Saturday, January 23, 2016

Matinya Nurani Kami...?

Pagihari ini langit tak bermendung sdikitpun. Iya terlihat biru laksana lautan hindia yang berpindah tempat menuju cakrawala. sehingga matahari dengan bebasnya memancarkan senyumannya tanpa ada yg menghalangi. Nampaknya hati ini tak selaras dengan keadaan  ini. Sedih dan gundah terasa mengiris hati. Bukan karena aku tak suka sinar sang surya,..bukan....
 
Untuk pertama kalinya kuakui sebuah novel telah mampu membawaku bahkan jauh menyeretku ke dalam kisah masa silam tentang romantika percintaan, perlawanan, penindasan, bahkan hrga diri seorang pribumi. Kisahnya lebih indah dari kisah-kisah lakon Drama manapun bahkan Drama korea yang sering kutonton itu.

 Iya...itulah tulisan yang disusun berbentuk novel yang diberi judul oleh penulisnya Pramoedya Ananta Toer " bumi manusia". Sebuah novel bergenre historis yang mampu menyihir dunia akan indahnya permainan kata- kata dan kisah yang dilukiskan oleh penulis.
    Begitu berat rasanya jadi orang pribumi yang hidup di bawah bayang-bayang kolonialisme kala itu. Minke yang harus kehilangan istri karena Hukum Belanda, Nyai ontosoroh yang harus kehilangan anaknya Rober mallhamer dan Annelies dan harta hanya karena ia  seorang pribumi. Penindasan yang dapat kubayangkan pedihnya.

   Penindasan pribumi kemudian sejenak berhenti dengan deklarasi kemerdekaan  17 Agustus 1945. Semua menyambutnya dengan suka cita, Namun bapak proklamator mengingatkan " kemerdekaan ibarat sebuah jembatan, di seberangnya terbentang dua jalan, jalan sma rata sama rasa dan jalan sama ratap sama tangis". Nampaknya kata-kata itu bak ramalan seorang juru ramal yang tak meleset sdikitpun. Kata-kata itu bukan bualan belaka, ini benar-benar terjadi.  Jalan sma rata sma rasa hanya dinikmati segelintir orang, sedangkan jalan sma ratap sma tangis terdengar menggelegar hampir di seluruh penjuru negeri.


  Penindasan demi penindasan terjadi tiada henti. kasus nenek Minah, kasus pembakaran hutan, kasus sengketa lahan kulonprogo, pabrik semen Rembang, penggusuran lahan penduduk demi pendirian bangunan Hotel meminjam bahasa Abdur "kami menolak Lupa". Aduhai Luar biasa memang penindasan itu. Kemiskinan kian merajalela karena rakyat tak punya pekerjaan. pedih memang pedih, yang lebih pedihnya karyawan- karyawan asing malah dengan enaknya masuk bekerja di bumi pertiwi. Nampaknya kolonialisme nonformal mulai menggerus bangsa ini.
    Ada juga prestasi gelap pemerintah, yaitu mampu menurunkan kemiskinan. Megutip lelucon Cak Lontong" kemiskinan menurun dari nenek menuju anak kemudian cucu". Ah lelucon itu memang menggelitik perut sekaligus mengurai air mata.
 
Ikong, Yogyakarta 23 Januari 2016

Matinya Kota



#urbanliteracycampaign I David Efendi


di Indonesia, rata-rata umur kota antara 200 sampai 400 tahun dengan segala warisan masa lalu, kisah kekerasan, dan juga pengalaman mengalami kebudayaan. Kebudayaan kota ditentukan oleh bagaimana kota tersebut mampu memberikan kedamaian, ketentraman, dan kesejaheteraan warga kota. Ibnu khaldun mendefinisikan kota sebagai tempat tinggal yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa begitu puncak kemewahan yang diinginkan tercapai. Jadi, hanya orang ‘kaya’ yang bisa bertahan di Kota. Seiring dinamika politik dan ekonomi, muncul juga hasrat kompetisi yang menyebabkan kota dirundung konflik dan perang. Nafsu akumulasi kapital merasuk ke dalam pikiran banyak orang kota sehingga terjadilah apa yang disebut Garreth Hardin (1965) sebagai tragedy of the common.

Kota secara alamiah semakin menua dan rapuh akibat gelombang zaman. Dr. David Kilcullen, a Non-Resident Senior Fellow di lembaga Pusat Keamanan Amerika Baru menuliskan:
“Rapid urbanization creates economic, social and governance chal- lenges while simultaneously straining city infrastructure, making the most vulnerable cities less able to meet these challenges. The implications for future conflict are profound, with more people fighting over scarcer resources in crowded, under-serviced and under-governed urban areas.”
Di Indonesia, fenomena hijrah dari desa ke kota, desa yang menjadi kota menjadikan persoalan sosial ekonomi tak tertanggulangi. Kota menanggung beban besar sementara desa yang seharunya memperkuat sektor agararis banyak ditinggalkan. Perkembangan ekonomi di desa terlalu lamban dan tidak sanggup memenuhi hasrat berkonsumsi manusianya. Kota menjadi pilihan. Peperangan pun dimulai: gelandangan, premanisme, pengangguran, dan buruknya sanitasi. Apakah masih ada masa depan untuk kota manusia? Pertama kita bicarakan paradigma yang mempengaruhi sistem kota dan kekacauan-kekacauan yang membutuhkan solusi nyata dan tepat.

Konstelasi peradigma

Banyak sumber tulisan mengarahkan pada kesimpulan bahwa di dalam kota itu embedded konflik di dalamnya. Hal ini mendapatkan pijakan faktanya bahwa di kota lebih dipahami sebagai arena pertempuran kapital atau sumber kesejahteraan. Pertempuran ini seperti perang, ada pertempuran semut melawan semut, gajah melawan gajah, ada juga peperangan menjadi asimteris bahkan ada jenis pertempuran yang tidak diketahui siapa yang sedang dilawan. Mekanisme pasar itu adalah setan yang tak kelihatan  (invisible devil). Hal ini menjadikan situasi perang semua melawan semua yang pernah dituliskan oleh Thomas Hobbes menjadi kenyataan pahit kehidupan manusia kota kontemporer—homo homini lupus. Kota-kota di indonesia sedang panen persoalan ini sebagai konsekuensi dari status ‘the emerging city’.

Untuk menjelaskan hal ini, bisa kita tengok dua paradigma pembangunan yang diyakini para penyelenggara pemerintahan khususnya pembangunan perkotaan. Kedua cara pandang tersebut adalah paradigma ekologi dan paradigma ekonomi-politik.

Tulisan ini akan mendiskusikan satu persatu bagaimana kedua paradigma ini diyakini, dipekerjakan, dan dihibridasi sedmeikian rupa dalam kehidupan kekinian. Pertama, adalah paradigma ekologi. Paradigma ekologi bertolak dari kacaunya antroposentrisme yang menjadikan pembangunan itu mengancam ekosistem yang ada. Paradigma ini memberikan aturan main bahwa pembangunan harus mengakomodir beragam kebutuhan lingkungan untuk sama-sama berdampingan dengan aktifitas manusia modern. Kedua adalah paradigma ekonomi-politik. Paradigma ini sangat dominan sejak dulu dimana beragam proyek tekhnokratis dihasratkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Hal ini kerap kali menggelincirkan situasi tata kelola kota sebagai politics as bussiness as usual—yang menerabas beragam etika dan kedaulatan ekologis. Dari posisi ini sebenarnya, muncul beragam kritik atas hukum besi perencanaan pembangunan tekhnokratik. Hukum besi yang tidak ramah kepada manusia—terutama kelompok rentan: kaum miskin kota, perempuan, dan anak-anak.

Matinya kota?

Kota yang oleh Khaldun disebut sebagai “locus of civilization” artinya kota hari ini bukanlah gejala modernitas. Peradaban selalu melahirkan kota dari ribuan tahun silam. Kota yang beradab akan memungkinkan penduduknya memperoleh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan. Ketiga hal ini semakin sulit digapai dalam kota yang padat, panas, kemacetan, ruang publik yang sempit, banyak kemiskinan di berbagaisudut kota dan pendidikan yang tak mengembangkan kebudayaan. Kota seperti mengalami involusi. Hal-hal yang ideal mengenai ‘tomorrow of city’ atau the city of hope sebagiamana yang dibayangkan warganya tak gampang ditemui. Justru stress dan frustasi yang melanda.
Dalam sejarah manusia, ada beberapa contoh kota yang punah yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun seperti kota yang airnya membusuk/tidak mengalir yang kemudian bertransformasi menjadi wabah penyakit di Maroko, juga ada beberapa kota yang musnah karena perang sipil tak berkesudahan. Air, terutama dan paling utama, adalah harta paling berharga yang menjadikan kota akan tetap hidup dan tumbuh. Jika salah urus air, misalnya dengan privatisasi membabi buta, maka ada ancaman serius kota ini akan punah—setidaknya punah manusianya dan hanya kelas tertentu yang memenangkan pertempuran kota. Yugoslavia dan bosnia adalah contoh kota yang hilang, bagdad menyusul. Dalam konteks yang lebih spesifik, ada juga kota yang mulai ditinggalkan manusia seperti Jakarta. Ke jakarta hanya mencari uang, hidup lebih menjanjikan ditempat lain.

Untuk mencegah kota mati terlalu cepat dibutuhkan kerjasama yang sangat erat antara kelompok pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku dunia bisnis. Di sektor pemerintah diperlukan pemerintahan yang inklusif, membuka ruang partisipasi, mewujudkan nilai-nilai keadilan, menyediakan pelayanan publik yang bagus, mengimplementasikan model-model smart city yang relevan seperti connectifity, tekhnologi infrormasi, dan di saat yang sama tetap mengapresiasi beragam nilai-nilai kebudayaan yang selama ini masih dirawat dan dihargai oleh masyarakat kota. Menjadi modern dan smart, tak selalu identik dengan proses negasi terhadap keberadaan infrastruktur kebudayaan dan kearifan lokal.

Ambisi modernitas tak boleh melanggar nilai-nilai yang menjadi keyakinan dasar manusia yang menghuninya. Di jawa, misalnya, ada nilai-nilai keguyuban, nilai-nilai tepo seliro (toleran), simbol-simbol arsitek dan sebagainya. Ini tak bisa dilanggar sebagai konsekuensi dari kebudayaan. Kecuali memang seluruh isi kota bersepakat untuk meninggalkan kebudayaan lamanya.


David Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.




Gerakan Membunuh Jogja



#urbanliteracycampaign I David Efendi



“...biar bagaimana pun hastag#gerakanmembunuhjogja telah membuat huru hara di jogja...”

--Testimoni Gamatriono
Hastag #gerakanmembunuhjogja awalnya dimaksudkan untuk kalimat satire pengganti bahwa kami tak rela Yogyakarta dibunuh secara mengenaskan oleh brutalnya kapitalisme dalam praktik bussiness as usual yang diamini oleh rezim tekhnokrasi baik pemerintahan kota maupun DI Yogyakarta pada umumnya. Pemerintahan berkelindan lintas level dan juga berkelindan dengan berbagai aktifitas ekonomi dari bussiness society. Jadi hancur leburnya perkotaan dan perdesaan di DIY ini tidak bisa kita alamatkan kepada walikota semata tetapi semua penguasa termasuk dua institusi pengambang budaya dan tradisi yaitu kraton ngayogyakarta dan Pakualaman.


Beberapa teman mengatakan gerakan ini bagus tetapi orang ‘awam’ bisa salah paham bahwa gerakan ini sulit dimengerti dengan hastag #gerakanmembunuhjogja dikira ini gerakan yang negatif. Saya bisa memahaminya dengan munculnya beberapa pertanyaan di twitter dengan meminta penjelasan. Di sisi lain, ada diskusi di group instagram dan facebook yang memperlihatkan pemahaman cukup bagus mengenai gerakan berbasis social media ini. Saya sangat mengapresiasi apa pun responnya karena saya sendiri tidak menduga akan menjadi pembicaraan di dunia maya—sampai dishared sebanyak lebih dari 1400 kali dan 500 kali (dua status yang sama) yang saya posting tanggal 23 Desember 2015 silam. Respon yang sangat baik di twitter salah satunya mengatakan #gerakanmembunuhjogja mencegah kota bunuh diri dengan puluhan kali diretwiit. Lalu apa sebenarnya? Beberapa apresiasi di atas tak jauh dari pikiran liar yang tumbuh di sarang kepala saya.


Namun demikian, dalam kesempatan ini saya ingin berbagi dengan dinamika gerakan membunuh jogja ini. Pertama, sabotage jenis ini sangat dipengaruhi oleh kehidupan saya yang dekat dengan kota karena saya penduduk kota. Penegasan saya sebagai penduduk kota jogja ini penting ketika beberapa orang inbox di FB saya mengatakan bahwa saya hanyalah pengamat yang hanya bisa sumpah serapa. Beberapa saya balas, saya warga kota jogja secara legal jadi saya pikir saya bukan pengamat. Sejak beberapa tahun silam saya sering memfoto beragam gerakan grafiti di tembok-tembok kota, juga di media online. Selain itu saya juga memperhatikan gelandangan, pengemis, anak jalanan, loper koran difable, dan beragam jenis kekerasan yang dialami perempuan di Yogyakarta. Buruknya sanitasi kota sehingga gampang banjir, juga banalitas jalanan yang menggerus pedestrian side yang sangat mencelakai pejalan kaki terutama kaum difable. Ini adalah bagian kota yang luar biasa penting tetapi diabaikan begitu saja. Tidak banyak yang berteriak lantang. Saya kira banyak status di social media mengutuk kekurangan tata kota di jogja. Hanya kritiknya sangat private, tersembunyi, dan tak teorganisir.


Jika pemerintah kota sensitif, harusnya banyak complain di media sosial menjadi rujukan untuk memperbaiki keadaan. Zaman sekarang, meminjam Gunawan Muhamad, “...membela yang benar tidak cukup disimpan di dalam hati.” Ini benar menjadi spirit kita semua untuk melakukan apa yang bisa dan mungkin kita lakukan. Untuk meneriakkan kejahatan praktik pengelolaan pemerintah tak perlu menungu sejuta orang. Ini sangat mendesak, karena kerusakan ekologi, banalitas kekuasaan itu selalu nyata.


Kedua, kehadiran individu-individu berdaya yang ada di Yogyakarta bener-bener menggembirakan saya. Teman-teman yang aktif di “jogjaasat #wargaberdaya #jogjaoradidol dan peran[peran lainnya yang tak terendus oleh media meanstream. Kreatifitas kelompok-kelompok yang berjuang menahan kota dari tenggelam ke dalam lumpur dengan poster poster yang mewaraskan akal sehat. Kehadiran, untuk menyebut beberepa, Dodok dan Elanto selalu mengingatkan saya pada sepak terjang individu seperti Al Gore yang menentang beragam kebijakan Amerika dalam ekspansi perusahaan yang dianggapnya mengancam kedaulatan ekologi. Di Jogja, kelompok yang saya sebut sebagai warga berdaya (super citizens) ini bukan hanya teriak soal degradasi air akibat rakusnya bisnis perhotelan dan cahar budaya, mereka juga memikiran masa depan kebudayaan dan juga etika jalanan (moge yang dihadang, konvoi pilkada yang dipetisikan). Kesadaran atas persoalan riil dan sikap otonom merupakan ciri khas dari warga berdaya. Dengan demikian, potensi untuk menjadi alat kontrol atas beragam kebijakan yang diterapkan di daerah.


Ketiga, untuk menjawab mengapa melalui sosial media?wasapp? mengapa facebook?(pemantik). Kekuatan sosial media sangat luar biasa. Hampir semua orang berurusan dengan minimal satu akun dimiliki dan diupdate secara reguler.  Dengan demikian, banyak sekali pembaca yang akan mendapatkan pengetahuan baru tentang apa yang sedang terjadi di kota jogja. Setidaknya mereka akan yakini bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Diam diam terkonsep dalam dirinya tentang apa yang disebut sebagai ‘living within truth’ sehingga dia akan berpotensi menolak kerusakan (bencana, human-made disaster) yang disengaja oleh suprastruktur (modal, atau kuasa politik). Sebagai metode perlawanan, social media yang paling memungkinkan untuk memviralkan ketakutan atau kesadaran bersama-rasa memiliki kota. Selain murah, ini adalah medium yang paling kecil resikonya. Perasaan saya, jauh lebih banyak yang support kepada gerakan menyelamatkan kota ketimbang yang kontra. Kebaikan akan berdampak kebaikan. Ini adalah keyakinan bukan sekedar jargon kosong.


Terakhir, saya ingin menjawab mengapa diksi pilihannya #gerakanmembunuhjogja? Kenapa tidak yang positif seperti #janganbunuhjogja #savejogja, dan banyak lagi kata yang positif. Tentu ini pertanyaan menarik bagi saya dan saya gembira karena sudah banyak dibicarakan di group wasapp Rumah Baca Komunitas. Diksi membunuhjogja itu adalah kata yang menghentak ketika kita merasa buntuh. Orang baik seolah jauh lebih lambat membangun,s ementara perusak kota itu liar luar biasa akselerasinya. Jadi, bunuh saja kota ini. Orang baik sudah mati, kalah dan menyerah. Nada putus asa ini secara peyoratif dapat membangun kesadaran sebaliknya. Kita harus lawan! Kita banyak dan berlipat. Ini imajinasi yang muncul.


Banyak respon dan saya merasa beruntung dengan beragam masukan. Ada yang memberikan saran, setelah akun gerakan membunuh jogja diblokir dan spasca huru-hara tentu ada baiknya dibuat suatu website yang support untuk pemberian pengetahuan berbasis data dan menggalang kekuatan baru untuk menjaring silent majority. Gagasan ini penting sekali. Saya pribadi menyampaikan apresiasi kepada Mas Gama, Mas Adim, Dolah, arya, Cak Abdullah, Mas Iwan, dan teman-teman lainnya yang turut memikirkan upaya penyelamatan kota dari kepunahan yang tak dikehendaki.


Prinsip gerakan yang saya fikirkan adalah tanpa pengorganisasian yang formal, kecil, lincah, fleksibel, sporadis, tanpa pimpinan. Setiap orang punya cara melawan dan melakukan upaya pembelaan terhadap hidup: tanah dan airnya. Maka, bergeraklah seperti apa yang engkau inginkan bukan karena orang lain yang paksakan. Gerakan no leader just together...mengawal akal sehat karena akal sehatlah yang menjadikan kita berada di posisi yang sama. We are 99%, kira-kira begitu jargon yang pernah kita lihat di media online di benua Amerika: occupy wall street!.



David Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK