Malala dgn keberaniannya, Dan masih banyak lagI kisah kisah "revolusi semut" lainnya.
Dapat pula kita sediakan contoh langka kecil RBK yang dalam batas tertentu dianggap inspiratif (komentar di FB dan Twitter) dan beberapa testimoni. Ketika perpustakaan "formal" dianggap terlalu birokratis dan administratif (tunjukin ktp dan ktm, dll) RBK membuka 24 jam markas dan juga lapak perpustakaan jalanan sejak 2014 bulan juni lalu dengan mantra: pinjam apa saja balikan kapan saja tanpa syarat. Pegiat RBK tak mengutuk perpustakaan yang tutup akhir pekan dan banyak syarat administratif. Ini yang disebut dengan komitmen praktik apresiatif: lebih baik menyalakan lilin dari pada terus menerus mengutuk kegelapan.
Dengan kejujuran yang terus diupayakan, RBK sebagai sebuah Komunitas dengan kekuatan apresiatif dalam wadah egalitarian sangatlah memungkinkan untuk menyemai ketiga kekuatan kreatif tersebut. Salah satu tantangan ke depan adalah bagaimana pegiatnya merawat, memperbesar Kreatifitas, memperkuat Daya tahannya. Kemampuan InI juga barangkali yang terus menguji banyak Komunitas inklusif di dunia apakah tunduk terkapar dalam pragmatisme atau Bangkit berdedikasi dalam memperjuangkan nilai nilai kemuliaan.
Selamat pagi semua. Selamat sambut senin Berkah. Bismillah.
Monday, November 2, 2015
Inconvenient Truth
Iqra Garda Nusantara
Judul ini serius sebagai terma besar yang sedang dibicarakan banyak orang di berbagai forum internasional dan regional. Judul itu mengilustrasikan kebenaran yang tak diinginkan atau fakta yang tak menyenangkan. Tentang apa? Tentang merosotnya kenyamanan planet bumi sebagai tempat hidup 7 miliar manusia. Bencana ekologis mengepung manusia dari segala penjuru mata angin.
Inconvenient truth itu adalah tragedy of the common atau kebenaran yang nyata tentang tragedi semesta raya. Karena tragedi lebih besar dari kekuatan manusia maka fakta ini mencengangkan bagi manusia karena merasa nothing to do untuk menghadang kerusakan. Manusia kebanyakan hanya pasrah: siap qiamat sejak tahun 2012.
Tak hanya di darat. Di laut, di udara, di air tanah, di hutan, di kota, di desa dan di kepala miliaran manusia. Bumi yang kecil ini sedang menghadapi catastrope maha dahsyat. Saya tak perlu menggunakan terma global warming atau climate change tapibisa disaksikan setiap hari alam memperlihatkan superioritasnya. Sering kali manusia dibuat tak berdaya (powerless). Tak mampu melalukan apa apa selain menunggu giliran punah.
Pagi tadi saya berkesempatan mndengar pidato yang sangat berisi dari Dr Surin Pitsuwan, mantan sekjend Asean. Dia jebolan harvard university. Ia merspon anomali ekologis akhir akhir ini yang mengentakkan kesadaran insani di banyak bagian bumi. Termasuk pembakaran hutan terbesar sepanjang zaman di Indonesia bulan pktober ini.
Ada empat point penting yang saya catat dalam kesempatan baik tadi. Pertama, fakta tak terelakkan tentang degradasi lingkungan hidup. Kenyataan bahwa banyak situasi yang menjadikan persoalan ekologis terjadi sebagai dampak dari perilaku manusia. ratusan juta tahun lalu, ada fenomena bencana alam yang murni fenomena alam yang menyebabkan kepunahan makluk hidup. Manusia belum ada di sana. Jadi, pasti bukan disebabkan tangan manusia.
Kedua, keserakahan rezim pertumbuhan (economy growth paradigm). Kenyataannya, orientasi terhadap pertumbuhan ekonomi menjadikan banyak negara khususnya di Asia justru collaps seperti yang terjadi di negara negara Asean pada tahun 1997. Doktrin neolib dan resep IMF itu tak lain tak bukan adalah perusak kedaulatan ekonomi atau meminjam bahasa Parkinson, "economy hit man." Banyak pula yang mengamini bahwa pertumbuhan tak setara dengan kesejahteraan dan kebahagiaan. Sementara kerusakan telah diciptakannya by design. Hal yang seringkali dimarginalisasi oleh rezim pertumbuhan adalah kebebasan sipil yang menurut Amartya Sen adalah unsur sangat penting dalam pembangunan.
Kenapa perlu kebebasan? Dengan kebebasan seseorang dapat menjaga haknya, memaksimalkah daya kreatifnya, memberdayakan potensinya, dan memperjuangkan kehendaknya.
Ketiga, filsafat ekonomi berkecukupan (Sufficient Economy philosophy). Istilah ini merupakan respon Kebudayaan Thailand untuk mengembalikan kekuatan bangsa pasca hentakan krisis moneter yang menerjunkan kurs Baath atas US Dollar. Di Indonesia ekonomi berkecukupan ini senada dengan filosofi jawa yaitu "cukup" sebagai antidote dari hasrat menumpuk kapital. Dalam hal ini juga sesuai dengan nilai nilai koperasi atau ekonomi gotong royong.
Terakhir, kontribusi proporsional untuk melambatkan roda kepunahan penduduk bumi. Masih banyak yang bisa dilakukan oleh manusia untuk memproteksi alam sesuai dengan kemampuan masing2 mulai dari hal kecil. misalnya, mengurangi menebar karbondioksida, mendaur ulang, reuse apa saja sebisa mungkin. Bagi pengambil kebijakan juga bisa menciptakan kebijakan yang pro-hijau, dan seterusnya. Inilah sebenarnya merupakan bagian dari pelaksanaan 2030 agenda PBB untuk sustainable development oleh siapa saja di mana saja di planet bumi.
Untuk mengakhiri tulisan ini saya berkeyakinan, 7 miliar manusia adalah beban bagi bumi secara faktual. Jika ada 1% saja manusia rakus maka bumi tak akan mampu bertahan tanpa kesadaran dan aksi 99% penghuni bumi untuk mencegah dan merawat bumi. Fondasi filosofi manusia yang kuat sebagai penjaga bumi bukan penguasa bumi sangatlah perlu sehingga tak ada lagi situasi negara maju menjadi serigala bagi negara miskin atau berkembang. Tak ada lagi perdagangan eksploitatif yang merusak keseimbangan ekologi, kesetiaan sosial, dan kebudayaan. Manusia milik bumi, bukan bumi milik manusia. Ini salah satu mindset yang perlu diinternalisasikan pada sikap dan perilaku semua anak manusia. Demikian sarapan pagi ini disajikan. Semoga manfaat. Selamat pagi. Syakir IP Umy Lutfi Zanwar Kurniawan Yoga MascuOktaviani zedAbdullah Zed Munabari lisa
Tuesday, October 20, 2015
Nyanyi Sunyi 50 Tahun Pasca 1965
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Terlepas dari kontroversialnya data yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa G-30-S, suatu urgensi lain mengemuka. Pasca runtuhnya rezim orde baru, hal apa yang seharusnya kembali dimaknai oleh rakyat Indonesia?. Hal itu yang mendorong saya dan kawan-kawan di Rumah Baca Komunitas untuk membicarakan tentang Gerakan 30 September sebagai dalih pembunuhan massal. Salah-satu alasan utama mengapa pembicaraan mengenai pembunuhan massal tidak dapat disepelekan ini berkaitan dengan proses rekonstruksi identitas kebangsaan. Meskipun begitu, suatu hal yang seringkali menguras tenaga adalah soal apakah dengan membahas pembunuhan massal 1965 seseorang termasuk dalam kategori Pro-PKI atau Anti-PKI (John Roosa, 2008).
Sebelum memulai pembicaraan yang reflektif, ada baiknya diungkapkan beberapa alasan mendasar mengapa penting untuk membahas peristiwa G-30-S. Alasan pertama, G-30-S bukan satu-satunya sejarah pemberontakan di Indonesia. Konteks historis mengenai perpolitikan di Indonesia menyatakan bahwa G-30-S bukan suatu peristiwa politik tunggal. Alasan kedua, ketika membahas mengenai G-30-S tidak serta merta menunjukkan posisi politis dan ideologis. Kajian yang melatarbelakang G-30-S digerakkan oleh sebuah pencarian identitas bangsa. Persis pada momen ini, kajian yang jujur terhadap G-30-S, meskipun tidak merupakan satu-satunya topik, tetapi menjadi salah-satu tangga penting untuk merekonstruksi identitas baru. Alasan ketiga, secara umum, model otoritarian yang laten dimiliki oleh PKI tidak dapat diterima menurut pertimbangan rasional, tetapi itu tidak serta menjadi dalih untuk membenarkan proses pembunuhan massal. Alasan keempat, generasi baru Indonesia, yang telah tercerabut dari sejarah bangsanya sendiri, penting untuk mengetahui tentang kebenaran tak tunggal dari informasi historis mengenai G-30-S.
Alasan kelima, sebagai sesuatu yang tidak kurang penting adalah mengetahui motif ekonomi politik di balik peristiwa pembunuhan massal. Dalih kudeta dan peristiwa misterius di balik kematian Dewan Jenderal apakah dapat diterima sembari kontroversi terhadap data baik di persidangan Mahmilub tahun 1970an atau dokumen sejarah Indonesia tidak dapat dijelaskan?. Lima alasan ini tidak berkaitan sama sekali dengan sikap politik atau ideologis untuk Pro-PKI atau Anti-PKI. Tetapi sebagai cara generasi baru untuk berdialog dengan sejarah bangsanya sendiri. Tentu saja, perkembangan diskursus, dan transformasi sosial tertentu telah menciptakan suatu ruang dialektika yang berbeda.
Menyanyi Sunyi Kembali?
Harapan bagi bangsa yang jujur dengan sejarahnya sendiri adalah kemampuannya dalam menciptakan kemungkinan terbaik bagi kemanusiaan. Pasca pembungkaman terhadap narasi sejarah misalnya diikuti oleh kontrol politik terhadap ruang dialektika, seperti pelarangan penerbitan buku Marxisme yang tetap bertahan hingga keruntuhan orde baru. Kematian petani yang mempertahankan tanahnya, perlakuan militer yang melangkahi batas kemanusiaan serta reproduksi kebencian terhadap kelompok marjinal apakah sebuah bentuk orkestra sunyi yang hendak dipertunjukkan kembali?. Terdapat lima topik yang berkembang selama kami berdiskusi di RBK dalam rangka merefleksikan pertanyaan itu.
Pertama, soal historiografi Indonesia. Topik diskusi yang pertama ini lebih banyak berkaitan dengan konteks bagaimana literatur sejarah Indonesia versi rezim membentuk kesadaran tertentu mengenai apa yang sebenarnya disebut sebagai “masyarakat baik” dan “masyarakat buruk”. Separasi antara dua kategori masyarakat ini banyak berasal dari bagaimana narasi sejarah membentuk kesadaran seorang warga negara dalam proses peleburan identitas diri dengan narasi sejarah. Apa yang terjadi hari ini merefleksikan bagaimana masyarakat memaknai sejarah yang melatarbelakangi proses kehidupan masyarakat lampau.
Kedua, soal menggali kembali nilai-nilai dan identitas bangsa. Topik ini sebenarnya banyak berkembang dari tesis besar Max Lane bahwa proses pembentukan identitas bangsa Indonesia belum selesai (Max Lane, 2014). Proses pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa tidak dimonopoli oleh satu pihak. Proses pembentukan Indonesia dilakukan oleh aksi massa yang dilatarbelakangi oleh sikap antikolonialisme. Partisipasi rakyat di dalam proses pembentukan bangsa merupakan informasi sejarah yang tidak dapat diabaikan.
Ketiga, mempertanyakan secara kritis proses pembentukan identitas bangsa yang berubah sejak tahun 1965. Menurut Roosa, salah-satu hal penting yang tidak dapat dilupakan dari peristwa 1965 adalah pergeseran identitas bangsa. Roosa menyatakan sebelum tahun 1965, identitas bangsa Indonesia banyak dibentuk oleh sikap antikolonialisme. Bersamaan dengan itu, sikap anti neoliberalisme ekonomi menguat, dan pergerakan mendukung land reform di Indonesia berjalan massif. Peristiwa 1965, secara taktis dan misterius menjadi jalan untuk melenyapkan sikap anti neoliberalisme dalam kebijakan ekonomi serta proses gerakan land reform.
Keempat, mendorong ekonomi politik berkelanjutan sebagai tanggungjawab historis. Lenyapnya sikap anti neoliberalisme dalam diskursus ekonomi politik di Indonesia membawa dampak buruk tidak saja bagi perubahan struktur sosial. Melainkan juga membawa dampak langsung terhadap kerusakan alam. Industrialisasi yang telah merusak kualitas ekologis beberapa tempat Indonesia telah menjadi jembatan untuk mengawali eksploitasi kekayaan ekologis Indonesia di Papua. Hal ini disebabkan oleh sifat eksploitatif industri yang memandang alam sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan manusia ekonomi.
Kelima, mencari model perdamaian partisipatoris. Rekonsiliasi adalah simbol dari kejujuran dalam menimbang masa depan bangsa. Rekonsiliasi merupakan salah-satu tangga untuk membuka kesempatan berbagai orang untuk mendeskripsikan dirinya secara bebas, adil, dan merdeka. Meskipun bukan satu-satunya persoalan kekerasan yang harus segera ditangani, rekonsiliasi terhadap korban 1965 akan mengubah cara pandang Indonesia terhadap masa depannya. Tentu saja ini tidak berurusan dengan soal “mari lupakan masa lalu, kita menatap masa depan saja”. Melainkan berurusan dengan, kenyataan bahwa proses kekerasan yang terjadi hari ini direproduksi terus-menerus melalui suatu kebencian terhadap label “komunis” atau “pemberontak”. Apakah dengan mengatakan “lupakan kekhilafan rezim masa lalu” dengan serta merta menutup mata bagaimana rakyat kecil menjadi tersangka atas proses penuntutan haknya sendiri?.
*Tulisan ini merupakan rangkuman Diskusi Jum’at Sore (DeJure) Rumah Baca Komunitas tanggal 2 Oktober 2015.
Orang-Orang mercusuar
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah, Pegiat RBK
Seperti berteriak di atas mercusuar atau di sudut pasar. Di temani beberapa merpati yang melembut di cakrawala, atau di temani beberapa pendengar setia. Sudamardji menengok di sekelilingnya. Beberapa temannya sudah merantau ke kota. Sudarmadji tahu, melebihi segala yang diketahui oleh perangkat desa di tempatnya membesar—dan mungkin sebentar lagi dia akan dipaksa membusuk. Mereka pergi bukan karena ingin menguji kerasnya kota, melainkan kerasnya tanah di desa tak sanggup untuk air setetes. Sekeras-kerasnya kota, tanah desa yang membatu adalah kepedihan.
Sudarmadji tak bisa lagi berharap bak seorang pengkhotbah di mercusuar. Kawan-kawannya, si Ismail, Yono, dan Faisal berikrar untuk turun gunung. “Jangan kau cegah tekat bulat kami Dji. Pak Yos sudah ikut rapat bareng orang-orang kota itu. Sebentar lagi desa kita cuma sejarah, yang penting jangan lupa untuk cerita ke anak-cucu kita.” Si Faisal menjelaskan.
Matahari sejak pagi dan siang merambat sangat cepat. Panasnya membakar kulit cokelat Sudarmadji. Di antara tanah kering dia mencoba peruntungan. Menanam jagung dan Ubi. Ikhtiar yang sama dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Bantuan air dari pemerintah daerah tiga bulan lalu tak memecahkan persoalan. Itu hanya menghambat tanah meretak di desanya. Ketakutan meracuni pikirannya. Sudarmadji sebenarnya memiliki seorang sahabat bernama Kartubi. Pemuda itu, seorang lulusan SD yang dikenalnya sejak dulu berkoar-koar kepada kepada dukuh untuk menghalangi sebuah pabrik di dekat muara sungai desa.
Kartubi, seorang pemuda pendiam, tak banyak bicara. Bahkan dalam teriakannya pun hanya sayup dan kerongkongan tipis. Kepada para pemuda, termasuk Sudarmadji, Kartubi berulangkali berkata “kalau ada pabrik dekat sungai, nanti airnya jadi kotor”. Sudarmadji mengakui kesimpulan Kartubi saat itu, akan tetapi sembari mengajukan satu pertanyaan. “Ya, tapi mo gimana lagi Kar. Kamu ngak liat di TV kalo menurut seorang peneliti bahaya limbah pabrik itu ngak seberapa?”. Sudarmadji ingat betul saat itu Kartubi terdiam. Sorot matanya tajam menatap sawah di depan jalan. Dia tak mampu berkata. Mungkin saja dia merasa tak mampu menjawab perkataan si peneliti itu. Batin Sudarmadji. Toh, nyali Kartubi sudah menciut saat dirinya dituduh memberontak, seorang komunis hanya karena bicara soal sungai yang akan kotor.
Seolah-olah perangai baik Kartubi tak berkuasa di atas semua tuduhan itu. Seketika ada kelupaan kepada sang muadzin sekaligus imam sholat shubuh itu. Sudarmadji mengenang Kartubi sekali lagi. Ingatannya juga mengenang sahabatnya yang merantau ke kota. Dia merasa tengah berteriak di atas mercusuar. Hanya ditemani beberapa orang yang sekarang pergi. Dan burung yang tak mungkin ada. Serta air yang lupa pada warna beningnya. Kami seperti lelahnya teriakan orang-orang mercusuar.
Mereka Yang Berkesadaran; “Orang Lain adalah Neraka”
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Bung Hatta waktu itu sudah bilang baik-baik. “Jepang dengan perantaraan Marsekal Terauchi di Dalat telah mengakui kemerdekaan Indonesia yang pelaksanaannya akan diselenggarakan oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia besok pagi jam 10 di Pejambon”. Para pemuda yang terdiri dari Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto tetap kekeuh. “Di saat revolusi, kami rupanya tidak dapat membawa Bung ikut serta. Bung tidak revolusioner” mereka berkata dengan kecewa. Dua pemuda itu berharap Bung Hatta dan Soekarno menyegerakan deklarasi kemerdekaan.
Cerita tentang dua pemuda itu mengingatkan saya tentang apa yang kita temukan hari ini dalam proses transformasi sosial. Pertama, soal apa yang disebut sebagai “revolusioner” dan apa yang bukan. Kedua, adalah soal bagaimana di saat-saat tertentu transformasi sosial tidak selalu mengemuka dalam bentuk “kesegeraan”. Ketiga, soal kealpaan terhadap apa yang disebut sebagai bersikap menghadapi realitas. Keempat, soal pentingnya membuka ruang bicara, yang diiringi oleh sebuah sikap reflektif. Tantangan keempat ini menurut saya adalah yang paling sulit.
Kutipan dialog di atas bersumber dari catatan Hatta yang ditulisnya menjelang akhir hidup. Sepanjang yang saya ketahui, Hatta adalah seorang penulis yang jujur. Dia adalah representasi seorang intelektual, filsuf, dan semacam pemikir yang terhubung secara rasional dengan tindakan. Hatta tidak pernah segan-segan menguji sendiri pemikirannya ketika berhadapan dengan siapapun. Saya kira sikap reflektif seorang intelektual seperti itu merupakan catatan penting untuk menjawab tantangan terhadap proses transformasi sosial nomor keempat yang saya nyatakan di atas. Sekaligus memungkinkan penemuan sebuah jawaban terhadap tantangan nomor satu hingga nomor tiga.
Hatta adalah seorang intelektual yang tidak pernah merasa dirinya adalah aktor yang paling “berkesadaran”. Analisanya murni dari sebuah perpaduan antara tindakan dan pemikiran, serta sebuah kesibukan untuk terus-menerus menelaah secara kritis tesis-tesis yang dikembangkannya. Sewaktu para pemuda menyatakan “Bung tidak revolusioner”, Hatta sama sekali tidak terpengaruh. Dia hanya tersenyum dan berkata “tindakan yang akan engkau adakan itu adalah Putsch, seperti yang dilakukan oleh Hitler di Munchen tahun 1923”. Tentu saja respon Hatta menyulut marah dan kekhawatiran bagi Pemuda. Di balik kemarahan pemuda, Hatta masih menyimpan ruang diskusi.
Diajaknya Soekarno, Subardjo, dan Boentaran yang sedang berkumpul di rumah Soekarno untuk membicarakan kehendak pemuda. Apalagi Wikana yang mewakili pemuda, beberapa menit yang lalu sempat memberikan gertakan kepada Soekarno. “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah” gertak Wikana. Tanpa takut Soekarno menimpali “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu besok”. Wikana menurut catatan Hatta, terperanjat. Wikana meminta maaf dan menyatakan maksud yang lain. “bukan Bung yang saya maksud”.
Tidak sekali itu saja Hatta dihadapkan pada kondisi dicap “tidak revolusioner”. Salah-satu yang cukup terkenal terjadi antara Hatta dan Tan Ling Djie. Tanpa bermaksud untuk mengetengahkan posisi benar-tidak antara kedua orang tersebut, kita dapat mengambil salah-satu makna penting. Hatta adalah seorang yang mengaku bahwa dia “harus tahu diri” soal teori Marxisme. Meskipun itu sama sekali tidak menggambarkan bahwa Hatta benar-benar tidak mengerti soal teori Marxisme. Lebih daripada itu, Hatta adalah seorang pembaca Marxisme yang kritis dan disiplin. Kritis, sebab Hatta mampu memelihara sikap kritisnya di tengah kekagumannya terhadap Marx. Disiplin, sebab Hatta mampu jernih mendialektikan diri dengan Marxisme. Misalnya saat perdebatan dengan Tan Ling Djie, Hatta memberi keterangan soal Marxisme dengan jernih. Dalam proses perdebatan itu Hatta dalam sebuah karangan panjang berjudul Ajaran Marx atau Kepintaran Murid Membeo begitu jujur memahami keterbatasan-keterbatasannya.
Menjadi Superior
Kalau belajar jujur, disiplin, dan kritis seperti Hatta cukup sulit, minimal menjadi seseorang yang tidak berniat mendominasi. Pelajaran penting dari Hatta adalah soal menyadari bahwa antara tiap subjek tidak dapat saling menegasikan. Ilmu pengetahuan memang penting, tetapi menyadari bahwa manusia sebagai subjek yang mengenali memiliki peran dari sebuah narasi sejarah juga tak kalah penting.
Beberapa waktu yang lalu saat mendengar seorang aktivis mempresentasikan jalan politiknya, saya menangkap kesan superioritas. Saya kira, Alm Mansour Fakih cs tak pernah merasa begitu “berkesadaran” saat melakukan aktivitas penggorgansasian massa. Begitu juga dengan Hatta, sama sekali tak tersiratkan sebuah kekuasan yang berasal dari perasaan “merasa sadar”.
Pekerjaan menggorganisir bukan pekerjaan kekuasaan, itu semacam pengambilan dan pembagian peran. Tetapi tidak berarti antara tiap subjek yang mengambil peran merasa paling berkuasa atas “kesadaran” dari yang liyan. Di dalam konteks gerakan sosial saat ini, salah-satu tantangan yang muncul adalah demistifikasi agen. Di sadari atau tidak ini bagian dari sebuah pertanyaan Derrida soal keadilan dan hukum yang melampaui sebuah konteks waktu. Di mana, tiap perjuangan haruslah pada suatu waktu diuji apakah ia sebagai sebuah perjuangan berdiri di atas semua ruh masa lalu atau masa depan. Demistifikasi agen di dalam kerangka sosial merupakan suatu penunjuk bahwa sesungguhnya transformasi sosial tidak dibangun atas peran mereka yang merasa “berkesadaran”. Di dalamnya terdapat logika atau moral sosiologis dari tiap struktur sosial yang juga turut mengambil perannya masing-masing.
Demistifikasi agen sebenarnya merupakan suatu kritik yang alami muncul dari transformasi struktur sosial yang kian kompleks. Di mana, pertautan ideologi dalam kehidupan sehari-hari menjadi kian menipis, dan pembelaan terhadap eksistensi pertautan itu sendiri diisolasi ke dalam kerangka moral antropologis. Maka sudah menjadi wajar jika agen dalam transformasi sosial dipandang sebagai yang “terlalu berkesadaran” sehingga nampak tak menyatu dengan basis struktur sosial manapun. Hal ini memang dapat diperdebatkan sejauh asumsi mengenai pertautan antara tiap ideologi berbaur dalam berbagai setting politik ekonomi.
Maka wajar saja seorang teman yang juga merupakan seorang pegiat suatu komunitas berkomentar, “Mas, kok nampak rumit sekali ya proses transformasi sosialnya?”. Saya kira, pertanyaan itu tidak sesederhana bahwa subjek bertanya tak mampu mencapai posisi “berkesadaran”. Melainkan bahwa “berkesadaran” telah menjadi dawai yang mengatur ritme serta dan kekuasaan si agen terhadap subjek yang lain. Masalah di sini, dalam proses transformasi sosial pengertian tentang agen banyak didominasi secara sepihak sebagai “intelektual”, atau “cendekia” bukan lagi “aksi massa”.
Pergeseran bahwa si “berkesadaran” sebagai cendekia merupakan suatu proses yang telah menghapus “aksi massa” dari perbendaharaan aktivisme sekarang ini. “Aksi massa” dipandang sebagai konsekuensi logis dari kehadiran agen. Dan sebagai sebuah manifestasi kolektif atas eksistensi kesadaran agen. Melalui Hatta saya tidak menangkap suatu identitas superior atas apa yang disebut “kesadaran”. Meskipun sekarang, masing-masing agen atau gerakan sosial merasa berhak menjadi “payung” aktivisme gerakan sosial melalui pendakuan identitas di belakang gerakan seperti tambahan “Indonesia” dalam sintagma nama. Seakan-akan mereka yang “berkesadaran” adalah sebuah tangga penting untuk melepaskan neraka dari yang liyan. Mungkin, “Orang lain adalah neraka”, yang tak pernah mengerti jika tak dijelaskan, yang berdosa karena “bodoh”, atau yang tak terselamatkan.
Thursday, October 8, 2015
Perang Kota
Kota baru, kota para binatang
David Efendi
Tangis kepapaan menderu deru dari balik tembok kota
Tapi deru tangis itu kalah dengan mesin mesin motor
Tapi deru tangis itu kalah dengan getar alat alat berat pembunuh kota manusia
Tapi deru tangis itu kalah dengan mesin mesin motor
Tapi deru tangis itu kalah dengan getar alat alat berat pembunuh kota manusia
Di kota baru, manusia baru paling berkuasa. Manusia dengan spesimen berduit dan berkuasa yang menang. Kota pun disulap seperti kebun binatang. Orang orang susah layaknya binatang sirkus akrobat untuk mendapatkan belas kasih atau uang konservasi.
Benar. Orang susah tak dilempar kelaut tapi orang miskin adalah obyek belas kasih dan pelengkap penderita. Adalah benar pasar tradisional tak digusur, tapi penghidupan mereka direnggut dan dihimpit dibawa kaki gunung. Pelan tapi pasti nyawapun akan lepas dari sarangnya.
Kota tua kota istimewa berbudaya. Umurmu tinggal nostalgia. Memandang ke kanan ke kiri dadi balik gedung pencakar langit aku saksikan sendiri sekawanan binatang berpesta pora untuk menghancurkan manusia kota. Beragam cara digunakan untuk hilangkan oksigen dari ruang publik dan diubahnya menjadi AC AC raksasa di dalam gedung gedung mewah. Kematian pahit manusia kecil sedang disaksikan dari kamar kamar VVIP di sudut sudut kota. Orang miskin dilarang hidup di kota kecuali rela menjadi binatang sirkus dalam karantina.
Rintihan sesak tangis sesak napas tak seramai suara disko dan musik dari supermarket dan mega mall . Nestapa gulana tak mampu di dengar dari ruang rapat para pejabat karena pejabat sedang sibuk menghitung untung dari brangkas pemodal.
Kota ini tak lagi istimewa. Sungai menghitam dan air tanah asat itu adalah festival kematian kota yang menghibur pembaca media. Sudahlah, kita harus pulang segera menjemput langit yang tak lagi berair.
Jogja kematian ke sekian kalinya tapi belum kunjung terlahir kembali. Kota ini setiap detik adalah peperangan yang mematikan. Termasuk mematikan akal sehat.
Aku saksikan dalam nafas kegerahan. Kota yogyakarta tak ubahnya seperti zooPolitan--manusia saling berebut mengerdilkan orang lain. Saling memangsa hak satu sama lain, yang paling buas yang paling berkuasa. Kota telah lumpuh kebudayaan manusiawi. Birahi telah diletakkan lebih mulia dari rasa tepo seliro.
Kita sedang membangun warisan kota tak beradab bagi cucu cucu manusia jika kita diam tak berbuat apa apa.
Tuesday, September 8, 2015
"Semesta Mendukung" RBK
Agam
Primadi
(Pegiat
Rumah Baca Komunitas)
Gerakan membaca merupakan suatu gerakan
yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari satu, sebagai visi
pencerdasan bangsa maka negara pun tidak boleh absen dari dari gerakan ini.
Secara histori, gerakan ini berdiri bersamaan dengan peringatan hari pendidikan
nasional yaitu pada tanggal 2 mei 2012.
Gerakan Iqro bermula dipelopori organisasi pelajar di Yogyakarta IRM/IPM
beberap tahun silam kemudian dilanjutkan dengan nama Rumah Baca Komunitas.
Komunitas ini muncul berangkat dari keprihatinan atas betapa miskinnya bahan
bacaan masyarakat, dan tidak meratanya distribusi buku, semakin ke daerah
tertinggal buku semakin mahal, dan semakin jarang ditemui. Ini mengakibatkan
terjadinya kesenjangan pengetahuan di negeri ini sehingga apa yang disebut
Taufik Ismail sebagai "Tragedi Nol Baca" harus kita akhiri (baca:RBK)
"Semesta mendukung"
Kata "Semesta Mendukung"
sebenarnya adalah sebuah bentuk apresiasi terhadap pertolongan alam yang
mendukung gerakan ini berjalan hingga berusia kurang lebih empat tahun. Adalah
David Efendi, kami biasa memanggilnya dengan sebutan Cak David. dari mulut lulusan Amerika tersebut kata itu
pertama terlisan dengan sangat sederhana tapi penuh dengan makna. Lalu kemudian
kanda Fauzan Anwar Sandiah mencoba menangkap dan menguraikan terhadap saya apa
tafsir dari kata "semesta mendukung". Dia memaparkan dengan santai,
"saya menangkap makna dari kata semesta mendukung yang dilontarkan cak
David adalah pada intinya apabila kita berbuat baik dan memiliki niat baik.
Alam dengan senang hati pasti mendukung, alam pada konteks ini diganti dengan
kata "Semesta".
Pemaparan tersebut mengingatkan saya
pada suatu perkataan bijak "siapa yang menabur angin, maka dia akan menuai
badai", bila kita kaji lebih lanjut, ini adalah suatu penjabaran dari
hukum sebab akibat yang bisa diartikan apabila kita ingin mendapatkan akibat
hasil yang baik, kita harus berbuat sebab yang baik. Sebaliknya apabila
perbuatan kita buruk atau telah melakukan sebab yang buruk akibatnya tentu akan
buruk juga.
Kemudian perkataan bijak tadi diperkuat
dengan Firman Allag SWT dalam Surah Al-Isra (17):(7) :
" jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu
sendiri"
Ada
beberapa fenomena rill yang saya potret dengan sengaja, mungkin juga ini
sebagai bukti nyata alam mencintai komunitas ini.
Pertama, Akses
jalan yang diperbaiki
Hijrahnya
Rumah Baca Komunitas dari jalan parangteritis menuju kalibedog bukan tanpa
alasan, tapi mungkin alasan itu tidak begitu penting untuk dipaparkan secara
detail. Setiba saya di Rumah Baca Komunitas, ada semacam kekhawatiran untuk
rumah tinggal yang baru jendela ilmu (buku) yang beralamatkan dusun Sidorejo,
kalibedog. Kekhawatiran tersebut mengingat akses jalan menuju Rumah Baca sangat
memprihatinkan, penuh lobang dan sangat jauh dari sentuhan tangan pemerintah.
Namun optimisme para pegiat yang menguatkan fondasi gerakan ini tidak mudah
goyah. Dua bulan kemudian, entah siapa yang menggerakkan, tiba-tiba para warga
Rt 08 berbondong-bondong datang untuk bergotong-royong memperbaiki jalan
tersebut, tak jelas berapa jumlah warga yang terlibat, taksiran saya ada
sekitar belasan warga yang bersama dengan para pegiat memperbaiki akses jalan
tersebut. Alhasil sekarang akses jalan menuju rumah baca komunitas tersebut
mulus dan rapi. lobang yang dulu menganga, seketika menghilang oleh timbunan
semen yang bercampur dengan pasir.
Kedua, Revitalisasi Pinggiran Alun
Alun Selatan
RBK on the
street yang familiar dengan sebutan perpustakaan jalanan adalah salah satu
program Rumah Baca Komunitas. Program ini sebagai bentuk komitmen Rumah Baca
Komunitas yang konsen terhadap isu-isu literasi di Indonesia. Bertempat di
Alun-Alun Selatan Yogyakarta. Kegiatan ini biasanya dimulai pada pukul 06.30
pagi sampai dengan pukul 11.00 WIb. Sejak direalisasinya kegaiatan ini pada
pertengahan 2013 lalu, berbagai problem ringan datang silih berganti. Misalnya,
ketika lapak hendak dibuka, debu dan rumput yang tumbuh dengan subur
menjadi pekerjaan rumah yang harus di atasi terlebih dahulu guna menciptakan
suasana nyaman para pengunjung yang menghampiri lapak baca perpustakaan
jalanan. Namun problem itu ternyata
tidak berjalan lama, tiba-tiba Dinas Pekerjaan Umun memasang papan kontrak
pertanda pekerjaan akan dilaksanakan secepat mungkin. Kabar akan di
percantiknya pinggiran alun alun membuat haru sebagaian pegiat yang setia
melawan kantuk setiap pagi demi membuka lapak baca, Artinya, persoalan rumput
dan debu akan teratasi.
Ketiga,
Kehadiran manusia lain di Rumah Baca Komunitas (KKN 06 UMY)
Saya ingat betul waktu pertama kali
bergabung dengan Rumah Baca Komunitas, komunitas ini berdiri dengan tidak
banyak orang, namun penuh dengan gagasan yang inovatif. Seiring waktu berjalan dengan sangat cepat,
satu persatu orang datang untuk kemudian bersedia dengan senang hati tanpa
pamrih menjadi relawan Rumah Baca Komunitas. Tidak hanya itu, moment yang sangat
menyenangkan adalah pada awal bulan september yang lalu, kemunculan anggota
kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN 06) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang
berjumlah 18 orang memberikan warna tersendiri untuk kecerian di rumahnya
manusia. Ada semacam kegembiraan di raut wajah beberapa pendiri Rumah Baca
Komunitas, Ahmad Sarkawi, Fauzan Anwar Sandiah, David Efendi, dan Sakir
misalnya. Hadirnya manusia baru
dirumahnya manusia menyelipkan seuntai kegembiraan bercampur haru diraut wajah
para laki-laki ini. Saya berkhusnuzon, mungkin inilah kemenangan kaum literasi
yang absolut yang di tunggu-tunggu sejak lama oleh pendiri Rumah Baca
Komunitas.
Wednesday, August 19, 2015
Rambut Gondrong dan Ke-Lebay-an Masyarakat
Lalu Bintang Wahyu Putra
"Barang
siapa memiliki rambut hendaklah ia memuliakannya. " Muhammad SAW
Pandangan negatif terhadap pemilik rambut
gondrong sudah kadung jadi di benak masyarakat. Stigma seperti suka mabukan,
nakal, jorok dan segenap perilaku menyimpang lainnya kerap bertengger. Namun
mereka bingung- jika tidak mau dikatakan bungkam- ketika ditanya perihal alasan
mengapa berpandangan demikian. Mulai dari tukang becak, mahasiswa, ibu-ibu
rumah tangga bahkan akademisi intelektual pun beramai-ramai mengamini streotipe
negatif tersebut. Yang hingga kini membekas di ingatan saya adalah apa yang
dikatakan dosen saya. "Mas orang gondrong suka minum (baca:mabok), kamu
begitu ya?". Saya menganga heran bin kaget mendengar ujaran dosen senior
di fakultas saya tersebut. Ternyata sudah begitu dalam endapan di benak
kolektif masyarakat bahwa pemilik rambut gondrong berprilaku menyimpang dan
kerap melanggar norma sosial. Dan sekaliber dosen tersebut pun mengamininya.
Keheranan bin kaget tersebut segera sirna
setelah saya sadar bahwa beliau adalah didikan orde baru dan hingga ia
menamatkan S2- nya pun tiang Orde Baru masih runcing dan berdiri kokoh.
Sebenarnya sebelum pemerintahan orde baru,
tepatnya di masa-masa terakhir rezim Soekarno pelarangan rambut gondrong telah
terjadi, bahkan sempat booming di kota-kota besar kala itu. Di bawah kekuasaan
Orde Lama negara kita pernah melakukan razia paling konyol dalam sejarah: Razia
Rambut Gondrong. Melalui Badan Koordinasi Pencegahan Rambut Gondrong (Bakoperago)
yang bekerja sama dengan TNI Soekarno melancarkan razia tersebut.
Razia rambut gondrong ini bermula dari
merebaknya budaya Hippies di Amerika ke seluruh penjuru dunia, termasuk
Indonesia. Kaum Hippies yang berpandangan liberal dan menolak adanya negara
jelas merupakan ancaman bagi Indonesia yang masih seumur jagung. Terlebih paham
kapitalisme yang identik dengan Amerika menambah kebencian Bung Karno yang
menganut paham Marhaenisme dan pancasila sebagai dasar negara.
Berpindahnya kekuasaan ke tangan Orde Baru
tidak serta-merta menghilangkan pelarangan rambut gondrong, justru semakin
dimassifkan. Jika dulu Soekarno melarang dengan cara repsesif, maka di bawah
Soeharto dimasukkan ke dalam sistem pendidikan. Rezim Soeharto menanamkan ke
dalam pikiran semua masyarakat (murid dan wali murid) bahwa berambut gondrong
adalah perilaku preman, bajingan bahkan teroris. Melalui program pembinaan
keluarga Soeharto mewajibkan setiap orang tua untuk melarang anaknya berambut
gondrong. Diwajibkan memiliki rambut cepak layaknya ABRI.
Melalui pandangan yang dibangun oleh kedua
rezim tersebut dalam puluhan tahun telah berhasil menguasai pikiran masyarakat
dewasa ini tanpa harus dikritisi dan deretan peristiwa tersebut terus
berkembang hingga kini menjadi sebuah kebenaran mutlak yang tanpa celah secuil
pun untuk merubahnya.
Dekonstruksi
Pandangan
Dampak dari berjalannya peraturan tersebut
bisa menjadi jawaban bagi pemilik rambut gondrong yang cenderung dianggap
melanggar norma. Saya dan juga mungkin teman-teman gondrong lainya
bertanya-tanya heran ada apa sebenarnya dengan gondrong? Sehingga yang menjadi
korban adalah gondrongers yang tidak memiliki dosa masa lalu. Saya pribadi
kerap mendapat represi mental dari kampus, seperti ditegur dosen, jadi buah
bibir dekan hingga jadi bahan celaan.
Setelah enam puluh tahun lepas dari Orde
Lama dan tujuh belas tahun bebas dari Orde Baru sebenarnya merupakan waktu yang
sangat cukup untuk melunturkan stigma tersebut. Namun kenyataanya masih
bertahan hingga kini.
Masyarakat sudah sepatutnya sadar bahwa
tidak ada hubungan sama sekali antara model rambut dan prilaku seseorang-
sejauh ini belum ada saya mendengar penelitian mengatakan seperti itu- karena
kedua entitas tersebut merupakan dua hal yang berbeda.
Jika menengok pada masa abad dua puluh ke
bawah rambut gondrong banyak dimiliki oleh para filsuf, penyair, politikus dan
tokoh-tokoh sain lainya. Yang paling terkenal adalah paman Einstein dengan
model rambut kruelnya, Opa Marx dengan gondrong bergelombangnya hingga Plato, Aristoteles
dan Socrates semuanya memiliki rambut gondrong. Sir ST. Raffles dalam bukunya
The History of Java menggambarkan bahwa dulu para raja di Jawa memiliki rambut
panjang sampai pundak bahkan konon Nabi besar kita, Muhammad SAW, panjang
rambutnya sampai sebahu.
Di masa kini pun
kita punya sosok Hilmar Farid seorang sejarawan dan budayawan, ada juga tokoh
masyarakat Emha Ainun Najib alias Cak Nun dan juga Sekjen PPMI nasional, yang
mana mereka semua gemar memanjangkan rambutnya.
Artinya, jauh sebelum sekarang rambut
gondrong identik dengan tokoh berpengaruh dunia malah menjadi protoipe para
cendekia.
Tuesday, August 11, 2015
Angkringan Literasi
Dibandingkan membaca tulisan Samuel Mulia di kolom parodi saya lebih sering membaca tulisan Bhre Redana di kolom udara rasa, Kompas Minggu. Hari minggu yang lalu salah satu teman, Fauzan Anwar Sandiah, ketika leyeh-leyeh di bawah pohon mangga sambil menunggui lapak perpustakaan jalanan Rumah Baca Komunitas, menyodorkan tulisan Samuel terbaru yang judulnya Mari Menabung!
Saya terima dan baca sampai selesai. Seperti biasa tidak ada impresi khusus yang saya dapatkan
ketika membaca tulisan-tulisan Samuel, biasa-biasa saja. Bahkan kerap kali saya tidak mengerti apa isi tulisan Samuel kecuali curhatan pengalaman kesehariannya dalam beraktivitas.
ketika membaca tulisan-tulisan Samuel, biasa-biasa saja. Bahkan kerap kali saya tidak mengerti apa isi tulisan Samuel kecuali curhatan pengalaman kesehariannya dalam beraktivitas.
Dalam tulisan Mari Menabung! Samuel bercerita tentang kecelakaan antara taksi yang ditumpanginya dengan sepeda motor. Dari kecelakaan itu terjadilah drama singkat yang berakhir si sopir taksi harus mengeluarkan biaya untuk mengganti kerusakan motor. Padahal dalam kejadian kecelakaan itu kesalahan diakibatkan oleh dua belah pihak. Hanya saja yang satu berani mengakui kesalahan dan menanggungnya, yang satu berani menekan untuk mendapatkan ganti rugi.
Di bagian lainnya masih dalam tulisan yang sama. Samuel berkisah tentang kesulitan yang dialaminya ketika akan menyebrang jalan padahal saat itu sudah dibantu oleh satpam, namun tetap saja beberapa kendaraan tidak mau berhenti untuk memberikan kesempatan untuk menyeberang. Menurut Samuel perilaku pengendara yang tidak memberikan kesempatan untuk menyeberang bukan karena lalu lintasnya tetapi tetapi hanya karena orang tak mau mengalah. Ia percaya mereka yang tak mau mengalah tahu bahwa penyeberang jalan membutuhkan waktu dan kesempatan untuk menyeberang, tetapi tampaknya pengendara enggan memberikan waktu dan kesempatan itu. Rasanya mengalah itu susah sekali dilakukan.
Mengalah itu menurut Samuel membutuhkan kekuatan, bukan kekuatan fisik dan kegagahan raga, tetapi kekuatan hati dan kebesaran jiwa. Dan itu bukan hanya soal etika, sopan santun tetapi lebih merupakan tabungan di masa depan, di masa yang kita tidak ketahui apa yang akan terjadi di dalam hidup yang kita lalui. Kekuatan hati dan kebesaran jiwa untuk sebuah perbuatan baik itu adalah sebuah cara yang kita lakukan dan tanpa kita sadari untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan di masa depan. Perbuatan baik itu dikembalikan kepada kita dalam bentuk berbagai rupa dan datangnya tepat ketika kita membutuhkannya.
Sampai di sini saya tak mendapatkan impresi apapun membaca tulisan Samuel berjudul Mari Menabung! Seperti biasa berisi ujaran-ujaran klise, normatif semacam gaya bijak Mario Teguh. Dan itu sama sekali tidak menarik. Sampai teman tadi mengajukan pertanyaan, "bagaimana menurutmu tulisan Samuel? Adakah kutipan-kutipan menarik yang kamu temukan?" Saya jawab, "tidak ada yang istimewa, hanya saja Samuel menawarkan gagasan baru bahwa menabung itu tak melulu uang."
Kemudian ia mengambil koran dari tangan saya lalu menunjukkan kutipan yang menurutnya menarik yang bisa menjadi renungan, "jadi kalau sekarang ini anda merasa hidup anda tenteram, sehat, anak cucu bahagia, bisnis lancar, itu tidak semata-mata karena anda untuk memelihara semuanya dengan baik, tetapi juga merupakan hasil dari tabungan kekuatan hati dan kebesaran jiwa untuk hal-hal kecil yang setiap hari anda hadapi." Apa menariknya kutipan itu? Biasa saja normatif. Tapi aku diam saja tidak memberikan komentar karena aku menduga sebentar lagi akan keluar analisis filosofis darinya. Ternyata benar, tulisan Samuel yang menurutku biasa saja dan terkesan klise dan normatif diuraikan begitu menarik olehnya. Uraiannya terkait tentang tulisan itu begitu panjang. Ia sampai pada uraian tentang hasrat, kekuatan uang, konsumsi, dan teori kapital.
Saya mengangguk-angguk saja mendengar uraiannya di bawah pohon mangga yang teduh di saat siang mulai beranjak panas. Dari urainnya saya sedikit mengerti, tapi ini hanya dugaan saya saja bahwa tulisan Samuel Mulia selama ini adalah olok-olok dan kritik humor tentang keambiguan dan ambivalensi modernitas.
Kekhasan kekuatan tulisan Samuel adalah penolakannya untuk hanyut dalam ideologi konsumerisme, hedonisme, dan fetisme kapitalistik. Dalam ideologi itu mantra utamanya dalam mencapai kesuksesan dan kemuliaan hidup adalah kompetisi, efektif, dan efisien. Lewat tulisan-tulisannya di kolom parodi, Samuel Mulia berhasil menunjukkan ambivalensi mantra-mantra modernitas untuk mencapai kesuksesan dan kemuliaan
Sunday, August 9, 2015
Opini: Mencari Kanan Hijau
Warna hijau
telah menjadi identitas dan simbol gerakan pro-lingkungan di dunia. Pada tahun
2010, Ibrahim Abdul-Matin, seorang
penulis asal Amerika mempublikasikan buku yang sangat penting dengan judul Green Deen: What Islam teach about
protecting the planet. Karya ini lahir di tengah stigma buruk dunia Barat
terhadap ummat islam pasca tragedi 9/11 yang menyudutkan dan menteror komunitas
muslim khususnya di Amerika. Green Deen
(agama hijau) yang dipromosikan penulis buku ini ingin menunjukkan fakta sisi
lain Islam di Amerika yang telah berhasil mempraktikkan gaya hidup
pro-lingkungan dan pengetahuan yang lengkap bagaimana menjaga keseimbangan alam
dengan mendayagunakan pengetahuan yang ada. Bagaimana dengan perhatian ummat
islam, atau umat beragama di Indonesia pada umumnya dan wabilkhusus gerakan Islam Modern Muhammadiyah terhadap persoalan
lingkungan kontemporer? Artikel ini berusaha mengundang pembaca untuk memulai
mendiskusikan bagaimana urusan ekologi seharusnya menjadi bagian pekerjaan
rumah organisasi keagamaan. Kurangnya agamawan-aktifis ekologi menjadi
persoalan yang butuh perhatian serius dari kalangan organisasi islam.
Pasca milineum
baru, dunia dihentakkan dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global. Hal ini
juga membangunkan kesadaran ekologis di berbagai kawasan baik dari unsur NGO
(non-governmental organization) maupun pemerintahan. Kelompok agama Islam dapat
dibilang kurang santer merespon problem ekologis yang melanda. Beberapa
agamawan katolik dan budha merespon dengan beragam upaya penyelamatan seperti
Tissa Balasuriya di Sri Langka,Mahatma Gandhi,
dan teolog ekologi asal Amerika Robert McAfee Brown dan Albert J
Fritsch. Peran pembebasan dan keberpihakan terhadap alam semesta yang mereka
lakukan ditambatkan pada kesadaran ideologis agamanya. Hal ini menjadikan
gerakan ini jauh lebih kuat secara filosofis dibandingkan dengan kelompok “kiri
hijau”—kelompok anti-kapitalis dan pro-komunitas Basis yang memperjuangkan bentuk
pengelolaan sumber daya alam lewat moda-moda produksi sosialistis dan ekologis
(Aditjondro, 2003).
Jihad
konstitusi yang didengungkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan babak
baru bagaimana organisasi islam merespon bencana ekologis yang meluas yang
diakibatkan oleh salah urus sumber daya alam. Jihad yang dimaknai usaha
sungguh-sungguh dengan mendayagunakan kemampuan yang ada untuk menegakkan apa
yang diyakini. Dua Undang-Undang yang digugat oleh Muhammadiyah yaitu UU No.22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No.6 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan manifestasi jihad
ekologis yang sangat penting di abad kedua Muhammadiyah. Upaya ini beberapa
tahun silam, tepatnya tahun 2005, di Muhammadiyah sudah melaunching buku fiqh
air yang kemudian diterbitkan lagi di tahun 2015 sebagai bagian dari upaya
pengarusutamaan masalah ekologis di kalangan ummat islam.
Selama ini
persoalan ‘external’ politik elektoral lebih dominan menjadi pekerjaan
diskursus elit Muhammadiyah terutama pasca reformasi. Sementara secara
internal, pada umumnya organisasi islam sendiri telah disibukkan dengan
pengelolaan “amal usaha” pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Jihad
konstitusi adalah pembaharuan kesadaran baru akan peran-peran kebangsaan dan
keberpihakan organisasi Islam modern terhadap masalah-masalah kontemporer
lingkungan hidup dengan menjadi ‘pengontrol’/penggugat beragam regulasi yang
diciptakan oleh negara. Negara yang dalam banyak hal seringkali menjadi
‘korban’ dari kepentingan kapitalis global dan mafia lingkungan. Ini adalah
bagian dari penyegaran gerakan islam yang sangat dibutuhkan oleh dunia sebagia globalisasi
‘gerakan islam berkemajuan’ dengan visi pencerahan.
Peran ekologis
organisasi islam ini dapat dianalisa
dari nalar etika utama yang digunakan oleh para teolog pembebasan dan teolog
ekologi yaitu sebuah gerakan yang dipusatkan pada tiga argumentasi kunci yang
meliputi (1) keadilan distribusi; (2)keadilan-lingkungan; dan (3)
pertanggungjawaban kolektif (Aditjondro, 2003).
Pertama,
keadilan distributif melarang keras tindakan yang melanggengkan praktik mendapatkan
keuntungan di atas penderitaan orang lain (Nelkin, 1984) sehingga juga tidak
dibenarkan negara mengambil keuntungan eksploitatif dari kekayaan alam dengan
menyakiti masyarakat setempat secara berkepanjangan. Sebagaiman Erich Fromm
(1968) dalam buku Revolution of Hope:
Toward Humanized technology, logika pembangunan yang tidak manusiawi
merupakan kejahatan besar yang harus dilawan. Di dalam nilai-nilai islam di
Indonesia juga mendapatkan pembenaran, bahwa mudharat dari pembangunan itu
harus lebih utama dihindarkan. Kesadaran etik yang dibalut dengan keyakinan
agama merupakan kekuatan penting bagi kubu ‘kanan-hijau’—kelompok agamawan yang
mempunyai concern serius membela
‘keseimbangan’ alam karena kayakinan alam semesta adalah titipan tuhan yang
harus dijaga.
Kedua,
keadilan lingkungan yang merupakan dua sisi mata uang yang sama dari keadilan
sosial (distributif) adalah sebuah keniscayaan. Islam madzab Indonesia adalah
madzab ekologis yang tercermin dalam teologi islam rahmatan lil alamien—islam yang tidak mengancam bagi keberadaan
benda dan makhluk ciptaan tuhan. Dengan demikian, aliran antroposentrisme yang cenderung eksploitatif tidak mendapatkan
pembenaran teologis dalam islam sebab fungsi manusia sebagai ‘khalifah’
bukanlah tanpa tanggungjawab etik, profetik, dan kolektif. Semua perbuatan yang
merusak akan diminta pertanggungjawaban kelak di hadapan mahkamah tuhan.
Karenanya, manusia harus berusaha menerapkan laku adil sejak dalam pikiran
karena adil dalam ajaran islam paling dekat dengan taqwa.
Terakhir,
pertanggungjawaban kolektif. Ajaran etis universal adalah bahwa setiap
kejahatan, penindasan dan praktik ketidakadilan harus dilawan (Frantz
Fanon,1986). Nilai-nilai utama organisasi islam memperlihatkan kesesuaian
dengan ajaran etika tersebut yaitu amr ma’ruf nahi munkar—menganjurkan
perbuatan baik dan mencegak kejahatan dengan titik tekan pada upaya memerangi
praktik kejahatan. Dalam jihad melawan korupsi Muhammadiyah ataupun NU sudah
tidak diragukan lagi seruan moral-politiknya, sedangkan untuk urusan pencegahan
terhadap bencana krisis ekologis: kekeringan, kerusakan hutan akibat illegal logging, kejahatan tambang,
pencemaran, penyebaran penyakit, dan sebagainya organisasi berbasis keagamaan
perlu memperkuat posisinya dengan lebih banyak menggalang sekutu dan
pengorganisasian basis. Infrastruktur organisasi Muhamamdiyah sudah
memungkinkan untuk pembangunan berperspektif ekologis mulai dari ranting,
cabang, daerah, propinsi sampai pusat secara proporsional. Posisi Muhammadiyah
yang sudah dikenal track record di berbagai forum internasional
menjadi kekuatan besar untuk turut menyerukan kesadaran ekologi di hadapan masyarakat
dunia.
Level
organisasi keagamaan pusat dan wilayah akan berperan aktif terhadap advokasi
kebijakan/regulasi yang membahayakan keseimbangan ekologis dan manusia (baca:
jihad konstitusi), sementara level daerah sampai ranting akan menjadi ujung
tombak dari praktik kehidupan yang ramah lingkungan sebagaimana komunitas Islam
yang dituliskan oleh Abdul-Matin dalam buku Green
Deen di Amerika. Pola hidup bersih, penghematan air, penciptaan tekhnologi
tepat guna dan ramah lingkungan bisa dijadikan praktik yang seiring dan sejalan
dengan nilai-nilai ajaran Islam. Praktik demikian, secara tidak langsung adalah
bagian dari praktik tanggung jawab kolektif keummatan yang kemanfaatannya tidak
dapat disepelekan. Agama islam yang dianut 1 miliar manusia harusnya menjadi
pelopor penyelamatan bumi dan makhluk yang ada di dalamnya. Agama hijau inilah yang
sedang dicari kiprahnya oleh ummat manusia.
Sebagai
penutup, terwujudnya bentuk tanggungjawab kolektif-keummatan ini telah
disinggung oleh Jaspers (1986) bahwa: “di kalangan manusia muncul solidaritas,
karena mereka manusia, yang dengan solidaritas itu masing-masing dapat berbagi
tanggungjawab atas setiap ketidakadilan dan kesalahan yang dilakukan di dunia.”
Karena bumi kita sama, kesadaran bahwa persoalan satu berkaitan dengan
persoalan lainnya menjadikan kita merasa penting untuk merawat jagad raya dan
menjadikan ummat beragama toleran bagi eksistensi ciptaanNya. Hal ini merupakan
kunci untuk menghindarkan kehidupan ummat dari apa yang disebut Garrett Hardin
(1968) sebagai “tragedy of the common.”
Tuesday, May 19, 2015
Dari Max Lane, Generasi Sekarang, dan Buku Kiri: Sedikit Jawaban Untuk Pertanyaan Papa
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Lane dalam Unfinished Nation (2014) memberi sedikit inspirasi untuk membaca apa yang terjadi pada generasi manusia Indonesia pasca tahun 1990. Tesis utama Lane dalam bukunya tersebut memang membicarakan sebab-musabab kejatuhan Soeharto bukan oleh kontradiksi oligarki, atau semacam krisis Asia tahun 1997, melainkan apa yang disebut Lane dengan “Kepeloporan Politik”. Namun ada beberapa pembahasan dengan maksud reflektif, dan proyektif Lane memberikan beberapa inspirasi yang menarik. Misalnya seputar analisis mengapa ide-ide progresif kelompok massa yang meruntuhkan rezim Soeharto tidak berlanjut. Dan yang paling penting adalah membaca kondisi generasi sekarang sebagai kelanjutan dari proses historis yang panjang.
Konsep kepeloporan politik sempat beberapa kali menjadi perbincangan. Termasuk dalam massa Mahasiswa di kampus-kampus misalnya dalam demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tetapi, konsep kepoleporan dan basis massa yang masif jarang terjadi. Amien Rais pernah menganalisis bahwa fenomena itu menunjukkan ketidakmampuan mahasiswa atau aktor intelektual untuk mengemas isu, dan yang paling utama adalah objektivikasi isu. Mahasiswa gagal menyadarkan masyarakat tentang proses-proses kapitalisme yang berjalan dalam kehidupan pasca reformasi. Lane juga tidak memungkiri hal tersebut, tetapi dengan nada optimis dia menyebut ini sebagai “Periode Baru Mobilisasi” (hlm.472).
Satu hal yang juga menarik, Lane menulis begini, “Saya sudah menjelaskan bahwa tak ada unsur-unsur yang tersisa dari aksi massa berideologi kiri 1900-1965, selain sentimen populis yang dicerminkan oleh kata rakyat dan Soekarno” (hlm. 489). Rezim Soeharto sudah berupaya mati-matian untuk menghapuskan kata “buruh” karena berkonotasi dengan perjuangan kelas dan menggantinya dengan “pekerja” atau “karyawan” serta menghapuskan ideologi dari percaturan diskursus. Hal itu bagi Lane menjadi jembatan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada hari ini. Termasuk apa yang terjadi pasca reformasi tahun 1998.
Satu hal yang jelas bahwa di era pasca reformasi, perilaku sewenang-wenang, pemiskinan, semakin kasat mata, dan dengan demikian tidak dibutuhkan alat bantu apapun untuk melihatnya. Tetapi mengapa populasi generasi muda tidak sadar dengan proses tersebut? atau mengapa justru generasi muda dengan tangan terbuka siap menjadi buruh dengan gaji berapapun asal bisa membeli gadget, menikmati liburan, dan seakan tanpa malu berfoto ria di kedai atau pusat perbelanjaan yang dibangun atas darah masyarakat lokal? Dan merasa telah berjuang bagi bangsa Indonesia karena demo menolak SPP naik atau karena melakukan kuliah kerja nyata di pedesaan, atau karena telah menjadi voluntir mengajar di daerah kumuh? Dan setelahnya kehabisan napas untuk berusaha kontemplatif?.
Generasi itu, generasi yang memuja komoditas olahan dan memuja “nilai tambah” barang daripada mempelajarinya atau memproteksinya sebab ekses masa depan yang menghancurkan. Maka kehadiran generasi muda lain yang sedang belajar untuk memahami realitas, mencoba upaya-upaya untuk diskusi, membaca buku, sebenarnya sedang menjalankan proyek yang paling tidak, sedikit mengerem kerusakan akut.
Anarkisme sangat kecil hidup dari generasi-generasi ini hanya karena mereka membaca buku kiri atau karena terlibat dalam aksi-aksi protes dengan petani rembang misalnya. Hanya karena tekun dengan Das Capital Karl Marx atau Anti-Duhrin Engels mereka tidak akan menjadi seorang anarkis, pemberontak, atau malas kuliah serta menolak menjadi karyawan. Lebih daripada itu, mereka menjadi generasi yang mencoba secara epistemologis menuju realitas melalui cara-cara yang variatif. Ide-ide tentang kesuksesan atau tentang kegagalan bagi generasi adalah soal hidup sebagai manusia, dan manusiawi.
Buku-buku itu bahkan mengantarkan mereka untuk membebaskan diri dari jerat pesimisme akut, dan memulai optimisme dari kehidupan-kehidupan kecil di sekitar mereka. Generasi itu terpanggil karena sekelompok ibu-ibu dipaksa kalah oleh penguasa. Beberapa mahasiswa yang menjadi pegiat di salah-satu rumah baca bahkan seringkalli saya temui berkelakar bahagia tentang mimpi membangun desa. Generasi itu belum membuktikan, tapi kita patut berharap.
Generasi itu beberapa ada yang senang ikut pengajian, aktif di organisasi keagamaan, dan hidup sebagaimana kehidupan formal publik dibentuk, mereka tentu saja masih senang berburu kuliner ke pelosok kidul atau lor kota. Sebagian menjadi dosen, karyawan, birokrat, pengajar, penjaga warnet, pengusaha, dan lain sebagainya. Sebab membaca buku-buku secara variatif, terbentuk kesadaran tentang transformasi sosial kecil-kecilan dan minim kontradiksi. Generasi itu tidak bersedih hanya karena kegiatan diskusi minim peserta, atau kejar-kejaran dengan tugas pokok.
Bagi generasi pembaca ini, kejadian di masa lalu adalah bagian dari sejarah, baik yang terjadi pada pihak kanan atau pihak kiri. Semua tidak dapat diacuhkan. Dengan membaca sejarah, mereka berusaha menemukan jalan keluar atas konflik-konflik di masa lalu. Dan mungkin saja menganalisisnya untuk kebutuhan di masa mendatang terkait dengan kegagalan dan harapan.
***
Pagi tadi lewat komentar di media sosial, Papa memberikan pertanyaan begini kepada saya: “Akhir-akhir ini buku literatur berbau pikiran komunis semakin merambak pasar dunia maya, apa ini sebagai indikator bangkitnya revolusi mental dan pikir era baru komunis di Indonesia? Entahlah kita tunggu gejala selanjutnya.”
Pertanyaan itu berkaitan dengan peningkatan jumlah penerbitan buku-buku tema “kiri” di Indonesia beberapa tahun terakhir. Buku-buku “kiri” itu termasuk naskah-naskah yang ditulis seputar penelitian sejarah, dan rekonstruksi teori-teori sosial. Beberapa tahun sebelumnya memang ada buku-buku yang dapat dikatakan sebagai kelanjutan kembali penerbitan buku-buku tersebut sama seperti sebelum tahun 1965. Naskah-naskah lain misalnya adalah terkait dengan objek-objek penelitian sengketa antara korporasi dan masyarakat. Bidang hukum, antropologi, dan sosiologi adalah beberapa bidang yang secara kritis membahas misalnya korporasi tambang versus masyarakat.
Memang cenderung sulit untuk memisahkan antara buku “kiri” dan buku dengan basis analisis kritis yang berpijak pada pertentangan kelas, intervensi ekonomi, dan kerusakan ekologi akibat ketidakmampuan fungsional korporasi. Sebagian kalangan memang memandang dua jenis buku tersebut terpisah. Beberapa kalangan mungkin akan senang hati membaca buku yang menggunakan analisis pertentangan kelas daripada membeli buku yang membahas ideologi kiri atau sejarah pemikiran tokoh Marxisme. Walau berbeda, dua buku tersebut sulit dipisahkan. Hal tersebut memang sudah wajar adanya. Bagi kelompok intelektual atau peneliti, buku pertama membantunya menganalisis realitas sosial menggunakan tesis radikal. Sedangkan buku kedua seringkali dianggap sebagai bahan bacaan saja.
Jenis buku lain, yang tidak masuk kategori “kiri” dan oleh penulisnya sendiri diingkari memuat bau Marxisme seringkali dianggap identik. Novel-novel karangan Pramoedya Ananta Toer misalnya akan digolongkan sebagai bacaan kategori kiri karena secara historis sang penulis berafiliasi dengan Lekra. Padahal sang penulis mengaku sama sekali tidak mengenal dan tidak akrab dengan teks-teks Marx. Bagaimana juga dengan buku-buku teori sosial baru semacam Giddens dan Bryan Turner?. Ide-ide komunal yang banyak bertebaran sekarang juga kerap dianggap dekat kategori kiri hanya karena diidentifikasi menyebut nama Marx, Lenin, atau Stalin, meskipun secara epistemologi sama sekali berlainan.
Berkaitan dengan soal generasi sekarang, merebaknya buku-buku kategori “kiri” mungkin dapat dimaknai sebagai rangka belajar. Generasi sekarang mau tidak mau tergugah hendak membaca buku-buku yang sebagian berkategori kiri sebab mereka kehilangan kontak dengan sejarah bangsanya sendiri. Dan era sekarang siapapun sekehendak hatinya dapat muncul di pasar perbukuan Indonesia. Misalnya kelompok penulis sastra relijius berbasis kelas menengah juga dapat menulis novel, atau kelompok penulis demokrat-liberal dengan hegemoni dunia perbukuan sejak tahun 1980-an. Meskipun kelompok penulis yang terakhir ini mulai kehilangan elanvitalnya sebab diskursus yang minim keberpihakan. Sedangkan kelompok pertama justru menemukan momentumnya seiring dengan gejala peningkatan kelas menengah.
Maka generasi sekarang pada beberapa sisi menyerap berbagai ide-ide yang nyaris sama tetapi berasal dari basis epistemologis berbeda. Misalnaya sebagian memaknai kata “berjuang untuk rakyat” melalui kegiatan berfoto bersama mbah-mbah yang membawa bakul di pasar. Sebagian memaknai kata “berjuang untuk rakyat” secara simbolis melalui kampanye kebebasan berpendapat. Sebagian yang lain memaknainya lewat kampanye-kampanye politik. sebagian yang lain menulis, membaca buku, belajar tekun, membangun bisnis, ikut rapat RT/RW, ikut kerja bakti, dan lain-lain. Generasi ini tidak akan anti dengan musik barat hanya karena mengagumi Marx atau Tan Malaka. Sebagian dari mereka tetap berkunjung ke rumah makan waralaba, dan berbahagia karena itu.
Generasi sekarang tengah menikmati proses belajar dari orang tua, filsafat, pemuka agama, ilmu pengetahuan, kejadian sehari-hari, dan buku. Sama seperti generasi-generasi sebelumnya. Hanya saja berbeda dalam dua hal, pertama, mereka berpotensi menjadi objek produksi atau konsumsi. Misalnya, secara politis generasi ini masih dianggap sebagai pelengkap primer kekuatan pemenang pemilu atau objek pasar produk, dan tentu saja sebagai objek yang diperjualbelikan. Kedua, sekuensi evolutif pada generasi sekarang sebagai proses yang alami dari perkembangan manusia.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tulisan Terbaru
Populer
-
”Gerakan Membaca” merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari itu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka ...
-
Oleh : David Efendi Direktur Rumah Baca Komunitas Anak-anak adalah manusia masa depan, Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-...
-
Oleh : Iqra Garda Nusantara Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan b...
Hamka For RBK

Sjahrir For RBK
