Friday, November 28, 2014

Imaji dari Balon Merah (Resensi Novel)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

...Akuilah, sebuah buku lebih baik daripada benda kecil tolol...
(Irene Tanurajaya, Balon Merah)

Buku Balon Merah karya Irene Tanurajaya adalah sisi lain yang berbeda 360 derajat dari mahzab sastra yang sering saya baca. Saya termasuk orang yang jarang membaca sastra atau novel populer. Tetapi saya senang membaca novel dengan spirit tertentu. Spirit itu, jika saya meminjam Pram, adalah spirit ausdaure. Setiap daya-tahan (ausdaure) selalu membangkitkan imajinasi yang melampaui. Kita tidak akan lagi berada dalam batas pertanyaan eksistensial yang kadang tidak terjawab, dan mulai melupakan perjalanan eksistensial itu sendiri sebagai sebuah kisah yang menguatkan batin.

Pertemuan saya dengan novel Balon Merah, kalau tidak salah, pertengahan tahun 2013 saat sebuah paket kirim berisi buku Balon Merah datang ke Rumah Baca Komunitas (RBK) kami.

Paket buku itu dibungkus menarik. Lengkap dengan permen-permen, yang menurut pengirim—Irene—ditujukan untuk “anak-anak” di komunitas kami. Balon Merah adalah novel karangan Irene untuk anak-anak yang pertama kali diterbitkan.

Irene, menawarkan sebuah imajinasi. Tentang hal-hal kecil. Tentang tarian pohon yang jarang diperhatikan. Atau tentang keindahan suatu wujud yang tak diperkirakan. Dalam bahasa, dibiarkannya menemukan ekspresi; rumit, sederhana atau selesai. Itu terserah. Tapi tampaknya, bahwa kata, dalam Balon Merah, menemukan rekannya sendiri. Menemukan makna bersama rasa penasaran pembaca pada setiap lembar.

Saya membayangkan Irene menuliskannya dengan imaji yang otentik. Karena dia mencoba masuk ke dalam keingintahuan yang khas. Keingintahuan itu lazim secara sarkastik dianggap polos, lugu atau semacamnya. Tetapi keingintahuan itu sendiri adalah proses menguliti makna melalui cara yang otentik. Menelusuri pengalaman dan kata. Sebagai yang bersatu, kata dan pengalaman adalah kewajiban dari pengalaman ontologis manusia.

Yang menarik bagi saya, Irene menyinggung tentang petani, peternak dan pekerja. Suatu kelas yang kadang-kadang dikutip bersama ironi. Tetapi pengungkapan Irene, “...ini adalah saat ketika para petani, peternak, dan pekerja...kau bisa menari, walau kau tahu kau adalah penari yang buruk.” Tidak tentang toleransi sisipus, tetapi tentang kebebasan yang klasik. Kebebasan yang direngut oleh kapitalisme. Dan kebebasan yang tercerabut. Suatu citra singkat tentang masyarakat.

Irene tidak bercerita dari  konsep “tidak”, seperti kebanyakan penulis pada umumnya. Irene mulai dari membuka harapan. Suatu narasi pada umumnya dari penulis novel senang bermain antara yang seharusnya dan kenapa yang “tidak” selalu terjadi. Dan sembari menunggu, Irene bermaksud dalam kalimat yang jenaka “Apa? Cerita ini akan membosankan? Oh, lihatlah diri kalian. Sepanjang hari menatap benda kecil...hanya menatap layar benda itu berjam-jam...”. Irene mengelitik kesombongan dewasa manusia. Tingkat dimana manusia meremehkan kontemplasi. Atau membiarkannya sebagai hasil yang terserak. 

Monday, November 24, 2014

Agenda Nop-Des 2014

Press Release Rumah Baca Komunitas Yogyakarta
Kampanye 16 Hari Anti kekerasan terhadap perempuan
25 Nopember – 10 Desember 2014

Kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye Internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan diseluruh dunia. Rumah baca komunitas sebagai lembaga yang menjunjung tinggi nilai-nilai  non-diskriminasi dan anti kekerasan merupakan lembaga yang fokus mengembangkan isu-isu anti kekerasan terhadap perempuan dan non-diskriminasi terhadap kelompok apapun ras, suku, agama, etnis maupun orientasi seksual, melalui pengayaan wacana dan gerakan  literasi kerakyatan maka semua pegiat Rumah Baca Komunitas mendorong seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama melakukan :

1.    Berperan aktif dalam membangun Masyarakat yang setara dan adil tanpa kekerasan.
2.    Berperan aktif untuk melaporkan kepada pihak terkait jika mengalami, melihat kekerasan yang terjadi sekitar anda.
3.    Berperan aktif sebagai pemangku kebijakan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara tanpa kekerasan bukan melakukan pembiaran.
4.    Berperan aktif untuk memberikan informasi dan mengkampanyekan “Stop Kekerasan terhadap perempuan” dan “Stop Diskriminasi terhadap kelompok apapun; ras, suku, agama, etnis dan orientasi seksual”
5.    Berperan aktif membangun masyarakat yang kritis melalui gerakan literasi kerakyatan tanpa kekerasan.

Untuk membangun bangsa yang bermartabat maka lima point diatas harus dilakukan oleh semua komponen bangsa ini, dalam upaya mengkampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan maka rumah baca melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1.    Pagelaran seni dan sastra
Tema          : Stop kekerasan terhadap perempuan
Waktu         : Selasa 25 Nopember 2014 pukul 20.30-23.00 WIB
Tempat       : Plekung Gading dan Pendopo Rumah baca komunitas

2.    Diskusi
Tema        : Reorientasi Teori Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Pendidikan Islam
Waktu       : Rabu 26 Nopember 2014 pukul 18.30-22.00 WIB
Tempat      : Pendopo Rumah Baca Komunitas

3.    Diskusi
Tema         : kekerasan dalam Pacaran
Waktu        : sabtu 29 Nopember 2014 Pukul 16.30-20.00 WIB
Tempat      : Pendopo Rumah Baca Komunitas

4.    RBK on the Street
Tema         : Stop kekerasan dan Diskriminasi
Waktu        : Minggu 20 Nopember 2014 pukul 07.00 – 10.00 WIB
Tempat      : Alun-alun Kidul

5.    Diskusi
Tema         : Kekerasan, Negara dan LGBT
Waktu        : Rabu 3 Desember 2014 pukul 18.30-22.00 WIB
Tempat      : Pendopo Rumah Baca Komunitas

6.    Analisi film “The Help”
Tema         : kekerasan Rasial
Waktu        : Sabtu 6 Desember 2014 Pukul 18.30-22.00 WIB
Tempat      : Pendopo Rumah Baca Komunitas

7.    RBK on the Street
Tema         : Munir mencari keadilan
Waktu        : Minggu 7 Desember 2014 pukul 07.00-10.00 WIB

8.    Aksi Damai dan aksi Diam
Tema         : Saatnya untuk tidak diam
Waktu        : Rabu 10 Desember 2014 pukul 16.00-17.00 WIB
Tempat      : Titik Nol Km

Demikian Press Release ini semoga bisa menjadi pekerjaan kita bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, setara tanpa kekerasan

Salam damai tanpa kekerasan
Yogyakarta, 25 Nopember 2014

Ahmad Sarkawi
Direktur Rumah Baca Komunitas
No HP : 085724014701

Tuesday, November 18, 2014

Kemenangan Kaum Literasi

Oleh: David Efendi
Pembina dan Pegiat RBK

RBK on the street, sebuah aktifitas yg makin akrab terdengar bagi pegiat literasi beberapa bulan terakhir, adalah sebuah konsep perpustakaan jalanan yang lahir dari komunitas anak muda di Kali Bedog (Rumah Baca Komunitas).
Salah satu visi utamanya adalah bagaimana buku itu menjadi muda diakses bagi setiap orang tanpa disekat status sosial. Ibaratnya air, buku adalah kehidupan bagi semua manusia. Tanpa setitikpun pengecualian.
Pada kegiatan RBK on the street #7 ini semakin menguatkan imajinasi para konseptornya. Kegiatan ini mampu menggerakkan kesadaran dan sekaligus kreatifitas pegiatnya. Ya, "kreatifitas tanpa batas", kata Indra yang berjibagu siapkan acara RBK di alun alun kidul.
Pegiat yang mengamalkan ajaran apresiatif ini semakin terbiasa dengan serangkaian kegiatan di akhir pekan. Malam menyiapkan buku, souvenir seadanya, spanduk untuk kampanye literasi dgn cara manual. Tantangan terberat adalah, keharusan bangun pagi di minggu hari. Ini serasa berat sekali pada awalnya.
Edisi kali ini mengambil tema, ramoco ramulyo dgn gambar Tirto Adisuryo. Seorang pegiat literasi di masa pra revolusi kemerdekaan Indonesia.

Artinya, salah satu cara memuliakan sebuah bangsa adalah dengan cara membangun kesadaran literasi, kesadaran akan nilai nilai kemerdekaan, kesetaraan, dan spirit pembebasan. Dengan kekuatan ini, bangsa kita layak diperhitungkan oleh bangsa bangsa lainnya terutama menjadi teror bagi kesewenangan kaum penjajah. Kini, penjajahan fisik itu lebih pada hegemoni dan dominasi kebudayaan. Karena itulah, media tv yg tidak edukatif, diskriminasi, budaya inlander haruslah menjadi common enemy para pekerja literasi.
Dgn gambar Tirto Adisuryo, menuntut kita harus dedikasikan diri kita untuk belajar keras, membaca menulis dengan militan, dan bekerja keras untuk kebaikan rakyat sbg kelanjutan dari revolusi literasi Tirto.
Aksi pembebasan ini dicatat oleh Agam, salah seorang pegiat RBK dalam notes BBM. Dia menulis demikian:
"...Setelah perut terisi, sambil menghisap dalam rokoku, datang seorang bapak berpostur tinggi, memakai kaos lengan panjang dan celana pendek, merapatnya ke lapak baca tentu tanpa panggilan. Keberadaannya dilapak baca hari ini menurut cak david adalah fenomena yg belum pernah terjadi sebelumnya, bisa disimpulkan beliau adalah pemecah rekor tukang becak pertama yg mengharimpi lapak baca. Sambil ditemani gus ind, dia melihat-lihat koleksi buku yg kami sajikan, tanpa berlama lama si tukang becak tadi menjatuhkan pilihannya pada buku anak-anak, entah apa yg mendasari beliau memilih buku anak-anak tersebut, kami mencoba utk meminta alasan kenapa beliau memilih buku itu ? Dgn tegas dia menjawab "anak saya pasti senang sekali kalau saya bawa buku ini untuknya". Subhanallaah, aku dan gus ind terdiam haru.
Ternyata buku selain memberikan pengetahuan, juga bisa membahagiakan hidup seseorang. Tidak hanya itu sebagai bentuk apresiasi atas keikhlasannya, cak David langsung memberikan 1 baju dewasa, 1 baju anak" hasil dari karya para pegiat literasi ,
"Terima kasih, terima kasih, anak saya pasti senang sekali saya bawakan buku dan baju ini, " celetuknya sebelum meninggalkan kami dan tumpukan buku."
Dia mempertegas pengalaman "etnografi" ini bahwa RBK telah memberikan bukti hilangnya sekat sekat kelas sosial dalam gerakan literasi. Buku sebagai media komunikasi lintas kelompok kepentingan. Saya setuju dengan kesimpulan ini. Hari ini ada banyak ragam menusia mampir di lapak "moco gratis" mulai dari wartawan, penulis buku (memberikan buku karya sendiri), pegiat pendidikan dari AJI, temannya teman, mahasiswa, dan masyarakat umum lainnya.
Ada beberapa pengunjung juga menghibahkan bukunya di RBK pada moment on the street.
Beberapa peminjam buku masih juga ada yang kaget tentang kegiatan pinjam buku boleh bawa pulang gratis ini. Ada dua "pelangggan" pinjam buku meminta maaf belum bisa pulangkan buku yang dipinjam.
"kemanusiaan saya tersentuh" nyaris terguncang, adalah sebuah penghargaan besar mereka (ada yang bapak bapak juga ibu) datang ke "TKP" hanya menyampaikan permohonan maaf karena belum selesai membaca buku dan masih dipakai bahan menulis. Para peminjam buku ini memanusiakan para pegiat RBK dengan kesantunan meminta maaf. Dan senyum terkembang dari wajah penjaga lapak ini.

Parkir dan Kemenangan
Walaupun say sudah nego dengan petugas parkir dan mendapatkan keringan, sampai pada akhirnya saya minta pendapat di komunitas sosial lain: "sudah empat bulan tak pernah diparkir, pagi tadi para pegiat gerakan literasi didatangi pak parkir agar bayar parkir.
Diantara peminjam buku adalah tukang becak dan siapa saja tak bs disebutkan satu satu."
Kegiatan sosial saja diparkir, apa negerri ini sudah kehilangan kearifan lokal? jika ada jamaah group ini yg tahu otoritas parkir alkid,dan bisa membantu untuk pembesan parkir dilapak moco buku gratis boleh dibawa pulang ini kami akan gembira sekali."
Adapun hasil nego pagi ini adalah motor pegiat RBK tidak ditarik parkir dengan dinaikkan ke atas sisi jalan. Saya pun gembira. Tapi ada kegembiraan lainnya, bahwasanya pegiat RBK tak ada yang menggerutu gara gara harus bayar parkir. Bahkan ada salah satu pegiat yang sudah banyak berbincang dan kenal dengan "abang parkir" itu. Satu hal yang saya khawatirkan adalah pengunjung/pembaca enggan mampir kalau harus membayar parkir.
Overall, suasana hati dan perbuatan telah kita menangkan hari ini. Kita bukan masuk golongan orang yang kalah dan marah! selamat untuk teman teman pekerja literasi. Kemenangan kecil kita sudah raih setiap hari, kita akan perjuangkan lahirnya hari raya kemenangan besar.




Sunday, November 9, 2014

Belajar, Belajar, Belajar

Oleh: Windu W. Jusuf

KONON kabarnya, tidak ada orang kiri di daftar calon menteri ekonomi sebelum diumumkan beberapa minggu lalu. Alasannya bukan karena desakan oligarki—ingat, ini baru draft awal—tapi karena memang sedikit sekali ‘calon ahli’ dari golongan kiri.

Ada satu pendapat menarik dari nabi pasar bebas Milton Friedman seperti yang dikutip oleh Naomi Klein dalam bukunya, Shock Doctrine (2007). Di buku itu, Klein panjang lebar menceritakan bagaimana kebijakan pasar bebas diberlakukan di banyak negara melalui kekerasan dan proyek-proyek rekonstruksi pasca-perang/bencana. Yang kita lupa, pada dasarnya Shock Doctrine mengisahkan perjalanan panjang gagasan Milton Friedman hingga menjadi kenyataan. Kata-kata Friedman saya kutip agak panjang:

“Hanya krisislah—sungguhan atau dibayangkan—yang menciptakan perubahan nyata. Ketika krisis terjadi, tindakan-tindakan yang diambil akan bergantung pada ide-ide yang bersliweran di sekitarnya. Saya percaya di situlah kerja kita yang sesungguhnya: mengembangkan alternatif untuk kebijakan-kebijakan yang ada, menjaganya tetap hidup dan siap pakai sampai kondisi yang mustahil secara politis berubah menjadi kondisi yang tidak terhindarkan secara politis.”

Alkisah, dari paguyuban Mont Pellerin Society, sejak akhir 1940an, Friedman mempopulerkan gagasannya ke kampus-kampus di seluruh dunia, dengan sokongan lembaga-lembaga akademik dan korporasi-korporasi raksasa dari Paman Sam. Selanjutnya, setahap demi setahap kita menyaksikan perubahan besar, khususnya mulai di Chile sejak Allende dikudeta: orang-orang yang memegang pos-pos penting perekonomian dan keuangan adalah Los Chicago Boys, anak-anak ideologis Friedman, Mafia Berkeley-nya Chile. (Hei, kapan kita bisa menciptakan ‘Mafia Caracas?’).

Sampai di sini Anda mungkin akan bertanya: bukankah gagasan Friedman bisa mapan karena ditopang teror, penghilangan massal, dan pembungkaman gerakan rakyat?

Tidak ada keraguan sedikitpun tentang mesranya Friedman dan Pinochet. Tapi bukan di situ poinnya—dan kalaupun faktor koersi (termasuk di dalamnya kekerasan fisik) jadi pemakluman untuk tidak menganggap Friedman secara serius, sekarang keputusan politik mana di dunia ini yang tidak mengandaikan paksaan, entah itu bersumber dari tentara maupun dari … kekuatan massa-rakyat?

Pokoknya adalah, Bung dan Nona, Friedman tekun memproduksi sebanyak-banyaknya ‘kader pengetahuan’ yang berdedikasi, di saat politik sayap kanan tak laku di massa-rakyat. Pilihannya tepat: organisir kampus, ambil-alih administrasinya, rebut posisi di editorial jurnal-jurnal akademik, jangan malu-malu masuk ke pos-pos penting di pemerintahan, tunggu saat yang tepat untuk bertindak besar.
Pelajaran dari Friedman ini menjadi penting ketika gerakan progresif gagal, meminjam ucapan Sakirman, orang Politbiro PKI, ‘menggunakan setjara maksimal “djalan dari atas”,’ supaya anasir-anasir ‘anti-Rakjat dalam negara dapat disingkirkan atau se-kurang2nja digerogoti, dan dipereteli sehingga mendjadi lumpuh samasekali.’

Tentu ada banyak faktor eksternal yang menentukan apakah seseorang bisa menempati posisi strategis dan bertaktik dari dalam. Namun pada kasus daftar calon menteri itu, sedikitnya pilihan nama menunjukkan problem yang gawat: orang kiri yang sungguh-sungguh mendalami ‘ekonomi-politik borjuis’ adalah endangered species. Nyaris punah. Segala obrolan serius tentang ekonomi di kalangan kiri umumnya baru lebih marak ketika pemerintah mengumumkan akan menaikkan harga BBM, ketika tuntutan kenaikan UMR ditolak, atau belakangan, ketika penduduk dusun A terusir dari kampungnya lantaran perusahaan B ingin membangun pabrik. Biasanya kita langsung teriak: ‘Ini gara-gara kapital!’, ‘Modal asing!’, ‘Nasionalisasi industri minyak!’ serta serapah khas kiri lainnya.

Advokasi memang mahapenting. Tapi di luar itu, sebuah proposal kebijakan yang solid pastinya tidak akan lahir dari umpatan-umpatan berbumbu teori siap-pakai—apalagi sambil marah-marah. Maka, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ketika kader-kader Friedman sukses menurunkan filsafat sang guru ke dalam kebijakan yang konkret, banyak kelompok kiri nusantara malah merasa puas diri sudah bisa marah-marah dengan meniru gaya memaki ala Lenin, Trotsky, anarkis Eropa abad 19—well, the usual gang.

Belajar dari Friedman pula, gerakan kiri nampaknya harus mengikis kebiasaan buruk lainnya, yakni menjadikan perjuangan akar rumput sebagai fetish, jimat, mantra, seakan-akan semua persoalan akan rampung dengan mengorganisir (pengetahuan) di basis buruh dan tani. Jeleknya, kebiasaan ini tak jarang beriringan dengan melabeli lembaga-lembaga mapan seperti kampus sebagai najis, borjuis, elit, kelas menengah, apolitis, wadah kariris—tak usah heran kalau banyak kampus hari ini administrasinya dikuasai PKS.

Bahwa buruh dan tani adalah soko-guru perjuangan, itu benar. Bahwa kampus semakin lama semakin dihuni orang-orang brengsek, itu juga benar. Namun, fakta keras bicara lain: kampus masih dipercaya memberikan jasa konsultasi kebijakan publik yang akan berdampak pada jutaan orang. Fetisisme terhadap akar rumput ini sebetulnya berkebalikan namun senada dengan fetisisme liberal, bahwa yang paling penting adalah berpolitik secara prosedural serta berpolitik lewat argumen moral ala cendekiawan Kompas dan Tempo.

Pendeknya—tentu tanpa menihilkan peran pengorganisiran massa—kita butuh ‘teknokrat kiri’, yang mungkin akan lebih sering bekerja secara tradisional di balik meja dengan ribuan data dan analisis, menggali sumber pengetahuan di tempat-tempat tak terduga, mempersiapkan planning jangka panjang. Kerja-kerja yang dapat dipastikan tidak seksi, tidak glamor, jauh dari kesan romantik, dan seringkali sunyi dari slogan-slogan sangar. Tanpa kerja-kerja ini, politik kiri akan sulit dibedakan dari keributan sia-sia di jalanan dan propaganda tanpa program.
Tapi kan itu ‘nggak ngorganik’?

Ah, ketika sekarang kita menyebut ‘(intelektual) organik’, seringkali yang kita maksud adalah ‘heroik’—barangkali juga nekat.

Tapi spesialisasi itu kan produk kapitalisme, orang kan mustinya bisa ‘berburu di pagi hari, memancing di siang hari, beternak selepas ashar, dan jadi kritikus sastra waktu dinner?’

Tolong diingat baik-baik, Bung dan Nona: itu baru bisa kejadian kalau masyarakatnya sudah mutlak kuminis.

Maka tantangan Friedman harus sungguh-sungguh diseriusi, apalagi ketika aktivitas yang konon paling intelektual di kiri adalah mempelajari dokumen dan keputusan politik partai-partai kiri antah berantah yang mayoritas sudah bubar, tanpa keakraban dengan luasnya kajian sejarah dan sosiologi masyarakat setempat.

Apa yang mau diharapkan dari diskusi yang membatasi diri dengan referensi-referensi antagonis seperti Revolusi 1917, Perang Sipil di Spanyol, atau peristiwa-peristiwa global kekinian yang sengaja ditarik-tarik, dipas-paskan dengan konteks politik lokal, dan akhirnya hanya minta ditertawakan? Tradisi macam apa yang ditawarkan dari kiri yang sibuk bertengkar tentang siapa jagoannya yang lebih superior secara moral (atau yang paling ‘anti-hirarki’): Marx atau Stirner, Lenin atau Stalin, Lenin atau pelaut-pelaut kronstadt, Stalin atau Trotsky—atau meributkan identitas kedirian yang sama sekali tidak relevan untuk dijawab: apakah Soekarno borjuis kecil atau bukan?

Siapapun yang sempat mengalami masa puber di era 1990an sangat paham dengan kebiasaan-kebiasaan macam itu. Ini tradisinya penggemar Nirvana dan Guns ‘N Roses di Indonesia yang saling bertengkar karena Kurt Cobain dan Axl Rose sempat baku-pukul di Amerika sana. Tentu tidak semua penggemar Nirvana dan GnR berperilaku buruk seperti di atas—itu namanya fans sontoloyo, yang secara kultural sebelas-duabelas dengan ‘kiri sontoloyo.’

Kalau Anda rajin main ke pasar loak, sampai saat ini buku-buku terbitan Soviet Uni masih sering ditemukan. Topiknya bukan cuma ajaran Marx, Lenin, dan the usual gang, tapi juga buku-buku pertanian, perbankan, permesinan, prinsip-prinsip alat bubut, kemiliteran, dan ketrampilan lain yang tidak wah dalam ukuran-ukuran pembicaraan ala kiri, tapi dipelajari di sekolah-sekolah yang didirikan PKI.

Maka, dibandingkan dengan besarnya minat belajar di tahun-tahun ketika PKI masih punya sekolah, nampaknya persoalan kita kini tidak sebatas minimnya spesialis di bidang ekonomi, tapi jauh lebih gawat lagi, minimnya pemikir-ahli dalam segala bidang termasuk, well, kebudayaan. Memang banyak orang kiri yang semangat bicara kebudayaan, tapi terlalu malas memelototi berkardus-kardus halaman legislasi di arsip kementrian kebudayaan, apalagi berurusan dengan birokrasi ngehek di sana.

Dijamin—baiklah, ini otokritik—saya pun malas.***

*) Kutipan Lenin yang dipajang di tiap ruang kelas sekolah-sekolah Rusia, sekurang-kurangnya sejak 1922.

sumber: indoprogress.com/2014/11/belajar-belajar-belajar/


Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK