Monday, September 28, 2015

Antropologi Dompet (1)

David Efendi

Pada awalnya ini catatan ihwal sabuk dan dompet bermula dari obrolan di perjalanan dari kediri menuju mandiun dan dilanjutkan lagi dari madiun menuju kota Yogyakarta. Perjalanan ini merupakan bagian dari piknik literasi keluarga RBK yang menghadiri pernikahan salah satu sahabat pegiat literasi, Azaki Khoiruddin, yang melangsungkan akad dan walimah di kampung Siman, Ponorogo pada 12 September 2015. Acara diadakan pada malam hari. Dingin dan penuh subtansi tausyiyah dan doa. Acara model kampung ini sama persis dengan apa yang ada di kampung saya, di Lamongan. Betul mungkin karena sama-sama jawa timur sehingga tak ada perbedaan kebudayaan dan adat istiadat. Seusai resepsi, kami pun berenam malaju menuju kediri nan sejuk—menuju rumah kediaman pegiat RBK, om Lupet. Tentu dia sangat gembira kita membersamainya ke kampung halaman.

Karena sudah terencana, saya pun asik juga. Sejak tiba di madiun sudah dijamu oleh keluarga Dolah dengan makanan middle east dan beragam buah. Itu pun ditambah acara berenang di hotel yang terletak di samping rumahnya. Perjalanan yang sangat asik bagi saya bareng anak-anak muda yang penuh visi dan kesungguhan dalam berkiprah dalam masing-masing dunianya. Ada yang aktif di dunia gerakan mahasiswa, gerakan pelajar, gerakan literasi, komunitas, peneliti dan sebagainya. Ini merupakan kesempatan langka dalam hidup saya. Aku pun gembira dalam berinteraksi selama ini. Apresiasi merupakan kunci utama untuk mendambah bahagia lahir bathin. Setelah ini nampaknya perlu kita straight forward untuk ngomongin perihal dompet dan sabuk.     
Pada mulanya tak terpikirkan untuk bicara ‘serius’ soal sabuk dan dompet. Reflek saja gara-gara dolah ‘kehilangan’ dompet dan hal serupa sebenarnya menimpah banyak orang. Bukan hilang, tapi terlalu sering lupa menaruh. Panik acapkali menjadi ekpresi paling masuk akal. Yapp. Itu belum lama menimpah dolah dan aku menyaksikan sendiri dia pegang kepala dan sumpah aku bersaksi: dolah seperti orang yang ditolak lamaran kerjanya atau menyerupai orang yang putus cinta.  Lah ini benar-benar menjadikan saya ingin membincang dan memotret bagaimana orang-orang mempersepsikan dompet, makna, dan bagaimana interaksi dengan ‘barang kulit’ ini pada kehidupan kontemporer. Ya, sekedar membunuh waktu di perjalanan dengan mencoba menjadikan percakapan bertenaga. Tak ada yang tak punya komentar perihal dompet maupun sabuk. Ini point penting. Semua orang punya ‘pengalaman’ dengan dompet dan beserta cerita-cerita kecil yang unik. Topik yang punya detail ini menjadikan sangat ‘dahsyat’ apabila ditilik dari antropologi. Semua orang di mobil menjawi pewawancara dan sekaligus menjadi narasumber bagi lainnya. Ini bukan FGD tetapi ini lebih pada informal talk laiknya di kedai kopi di Sumatra atau angkringan kucing di Yogyakarta.   
“dompet itu pada awal kukenal lebih bersifat akseseris dari pada substantif”
“dompet warna hitam atau gelap itu maskulin....”
“saya kenal dompet sejak SD...”
“memilih dompet polos itu agar tak terkesan aksesoris.”
“dompet itu barang yang selalu melekat di saku celana...”
“satu jam saja taruh dompet di saku celana dah gatal rasanya. Lebih nyaman taruh dompet di saku tas.”
“...uang di dompet harus rapi.”
“ saya mengurutkan besaran nominal uang di dalam dompet.”
“saya menaruh uang receh di dompet.”
“di dompet khusus uang kertas. Receh ditaruh di luar dompet.”

Nah itu sepenggalan obrolan malam itu yang tercatat. Saya awalnya tidak berfikir warna hitam itu maskulin sebagaimana warna sabuk yang diakui oleh teman saya. Mungkin bagi orang tertentu ini aneh karena warna dompet ditandai dengan urusan maskulinitas atau fiminim. Tapi, inilah persepsi dan hasil konstruksi rezim ‘buntu’ yang memang merabah dalam kegalapan. Artinya, saya sendiri mengakui saya tak tahu dari mana arahnya pikiran ini mengapa dompet hitam atau gelap itu saya lebeli ini maskulin. Bisa saja, aku bukan sendirian dalam korban ketidaktahuana ini. Ini artinya juga, konsep diri dan kedirian belum cukup berdaya merespon sekeliling pikiran dan lingkungan. Tapi aku sendiri tak punya otoritas ngobrolin ini. Om sarkawi pasti bisa membantu asal muasl kontruksi salah kaprah ini? Dolah seringkali menyebut istilah false consciusness. Kejahatan filosofis atau kesesasatan epistimologis. Ya ini kejadian yang dapat dijadikan disertasi jika mau. Beneran. Ini bisa jadi disertasi. Kalau tak percaya ya saya memang tak bisa memaksakan cerita ini. Usulanku, ketika sampai pada halaman ini silakan temui om Sarkawi yang teman-teman RBK dah mengakui kedahsyatannya.
Kembali ke jalan yang rusak, eh ke jalan yang lurus. Ini agak ilmiah. Dompet secara garis besar dapat dibagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi aksesoris dan fungsi subtantif. Fungsi aksesoris tak perlu dibedah terlalu panjang lebar.  Namanya aksesoris, kehadirannya lebih pada atributif, fashhion, trendy, mengikuti perkembangan zaman dan yang penting juga keren. Hal ini terbukti salah satunya adalah ada pengakuan dari narasumber yang membeli dompet itu perlu ikut trend. Misalnya, dompet dengan begel tengkorak atau rantai yang menghubungkan dompet dan sabuk.
Fungsi subtantif meliputi sekuritas dan organizer. Kedua fungsi utama ini lebih dapat dilihat sebagai fungsi yang memberikan kemudahan bagi pemilik untuk menjadikan mudah dalam berurusan traksaksi dan administrasi.
Ini bukan hanya tentang saya, urusan dompet ini tentang banyak orang. Dari obrolan ringan dan panjang didapatkan banyak informasi. Salah satunya adalah mengenai usia berapa orang mengenal dompet. Ada yang di saat akhir semester kuliah baru memakai dompet yang sebenarnya, ada yang pada saat SMA dan ada yang sejak SD. Saya sendiri pada saat SMA yang tinggal tidak bersama orang tua. Anak saya yang pertama, sudah minta dompet saat TK dan menyimpan uangnya di dompet yang disembunyikannya sendiri. Yapp. Ada pergeseran generasi mengenai makna dompet dan bagaimana anak-anak berinteraksi dengan uang. Saya melihat anak-anak lebih awal mengenal uang bisa disebabkan karena kesibukan orang tua yang tak bisa melakukan transaksi terus menerus di dekat anaknya. Anak-anak sejak usia TK sekolah di tempat yang berbeda dengan orang tua sehingga secara otomatis anak-anak akan dibekali dengan uang jajan. Untuk alasan keamanan, dompet kemudian menjadi pilihan. Ada juga sekolah sekolah yang uang murid dipegang oleh guru atau fasilitatornya.
  
Seiring perkembangannya.tidka berbeda dengan dompet, Sabuk sendiri menjadi alat sekuritas atau alat pertahanan diri. Termasuk bagaimana dompet digunakan sebagai senjata untuk perkelaian. Trend sabuk dengan begel besar seperti besi, gear, dan beragam kepala sabuk yang mengerikan apabila digunakan menyakiti orang dalam festival pertempuran jalanan.

Saturday, September 19, 2015

CONFUCIUS : Simbol Kebijaksanaan Klasik Tiongkok (Sebuah Resensi singkat)



Oleh : Gus Ind (Pegiat RBK)

Dalam dekade awal milenium tak bisa dipungkiri memang film mandarin sempat membanjiri tayangan nasional kita, berbeda dengan saat ini dimana film televisi (FTV) telah tuntas mengambil urutan emas rating dunia hiburan televisi. Serial-serial mandarin yang seperti hilang ini pun tak cukup banyak meninggalkan jejak.

Beberapa saat lalu petualangan kecil saya dimulai antara jejeran kolom folder film pada hard drive, mendapatkan film mandarin di dalamnya menjadi sebuah penemuan tersendiri bagi saya. Sebuah Film berjudul Confusius telah berhasil mendapatkan rasa penasaran saya, terlebih karena rasa nostalgis yang bukan sedikit dengan tontonan mandarin yang sontak dahulu pernah akrab itu, dari sampul film yang berisi pemeran itu hadir seorang dewa judi, Chow yun fat, ketertarikan itu semakin saya dapati, seiring play button pada monitor yang menemukan fungsinya.


Tuesday, September 15, 2015

Ada yang dikejar, (harus) ada yang ditinggal.



Abdullah Bin Zed, Pegiat RBK
 
ditulis di Pare 15 September

Waktu itu siang hari tgl 14 september, dalam obrolan di sebuah telpon dgn ayah saya yg sudah di bali, kita berbicara tentang rencana saya untuk belajar bhs inggris di kampung inggris, pare, kediri. Terbesit langsung di kepala saya bahwa saya harus segera mendapat kejelasan tentang ini (kebetulan saya sedang di madiun saat itu). Tanpa membuang waktu lagi, saya putuskan untuk meluncur ke kampung inggris di pare siang itu juga. Yaa, ke sebuah tempat yang saya sendiri belum pernah kesana sebelumnya dan cuma saya dengar dari beberapa kenalan saya yang pernah belajar disana. 

Siang itu saya pergi menuju pare dengan menumpang bis dari terminal madiun. Tidak ada rute langsung dari madiun ke pare sehingga saya harus turun di jombang dulu dan gantu menumpang bisa lainnya jurusan ke pare. Sekitar pukul 4 sore saya tiba di kampung inggris yang cukup terkenal itu. Sesampainya disaba saya dijemput oleh suami dari teman kos ibu saya saat masih menjadi mahasiswi di Jogja. Saya langsung diantar ke BEC (Basic English Course), sebuah lembaga kursus bhs inggris pertama di Pare yg lulusan dan guru nya akhirnya mendirikan tempat-tempat kursus lain di Kampung inggris. 

Saat datang ke BEC, ternyata office nya sudah tutup dan saya pun hanya membaca info di dinding dan berbincang dgn salah satu siswa yang belajar disana. Saya pun dibawa oleh suami teman ibu saya ke rumah nya untuk istirahat sejenak dan menyantap makan malam. Saya ditunjuki beberapa tempat les yang terkenal saat dijalan menuju rumah nya yg kebetulan bertempat di tulungrejo, kelurahan tempat kampung inggris berada. 
Saya langsung jatuh cinta saat melewati deretan jalan dimana sebelah kanan kiri saya terdapat lembaga-lembaga kursus bhs inggris yang dipadati oleh para pelajar dari berbagai etnis dan daerah, suku dan agama, laki-laki dan perempuan. Apotek, warung makan, cafe, laundry, hingga rental sepeda pun cukup banyak ada disana. Yaapp, sebuah atmosfer nyaman untuk belajar langsung menancap di hati saya. I like this place. Malam nya saya habiskan waktu untuk keliling pare dan mendatangi beberapa lembaga yang office nya masih buka di malam hari sebelum akhirnya saya kembali ke rumah kenalan ibu saya untuk bermalam.

Pagi harinya, sekitar jam 8 pagi saya langsung kembali berkeliling dan survey ke beberapa lembaga. Saya mengunjungi Elfast, mahesa, global studies, oxford ILA, TEST, English studio, able final course, melbourne, dan marveleous. Saya membawa semua brosur dari setiap lembaga yang saya datangi. Cukup menarik dan memuaskan saat tau bahwa lembaga-lembaga ini mempunyai paket belajar yang variatif (2 mingguan, bulanan, 3 bulanan, 6 bulanan hingga 9 bulanan). Berbagai paket pilihan program seperti Grammar, Speaking, Toefl & ielts preparation, hingga yg memfasilitasi semua jenis courses. Kebanyakan lembaga disana menekanan program belajar yang ketat dengan rata-rata jumlah pertemuan 4-5 kali per hari. Kelas dimulai dari pukul 05.30 pagi hingga jam 10 malam. Beberapa camp/kost juga memfasilitasi belajar bersama dan menerapkan English zone/area untuk memicu pelajar selalu mempraktikkan bhs inggris nya. 

Saya sangat suka tempat ini, suasana nya dan lembaga-lembaga nya (beberapa). Sampai tadi sekitar jam 10 pagi, saat saya memutuskan untuk segera pulang ke rumah, saya baru ingat kalau saya punya kenalan yang sedang belajar di pare. Segeralah saya kontak dia via FB. Namanya iwan, senior saya saat SMP di bali. Sudah lebih dari 7 tahun saya tidak berjumpa dengan nya. Ternyata setelah saya check saya tau bahwa dia masih di Pare dan dia belajar di lembaga kursus TEST. Sebuah lembaga yang concern di penguatan basic structure and IELTS/TOEFL preparation. Saya pun bertemu dengan iwan dan ngobrol cukup panjang. Sudah sekitar 6 bulan dia di Pare dan sekarang sudah menjadi tenaga pengajar pembantu. 

Dia banyak memberi saya saran dan masukan terkait tempat kursus mana yg tepat dan skill apa yang diperlukan untuk mencapai skor IELTS yang maksimal. FYI, di TEST itu banyak scholarahip awardee khususnya LPDP awardee. Di TEST kita dipicu untuk memahami bhs inggris academically and structurally.

Setelah menimbang banyak hal, kegalauan muncul di hati saya. Saya galau kapan saya harus memulai belajar bhs inggris saya. Padatnya kegiatan dan kewajiban saya di Jogja membuat saya galau. Diluar jadwal wisuda saya pada tgl 17 oktober 2015, saya mempunya tanggung jawab di komunitas saya di RBK, Turun tangan, dan membina adik-adik saya di HMI. Ditambah lagi, sekitar minggu lalu saya baru dipercaya untuk membantu mengajar (sebagai asdos dan pembantu asdos) di jurusan saya di UMY. Sebuah hal yang dari dulu saya inginkan, mengajar. Semakin berat hati ini untuk pergi meninggalkan Jogja. 

Namun, di sisi lain, target apply beasiswa saya diawal 2016 sudah semakin dekat. Pada bulan februari besok, IELTS score saya harus mencapai nilai 7 kalau ingin diterima di LSE, UK. Itu bukan suatu hal yang mudah. Sulit dan butuh kerja super keras untuk mencapai nilai IELTS seperti itu.

Dalam kegalauan antara pergi ke Pare secepatnya dan stay di Jogja untuk melakukan berbagai hal yang sudah saya sebutkan tadi, saya teringat sebuah nasihat seorang kenalan yang saya temui di Pamekasan, Madura saat penelitian skripsi saya. Kurang lebih dia berkata seperti ini, "Dik, hidup memang seperti ini, kalau ada sesuatu yang dikejar ya harus ada yang ditinggalkan, memang terkadang butuh pengorbanan". Ucapan ini terus saya ingat. Terutama bagian yang ini, "Kalau ada yang ingin dikejar ya (harus) ada yang ditinggal". Terdengar sederhana namun sangat sarat makna menurut saya. 

Sampai saat ini pun saya belum benar-benar mengambil keputusan, namun nasihat kenalan saya tersebut barangkali memberikan saya keberanian untuk memutuskan meninggalkan salah satu dari pare atau jogja. Hati dan pikiran saya sekarang jujur lebih cenderung untuk meninggalkan Jogja bulan depan dan bertapa di Pare sekitar 3-4 bulan. Yaahh kita lihat saja nanti.

Melawan Angkuhnya Ibu Kota (1)

Gama, relawan PKBI DIY


“Pak, bangun pak, bangun pak, bangun pak!” nada dering  alarm yang kupasang di HPku membangunkan tidurku yang lelap setelah semalam mencoba merangkai kata dan kalimat dalam kotak2 form laporan. Adzan Subuh belum juga berkumandang. Kabut pagi selepas hujan dini hari tadi terasa melengkapi galapnya malam.

 

Dini hari, selepas mandi, aku langsung bergegas berganti baju, mancal sepeda motor lawasku menuju PKBI Badran. Di sana, sudah menunggu mas Narto sopir mobil, bersamaku menjemput  mas Budhi Hermanto dan membawa kami menuju Banyumas. Pagi buta ini, kami akan “sowan” di rumah Ahmad Tohari, seorang tokoh sastra yang cukup lama kukenal lewat buku-buku yang dikoleksi istriku. 


Ahmad Tohari.


Sastrawan yang (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 66 tahun) adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk,sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman,Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976). 


Setelah sampai di Kotawinangun, kami berhenti untuk sarapan di warung Asli yang cukup ramai. Di depannya ada 2 orang pedangang sate Ambal yang cukup terkenal. Sambuil menunggu pesenanku tiba, aku menghabiskan waktu di depan warung sambil menikmati lalu lalang kendaraan di Jalan itu. 


Aku sudah merangkai banyak kata dan kalimat Tanya kepada pak Tohari, namun ada satu pertanyaan yang selalu ingin kutanyakan tentang dirinya. Bukan bagaimana dia menulis, namun tentang “mengapa masih “setia” tinggal di rumahnya di Jatilawang Banyumas, sementara sastrawan lain tenggelam dalam hiruk pikuk dan Angkuhnya Ibu Kota. 


Aku bertanya dalam hati, Perlawanan kah? Melawan Jakarta Centris? Atau kekalahan bersaing di sana. Langsung saja teringat lagu lamanya Koes Ploes, “Siapa suruh dating ke Jakarta?” atau sarkasme yang masih saja sering kudengar paska Film Ari Hanggara, “Kejamnya Ibu Tiri tidak SEKEJAM Ibu Kota!”. 


Hemm, semoga ada kesempatan untuk bertanya, gumamku.

Memasuki Kebumen, mataku disuguhi dengan pandangan “khas” produk kebanggan kota itu. Genting Soka. Yang saking terkenalnya, banyak perajin Genting yang “meniru” merknya. Pengalamanku mencari genting karena sedang membangun “gubug” untuk berteduh dari panas dan hujan, aku tahu bahwa sekarang genteng merk SOKA ada beberapa tingkat kualitas, namun yang paling mahal yang “ASLI” Kebumen. 

Dulu aku sering bercanda dengan kawanku dari Kebumen dan saling “umuk” tentang oleh-oleh khas kota kami masing-masing. Aku sering menggodanya selepas kami pulang ke daerah masing2 karena liburan Idul Fitri.


“Whaaa, ini, (sambil menunjuk kawanku yang dari Kebumen), dia paling enak kalo bawa oleh oleh, pasti awet, sampai 10 tahun ya awet!” candaku.


“Lho kok?” Tanya kawan-kawanku.


“Lha nggowo gendheng, sopo sing arep ngrokoti (menggigit}?” kami semua tertawa termasuk kawanku yang dari Kebumen. Ahh, masa itu.


Memasuki kota Banyuman, kami berjalan pelan karena mas Budhi yang sudah pernah ke rumah pak Tohari lupa dengan rumahnya. Meski sudah menelfon dan dikasih petunjuk, kami berhenti beberapa kali untuk bertanya kepada penduduk di pinggir jalan. Karena sangat terkenal, petunjuk yang diberikan memudahkan kami untuk menuju rumah Pak Tohari.


Sejurus kemudian, kami sampai di Jatilawang. Mas Budhi menelfon Pak Tohari dan menyampaikan bahwa kami sebentar lagi sampai rumahnya. Benar, tidak sampai 5 menit, kami sampai. Pak Ahmad Tohari menunggu kami, di pinggir jalan di depan rumahnya. Rumahnya sangat asri, sederhana namun bersahaja. Membuatku enggan pulang. Tanaman dibiarkan tumbuh sesuai dengan keinginan tunas dan pucuk daunnya menggapai sinar mentari. Bibit-bibit tanaman dibiarkan tumbuh memenuhi halaman rumahnya dan “sengaja” dibiarkan.


Kami menyalami dan dipersilakan masuk. Namun, kami memilih untuk bercengkerama di teras rumah. Sejuk, adem, terasa damai. Sebeleum kami duduk, Mas Budhi menyodorkan bingkisan yang kami siapkan untuk Pak Tohari, dalam dialek “Banyumas-an” yang sangat menarik untuk kudengar pagi itu. 


“Walah, kok malah repot-repot gowo oleh-oleh!” ungkap Pak Tohari

“Puniko, sowan Ramane ya bawa oleh-oleh lah, wis suwe ora sowan”, jawab Mas Budhi.


Sang istri tercinta keluar menemui kami dan membawa oleh-oleh ke dalam.


Kami dipersilakan duduk dan memulai perbincangan kami. Pagi itu, kami menyampaikan kepada beliau tentang rancana untuk mengajukan program pertukaran remaja Indonesia – Australia untuk belajar budaya dan sastra dan hasil akhirnya akan dipentaskan di Indonesia dan Australia. Kami “meminta” dukungan Pak Tohari untuk menjadi salah satu mentor dalam produksi karya remaja yang terpilih untuk ikut program tersebut.


Beliau sangat terbuka dan mendukung program tersebut dan bersedia untuk menjadi mentor.  Alhamdulillah.


Kami melanjutkan perbincangan kami. Mulai dari “gugatan” Pak Tohari terhadap situasi nasional, mulai dari Politik, sastra, dan ekonomi Indonesia. Sesekali “mengkritik” penguasa dan sesekali membuai kami dengan “petuah-petuah” yang terkesan sederhana namun sangat dalam. 

Kami larut dalam canda dan “kritik” social budaya ala Ahmad Tohari. 

Tak berapa lama, Sang Istri tercinta keluar menemui kami sambil membawakan 3 cangkir the, kacang rebus, pisang rebus dan tempe mendowan hangat khas Banyumas. 


“Monggo!” Pak Tohari mempersilakan kami menikmatinya.

Tempe mendowannya berbeda dengan yang biasa kumakan di Jogja. Lebih tipis namun rasanya khas. Aku bergumam, “Ohhh, ini tempe mendowan yang sering diceritakan bung Jacky!”


Setelah berboincang ngalor ngidul tentang “situasi Indonesia dan Sastra Indonesia”, kami undur diri. Sebelum kami berpamitan, saya memberanikan diri untuk menyampaikan pertanyaan yang kupendam selama dalam perjalanan.


“Kulo gadah pertanyaan ingkang kulo simpen saking Jogja. Menawi kerso jawab, sembah nuwun”, ungkapku.


“Kok panjenengan taksih “lenggah” wonten mriki, padahal rencang-rencang Sastrawan Besar sanesipun sampun “nglurug” dateng Jakarta? Puniko perlawanan punopo badhe melestarikan Budaya Banyumasan? Kados Rendra lan sanesipun sampun “pindah” wonten Jakarta?’ tanyaku.


“Begini mas, tentu banyak unsur. Tetapi yang paling mendasar, hidup saya ini sangat “terinspirasi” sama hadits Kursi. Yang menceritakan tentang “dialog” antara “Tuhan” dengan “penghuni neraka! Bukan “Penghuni Surga” malahan!” lanjutnya.


“Penghuni Neraka “menggugat”, ya Tuhan, kenapa aku Engkau masukkan neraka? 


Karena kamu tidak menjenguk tetanggamu, tidak menjenguk Aku (Tuhan) ketika “AKU” “sakit”. 


“Bagaimana Tuhan bisa “Sakit”? (Tanya penghuni neraka)


“Itu, tetanggamu yang sakit dan kamu tidak menjenguknya! Maka kamu berada di sini (neraka) sekarang! Ini Ulama-ulama, kyai-kyai ortodoks menerjemahkan secara tekstual, malah skriptual : Kalo ada tetangga yang saget infeksi, sakit kanker ayo kita jenguk! Itu JELAS tidak salah penafsiran seperti itu. Tapi ulama-ulama yang memiliki pandangan lebih luas menafsirkan bahwa sakit itu bisa sakit RAGAWI, sakit EKONOMI, sakit SOSIAL. Itu harus kamu jenguk! Artinya, kamu harus berpihak ke sana, kamu punya komitmen ke sana. Jadi, dalam bahasa saya, alamat-alamat Tuhan, ditulis di punggung-punggung Yatim, fakir miskin…” 


Hahahahahaha, …


“Pun, ketemu, ketemu (jawabannya)” kataku…


“Dadi, Sangkan Paraning dumadi (ingat Asal dan Tujuan Hidup)! 


Jadi hidup itu tidak di Menteng, tidak di Mall, tidak di pesta-pesta itu. Ini tetangga saya ini, penghasilannya Rp. 10.000 per hari per Kapita dan banyak yang kurang dari itu. Ini harus dibenahi ini. Jadi hidup saya ya di sini, di desa!”

“Yang kedua, saya lebih banyak berdialog dengan alam!”…


Ohhh… his words almost killed me…


Jatilawang – Jogja, 26/04/15

Monday, September 14, 2015

Revolusi Pancasila



Oleh AlHafiz Atsari, Pegiat RBK

Kemarin tepatnya hari jum'at 11 September 2015, Rumah Baca Komunitas (RBK) kembali lagi mengadakan kegiatan dejure yaitu bedah buku yg berjudul "Revolusi Pancasila" yang diadakan di Padepokan Rumah Baca Komunitas. Poster sebenarnya sudah lama beredar di socmed sehingga sudah banyak pegiat yang tahu. Namun demikian, cukup subtansial apa yang diobrolkan di sore itu.

Di awal diskusi sudah muncul pertanyaan menarik yg terdapat di cover depan buku tersebut "apakah kita biarkan bangsa ini hancur atau bangkit bertempur?". Ini adalah pertanyaan Penulis terhadap seluruh elemen masyarakat Indonesia.

Yudi Latif merasa bangsa ini sedang mengalami degradasi kepercayaan terhadap Ideologi bangsa yakni PANCASILA. "Kita" seluruh elemen bangsa Indonesia mengetahui Pancasila namun dalam praktik kehidupan sehari-hari hanya memahami sebagai slogan belaka. Kita mengikuti upacara bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan hanya sebagai seremonial belaka. Banyak sarjana-sarjana yg hanya tahu namanya (Pancasila) namun tidak memahami makna yg terkandung di dalamnya sehingga mereka bangga dengan ideologi-ideologi besar dunia yg sampai saat ini belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Kita melihat para sarjana luar negeri maupun dalam negeri dengan bangga menganggap bahwa ideologi-ideologi besar (Liberalisme, Sosialisme, dsb) mampu menyelesaikan persoalan bangsa sehingga yg terjadi kita hampir melupakan sejarah bangsa bahwa kita punya falsafah bangsa yg luar biasa yg keluar dari pemikiran-pemikiran pendiri bangsa. Kita juga melihat dalam birokrasi pemerintahan kita bahwa Pancasila sebagai pedoman norma saja bukan sebagai motor penggerak roda bangsa. Kritik ini mungkin lebih ditujukan bagi generasi muda Indonesia karena mereka lah yang akan memimpin dan membawa bangsa ini "bangkit atau masuk dalam museum sejarah".

Inilah yg menjadi kritik Yudi Latif, ia menginginkan generasi muda melakukan aksi-aksi nyata bukan hanya pandai mengkritik saja. Generasi muda harus turut andil dalam menyelesaikan persoalan bangsa yg terjadi di sekitarnya bukan hanya menunggu pemerintah untuk melakukannya yg disebut Yudi Latif sebagai "Patriotisme Progresif atau nyata". Sehingga seluruh elemen bangsa bisa melakukan hal-hal kecil dan sederhana untuk kebaikan bersama.

Mungkin hanya ini pesan-pesan moral yg bisa saya dapatkan dari bedah buku ini.

Marilah kita bangkit dan berdiri di negeri sendiri
Menyelesaikan persoalan yang tak pernah berhenti
Bukan hanya bangga terhadap ideologi sendiri
Namun beraksi untuk mengabdi pada negeri
Sebagai wujud nyata bagi bumi pertiwi

Thursday, September 10, 2015

Catatan kecil RBK on the Street #5



M Luthfi Ikhwan, peserta KKN 06 UMY

Minggu subuh sekitar pukul 05.00 WIB pejuang-pejuang KKN 06 UMY sudah bangun untuk bersiap mengadakan agenda rutinitas yaitu RBK on the Street atau sering disebut ROTS alias perpustakaan jalanan. Pada malamnya, segala persiapan disiapkan, berawal dari briefing yang langsung dipimpin oleh PJ ROTS dan dilanjutkan langsung dengan menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan untuk ROTS besok pagi. Teman-teman KKN langsung dibagi menjadi beberapa team kerja untuk persiapan, ada yang menyiapkan buku yang akan dibawa besok dan dimasukan kedalam box hijau ROTS, ada yang menyiapkann tikar, spanduk, dan barang-barang lain untuk menunjang kegiatan ROTS besok pagi. Ada rasa yang berbeda dalam ROTS kali ini, bisa dikatakan senang namun juga disatu sisi ada perasaan yang sedih, ROTS yang diadakan minggu ini merupakan ROTS terakhir yang akan diadakan oleh KKN 06.

Dikatakan senang karena ada perasaan lega karena menjadi tanggung jawab terakhir untuk mengadakan ROTS namun juga merasa sedih karena ROTS ini merupakan ROTS terakhir yang akan dijalankan teman-teman sebagai sebuah team KKN. Namun team KKN tetap memiliki semangat yang kuat untuk mensukseskan agenda terakhir mereka, semangat yang bukan seperti biasanya, semangat kali ini berlipat ganda dan semua individu memiliki satu tujuan untuk mengukir sejarah menjadi ROTS kali ini sebagai salah satu ROTS yang paling meriah yang pernah diadakan oleh Rumah Baca Komunitas (RBK).

Bumbu-bumbu pun ditambahkan dalam ROTS kali ini, team KKN bersepakat untuk menambahkan akustikan (jamming music) dalam kegiatan kali ini, 2 gitar beserta 1 kejon disiapkan, lukisan-lukisan anak-anak dari ROTS pertama sampai keemapt juga akan dipublish dalam ROTS kali ini ditambah dengan lukisan anak-anak dalam acara RBK for Kids, ada sekitar 20-25 lukisan yang akan dipublish kali ini. Teman-teman PJ dari ekoliterasi juga akan membagikan secara gratis bibit-bibit tanaman obat keluarga bagi para pengunjung perpustakaan jalanan. Khusus bagi para pengunjung ROTS juga akan diberikan pembatas buku secara gratis beserta tote bag untuk membawa buku-buku yang mereka pinjam.

Semua peralatan untuk untuk menunjang kegiatan tersebut disiapkan teman-teman KKN dan dipastikan tidak ada yang tertinggal satupun. Sungguh ROTS yang dipenuhi bumbu-bumbu penyedap layaknya daging kambing yang ditambahkan kuah santan. Semua barang-barang siap untuk dibawa besok pagi, PJ langsung membagi barang-barang untuk dibawa besok, semua individu memiliki tanggung jawab masing-masing apa saja barang yang harus dibawa mereka besok pagi. Semua organ-organ KKN siap untuk menyambut ROTS besok pagi dan siap untuk membantu memenuhi salah satu janji kebangsaan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dan janji ini akan berusaha dipenuhi RBK beserta KKN O6 UMY melalui kegiatan RBK on the Street.

Pukul 06.20 waktu Indonesia sebelah barat seluruh pejuang-pejuang berangkat bersama dari padepokan RBK menuju salah satu tempat wisata, tempat bersejarah di Yogyakarta yang selalu dipenuhi oleh seluruh lapisan masyaraka, dan tempat tersebut adalah alun-alun kidul Yogyakarta.

Pukul 06.40 WIB lapak buku sudah dibuka dan siap untuk dipinjam atau dibaca ditempat. Teman-teman KKN bergantian sarapan kala itu, sebagian menjaga ladang buku dan sebagian lagi mengisi perut. Waktu menunjukan pukul 07.45 WIB dan beberapa lagu mulai dimainkan oleh teman-teman KKN, lagu yang dibawakan dari beberapa genre. Perpustakaan jalanan juga mulai dipenuhi pengunjung yang haus akan bahan bacaan. bibit-bibit tanaman mulai dibagikan dan bagi yang mendapat bibit juga akan diminta memegang poster serta diambil fotonya. lagu-lagu terus terdengar dan memancing orang untuk mendatangi perpustakaan jalanan kala itu. Sebelum ROTS ditutup, teman-teman KKN juga mengadakan semacam diskusi ringan, yang dibicarakan adalah hal positif apa yang tidak bisa dilupakan ketika di RBK, ada yang mengatakan ilmu sampai mendapatkan jodoh bagi yang sudah lama jomblo. Sekitar pukul 11.00 WIB teman-teman KKN sudah menuju ke padepokan RBK lagi untuk mengembalikan barang-barang yang dibawa di ROTS.

Luar biasa salah satu agenda rutinitas dari RBK yang satu ini, satu manfaat yang membuat pandangan saya pribadi berubah yaitu buku bukan merupakan barang yang mewah dan rasa saling berbagi yang sangat tinggi. Seluruh lapisan masyarakat berhak untuk membaca buku dan mendapatkan pengetahuan baru dari buku yang dibacanya. Pelajaran yang belum pernah saya dapatkan dimanapun selama ini, semoga tulisan ini bermanfaat, Amin.

Tuesday, September 8, 2015

"Semesta Mendukung" RBK

Agam Primadi
(Pegiat Rumah Baca Komunitas)

Gerakan membaca merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari satu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka negara pun tidak boleh absen dari dari gerakan ini. Secara histori, gerakan ini berdiri bersamaan dengan peringatan hari pendidikan nasional yaitu  pada tanggal 2 mei 2012. Gerakan Iqro bermula dipelopori organisasi pelajar di Yogyakarta IRM/IPM beberap tahun silam kemudian dilanjutkan dengan nama Rumah Baca Komunitas. Komunitas ini muncul berangkat dari keprihatinan atas betapa miskinnya bahan bacaan masyarakat, dan tidak meratanya distribusi buku, semakin ke daerah tertinggal buku semakin mahal, dan semakin jarang ditemui. Ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan pengetahuan di negeri ini sehingga apa yang disebut Taufik Ismail sebagai "Tragedi Nol Baca" harus kita akhiri (baca:RBK)

"Semesta mendukung"
Kata "Semesta Mendukung" sebenarnya adalah sebuah bentuk apresiasi terhadap pertolongan alam yang mendukung gerakan ini berjalan hingga berusia kurang lebih empat tahun. Adalah David Efendi, kami biasa memanggilnya dengan sebutan Cak David.  dari mulut lulusan Amerika tersebut kata itu pertama terlisan dengan sangat sederhana tapi penuh dengan makna. Lalu kemudian kanda Fauzan Anwar Sandiah mencoba menangkap dan menguraikan terhadap saya apa tafsir dari kata "semesta mendukung". Dia memaparkan dengan santai, "saya menangkap makna dari kata semesta mendukung yang dilontarkan cak David adalah pada intinya apabila kita berbuat baik dan memiliki niat baik. Alam dengan senang hati pasti mendukung, alam pada konteks ini diganti dengan kata "Semesta".
Pemaparan tersebut mengingatkan saya pada suatu perkataan bijak "siapa yang menabur angin, maka dia akan menuai badai", bila kita kaji lebih lanjut, ini adalah suatu penjabaran dari hukum sebab akibat yang bisa diartikan apabila kita ingin mendapatkan akibat hasil yang baik, kita harus berbuat sebab yang baik. Sebaliknya apabila perbuatan kita buruk atau telah melakukan sebab yang buruk akibatnya tentu akan buruk juga.
Kemudian perkataan bijak tadi diperkuat dengan Firman Allag SWT dalam Surah Al-Isra (17):(7)  :
" jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri"
Ada beberapa fenomena rill yang saya potret dengan sengaja, mungkin juga ini sebagai bukti nyata alam mencintai komunitas ini.

Pertama, Akses jalan yang diperbaiki
Hijrahnya Rumah Baca Komunitas dari jalan parangteritis menuju kalibedog bukan tanpa alasan, tapi mungkin alasan itu tidak begitu penting untuk dipaparkan secara detail. Setiba saya di Rumah Baca Komunitas, ada semacam kekhawatiran untuk rumah tinggal yang baru jendela ilmu (buku) yang beralamatkan dusun Sidorejo, kalibedog. Kekhawatiran tersebut mengingat akses jalan menuju Rumah Baca sangat memprihatinkan, penuh lobang dan sangat jauh dari sentuhan tangan pemerintah. Namun optimisme para pegiat yang menguatkan fondasi gerakan ini tidak mudah goyah. Dua bulan kemudian, entah siapa yang menggerakkan, tiba-tiba para warga Rt 08 berbondong-bondong datang untuk bergotong-royong memperbaiki jalan tersebut, tak jelas berapa jumlah warga yang terlibat, taksiran saya ada sekitar belasan warga yang bersama dengan para pegiat memperbaiki akses jalan tersebut. Alhasil sekarang akses jalan menuju rumah baca komunitas tersebut mulus dan rapi. lobang yang dulu menganga, seketika menghilang oleh timbunan semen yang bercampur dengan pasir. 
Kedua, Revitalisasi Pinggiran Alun Alun Selatan

RBK on the street yang familiar dengan sebutan perpustakaan jalanan adalah salah satu program Rumah Baca Komunitas. Program ini sebagai bentuk komitmen Rumah Baca Komunitas yang konsen terhadap isu-isu literasi di Indonesia. Bertempat di Alun-Alun Selatan Yogyakarta. Kegiatan ini biasanya dimulai pada pukul 06.30 pagi sampai dengan pukul 11.00 WIb. Sejak direalisasinya kegaiatan ini pada pertengahan 2013 lalu, berbagai problem ringan datang silih berganti.  Misalnya,  ketika lapak hendak dibuka, debu dan rumput yang tumbuh dengan subur menjadi pekerjaan rumah yang harus di atasi terlebih dahulu guna menciptakan suasana nyaman para pengunjung yang menghampiri lapak baca perpustakaan jalanan.  Namun problem itu ternyata tidak berjalan lama, tiba-tiba Dinas Pekerjaan Umun memasang papan kontrak pertanda pekerjaan akan dilaksanakan secepat mungkin. Kabar akan di percantiknya pinggiran alun alun membuat haru sebagaian pegiat yang setia melawan kantuk setiap pagi demi membuka lapak baca, Artinya, persoalan rumput dan debu akan teratasi.

Ketiga, Kehadiran manusia lain di Rumah Baca Komunitas (KKN 06 UMY)
Saya ingat betul waktu pertama kali bergabung dengan Rumah Baca Komunitas, komunitas ini berdiri dengan tidak banyak orang, namun penuh dengan gagasan yang inovatif.  Seiring waktu berjalan dengan sangat cepat, satu persatu orang datang untuk kemudian bersedia dengan senang hati tanpa pamrih menjadi relawan Rumah Baca Komunitas. Tidak hanya itu, moment yang sangat menyenangkan adalah pada awal bulan september yang lalu, kemunculan anggota kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN 06) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang berjumlah 18 orang memberikan warna tersendiri untuk kecerian di rumahnya manusia. Ada semacam kegembiraan di raut wajah beberapa pendiri Rumah Baca Komunitas, Ahmad Sarkawi, Fauzan Anwar Sandiah, David Efendi, dan Sakir misalnya.  Hadirnya manusia baru dirumahnya manusia menyelipkan seuntai kegembiraan bercampur haru diraut wajah para laki-laki ini. Saya berkhusnuzon, mungkin inilah kemenangan kaum literasi yang absolut yang di tunggu-tunggu sejak lama oleh pendiri Rumah Baca Komunitas.


Melek: Refleksi sekolah Literasi #1

Oleh: Sakir (Mas Kumis)

Catatan ini hanya sekilas apa yang saya rasakan dan pikirkan tentang “Sekolah Literasi”#1 yang dilahirkan oleh Rumah Baca Komunitas (RBK). Catatan ini tidak akan membahas banyak terkait materi kurikulum yang sudah didiskusikan pada setiap pertemuan. Karena jujur saja saya belum banyak hantam buku hingga saat ini.
Sejak mulai menyusun rancangan konsep Sekolah Literasi hingga pelaksanaanya banyak anugerah yang dapat saya ambil. Berikut ini anugerah yang saya dapatkan saat mengikuti sekolah literasi:

Pertama, pada hari Jumat, 28 Agustus 2015 merupakan pertemuan ke 4 sekolah literasi. Materi yang diskusikan tentang Konsep & Metode Pendidikan kritis dalam gerakan literasi. Om Weik selaku fasilitator membawa diskusi dengan penuh semangat sebagaiman ciri khasnya. Om Weik menjelaskan tentang sejarah pemikiran kritis, gerakan kritis dan aktifis literasi dan Gerakan literasi yang populis/pro-rakyat. Sebelum jauh menjelaskan 3 sub-topik tersebut. Om Weik terlebih dahulu memberikan pertanyaan kepada temen2 sekolah literasi “Apa yang kalian pahami dari kata kritis?”. Om Weik meminta memberikan jawaban dalam satu kata. Waktu ini saya memaknai “Kritis” dengan satu kata yaitu “melek”. Kata “melek” yang saya maksud adalah kita harus melek terhadap berbagai persoalan dimana kita berada. Namun, yang lebih penting adalah “Sejauhmana kita melek terhadap diri sendiri”, sebelum kita melek terhadap apa yang sudah dilakukan orang lain. Kadang tanpa kita sadari atau kita memang sadar, menilai bahwa orang lain belum bisa memanusiakan manusia. Sedangkan kita sendiri lupa atas apa yang sudah dilakukan (apakah yang sudah kita lakukan benar-benar sudah memanusiakan manusia atau justru malah jauh dari konsep tersebut). Perlu kita renungkan…semoga kita menjadi manusia yang senantiasa mengasihi dan menyayangi sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Kedua, Kesepakatan bersama Sekolah Literasi. Pertemuan pertama sekolah literasi kita sepakat bahwa desain sekolah literasi yang kita sepakati adalah 1)Santai dan Membahagiakan, 2) Aktif dan Asyik, 3)Menghargai Waktu, dan 4) Saling Menghargai. Perlu kita renungkan kembali “apakah kita semua sudah menjalankan kesepakatan itu?” atau justru melupakan kesepakatan tesebut. Tidak sedikit dari kita yang kurang menghargai waktu dan kadang pegiat rbk justru yang lebih aktif/menguasi saat diskusi sehingga keaktifkan temen2 yang lain kurang terlihat. Kesepakatan bersama tersebut perlu kita renungkan dan jabarkan sehingga benar-benar bisa dinikmati oleh semuanya. Oleh karena itu, pada setiap akhir sekolah literasi perlu dilakukan evaluasi baik dari temen2 sekolah literasi maupun dari temen2 Rumah Baca Komunitas. Sehingga kita dapat mengetahui apa yang dirasakan temen2 sekolah literasi selama mengikuti sekolah literasi dan mengetahui apakah sekolah literasi sudah terlaksana sesuai dengan yang dimpikan oleh Temen2 Pegiat Rumah Baca Komunitas. 
Harapan saya, kita semua tetap komitmen dan konsisten atas apa yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama untuk tetap berbagi masa depan salah satunya melalui sekolah literasi. Saya pribadi mohon maaf atas segala kekurangan saya selama pelaksaaan sekolah literasi yang belum banyak membantu baik secara pikiran, tenaga dan lainnya. Terimakasih saya haturkan kepada Cak 
David Efendi David Efendi, OmAhmad Sarkawi, Om Fauzan Anwar Sandiah, Om Unggul Sujati Prakoso, Om Lutfi Zanwar Kurniawan, Kanda Abdullah Zed Munabari, Bung Yoga Mascu, Adikku Agam Primadi, Kakak Vitho Rumarey Wattimena, Gus Indra Pradhanaxs dan semua pegiat Rumah Baca Komunitas serta temen2 sekolah literasi.
Selasa, 08 September 2015
Ruang Referensi Prodi Ilmu Pemerintahan UMY 
(Salah satu tempat favorit saya untuk “Melek atas diri sendiri”)


https://www.facebook.com/syakir.imoet/posts/987998901222820

Monday, September 7, 2015

Patriotisme Berkemajuan

Oleh: David Efendi*

Ratusan tahun lalu Plato pernah menuliskan bahwa ‘pendidikan itu bukan seperti mengisi air dalam bejana tetapi menyalahkan obor’. Artinya, pendidikan menjadi pintu gerbang peradaban zaman. Dengan ilmu pengetahuan manusia diharapkan mampu mendayagunakan kemampuannya, kreatifitasnya, karya, dan juga termasuk daya survivenya di tengah arus pancaroba zaman. Manusia yang dianugerahi nalar budaya: rasa, cipta, dan karya kemudian menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling memungkinkan untuk mengemban amanah melestarikan bumi, menjaga keseimbangan peradaban, dan dalam skope yang lebih sempit dapat menjaga martabat bangsanya. Dari sinilah kita bermula membincang idealisme suatu bangsa,merevitalisasi pencasila, dan juga memaknai nasionalisme dan bagaimana patriotisme seharusnya diwujudkan.



Lebih dari lima belas tahun kita menjalani massa di mana kebebasan dan demokrasi diagungkan sejak tumbangnya era kekuasaan Orde Baru. Janji kesejahteraan yang disemai dalam beragam kemasan demokrasi dan proyek desentralisasi belum menggembirakan. Rezim berganti berkali-kali namun  mimpi-mimpi demokrasi ekonomi dan demokrasi pansasila belum benar menjadi kenyataan. Kita dapat secara obyektif melihat pembangunan ekonomi kita yang gagal (pemerintah berdalih  soal pelambatan); berbagai tragedi intoleransi, kecaman terhadap ‘bobroknya’ pancasila sebagai way of life dan banyak lagi kegaduhan politik yang kontraproduktif. Bangsa ini masih disibukkan dengan hal-hal yang remeh temeh perihal saling mengutuk, dan sementara bangsa lain di kawasan Asia sudah mengencangkan berbagai strategi dagang yang akan melibas republik ini jika tak punya jurus antisipasi. Pada saat tulisan ini diselesaikan, US Dollar senilai 14.296; dan Yuan dberitakan akan mengancam rupiah.

Yudi Latif (2015) dalam buku terakhirnya yang ia berikan judul Revolusi Pancasila menggagas patriotisme progresif yang diartikan sebagai upaya untuk mencari jalan keluar atau solusi dari ancaman kehancuran bangsa dengan melakukan kegiatan yang nyata dan bukan hanya mengutuk kegelapan atau mencari lawan saja. Bisa jadi, kegelisahan ini berdasarkan pada fakta bahwa sebagian anak bangsa ini ada kecenderungan untuk selalu menolak keadaan, selalu tidak puas dengan capaian-capaian, bahkan tidak percaya pada kekuatan gagasan pancasila namun tidak diiringi dengan upaya nyata untuk mencegah keruntuhan bangsanya. Inilah barangkali pembacaan yang penulis dapatkan dari gagasan besar patriotisme progresif yang kemudian penulis artikan dengan patriostisme berkemajuan.

Selain warning Yudi Latif, sebetulnnya sudah banyak tokoh bangsa ini memberikan risalah untuk penyelamatan bangsa ini dari kehancuran total seperti M Amien Rais (2008) dalam buku Selamatkan Indonesia, Nurkholis Majid dalam buku tipis yang sangat kuat pesan kebangsaannya yaitu yang ia himpun dalam buku Indonesia Kita (2004), dan juga yang tak kalah penting adalah naskah pidato Kebudayaan W.S Rendra yang dibacakan pada saat pemberian gelar Doktor Honoris causa di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 6 Maret 2008. Selain itu, dalam buku “mencari autentisitas dalam kegalauan’ (2003) Ahmad Syafii Maarif mengajak bangsa ini siuman dari kerusakan di bidang pendidikan, agama, dan kebudayaan yang nyaris sempurna. Berbagai gagasan cemerlang oleh para tokoh bangsa tersebut di atas adalah wujud nyata dari patriotisme berkemajuan.

Kita telaah singkat bagaimana prospek gagasan-gagasan anak bangsa tersebut jika kita teropong hari ini. Amin Rais yang melihat penyelamatan tambang dari penjarahan korporasi global sebagai tindakan strategis dan sebagai agenda mendesak bangsa untuk membabat ketimpangan ekonomi di republik ini. Salah satu solusinya adalah kontrak ulang dengan para investor asing yang sudah terlalu banyak mengambil keuntungan. Solusi radikal lainnya adalah dengan memutuskan kontrak, dengan kata lain ini yang disebut Sukarno sebagai tindakan ‘nasionalisasi’. Nurkholis Majid melihat lebih sistematis lagi yaitu dengan menjalankan sepuluh platform pembangunan yang meliputi (1) mewujudkan good governance; (2)Menegakkan supremasi hukum; (3) Reformasi ekonomi (sektor riil); (4)Mengembangkan dan memperkuat pranata demokrasi, kebebasan sipil; (5)Ketahanan pangan dan keamanan; (6)Pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan; (7)Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga; (8) melaksanaan rekonsiliasi nasional; (9) memelihara keutuhan NKRI; (10) Berperan aktif menciptakan perdamaian dunia.

Sementara Rendra melihat kemungkinan adanya zaman ‘Kalasuba’ (zaman kesejahteraan rakyat) yang mesti diantisipasi kehadirannya dengan kerjakeras dan bukan hanya sabar dan tawakal menunggu kehadiran “ratu adil” karena tegaknya kekuatan bangsa bukan karena sang “Ratu Adil” akan tetapi oleh negara yang adil, mandiri, dan terkawal. Sebagai upaya kongkritisasi gagasan Patriotisme progresif, Yudi Latif juga memberikan penjabaran bagaimana agar anak bangsa membangun optimisme untuk tidak larut dalam keterpurukan alam bathin, alam pikir, dan alam praksis sosialnya.  Revitalisasi ‘patrisotisme’ ini dapat dimulai dari pembangunan karakter  nilai kejujuran, kerja keras, adil sejak dalam pikiran, dan keberanian untuk berpihak kepada kepentingan rakyat kebanyakan dan  juga diperlukan jihad (upaya sungguh-sungguh) untuk menjaga bangsa dari kehancuran, dari kebodohan sifat inlander  dan tikaman kapitalisme yang terkutuk.

Patriotisme hari ini tak cukup hanya untuk diperbincangkan namun harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh, dengan kerja keras yang konsisten tidak mengenal lelah untuk menyemai perubahan yang diharapkan. Gagasan sudah lebih dari cukup untuk kembali memperkuat negara-bangsa ini, tentu political will dari the rulling elites yang mengelola negara ini harus juga didorong untuk mengarahkan kiblat bangsa ini ke kiblat yang menuju kemantapan ekonomi, sosial, budaya, politik yang pro kepentingan rakyat dan bukan diarahkan kepada keadaan kalatida atau kalabendu. Kegalauan harus diusir. Nilai-nilai autentisitas bangsa ini cukup menjadi modal untuk kembali ke jalan yang benar yaitu dengan merevitalisasi nilai luhur pancasila dengan tekad juang paripurna untuk mewujudkan revolusi pancasila.[]


 )* Dosen Fisipol UMY, Pendiri Rumah Baca Komunitas.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK