Monday, December 31, 2012

Akhir Tahun 2012 Menegaskan Gagalnya Peran Negara

Oleh : David Effendi
Pegiat Rumah Baca Komunitas


Perjalanan negara ini, setiap penghujung tahun selalu diuji dengan bencana alam. Baik karena natural disaster (murni kejadian alam) maupun human made (kesalahan manusia/tekhnologi). Termasuk akibat sengketa dan konflik antarwarga sebab sentimen SARA.

Kita ingat, pada akhir tahun 2004 ditutup dengan ratap tangis korban Tsunami di Aceh, akhir tahun 2009 ditutup dengan suasana pedih korban gempa Padang,  akhir tahun 2010 letusan gunung merapi meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya. Sedangkan tahun 2012 yang konon kabarnya adalah tahun 'kiamat' ditutup dengan serentetan duka konflik antarwarga. Termasuk sengketa iman, rebutan lahan, sentimen SARA semua itu semakin menegaskan, gagalnya peran negara.

Kejadian di Lampung, dilihat dari kacamata kami, warga yang tinggal di luar daerah yang dikenal sebagai say bumi ruah jurai itu mengisyaratkan integrasi bangsa ini rapuh dan proses pembangunan bangsa ini juga memang benar- benar belum usai. Menurut istilah Max Lane, unfinished nation state building. Artinya, bangsa ini terus dihantui oleh ancaman disintegrasi sosial, politik, ekonomi dan budaya--kapan dan dan tanpa dapat diprediksi dengan tepat ibarat letusan gunung merapi.

Apa yang mesti dikoreksi dari lintasan kejadian selama tahun 2012 ini. Mengutuk pemerintahan yang absen, terlalu sibuk pencintraan, dan penyelamatan diri dari jaring anti-korupsi dan sebagainya tentu saja belum cukup.

Kerentanan sosial dan politik ini, salah satunya, dapat dibaca dari konsep 'governability' dimana negara yang menurut Marx Weber adalah lembaga yang secaa syah menggunakan kekerasan itu tidak dapat difungsionalisasikan dengan tepat sehingga justru paradok yang muncul. Paradok artinya kehadiran dan ketidakhadiran 'negara' itu keduanya membawa 'petaka' bagi eksistensi kedamaian dan kerentanan sosial. Jika 'negara' yang sering diharapkan peran 'pembawa kebiakan umum' saja gagal menjalankan fungsi dasarnya tentu saja psimisme bangsa akan melanda sampai ke level paripurna. Wajar saja, komunitas Anti-Tank di Yogyakarta mempublikasikan seruan untuk 'jangan pernah perecaya kepada pemerintah' dan juga menyebutkan bahwa itu penuh “kebohongan|” dan “bajingan” (dengan gambar gedung MPR melatarinya).

Trust masyarakat telah dibunuh oleh pemerintah itu sendiri sehingga klimaknya, setelah ada gambar Budiono: antara ada dan tiada, lalu muncul di dunia maya mengabarkan kehilangan sosok presiden: Dimana atau kemana presiden pada saat silang sengkurat antara Polri dengan KPK. Sinyalemen pelemahan negara oleh pembajak demokrasi dan elit pembunuh keadilan itu kemudian bermuara pada ekpresi masyarakat tentang 'kegagalan negara dan kebohongan negara' yang juga menimbulkan kegaduhan politik yang sangat serius----lantaran, negara menjawab kritik dengan membalas kritik sehingga ada upaya menjawab dengan kerja keras dan kejujuran untuk menyampaikan fakta. Inilah sebab kegaduhan dalam pemerintahan 'yang mengedepankan pencitraan ketimbang menjawab kebutuhan riil publik.

"Kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.” Demikian dictum dari pasal 5 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian di Negara kita. Jelas idealnya, lembaga Negara ini diharapkan menjadi bagian dari solusi baik prefenstif maupun penindakan tetapi dalam praktiknya, lembaga Negara baik kepolisian maupun TNI justru menjadi part of problem. Kasus sengketa wewenang POLRI dengan KPK, TNI dengan insane media (di Ambon baru-baru ini setelah kejadian di Riau) dan sejarah republik ini nampaknya oknum ‘pengguna kekerasan secara sah’ ini kerap kali kontraproduktif dengan pembangunan politik dan demokrasi.

Kondisi ini tidak 100% murni kesalahan TNI ataupun polisi karena sebenarnya dalam batas tertentu mereka sudah sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan iklim demokrasi dan batasan isu Hak Asasi Manusia namun ada beberapa kondisi yang menjadikan posisi ‘agen’ jasa keamanan resmi ini dalam situasi delematis. Satu sisi, laiknya Negara transisional oknum ‘keamanan’ diharapkan mampu menjadi katalisator dari berbagai upaya kelompok baik yang pro dengan strategi kekerasan (GAM di Aceh, OPM di Papua, kelompok pro integrasi dan merdeka di Timor-Timur) dan sebagainya. Namun, di sisi lain ada batasan dan penghargaan terhadap kebebasan sipil dalam nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat serta berserikat.

Dalam situasi chaos seperti tahun 1998, 2003, konflik ‘SARA’ dan juga di penghujung tahun 2012 ini ‘negara’ benar-benar dalam keadaan sulit untuk memastikan masyarakat hidup dalam damai. Kita lihat, serentetan konflik antar desa, antar suku, antar aliran kepercayaan/agama terus terjadi dan Negara dihadapkan kepada dua pertanyaan besar dari kedua belah pihak baik yang menghendaki peran kuat Negara atau yang menghendaki tegaknya Hak Asasi Masyarakat Sipil. Satu kelompok mempertanyakan kemana Negara di saat situasi perang/konflik? Dan satu sisi melontarkan kenapa Negara bersifat represif dan tidak memanusiakan manusia?

Mencari Solusi

Setidaknya ada dua penjelasan solusi. Pertama, jika persoalan tawuran, geng motor, konflik antar keyakinan agama, dan pilkada adalah dianggap sebagai ekpresi protes dari ketidakadilan yang terjadi secara luas dan akibat Negara gagal menegakkan janji kesejahteraan maka pemerintah harus menjawab dengan kerja nyata perbaikan ekonomi, kesempatan kerja, pendidikan, secara nyata dan integral dengan tempo yang sesingkat-singkatnya dan dengan komunikasi yang proporsional selama program itu berlangsung tanpa tendensi politik musiman (baca: kepentingan pemilu 2014).

Dan kedua, apabila persoalan kekerasan dan banalitas masyarakat yang menggejala akhir-akhir ini akibat dari kegaduhan politik, korupsi, dan hilangnya kepemimpinan yang berkarakter pro- rakyat (strong leadership) atau dalam bahasa agama keteladanan pemimpin (authentic leadership) maka harus ada upaya yang sangat radikal untuk menghukum ‘pejabat’ bermental busuk dengan cara-cara yang diluar kebiasaan mekanisme birokrasi. Gebrakan melawan mentalitas permisif itulah yang sekarang dibutuhkan tanpa kehilangan dukungan moral publik.

Jika makna toleransi justru dipelihara untuk melegalkan kejahatan terhadap bangsa, maka wajar saja dan akan terus mengalami siklus kekuasaan elit yang bersifat predator dan kanibal yang pada endingnya nanti baik secara langsung maupun tidak langsung, secara radikal maupun konvensional akan turut andil meruntuhkan Indonesia. Jika demikian kondisinya, tahun 2013 akan diliputi kabut hitam untuk mimpi Indonesia yang lebih maju dan sejahtera

Sumber : koraneditor.com, (2 Jan 2013)

Taman Baca di Terminal


Oleh : Agus M Irkham
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat

salah satu kegiatan Sakila Kerti, Panturanews.com
Oktober lalu saya berkunjung ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Sakila Kerti Tegal. Taman baca itu berada di terminal bus, menempati ruang berukuran 5 x 3 m, yang sebelumnya ruang merokok (smoking area). Fasilitas itu terbilang unik, tidak saja menyangkut lokasi tapi juga dari sisi pengunjung yang dilayani dan pengategorian buku.

Pengelola melabeli rak buku dengan tulisan ’’bacaan surga’’, ’’bacaan neraka’’, dan sebagai-nya. Label surga menadai buku-buku yang ada di rak itu berkategori buku tentang agama. Adapun label neraka adalah kumpulan buku yang mengulas kriminalitas dan sebagainya.

Banyak orang yang beraktivitas di terminal memanfaatkan fasilitas itu, dari pegawai pengelola terminal, pedagang asongan, cleaning service, penjaga WC umum, hingga pemilik toko/warung, termasuk calon pe-numpang. Taman baca itu juga menjadi tempat istirahat penumpang transit, terutama yang membawa anak kecil.

Satu hal lagi hal menarik yang harus saya ungkapkan ikhwal TBM Sakila Kerti adalah keberadaan media komunikasi terminal yang diberi nama Stanplat Post. Media itu menjadi sarana belajar menulis pengunjung tetap (orang-orang terminal) taman baca tersebut. Media seukuran tabloid ini berisi artikel, kolom, puisi dan reportase berita seputar terminal.

Pada edisi 1 Oktober 2012, Stanplat Post membuat kolom berjudul ’’Wajah Terminal Dulu dan Sekarang’’, tulisan Syaefudin, petugas kebersihan terminal.

Adapun rubrik budaya memnuat dua puisi. Satu dalam Bahasa Indonesia berjudul ’’Semangat’’, dan satunya dalam Bahasa Jawa dialek Tegal berjudul ’’Sewidak Pitu Taun’’. Dua puisi tersebut ditulis Saryadi R Lesmana, pengasong wingko babad.

Keberadaan TBM Sakila Kerti merupakan wujud nyata mende-kat-kan bahan bacaan kepada masyarakat di kota itu, terutama komunitas terminal, mengingat minat baca masyarakat cukup tinggi. Hanya karena kesulitan mengakses bacaan, menyebabkan aktivitas membaca buku hanya angan-angan.
Salah satu cara mengatasi masalah kesulitan akses tersebut adalah dengan mendirikan taman bacaan. Bahan bacaan yang kita dekatkan kepada masyarakat, ibarat buku adalah makanan, sedangkan calon pembaca adalah bayi maka makan-an harus secara pelan-pelan dan bertahap disuapkan.

Jateng Membaca
Terbukti begitu TBM Sakila Kerti dibuka, banyak anggota masyarakat, terutama komunitas terminal ber-datangan untuk membaca. Bebe-rapa wanita pedagang merasakan manfaat taman bacaaan itu. Seperti diungkapkan Wasilah (57) yang sudah 27 tahun menjadi pedagang asongan, sebelum terminal itu pindah ke tempat tersebut.

Dunia yang penuh keramahan, keteraturan, ketenangan, dan ketenteraman. Berbeda dari dunia nyata Wasilah, yang keras, harus berteriak, dan naik turun bus, berhadapan dengan penumpang yang kadang ketus. Kurang lebih hal yang sama diungkapkan Miah (68) yang sejak usia 13 tahun berjualan di terminal, mengasong nasi bungkus.

Kehadiran taman bacaan secara umum dimaksudkan merawat masyarakat yang semula buta huruf lantas sudah melek huruf tidak kembali menjadi buta huruf lantaran tidak pernah mempraktikkan.
Bertalian dengan buta huruf atau aksara ini, Jateng menempati peringkat II dalam jumlah penduduk penyandang angka buta aksara, setelah Jatim.

Karena itu, kehadiran taman bacaan masyarakat, termasuk Sakila kerti sangat relevan dengan upaya menjaga kelompok masyarakat yang sudah melek huruf agar tidak kembali menjadi buta huruf. Dalam konteks regional, inisiatif pendirian taman bacaan itu merupakan bagian dari upaya menyukseskan Gerakan Jateng Membaca yang dicanangkan Gubernur Bibit Waluyo awal September 2012.

Taman bacaan di ruang publik juga memberi inspirasi pada ruang publik lain, seperti ruang tunggu di stasiun, pelabuh-an, bandara, rumah sakit, dan mal. Terutama terminal lain di provinsi ini. Pasalnya saat ini untuk urusan membaca buku, masyarakat masih harus didekati dan ’’disuapi’’.

Sumber : SUARA MERDEKA, 31 Desember 2012

Friday, December 28, 2012

Tolong, Jangan Jual Buku Itu Mbak..

Oleh : Jamil Azzaini


"Saya punya pengalaman menarik dengan uang dua puluh ribu rupiah. Selasa lalu (5 Juni 2012), saya pulang dari Bali. Saat perjalanan pulang dari bandara, driver saya mengisi bahan bakar di pom bensin dan kesempatan itu saya gunakan belanja di Indomaret. Saya membeli panganan kecil dan minuman untuk disantap di perjalanan.

Saat saya hendak melakukan pembayaran, seorang anak remaja bertanya pada kasir, “Mbak, buku ini berapa harganya?” Dengan cepat petugas itu menjawab, “Dua puluh ribu rupiah.” Anak remaja itu berkata lagi, “Boleh gak buku ini disimpan jangan dijual, saya akan kumpulkan uang, nanti kalau sudah punya uang saya beli bukunya.” Petugas itu menggelengkan kepalanya.

Tanpa berpikir panjang saya langsung berkata, “Dik, ambil saja bukunya, saya yang bayarin.” Anak itu terdiam menatap saya tanpa berkata apapun. Maka saya tegaskan lagi, “Bawa pulang bukunya, itu hadiah dari saya.” Anak remaja itu kemudian menghampiri saya, menjabat tangan saya, mencium tangan saya berulang-ulang. Tangan saya basah oleh tetesan air matanya.

Diapun berkata lirih, “Terima kasih, om. Saya senang membaca buku yang bagus. Saya sering beli buku di tempat ini.” Sembari menahan air mata haru yang hendak keluar dari mata, saya tersenyum menatap remaja itu. Saya segera menuju mobil dan membiarkan air mata keluar membasahi pipi. Saya hanya bisa bergumam, “Oh, betapa banyak anak yang ingin maju dan berkembang tapi terkendala karena tak punya uang.”

Dua puluh ribu ternyata mampu membahagiakan seorang anak remaja yang senang membaca. Dua puluh ribu ternyata juga bisa membuat mata saya berkaca-kaca. Air mata yang meleleh dari mata saya adalah perpaduan antara rasa haru, sedih dan bahagia bercampur menjadi satu. Mari belanjakan dua puluh ribu rupiah untuk hal-hal yang bermakna…

Monday, December 24, 2012

Mahasiswa UPN Buat Film Tentang RBK

(24/12/2012, Bantul, DIY). tanggal 18 desember sejumlah mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, terlibat dalam proses pembuatan film RBK. proses pengambilan gambar ini dilakukan di sela-sela kegiatan RBK dan masih memakan beberapa hari lagi untuk pengambilan gambar.


RBK Latih Mahasiswa UMY Public Speaking

(24/12/2012, Bantul, DIY). bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), 18 Desember 2012, Rumah Baca Komunitas (RBK) bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani (LaPSI) mengadakan pelatihan terhadap 95 mahasiswa UMY.


Saturday, December 15, 2012

Mensekaratkan (Kreativitas) Penerbit

Oleh : Bambang Trimansyah
Editor Buku, Konsultan Naskah dan Penerbitan

misterluthfi.wordpress.com
Alih-alih hendak menyiapkan buku teks yang berkualitas, bukan tidak mungkin, dengan waktu penyiapan yang singkat (kurang dari enam bulan), buku-buku tersebut dapat saja mengandung aspek kelemahan editorial karena ditangani bukan oleh ahlinya atau tenaga profesional. 

Apa yang dikhawatirkan kalangan penerbit buku teks menyangkut pemberlakuan kurikulum baru tahun 2013 akhirnya terungkap juga. Seiring dengan pelaksanaan uji publik kurikulum, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun mengeluarkan komentar bahwa buku teks atau buku pelajaran akan diadakan langsung dari Pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Pusat Kurikulum dan Perbukuan), yaitu penulisan dan pengemasan editorialnya. Penerbit hanya diberi peran untuk menggandakan apa yang diistilahkan "buku babon" (buku pegangan) ini.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berkilah, hal ini demi penyediaan buku yang berkualitas, terpusat, dan tentunya menjadi jawaban atas fenomena yang berkembang dalam setahun terakhir, yaitu adanya beberapa buku (LKS) yang bermasalah: mengandung pornografi dan ketidakpatutan, juga disusupi paham berbahaya. Artinya, penerbit buku teks yang selama ini berada di industri kreatif penerbitan harus bersiap menghentikan kreativitasnya dan cukup berharap sekadar jadi pencetak, padahal tidak semua penerbit memiliki usaha percetakan. 

Pola yang serupa tetapi tak sama adalah ketika Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kemdikbud) menyediakan apa yang disebut buku teks pokok atau disebut buku paket hanya untuk SD dan SMA pada 1990-an. Buku paket ini ditulis oleh tim yang dibentuk Depdiknas (Pusbuk), terdiri atas pakar perguruan tinggi serta guru sekolah. Buku ini pun diedarkan untuk digandakan dan didistribusikan di tingkat kanwil, kandep, hingga sekolah (Supriadi, Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000). Bedanya, jika dulu ada buku teks pokok atau buku paket yang dibagikan gratis, ada pula buku teks pelengkap yang membebaskan sekolah untuk memilih. Di sinilah para penerbit swasta masih bisa berperan mengkreasikan buku-bukunya dan bersaing dalam bisnis dengan istilah buku teks pelengkap.
Sewaktu proyek buku sekolah elektronik (BSE) diluncurkan pertama kali pada masa Mendiknas Bambang Soedibyo, lonceng kematian bagi penerbit buku teks sebenarnya sudah dibunyikan. Penerbit hanya boleh berpartisipasi menilaikan bukunya ke Pusbuk (sekarang Puskurbuk), lalu buku yang lolos akan dibeli hak ciptanya secara berjangka selama 15 tahun. Belakangan, bukan hanya penerbit, tapi juga penulis boleh mengajukan bukunya sendiri yang jelas memberi peluang lahirnya penerbit swakelola (self publisher) buku teks. Buku pun bebas diunduh oleh publik dari laman Pusbuk, dan siapa pun bebas mencetak serta menjualnya. Dapat dibayangkan kekacauan peran di sini ketika pencetak juga menjadi penerbit dan penjual BSE, toko buku juga demikian, dan siapa pun bisa menjadi penerbit dan penjual BSE dengan ketentuan memberlakukan harga pagu. Industri penerbitan buku teks hampir dibuat mati suri.

Namun, dalam konteks ini, para penerbit buku teks masih melihat celah kehidupan, karena banyak juga sekolah yang enggan menggunakan BSE dengan alasan faktor pengemasan editorial yang tidak memenuhi ekspektasi mereka. Sekolah-sekolah itu lebih memilih buku teks pelengkap (supplementary text book) yang diterbitkan penerbit swasta, apalagi penerbit dengan pengalaman belasan hingga puluhan tahun di bisnis ini. Dalam masa ini pula pemerintah sudah menerbitkan peraturan tentang larangan penjualan buku langsung ke sekolah-sekolah dengan sanksi yang berat. Penjualan buku dialihkan ke toko-toko buku ataupun koperasi sekolah.

Industri yang Memusingkan

Industri buku teks boleh dikatakan industri yang sarat masalah dari dulu. Masalah dipicu ketika penerbit buku teks melakukan penjualan langsung ke sekolah dengan memotong jalur distribusi di tingkat toko buku. Penerbit bertransaksi dengan pengambil kebijakan di sekolah (guru, kepala sekolah, yayasan). Akhirnya, modus pemberian diskon atau iming-iming lain pun memunculkan persaingan dalam bisnis ini yang terkadang menjurus tidak sehat. Buku yang berkualitas hanya menjadi pertimbangan kesekian dibanding diskon yang besar.

Demi menguatkan eksistensi dan perannya dengan potensi puluhan juta siswa di Indonesia, para penerbit pun membangun jalur distribusi sendiri dengan mendirikan cabang-cabang di ibu kota provinsi hingga ke daerah tingkat II. Seiring berlalunya masa, kreativitas penerbit buku teks pun makin menjadi-jadi, baik dalam hal pengemasan maupun penjualan. Pergantian kurikulum ibarat blessing in disguise yang memicu penerbitan front list buku-buku baru. Alhasil, gelombang keluhan dari masyarakat pun mengalir, terutama pada masa reformasi yang menolak jargon "ganti tahun ganti buku" yang dulunya masih berbunyi "ganti kurikulum ganti buku".

Buku teks pelengkap yang dimaksudkan sebagai pendamping buku paket, seperti diungkapkan Dedi Supriadi dalam Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, malah berfungsi "menyingkirkan" buku paket. Buku paket bantuan pemerintah secara cuma-cuma itu akhirnya hanya menjadi koleksi setia perpustakaan sekolah.

Industri buku teks ini menjadi industri yang memusingkan, bahkan ditengarai seperti lingkaran setan yang tak berujung, karena terjadi konflik kepentingan antara pemerintah, penerbit swasta, pejabat pendidikan di daerah, distributor buku, pencetak, toko buku, sekolah, orang tua, dan siswa. Tidak kurang Presiden Megawati dan Presiden SBY pun menjadikan soal buku teks ini menjadi isu kampanye mereka bahwa rakyat tidak boleh lagi dibebani dengan pembelian buku teks.

Di sisi lain, industri buku teks ini juga hidup dari proyek-proyek pemerintah. Pemerintah merasa memang tidak bisa sendiri melakukan pengadaan buku hingga akhir 1990-an. Awalnya, buku paket untuk tingkat SD diadakan dengan kerja sama Pusat Perbukuan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Balai Pustaka (yang memiliki hak penggandaan). Untuk SLTP (SMP), pemerintah melibatkan penerbit swasta dengan Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca (PBMB) yang didanai pinjaman Bank Dunia (World Bank) pada 1996-2000. Buku-buku penerbit swasta--berupa buku teks siswa dan buku pegangan guru-dinilai oleh Panitia Nasional Penilai Buku Teks (National Textbook Evaluation Committee/NTEC) yang diketuai Dirjen Dikdasmen. Buku yang lulus kemudian dibeli oleh proyek. Betapa bergairahnya penerbit buku teks masa itu, meskipun hanya berimbas pada segelintir penerbit yang bukunya lulus. Belakangan, bantuan proyek ini dihentikan World Bank karena dianggap beraroma korupsi dan kolusi, sehingga beberapa penerbit masuk daftar hitam penerbit Indonesia versi World Bank.

Kerancuan Peran

Persoalannya sekarang bukan hanya kebijakan ini telah menghentikan kreativitas penerbit buku teks yang sama dengan membuatnya sekarat, melainkan benarkah pemerintah mampu menyediakan buku teks dengan muatan kurikulum tematik integratif yang memenuhi standar buku teks sebenarnya? Meskipun pemerintah memiliki dana untuk menyiapkannya dan paling tahu tentang kontennya, tentu patut dipertanyakan pula tentang sumber daya perbukuan yang dilibatkan, seperti penulis, editor, penata letak, ilustrator, dan desainer buku. SDM penerbitan adalah para profesional dengan keahlian di bidang masing-masing. Tampaknya Puskurbuk pun harus melakukan perekrutan dan pengerjaan simultan yang memerlukan tenaga terampil dengan tenggat yang ketat dan standar kualitas yang baik.

Alih-alih hendak menyiapkan buku teks yang berkualitas, bukan tidak mungkin, dengan waktu penyiapan yang singkat (kurang dari enam bulan), buku-buku tersebut dapat saja mengandung aspek kelemahan editorial karena ditangani bukan oleh ahlinya atau tenaga profesional. Buku pegangan versi pemerintah ini pun akan mubazir jika akhirnya tidak dapat digunakan di sekolah-sekolah, karena Puskurbuk Kemendikbud dalam hal ini memang bukan penerbit dalam arti sebenarnya.


Sumber  : http://budisansblog.blogspot.com/2012/12/mensekaratkan-kreativitas-penerbit.html


Surat Pegiat Literasi Indonesia


11 Desember 2012 yang lalu, seorang pegiat RBK membuat postingan menarik di sebuah website, yang banyak direspon secara positif. tulisan kali ini hanya sekedar berbagi, bahwa masih ada optimisme terhadap upaya-upaya perbaikan kualitas SDM di Indonesia melalui pemuda/i. Melalui entri Catatan RBK, berikut kami kutipkan postingan tersebut. 

Sebelumnya Mohon ijin , Saya Arif Indra Wanta adalah volunter dari Rumah Baca Komunitas di Yogyakarta dan aktifis pelajar juga mau menyampaikan tentang gerakan satu juta Ruma Baca untuk rakyat, ini Ide Kami bukan saya sendiri.

Gerakan GERAKAN 1 JUTA RUMAH BACA UNTUK RAKYAT yang disingkat GERABA merupakan salah satu bentuk gerakan creative social responsibility (CSR) yang dipelopori anak-anak muda yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap pentingnya membaca untuk menjadikan rakyat lebih sadar, maju, dan berdaya. Karena itu, salah satu misi dari gerakan membaca dalam GERABA adalah berisi tiga hal yaitu penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan. Keyakinan kami adalah dengan melahirkan masyarakat yang melek baca maka rakyat tidak dapat dibodohi dan ditindas.
Wujud kongkrit dari gerakan ini adalah program inisiasi terhadap lahirnya perpustakaan komunitas dan pemberdayaan yang sudah ada melalui gerakan buku bergulir kepada perpustakaan di seluruh tanah air. Misi mulia ini tidak akan tercapai tanpa dukungan dan peran kita semua. Anak bangsa ini akan bangkit seiring meningkatnya minat baca dan angka melek baca di kalangan masyarakat. Keyakinan kami semua adalah sama bahwa dengan membaca pengetahuan diraih dan dari sana kemudian dapat direfleksikan menjadi berbagai karya yang produktif, inovatif, dan progresif untuk memenangkan persaingan global.
Gerakan yang lahir dari komunitas anak muda ini mengetuk semua orang dari semua kalangan dan berbagai macam latar belakang untuk peduli dan memberikan sumbangsih kepada gerakan ini. informasi dapat diakses dari facebook (Rumah Baca Komunitas), tweeter (mabaca), dan blog Rumah Baca Komunitas (http://rumahbacakomunitas.blogspot.com/).

beberapa respon : 

Semoga terealisasi ya untuk menjadikan rumah baca sebagai sarana masyarakat Indonesia, dan yang terpenting adalah bagaimana kita bisa membentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca, oleh karena itu perlu diiringi dengan sosialisasi kreatif keseluruh lapisan masyarakat agar lebih minat dalam menggali ilmu, pengetahuan serta wawasan lewat media membaca. wallahu yusahhil

------------------------
Saya suka dengan idenya, karena dulu juga saya dan seorang tetangga punya rencana untuk membuka rumah baca. Ada penerbit yang memberikan bukunya dengan gratis, begitupun tetangga saya itu menyediakan rumahnya untuk rumah baca tersebut. Namun ada kendala yaitu minat baca yang kurang dikalangan anak-anak (karena target utamanya adalah anak-anak), dikarenakan mereka lebih suka bermain. Berhubung saya juga tidak fokus, jadi rumah baca itu tidak digencarkan. 
Ya mudah-mudahan mas Arif tidak mengalami apa yang saya alami. Dan kalopun menghadapi hal itu semoga bisa mengatasinya, jangan kayak saya yang pada akhirnya membiarkannya begitu saja. Hehe. Maaf malah jadi curhat :D
Semoga lewat gerakan ini bisa menjadikan masyarakat Indonesia lebih cerdas ^^

kutipan diperoleh dari  : http://www.komunitassuksesmulia.com/forum/topics/social-innovation-challenge-gerakan-satu-juta-rumah-baca-untuk

RBK Bahas Peringkat Minat Baca di Indonesia


(15/12/2012, RBK News, Yogya). Berdasarkan pada rilis terbaru PISA (Program for International Student Assessment), sebuah sistem penilaian yang berada di bawah kordinasi OECD (Organization for Economic Cooperation and Development ) yang bertanggung jawab melakukan analisis terhadap ketertarikan, kapasitas dan minat membaca anak 15 tahun dalam bidang literasi, matematika dan sains di Negara maju dan berkembang, menyatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 56 dari 65 Negara partisipan PISA. 

Tadarus Gerakan iqro #7 di Rumah baca Komunitas-Selasa, 11 Des 2012, menghadirkan David Efendi.,M.A sebagai narasumber, dengan tema 'Minat Baca Bangsa dalam Angka" yang kurang lebih banyak mengupas persoalan literasi di Indonesia. Data tentang ketertinggalan Indonesia dalam kemampuan literasi adalah pukulan telak bagi pegiat literasi. sekarang bagaimana menghasilkan jalan alternatif?, di tengah lingkaran masyarakat yang semakin pragmatis, hedonisme yang semakin menggurita, dan pemujaan kaum muda kepada kematian berpikir. 







Thursday, December 6, 2012

RBK Hibah Buku ke Jawa Timur

(07/12/2012, RBK News)Kegiatan bertajuk "Buku Untuk Rakyat-Dari Jogja Untuk Anak Bangsa", yang diselenggarakan 30 Oktober 2012 oleh RBK sebagai salah-satu dari Program Unggulan, memberikan hibah sebanyak 350 buku untuk TBM YAA BUNAYYA Jawa Timur.



dari Kanan tampak Pegiat RBK ; Fida Afif, Direktur RBK ; David Efendi, serta rekan-rekan penerima hibah buku dari Jawa Timur.

Saturday, November 17, 2012

Inspirasi: Kupu-kupu dalam Buku Anakku

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Anak-anak adalah manusia masa depan,
Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-kupu dalam buku,
Tentu anakku, akan lebih siap melawan kegelapan masa depan
  
Pada saat anakku belum lahir aku sudah menyiapkan berderet-deret rak buku bukan hanya untuk minatku, tetapi juga buku-buku keluarga untuk bacaan istriku dan anak-anakku yang akan lahir ke dunia. Tidak heran, disaat ekonomi tidak stabil kami masih nekat membeli buku terbitan MDS yang harganya 1 -2 juta-an. Buku Halo Balita dan Ensiklopedia Bocah Muslim itu sudah bertengger di rumah sebelum anakku lahir di bumi. Gilanya, pada saat saya hanya seorang mahasiswa, dan istri saya sedang cuti yang juga guru TK Islam dengan gaji tidak cukup untuk memnayar listrik dan sembako setiap bulan. Dari buku itulah, rizki akan terbuka!

Itulah keyakinanku, itulah keimanan kami kepada Allah dengan jalan mencintai berbagai binatang pengetahuan dan imajinasi dalam buku.

Menjadi sedikit dari…

Artinya saya dan keluarga ingin selalu menjadi bagian dari pembaca buku. Di saat kami bepergian kemana dan sedang santai di mana kami selalu ‘sangu’ berbagai buku bacaan untuk saya, istri, dan anak. Katakanlah, ketika kami main di Sunday morning UGM selalu asik dengan aksi membaca di sekitar Masjid Kampus UGM. Semua menikmati dan bukan sekedar menikmati angins egar pagi ciptaan tuhan, tetapi juga firman-firman keindahan dan kebenaran dalam lembaran buku-buku yang diciptakan manusia. Di saat antri servis motor, antri periksa dokter, saya selalu emmbiasakan membaca buku baik ketika mengajak anak atau tidak. Dan ternyata itu menular kepada anak saya….alhamdulillah.
Beberapa hari lalu. Saya menulis catatan singkat ini:

Catatan Harian
Sangatlah kumimpikan sebuah negeri dimana rakyatnya berdaya dengan menguatnya tradisi membaca diantara warganya. Aku pun mencoba sekuat tenaga untuk membiasakan diriku, anak dan istriku semampuku. Hafiz berkembang dengan ketertarikan terhadap buku-buku yang bermacam-macam. Setiap hari, setiap waktu membawa dan membuka-buka halaman buku.

Di tempat reservasi tiket kereta api di stasiun tugu Jogjakarta. Pagi yang cerah, hari itu 14 Nopember 2012 saya dan anakku Hafiz membelikan Pak Dhe Tri tiket kereta api untuk tujuan Jakarta. Tentu saja sudah sangat berjubel dan nomor antrian panjang hingga lebih dari 55 orang sebelumku.

Aku: Nak, kamu tunggu  dulu, abi mau lihat-lihat jadwal tiket dan membeliknya secepatnya ya?
Hafiz : iya...,

Sejurus kemudian dia langsung mendekati tempat duduku yang kosong dekat kasir tiket dan mengambil posisi duduk dan mulai membuka tas bawaannya yang berisi dua buah buku. Aku pun sambil mengisi blangko tiket dan sesekali melihatnya. Dia sangat sibuk membuka-buka halaman buku dan dengan muka yang sangat ceria. Anak usia 3 tahun itu sudah bisa cuek dengan lingkungan kerumunan orang dan sibuk menikmati lembaran-lembaran buku. Walau sadar, dia belum bisa membaca vocal tetapi sudah kenal angka, binatang, dan simbul-simbol tertentu.

Dialah, satu-satunya manusia yang membaca buku di dalam ruang itu. Banyak anak-anak, remaja, mahasiswa, dan orang tua menunggu dengan bengong, sms-an, dan sebagainya tetapi tidak ada satu pun yang membaca buku. Ada ratusan orang berjubel memadati reservasi tiket memburu tiket liburan cuti bersama dan akhir tahun baru. Mereka tentu saja akan merayakan liburan, tanpa buku.

“Liburan dengan buku” adalah surga bagi aku sendiri dan tentu saja anakku. Setiap ada bazaar dan pameran buku pasti kami terlibat antrian panjang membayar buku dan menikmati gelaran buku di situ. Ibaratnya, kami ingin mewujudkan mimpi-mimpi Taufiq Ismail dalam puisinya “kupu-kupu dan buku” dimana dia memimpikan bangsa yang berbudaya membaca.

Sangat menyedihkan! Khususnya buatku, sebagai pegiat gerakan membaca dan pecinta buku. Salut  untuk anakku yang demen sekali dengan dunia buku. 

Karena kisah itu inspiratif, maka aku berpesan agar kamu semua, termasuk anak-anakku dan manusia pembelajar masa depan untuk membaca puisi inspiratif ini. Sebuah kisah kupu-kupu dan imajinasi masa depan bangsa. Silakan di simak puisi ini.

Ketika duduk di setasiun bis, di gerbang kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, balai desa, kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang, 

Ketika berjalan sepanjang gang-gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan yang mengandung ratusan rak buku dan cahaya lampunya terang-benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang, 

Ketika bertandang ke toko, warna warni produk yang dipajang terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran, dan aku bertanya di toko buku negeri mana aku sekarang, 

 Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya tentang kupu-kupu pada mamanya, dan mamanya tak bisa menjawab keingintahuan putrinya, kemudian katanya, “tunggu mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang kupu-kupu”, dan aku bertanya di negeri rumah mana gerangan aku sekarang, 
  
Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di setasiun bis dan ruang tunggu kereta api negeri ini buku di baca, di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang tepajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca. 
(puisi Karya Taufiq Ismail dengan Judul ‘kupu-kupu dalam buku’)

karena anakku dan mungkin aku saling menjadi sumber inspirasi untuk menegakkan perintah membaca. Maka spesial untuk anak-anaku, istiqomahlah menjadi pembaca walau engkau dalam keadaan yang paling tidak memungkinkan untuk membaca!


Friday, November 16, 2012

Misi Advokatif dalam Gerakan Iqro

Oleh : Iqra Garda Nusantara
Pegiat Rumah Baca Komunitas


Sebagaimana artikel Moh. Mudzakkir, habitus membaca yang sejak awal dikuasai oleh kelas menengah dan elit harus direbut oleh kaum proletar (mustadafin). Kaum-kaum pemilik modal di Perancis mengkonsumsi buku sebagai bagian dari hidupnya. Tidak ada yang aneh, tetapi itu adalah sebuah privilege yang sangat keji atas kaum-kaum proletar yang tidak mendapatkan akses sama baik dalam pendidikan formal.

ditambah lagi akses buku-buku berkualitas (tentu saja mahal tidak terjangkau).  Zaman terus bergerak, print capitalism tumbuh tidak terkendali sehingga buku-buku dan pengetahuan diproduksi lebih massal dan lebih terjangkau. Lalu, apa yang berubah dari diri kita---aktifis pelajar proleter yang mimpi perubahan?

Bergeming
Tidak banyak yang berubah bahkan semakin mengalami paradok. Anak-anak muda lebih senang dunia hura-hura ketimbang mengkonsumsi pengetahuan dan meningkatkan kadar intelektual. Tuna baca inilah yang merebak menjadikan anak-anak muda dan pemimpin di negeri ini mengalami penyakit gila yang disebut oleh Syafii Maarif sebagai “tuna idealism” yang akan berujuang pada tuna kuasa (Amin Rais dalam pidato guru besar, 2001). Karena apa? Buku, informasi, dan pengetahuan adalah kekuasaan.  Jika tidak punya, atau kecil jumlahnya maka kita adalah mustadafin dalam segala hal.

Karena ketidakmampuan berubah dan menerima perubahan/memanfaatkan monetum perubahan inilah kita menjadi involutif dalam dunia gerakan. Satu cara adalah perlunya ideologisasi gerakan membaca sebagai model gerakan advokasi nir-kekerasan. Anak-anak muda jangan hanya menyumpai buruk keadaan—hanya mampu memadamkan api tetapi istiqomah dalam kegelapan alam pikir akibat tuna baca tersebut.

Dengan gerakan iqro maka ada proses-proses penyadaran, ada potensi melakukan pembelaan terhadap situasi pribadi, sekitar, dan bahkan melakukan pemberdayaan dan proteksi terhadap komunitas yang kita yakini baik dan melawan kekuatan global yang dominative dan hegemonic. Membaca ideologis artinya menjadi budaya tanding atas penindasan terhadap jati diri dan idealism kita sebagai masyarakat berbudaya, islam, dan ramah lingkungan.

Terakhir, mari kita rebut bung. Mari kita rebut habitus membaca itu dari kaum kapitalis! 

Wednesday, November 7, 2012

Mas Hernowo dan Karyanya (Bacaan Wajib Aktifis Gerakan Iqro')


Singkat tentang Hernowo

Hernowo adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Di dunia internet, dia dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”. Hernowo memiliki konsep membaca dan menulis yang memberdayakan bernama “mengikat makna”. Dia tambahkan kata “memberdayakan” di dalam kegiatan baca-tulisnya karena “mengikat makna” adalah kegiatan membaca dan menulis yang dipadukan yang mampu menghadirkan kesenangan dan kegairahan serta menghasilkan (menjadikan seseorang produktif menulis).

Hernowo telah bekerja di Penerbit Mizan selama hampir 30 tahun (1984-2012). Karier kepenulisannya dimulai ketika usianya lewat 40 tahun. Pada usia 44 tahun (2001), dia menerbitkan karya pertamanya, Mengikat Makna, yang langsung mencetak best seller. Selain Mengikat Makna, buku lainnya yang mencetak best seller adalah Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Quantum Reading, dan Quantum Writing. Kini, Hernowo sudah menerbitkan 35 buku. Buku terakhirnya yang dibuat pada November 2009 berjudul Mengikat Makna Update. Untuk melihat karya lengkap Hernowo silakan lihat di bawah.

Keaktifannya menggalakkan budaya baca-tulis di Indonesia diganjar oleh Panitia ”World Book Day Indonesia I” pada tahun 2006. Hernowo menjadi orang pertama dari Indonesia yang mendapat penghargaan dari Panitia ”World Book Day Indonesia I” sebagai penulis yang berhasil menginspirasi dan membangkitkan semangat para pembaca bukunya untuk menjalankan kegiatan baca-tulis yang memberdayakan. Pada Desember 2010, karya tulisnya, “Agar Perpustakaan Tak Jadi Kuburan” meraih juara ketiga dalam sayembara karya tulis menuju perpustakaan nasional ideal yang diselenggarakan oleh Perpusnas.

Karya-Karya Hernowo (2001-2009)
  1. Mengikat Makna: Kiat-Kiat Ampuh untuk Melejitkan Kemauan plus Kemampuan Membaca dan Menulis Buku (2001, cetakan ke-7)
  2. Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza: Rangsangan Baru untuk Melejitkan “Word Smart” (2003, cetakan ke-3)
  3. Spirit Iqra’: Menghimpun Samudra Makna Ramadhan (edisi sebelumnya berjudul, Bagaimana Memaknai Ibadah Puasa: Catatan Harian Sebulan Ramadhan, 2003)
  4. Tujuh Warisan Berharga: Wasiat Seorang Ayah kepada Putra-Putrinya dengan Menggunakan Metode “Pemetaan Pikiran” (2003, cetakan ke-2)
  5. Quantum Reading: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Membaca (2003, cetakan ke-6)
  6. Quantum Writing: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis (2003, cetakan ke-7)
  7. Larik-Lirik Mencuatkan Potensi Unik (2003, Editor)
  8. Menulis Diary Membangkitkan Rasa Percaya Diri (2003, Editor)
  9. Langkah Mudah Membuat Buku yang Menggugah (2004, cetakan ke-3)
  10. Main-Main dengan Teks sembari Mengasah Kecerdasan Emosi (2004, cetakan ke-2)
  11. Bu Slim dan Pak Bil: Kisah tentang Kiprah Guru “Multiple Intelligences” di Sekolah (2004, cetakan ke-3)
  12. Bu Slim dan Pak Bil Membincangkan Pendidikan di Masa Depan (2004, cetakan ke-3)
  13. Smart Book 1: 40 Hari Mencari Makna (2004)
  14. Smart Book 2: 40 Hari Mencari Ilmu (2004)
  15. Smart Book 3: 40 Hari Mencari Tuhan (2004)
  16. Mengikat Makna untuk Remaja (2004)
  17. Bu Slim dan Pak Bil Menggagas-Kembali Pendidikan Berbasiskan Buku (2004)
  18. Self-Digesting: “Alat” untuk Mengurai dan Mengenali Diri (2004)
  19. Vitamin T: Bagaimana Mengubah Diri lewat Membaca dan Menulis (2004)
  20. Breaking the Habit: Menulis untuk Mengenali dan Mengubah Diri (2004, Editor)
  21. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Membuat Buku (2005, cetakan ke-2)
  22. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar secara Menyenangkan (2005, cetakan ke-6)
  23. Bu Slim dan Pak Bil Mengobrolkan Kegiatan Belajar-Mengajar Berbasiskan Emosi (2005)
  24. Mengubah Sekolah: Catatan-Catatan Ringan Berbasiskan Pengalaman (2005)
  25. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar dengan Menggunakan Pendekatan Kontekstual (2005, cetakan ke-3)
  26. Bu Slim dan Pak Bil Mengimpikan Sekolah Imajinasi (2005)
  27. Mengikat Makna Sehari-hari: Bagaimana Mengubah Beban Membaca dan Menulis menjadi Kegiatan yang Ringan-Menyenangkan (2005)
  28. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar secara Kreatif (2006, cetakan ke-3)
  29. Poligami yang Tak Melukai Hati? (2007, dengan nama pena: Abu Fikri)
  30. Al-Quran Bukan Da Vinci Code (2007, dengan nama pena: Khulqi Rasyid)
  31. Aku Ingin Bunuh Harry Potter! (2007, cetakan ke-3)
  32. Aku Ingin Bunuh Harry Potter!: Extended Version (2007)
  33. Membacalah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit (2008)
  34. Terapi Hati di Tanah Suci: Ya Allah, Jadikan Aku Cahaya (2008)
  35. Mengikat Makna Update: Membaca dan Menulis yang Memberdayakan (November 2009)


Tuesday, November 6, 2012

Membangun Habitus Membaca di Sekolah

Oleh : Mohammad Mudzakkir
Dosen Universitas Negeri Surabaya, Mantan Ketua PP IPM


Berdasarkan laporan dari Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2009 Indonesia hanya bisa mencapai peringkat 10 besar terbawah dari 65 negara. Kemampuan siswa yang dinilai meliputi tiga bidang; Reading (57), Science (60), dan Mathematics (61).  Dalam kemampuan membaca, Indonesia masih kalah dengan Thailand, yang menempati posisi ke-50. Bila dibandingkan dengan  Jepang, jarak Indonesia semakin lebih jauh. Jepang menempati posisi ke-8 dalam hasil survey tersebut. Apalagi bila dibandingkan dengan Korea Selatan dan Singapura yang masing-masing menduduki posisi ke 2 dan 5. Posisi pertama justru diraih oleh negeri Tirai bambu Cina, yang mempunyai minat dan kemampuan membaca tertinggi jauh meninggalkan negeri adidaya Amerika Serikat yang hanya bertengger di peringkat ke 17.

Survei ini tentu cukup mencengangkan tapi sekaligus menunjukkan perubahan peta dunia. Bila selama ini Amerika Serikat beberapa dekade berada di posisi lima besar, justru saat ini terlempar ke 20 besar. Bahkan persoalan penurunan peringkat ini telah menjadi isu nasional di negeri Paman Sam, yaitu perlunya evalusi terhadap sistem pendidikan mereka, khususnya dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan sains. Fareed Zakaria, seorang pengamat politik Internasional terkemuka Amerika, keturunan India-muslim, melihat bahwa persoalan ini bisa menjadi persoalan serius bagi masa depan bangsa Amerika Serikat. Oleh karena itu menurutnya, Pemerintah harus segera mencari solusi untuk memperbaiki dan meningkatkan peringkat tersebut, yaitu dengan jalan mereformasi pendidikan. Bukan hanya itu saja, kegelisahan itu pun segera direspon oleh Bill Gates, bos Microsoft dan pendiri The Gate Foundation, dengan mendonasikan dana sebesar 5 miliar dolar US untuk sekolah, perpustakan, dan beasiswa.

Mungkin bisa dipahami kegelisahan yang dialami oleh Amerika Serikat bila dibandingkan dengan posisi Cina sebagai kompetitor mereka yang semakin menguat. Negeri yang mempunyai penduduk terbesar di dunia ini ternyata mampu bangkit dengan cepat dari ketertinggalan selama dua dekade. Bukan hanya dalam hal kemampuan membaca, matematika, sains, saja tapi juga dalam hal ekonomi, teknologi, bahkan dalam hal olah raga.  Sudah dua kali Olimpiade, Cina mampu mempertahankan diri sebagai juara umum di perhelatan olahraga bergengsi dunia tersebut. Dan yang paling mutakhir, Cina juga mampu menyandingkan Piala Thomas dan Uber yang beberapa dekade lalu menjadi langganan Indonesia. Mungkin peradaban dunia sedang berputar kembali, dan Cina kembali ke era keemasannya.  Era ketika kertas pertama kali ditemukan dan bermunculannya karya-karya sastra terbaik karya pujangga Cina, baik yang ditulis pada era sebelum masehi maupun setelahnya. Maka bukanlah sebuah kebetulan, bila Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “carilah ilmu hingga ke negeri Cina”.

Hasil survey yang dirilis oleh PISA tentu bukanlah sesuatu yang mengagetkan bila dikaitkan dengan tradisi literasi kita, khususnya lagi dalam tradisi membaca. Seakan-akan survey tersebut memperkuat pernyataan Taufiq Ismail, seorang maestro puisi sekaligus juga pengelola Majalah Sastra Horison,bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami Tragedi Nol Buku alias kekurangan membaca buku. Ia sangat sedih melihat budaya kita yang kian jauh dari tradisi membaca. Ia juga membandingkan di masa perjuangan kemerdekaan. Ia mengatakan bila para aktivis kemerdekaan itu memiliki budaya baca yang sangat tinggi. Tidak heran bila mereka memiliki pemikiran yang visioner dalam membangun bangsa ini. Memiliki langkah-langkah yang strategis dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Kemampuan mengorganisir perjuangan kemerdekaan itu diperoleh dari bahan bacaan mereka yang beraneka ragam. Gagasan brilian dalam melawan segala tipu muslihat penjajah merupakan rangkuman dari intisari buku-buku yang mereka baca (Rohmani, 2011).

Persoalan rendahnya tradisi membaca bukanlah persoalan lembaga pendidikan saja, tapi juga masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini bisa kita lihat dari kebiasaan membaca di masyarakat kita masih sangat rendah. Membaca belum menjadi sebuah kewajiban dan pengisi waktu luang (leasure time) atau lebih tinggi lagi menjadi bagian dari gaya hidup (Life style). Tetapi kebanyakan lebih menyukai menonton televisi untuk mengisi waktu luang, atau jalan-jalan ke mal melihat pakaian dan barang elektronik dari pada melihat dan membuka-buka buku di Gramedia atau Toga Mas. Mengobrol atau meng-gosip ketika menunggu sesuatu baik ketika di ruang kerja atau di perjalanan, dari pada membaca buku. Di tambah lagi, buku juga belum menjadi barang yang menjadi prioritas utama dan lebih baik untuk membeli barang lainnya. Kalau pun ada uang lebih mending untuk membeli barang-barang elektronik mutakhir, seperti HP misalnya. Itu lah realitas kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita yang masih jauh dari tradisi membaca.

Saya ingin mengatakan bahwa pendidikan tidak vacuum dari realitas sosial. Ketika kita berharap agar para siswa mempunyai tradisi membaca-tulis yang kokoh, tapi di sisi lain ketika mereka kembali ke keluarga, tetangga, dan masyarakat secara luas tidak terbiasa dengan tradisi literal tapi lebih dominan tradisi oral, maka usaha mulia ini menghadapi tantangan yang cukup serius. Belum lagi di tengah tradisi konsumerisme masyarakat kita yang semakin menggila, khususnya dalam mengonsumsi produk-produk elektronik mutakhir. Hal ini juga berimbas kepada anak didik, yang tanpa sadar mereka juga mempunyai kecenderungan menjadi seorang konsumeris dengan mantra “saya menjadi ada karena mempunyai HP terbaru”. Bukannya justru sebaliknya “saya membaca buku baru maka saya ada”, itu lebih baik.

Meskipun demikian kita harus optimis untuk membangun tradisi membaca di kalangan generasi muda, agar mereka terhindar dari “rabun membaca dan tumpul menulis”. Gerakan-gerakan yang ditujukan untuk meningkatkan minat baca banyak dilakukan masyarakat, misalnya dalam bentuk kampaye pentingnya membaca, lomba menulis, meresensi atau meringkas; pendirian taman bacaan dan perpustakaan umum; dan sebagainya. Gerakan sastra masuk sekolah yang dipimpin oleh budayawan Taufik Abdullah, merajuk anak didik, terutama yang duduk di sekolah menengah atas untuk membaca karya sastra. Ia mencanangkan 6 gerakan sastra, yaitu menerbitkan sisipan “Kaki Langit” di majalahHorison sejak 1996 untuk karya siswa SMU; melatih guru-guru SMU dalam sastra sejak 1999; menggelar acara “Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya” di berbagai sekolah menengah; demikian pula di perguruan tinggi; lomba mengulas karya sastra dan menulis cerita pendek untuk guru SMU; dan membentuk sanggar sastra untuk siswa (Laksmi, 2004). Dan itu bisa direduplikasi di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah di setiap level, dengan pendekatan dan materi yang kontekstual tentunya.

Hingga saat ini, kurikulum pendidikan di sekolah masih sangat memprihatinkan. Dalam kurikulum, kegiatan membaca di sekolah belum menjadi prioritas utama, apalagi membaca karya sastra. Padahal kemampuan baca tulis dan sekaligus menjadikannya sebagai sebuah habitus (kebiasaan) merupakan pondasi awal bagi pengembangan akademik lainnya. Apabila sekolah tidak mampu membangun lingkungan yang  akrab dengan tradisi membaca, maka sekolah ikut berkontribusi dalam tragedi nol buku, seperti yang diutarakan oleh Taufiq Ismail. Memang usaha untuk merubah keadaan ini tidak gampang, namun juga bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk kita pecahkan. Masalah ini bukan sekedar masalah sekolah, tapi juga menyangkut struktur (negara yang) dan kultur (budaya) yang tidak bersahabat dengan membangun kultur membaca.

Dengan keseriusan yang tinggi, saya yakin sekolah mampu membangun habitus (kebiasaan yang kuat, meminjam istialah Pierre Bourdieu) membaca di kalangan siswa-siswinya. Tentu niatan tersebut harus direalisasikan dalam bentuk program dan kegiatan yang nyata dan berkelanjutan. Banyak strategi yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah, dan salah satu strategi yang bagus adalah seperti yang disampaikan oleh Rahadjo (2004), yaitu:

 1.       Menciptakan suasana. a) Membuat komitmen seluruh guru. Pendidik ini sangat penting dalam memberi teladan dan menumbuhkan rasa cinta terhadap buku. Komitmen sebaiknya juga membantu dan mengajarkan kepada murid bagaimana memahami bacaan. b) Membuat program khusus yang terintegrasi. Murid akan berfikir bahwa kegiatan baca-tulis penting jika sekolah membuatnya menjadi program khusus. Program yang dimaksud adalah: membuat surat kabar/majalah/majalah dinding/kliping, membentuk klub pecinta buku, membuka toko buku/koperasi sekolah, memberikan ceramah/bimbingan pemakai secara rutin, memperingati Hari Buku, dan kunjungan pengarang/illustrator : resensi buku, diskusi, bedah buku, pelajaran teknik menulis, dan penghargaan kepada siswa-siswi yang mempunyai karya.

 2.         Perpustakaan sekolah yang memadai.  a)  Koleksi di perpustakaan sekolah sebaiknya sesuai dengan jenis dan kebutuhan sekolah, tertata rapi, terawat, mudah ditemukan terus dan ditambah. b) Pustakawan profesional sebaiknya menjaga komitmen dalam pekerjaannya, yaitu memberi teladan kepada anak didik, mengembangkan pengetahuan mengenai perpustakaan dan mempelajari metode pengajaran, kurikulum sekolah, sekaligus mempelajari perilaku manusia. c) Sarana dan program perpustakaan. Perabotan yang nyaman,  perlengkapan memadai,  jam buka dan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan menciptakan suasana yang menyenangkan.

 3.         Membaca bersama dan berbagi pengalaman. Kegiatan membaca yang kita kenal umumnya adalah membaca dengan diam. Bagi sebagian orang, kegiatan ini terasa berat dan membosankan. Agar menarik, kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara lain, seperti :membaca bergiliran, mengadakan acara jam bercerita, membaca kumpulan puisi atau cerpen, mengadakan diskusi buku mengenai ceritanya, pengarang, ilustrasi, pengalaman individu yang serupa, dan lainnya.  

 4.         Melakukan aktivitas. Guru atau pustakawan dapat mengembangkan kegiatan membaca melalui berbagai aktivitas, seperti: a) membuat proyek bacaan (mendata buku seperti pekerjaan yang dilakukan pustakawan). b) membaca secara kreatif dengan menggambar, menjahit, membuat pembatas buku, boneka, topeng, kolase, bendera, film, jaket buku, kartu ucapan, penahan buku, brosur, iklan, kartun, puisi, lagu, pantomim, drama, teka-teki, permainan, dan lainnya. c) Membuat karangan karya sastra sederhana, membuat komentar atau ringkasan, diari, dan lainnya. d) Belajar melalui gambar/barang, kunjungan, kliping, musik, teka-teki, atau mengintegrasikan pelajaran-pelajaran. e) Mengadakan pertunjukan drama, panggung boneka, dan lainnya yang dikaitkan dengan dunia buku. f) Mengadakan kunjungan ke toko buku, penerbitan, percetakan, perpustakaan lain. g)Mengkampanyekan buku-buku terbaik. h) Mengadakan tukar menukar buku dengan perpustakaan, atau sekolah lain. i) Mengadakan bazaar, pameran, atau lomba yang berkaitan dengan buku, dan memilih duta buku; Cak atau Yuk (Putra dan Putri Jatim sebagai Duta) Buku atau Jambore buku.

Menurut saya, apapun gagasan atau pun pemikiran besar kita, tetap harus dimulai dari langkah kecil dan sederhana. Kualitas membaca yang rendah merupakan persoalan bangsa Indonesia secara umum.  Bukan hanya terjadi di lembaga pendidikan, tapi juga dalam kehidupan masyarakat kita. Keluarga dan sekolah (pendidikan dasar) merupakan pondasi awal bagi anak didik untuk mengembangkan intelektualitasnya, dan salah satu keahlian yang sangat penting adalah membaca.  Dan  kemudian diikuti oleh keahlian berikutnya yaitu menulis.  “Membaca membuka cakrawala dunia” ternyata bukanlah sekedar pepatah kosong tanpa makna. Serta bukanlah sebuah kebetulan ketika Cina saat ini kembali menjadi raksasa dunia. Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari kemampuan membaca generasi mudanya yang menduduki peringkat pertama di dunia saat ini. Akhirnya, kita harus betul-betul meresapi perintah membaca sebagai wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad SAW.  Jadi “membaca” adalah syarat wajib agar kita bisa menyingkap dan menguasai dunia. Seperti yang dilakukan oleh generasi muda Cina saat ini. Bagaimana dengan kita?

*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Cikal, Edisi Juni 2012, SD Muhammadiyah Manyar Gresik

Saturday, November 3, 2012

Gerakan Satu Juta Rumah Baca Untuk Rakyat (GERABA)



Gerakan GERAKAN 1 JUTA RUMAH BACA UNTUK RAKYAT yang disingkat GERABA merupakan salah satu bentuk gerakan creative social responsibility (CSR) yang dipelopori anak-anak muda yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap pentingnya membaca untuk menjadikan rakyat lebih sadar, maju, dan berdaya. Karena itu, salah satu misi dari gerakan membaca dalam GERABA adalah berisi tiga hal yaitu penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan. Keyakinan kami adalah dengan melahirkan masyarakat yang melek baca maka rakyat tidak dapat dibodohi dan ditindas.

Wujud kongkrit dari gerakan ini adalah program inisiasi terhadap lahirnya perpustakaan komunitas dan pemberdayaan yang sudah ada melalui gerakan buku bergulir kepada perpustakaan di seluruh tanah air. Misi mulia ini tidak akan tercapai tanpa dukungan dan peran kita semua. Anak bangsa ini akan bangkit seiring meningkatnya minat baca dan angka melek baca di kalangan masyarakat. Keyakinan kami semua adalah sama bahwa dengan membaca pengetahuan diraih dan dari sana kemudian dapat direfleksikan menjadi berbagai karya yang produktif, inovatif, dan progresif untuk memenangkan persaingan global.

Gerakan yang lahir dari komunitas anak muda ini mengetuk semua orang dari semua kalangan dan berbagai macam latar belakang untuk peduli dan memberikan sumbangsih kepada gerakan ini. informasi dapat diakses dari facebook (Rumah Baca Komunitas), tweeter (mabaca), dan blog Rumah Baca Komunitas (http://rumahbacakomunitas.blogspot.com/).

Silakan disampaikan jika ada ide dan gagasan yang konstruktif!! Grup ini adalah bank gagasan dan idealisme! Jadilah penabung ide yang kayaraya!


Untuk Bergabung menjadi Relawan GERABA KLIK INI

Sunday, October 28, 2012

Buku Recomended minggu ini (buku yang memberdayakan)


1. SEKOLAH PARA JUARA : MENERAPKAN MULTIPLE INTELLIGENCES DI DUNIA PENDIDIKAN

Judul asli buku ini adalah Multiple Intelligences in the Classroom-2nd edition karya Thomas Armstrong.
Di Indonesia buku ini diterjemahkan oleh Yudhi Murtanto, disunting oleh Rina S. Marzuki, dan diterbitkan oleh Penerbit Kaifa Bandung.

--------
Pada bagian depan, Hernowo memberikan pengantar yang diawali dengan cerita mengenai kegagalan pendidikan yang berasal dari dunia binatang. Para binatang gagal memiliki prestasi yang diharapkan karena dipaksa melakukan sesuatu hal-hal yang tidak menghargai sifat alami mereka.
Teori Kecerdasan Majemuk (KM) yang ditemukan oleh Howard Gardner, menjadi "alat" yang ampuh bagi Armstrong untuk menimbulkan paradigma baru berkaitan dengan sekolah.
Pertama, dahulu sekolah (baca guru) membedakan siswanya menjadi dua kelompok, yaitu siswa pandai dan bodoh. Menurut teori Kecerdasan Majemuk (KM) tidak ada siswa yang bodoh.
Kedua, dahulu suasana kelas cenderung monoton dan membosankan. Dengan delapan cara mengajar yang bertumpu pada delapan jenis kecerdasan, pembelajaran lebih variatif (menggairahkan dan menyenangkan).
Ketiga, dahulu, seorang guru mungkin kesulitan membangkitkan minat dan gairah murid-muridnya. Dengan Kecerdasan Majemuk, masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat.

Hernowo juga mencontohkan salah satu sekolah yang sudah menerapkan teori Kecerdasaran Majemuk (KM), yaitu SMU (Plus) Muthahhari, Bandung yang didirikan oleh Jalaluddin Rakhmat. Kurikulum yang dikembangkan di SMU Muthahhari, selain diarahkan agar siswa menguasai beberapa kompetensi, juga ditujukan agar para siswa mampu meningkatkan harga dirinya dengan meraih berbagai prestasi.
Pada bagian akhir, Hernowo menunjukkan pentingnya teori Kecerdasan Majemuk (KM) dalam menyukseskan kurikulum di Indonesia dengan KBK-nya.

Buku Multiple Intelligences in the Classroom-2nd edition, juga diberi pengantar langsung oleh Howard Gardner yang memberikan apresiasi yang tinggi dengan tulisan Armstrong yang akurat, jelas, referensi luas, dan cara penyampaian yang sesuai untuk para pendidik.

Buku ini terdiri dari 14 Bab, yaitu :
Bab 1 Dasar-Dasar Teori Kecerdasan Majemuk
Bab 2 KM dan Perkembangan Kepribadian
Bab 3 Menilai Kecerdasan Majemuk Siswa
Bab 4 Mengajarkan KM kepada Siswa
Bab 5 KM dan Pengembangan Kurikulum
Bab 6 KM dan Strategi Pengajaran
Bab 7 KM dan Lingkungan Kelas
Bab 8 KM dan Manajemen Kelas
Bab 9 Sekolah KM
Bab 10 KM dan Penilaian
Bab 11 KM dan Pendidikan Khusus
Bab 12 KM dan Kemampuan Kognitif
Bab 13 Beberapa Penerapan Teori KM yang lain
Bab 14 KM dan Kecerdasan Eksistensial

Singkatnya melalui buku ini, teori KM Howard Gardner menjadi sangat praktis untuk diterapkan para pendidik di sekolahnya.

2. JALAN PINTAS MENJADI 7 KALI LEBIH CERDAS
Jalan Pintas Menjadi 7 Kali Lebih Cerdas. Buku terbitan kaifa bandung ini merupakan gudang informasi bagi para orangtua dan guru untuk mengarahkan anak-anak pada berbagai kegiatan yang menyenangkan sekaligus mengasah ketujuh kecerdasan dasar mereka. Setiap kegiatan ditandai dengan simbol khusus, yang menunjukkan jenis kecerdasan yang akan dirangsang melalui kegiatan tersebut.

Dengan buku ini, Anda dapat mengasah kecerdasan:

- logis/matematis

- intrapersonal

- interpersonal

- bahasa

- musik

- kinestetis

- visual/spasial

pada anak Anda.

Buku ini juga dilengkapi dengan contoh 50 jenis permainan yang kreatif dan konstruktif untuk dimainkan oleh anak-anak, baik sendiri maupun berkelompok, diawasi ataupun tidak.

''Buku ini menawarkan pendekatan praktis bagi orangtua, dengan menunjukkan kepada anak-anak mereka pengalaman belajar aktif dan menarik yang akan memicu tumbuhnya rasa ingin tahu yang lebih besar dalam diri anak-anak, mengembangkan kreativitas, sekaligus memberi anak-anak rasa percaya diri dalam menanggulangi permasalahan hidup di dunia yang sangat kompleks ini.''Daniel J., M.D.,

Associate Clinical Professor of Psychiatry, UCLA School of Medicine, Director of the Center for Human Development, Los Angeles

Laurel Schmidt menjadi pendidik selama lebih dari 30 tahun dan menjadi orangtua selama lebih dari 20 tahun. Sebelum ini, dia bekerja sebagai guru dan kepala sekolah. Setelah itu, dia menjadi Administrator Layanan Siswa di Santa Monica, California, dan adjunct professor di Universitas Antioch.

Saturday, October 27, 2012

Militansi dalam Gerakan Iqro’

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Pernah terbayang bahwa suatu saat orang-orang meyakini bahwa kempanye gerakan membaca adalah bagian dari jihad fii sabilillah. Artinya, jihad dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi perintah pertama Allah yaitu IQRO!. Membumikan bacaan dan ilmu pengetahuan sebagai bagian tak terpisahkan kehidupan masyarakat Islam yang sekian lama terpuruk, atau di tengah masyarakat Indonesia yang terombang-ombing dan menjadi korban dari persekongkolan antara pasar kapitalisme dan negara yang korup.

Dari nilai-nilai islam itulah militansi harus ditumbuhkan. Setidaknya landasan naqliyah atau wahyu ilahi tentang pentingnya membaca dan belajar sudah tidak diragukan lagi hanya implementasi perlu revitalisasi. Surat al alaq, surat al qalam, dan sebagainya yang pada intinya sangat menghargai terhadap orang-orang yang mau belajar, dan berilmu seperti halnya penghargaan atas orang-orang sholeh yang beriman.

 Militansi dapat dibangun dari beberapa aspek mulai dari internal maupun eksternal. Dalam internal, militansi ditumbuhkan dari keyakinan dasar atas wahyu Allah dalam al quran sehingga gerakan membaca itu adalah menjadi bagian ibadah. Keyakinan itu ditumbuhkembangkan dalam alam pikiran dan nurani yang seiring dan sebangun dengan rasa iman itu sendiri. Jadi sekf-motivation factor ini menjadi alat yang efektif untuk membentuk militansi aktifis pelajar.

Kedua, aspek pemberdayaan diri artinya kita terlibat dalam gerakan kampanye membaca atau gerakan melek-baca itu juga merupakan cara kita memberdayakan diri sendiri. Dengan berdekatan dengan buku kita akan terpacu untuk membaca. Dengan membaca kita menambah pengetahuan dan terhindar dari kebodohan akibat kurang pengalaman dan wawasan. Lebih hebat lagi manakalah kita berdaya dan mampu membantu orang lain lebih berdaya baik secara intelektual, ekonomi, maupun politik-kebudayaan. Dengan demikian karakter masyarakat akan lebih tangguh untuk menghadapi arus globalisasi dan perubahan sosial.

Terakhir, adalah aspek eksternal yang meliputi situasi sosial di sekitar kita. Apabila kita salah mengambil komunitas tentu kita akan mengalami disorientasi dalam upaya gerakan membaca. Lingkungan yang kondusif untuk  memelihara semangat, kedekatan dengan buku adalah sangat besar pengaruhnya untuk menjadi kekuatan   para pelaku/pengerak gerakan membaca.

Jika sudah ada organisasi yang menaungi, sebenarnya spirit itu sudah terinstitusionalisasi namun hal ini belum cukup tanpa aspek spiritual yang mampu menjadikan seseorang termotivasi dari dalam. Aspek spiritual dna sosial itu wajib hadir dalam bangunan yang saling menopang sehingga militansi itu tidak saja menjadi ide yang diawang-awang tetapi menjadi kenyataan sosial dengan langka-langka kreatif dan progresif untuk mewujudkan bangsa yang tangguh!

Onggobayan, Kasihan, 19 Oktober 2012 jam 11.00 wib

Sumpah Pemuda dan Agenda Mendesak Bangsa

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Banyak fakta selama ini menunjukkan kepada kita bahwa bangsa ini gemar dengan ritual atau kegiatan seremonial. Sumpah pemuda yang biasa diperingati setiap pada tanggal 28 Oktober juga tidak bisa lepas dari kebiasaan seremonial dimana tanggal tersebut dimeriahkan dengan berbagai kegiatan, festival, lomba, dan sebagainya. Tujuannya adalah ingin mengenang militansi pemuda-pemuda pada generasi 1928-an yang telah berhasil mengobarkan semangat nasionalisme menjadi upaya merebut kemerdekaan bangsa. Tujuan yang teramat mulia itu sering didangkalkan dengan rutinitas tanpa subtansi. Buktinya, banyak anak-anak muda yang terjun di dunia politik, birokrasi, dan swasta yang mempunyai bermental inlander. Anak-anak muda yang cuek dengan masa depan bangsa dan beberapa mereka terlibat korupsi.

Autokritik pemuda itu mutlak dilakukan untuk perbaikan bangsa yang carut marut ini. Keberanian mengkritik diri sendiri bahwa pemuda masih perlu banyak berbenah dan bekerja keras untuk mengejar ketertinggalan bangsa dari bangsa-bangsa lain. Kritik itu harus dilakukan secara individual dan kelembagaan. Apa yang kita butuhkan adalah memberikan karakter dan kepribadian yang kuat bagi diri kita dan komunitas kita. Dengan karakter kebangsaan tentu saja akan mampu memompa spirit perjuangan dalam segala bidang kehidupan.Bangsa yang kuat itu digambarkan dengan jelas oleh Sukarno dalam konsep trisakti: Berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam pemerintahan, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Daya saing suatu bangsa sangatlah banyak dipengaruhi oleh kemampuan, kreatifitas, dan inofasi yang diprakarsai anak muda. Sukarno pernah bilang bahwa untuk mengguncang dunia hanya diperlukan 10 pemuda saja. Artinya, kita sekarang punya jutaan pemuda punya 277.298 organisasi pemuda ( Data kemenpora, Republika 27 Okt 2012), dan kita sebenarnya tinggal hanya bergerak bersama. Untuk bergerak bersama inilah kita perlu platform bersama yang mampu mempersatukan kita. Perbedaan akhirnya hanya menjadi warna dan bukan ancaman bagi integritas anak bangsa.

Setidaknya ada tiga agenda mendesak bangsa yang dapat kita lakukan untuk memberikan gizi dan subtansi peringatan sumpah pemuda tahun ini yaitu tiga manifestasi jihad pemuda. Pertama, pemuda berjihad melawan narkoba. Kedua, Pemuda jihad melawan korupsi, dan terakhir Pemuda berjihad melawan tragedi nol baca.
Dari ketiga agenda mendesak bangsa itu dapat kita jelaskan. Pertama, Jihad melawan narkoba. Ada 3,81 juta pengguna narkoba di tahun 2011 (BNN, 2011). Sampai tahun 2012 pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5 juta orang (kompas, 12 April 2012) artinya negara kita dalam keadaan darurat narkoba. Bencana ini sebagian besar menyerang kaum muda. Dengan terjerak persoalan narkoba akan mengarah kepada pergaulan bebas dan ujungnya HIV/AIDS menjangkiti anak bangsa. Sampai tahun 2012 setidaknya 270 ribu kasus HIV dan nampaknya mengalami kenaikan terus dari tahun ke tahun. Pada 2006, angka kasus infeksi HIV dari hubungan seks berisiko mencapai 38 persen dari jumlah keseluruhan. Namun, pada pertengahan 2011, angka itu meningkat menjadi 76 persen (Tempo, 23 Juli 2012).

Bencana ini akan merusak generasi sehingga bangsa ini akan kesulitan mencari pemimpin yang mempunyai karakter kebangsaan dalam bidang politik, wirausaha, dan agama. Ketiga bidang ini sangat terancam oleh endemik narkoba.

Kedua, Jihad Melawan Korupsi. Apa yang salah dari kasus maraknya praktik korupsi adalah runtuhnya keteladanan anak muda. Semakin banyak korupsi melahirkan banyak generasi muda frustasi yang diekpresikan dengan caranya sendiri seperti narkoba, sekx bebas, tawuran dan sebagainya. Frekuensi kasus-kasus itu sebanding dengan menggilanya kasus korupsi di Indonesia. Karakter leadership dalam kehidupab berbangsa seolah dilululantakkan oleh perilaku elit politik dan pengusaha nakal sehingga apa yang dikatakan Profesor Syafii Maarif itu menemukan pembenaran bahwa "kerusakan bangsa ini nyaris sempurna."

Akibat KKN (korupsi, kolusi, dna nepotisme) ini banyak anak-anak muda kehilangan peluang untuk berbisnis lantaran akses keuangan/modal tidak dapat diperoleh dengan mudah tanpa melakukan kalikong dengan lembaga keuangan atau tanpa melalui koneksi gelap dengan pengambil kebijakan. Tidak adanya mekanisme yang fair/jujur ini juga menghanguskan semangat inofasi dan kreatifitas anak-anak muda. Makanya benar, bahwa korupsi telah menyumbang kemiskinan dan penderitaan anak bangsa baik secara lahir maupun batin, fisik maupun mentalitas. Mentalitas yang berkembang di era 'koruptrokrasi' (negara koruptor) hanyalah mentalitas menerabas, egois, mau menang sendiri. Dalam hal bisnis yang berkembang adalah upaya mendapatkan lama maksimal dengan modal dengkul.

Terakhir, jihad melawan 'tragedi nol baca". istilah tragedi ini meminjam taufik Ismail yang disimpulkan dari hasil penelitiannya pada tahun 2003 yang menunjukkan bahwa anak-anak SMA di Indonesia tidak membaca 1 buku pun karya sastra di sekolah. Hal ini jauh tertinggal dari negara-negara lain di dunia.Kemiskinan membaca ini memberi kontribusi rendahnya daya saing bangsa. Karena rendahnya peringkat angka melek baca ini juga menyebabkan tingginya plagiasi di dunia pendidikan baik dilakukan oleh peserta didik (siswa) atau pendidik (guru atau dosen).

Melek baca merupakan satu tahap lebih maju dari melek huruf. Melek baca artinya masyarakat menggunakan kemampuan membaca dan menulis untuk mengakses informasi baik dari media cetak, elektronik, buku untuk kegiatan yang produktif. Dengan demikian, kemampuan itu akan mampu merebut keuntungan dari era informasi dan pasar bebas yang sedang bergulir di bumi ini. Tetapi angka minat baca di Indonesia masih relatif lebih rendah dibanding Malaysia dan Vietnam. Membaca itu penting lantaran fungsi penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan. Pembaca yang sukses artinya mampu mencerahkan dirinya dan mampu membantu orang lain untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan akibat ketidaktahuannya. Dengan demikian orang yang melek buku akan mempunyai potensi memberdayakan masyarakat lebih besar.

Di Indonesia, kira-kira satu buku dibaca 80.000 orang (kompas, Februari 2012). Hal ini dengan perhitungan pada tahun 2011 dimana setahun diproduksi buku sebanyak 20.000 judul dengan perbandingan jumlah penduduk yang sangat besar di Indonesia. Mungkin jumlah buku lebih besar di Indonesia dibanding dua negara tersebut tetapi jika dibagi rata jumlah penduduk kita masih kalah. Anak-anak muda terutama pelajar mengalokasikan waktu dan uang lebih besar untuk kegiatan hiburan, kuliner, dan komunikasi (internet, hp, pulsa) ketimbang membeli buku sebagaimana haisl survey KR di Yogyakarta hanya 5% dari uang mahasiswa untuk membeli buku.

Dari ketiga agenda 'jihad' pemuda itu dapat disimpulkan bahwa jihad melawan narkoba artinya kita memperbaiki fisik bangsa dengan mengobati bagian yang sakit dan menyiapkan fisik yang lebih prima, jihad melawan buta baca artinya kita berupaya mengisi otak bangsa dengan pengetahuan dan jihad melawan korupsi artinya kita menyiapkan mesin pemerintahan yang lebih baik, stabil, kuat, dan gesit sehingga mempercepat pembangunan bangsa secara lebih sistematis. Inilah arti subtansi peringatan sumpah pemuda itu dan ini juga harus menjadi agenda mendesak bangsa.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK